Eksposisi Wahyu kepada Yohanes

oleh : Pdt. Budi Asali M.Div.


                                Wahyu 3:14-22

Surat kepada jemaat / gereja Laodikia

Ay 14: “Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah”.

1)   Kota Laodikia.

a)   Kota Laodikia adalah kota kaya yang merupakan kota per-bank-an.

Robert H. Mounce (NICNT): “In Roman times Laodicea became the wealthiest city in Phrygia” (= Dalam jaman Romawi Laodikia menjadi kota terkaya di Phrygia) - hal 123.

Steve Gregg menambahkan bahwa kota Laodikia merupakan ‘banking center, which is obviously related to its general wealth’ (= pusat per-bank-an, yang jelas berhubungan dengan kekayaannya secara umum) - hal 78.

Pada tahun 60 M. kota ini hancur karena gempa bumi, tetapi dibangun kembali tanpa pertolongan pihak luar, karena kayanya kota ini.

b)   Kota Laodikia menghasilkan wol.

Tanahnya yang subur menyebabkan banyak rumput untuk domba, dan ini menghasilkan wol, khususnya wol hitam. Di kota ini ada pabrik pakaian yang memproduksi pakaian dari wol hitam ini.

c)   Kota Laodikia terkenal karena sekolah medis, dan ahli-ahli pengobatannya menemukan obat-obatan yang hebat, khususnya obat untuk mata.

Robert H. Mounce (NICNT): “Two of the most famous were an ointment from spice nard for the ears, and an eye-salve made from ‘Phrygian powder’ mixed with oil” (= Dua yang paling terkenal adalah salep dari sejenis tanaman untuk telinga, dan salep mata yang dibuat dari ‘bubuk Phrygia’ yang dicampur dengan minyak) - hal 123.

Kecaman Yesus bahwa mereka miskin, buta dan telanjang (ay 17b) merupakan kebalikan dari hal-hal untuk mana Laodikia ini terkenal! Ini menunjukkan bahwa kondisi seseorang secara rohani / di hadapan Tuhan bisa bertentangan / berkebalikan dengan kondisi seseorang secara duniawi / jasmani / di hadapan manusia!

Misalnya:

·        dalam pandangan manusia kita menang, pandai, untung, kuat, hebat, dan sebagainya, tetapi dalam pandangan Tuhan kita jelek. Contoh: Lot, orang kaya dalam cerita Lazarus dan orang kaya, atau orang kaya dalam perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh.

·        dalam pandangan manusia kita dianggap kalah, bodoh, rugi, lemah, dan sebagainya, tetapi dalam pandangan Tuhan kita sukses. Contoh: Abraham yang mengalah terhadap Lot (Kej 13), para murid yang meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus.

Karena itu dari pada memikirkan penilaian manusia terhadap diri saudara, sebaiknya saudara memikirkan penilaian Tuhan terhadap diri saudara.

1Kor 4:3-5 - “Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi. Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan. Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah”. Dalam bagian ini, khususnya pada ay 3nya Kitab Suci Indonesia terjemahannya kacau. Bandingkan dengan terjemahan NIV di bawah ini.

NIV: “I care very little if I am judged by you or by any human court; indeed, I do not even judge myself. My conscience is clear, but that does not make me innocent. It is the Lord who judges me. Therefore judge nothing before the appointed time; wait till the Lord comes. He will bring to light what is hidden in darkness and will expose the motives of men’s hearts. At that time each will receive his praise from God” (= Aku bahkan tidak menghakimi diriku sendiri. Hati nuraniku bersih, tetapi itu tidak membuat aku tak berdosa. Tuhanlah yang menghakimi aku. Karena itu jangan menghakimi apapun sebelum waktu yang ditetapkan; tunggulah sampai Tuhan datang. Ia akan menerangi apa yang tersembunyi dalam kegelapan dan menyingkapkan motivasi dari hati manusia. Pada saat itu setiap orang akan menerima pujiannya dari Allah).

2)   Gereja Laodikia.

a)   Pendirian gereja Laodikia dan hubungannya dengan Paulus.

John Stott: “... nobody knows when the seeds of the gospel were sown in it or how the Christian Church took root there. St. Paul probably never visited the cities of the Lycus valley, and it is possible that Epaphras founded the church. But Paul wrote a letter to the Laodicean church at the same time as he wrote his epistle to the Colossians. Indeed, most contemporary scholars think that the Laodicean letter is none other than our so-called ‘Epistle to the Ephesians’ since three of the best and earliest manuscripts of that epistle omit at its beginning the words, ‘at Ephesus’. It may therefore have been a circular letter sent in the first instance to Laodicea (Col. 1:7; 2:1; 4:12-16)” [= ... tak seorangpun tahu kapan benih injil disebarkan di kota ini atau bagaimana gereja Kristen berakar di sana. Mungkin Santo Paulus tidak pernah mengunjungi kota-kota dari lembah Lycus, dan adalah mungkin bahwa Epafras yang mendirikan gereja ini. Tetapi Paulus menulis surat kepada gereja Laodikia pada saat yang sama dengan penulisan surat Kolose. Kebanyakan penafsir jaman ini beranggapan bahwa surat Laodikia ini tidak lain dari pada surat Efesus karena tiga dari manuscripts yang terbaik dan terkuno dari surat ini membuang kata-kata ‘di Efesus’ pada bagian awalnya. Karena itu mungkin surat ini merupakan surat edaran yang pertama-tama dikirim ke Laodikia (Kol 1:7; 2:1; 4:12-16)] - hal 115.

Robert H. Mounce (NICNT): “The church was probably founded during the time Paul spent at Ephesus on his third missionary journey (Acts 19:10), perhaps by Epaphras (Col 4:12). There is no evidence that Paul visited the church, although he wrote them a letter (Col 4:16) which was subsequently lost” [= Gereja ini mungkin didirikan pada saat Paulus ada di Efesus pada perjalanan misionarisnya yang ketiga (Kis 19:10), mungkin oleh Epafras (Kol 4:12). Tidak ada bukti bahwa Paulus mengunjungi gereja ini, sekalipun ia menulis surat kepada mereka (Kol 4:16) yang lalu hilang] - hal 124.

Catatan: jelas bahwa ada pertentangan antara pandangan John Stott dan pandangan Robert H. Mounce ini. Kalau John Stott mengatakan bahwa surat Paulus kepada gereja Laodikia itu mungkin adalah surat Efesus, maka Robert H. Mounce ini memastikan bahwa surat itu hilang, dan dengan demikian itu bukanlah surat Efesus.

b)   Gereja Laodikia memburuk pada jaman Yohanes menulis kitab Wahyu.

Leon Morris (Tyndale): “In John’s day the condition of the church in this city had deteriorated sadly. This church receives the severest condemnation of all the seven to whom letters are sent” (= Dalam jaman Yohanes kondisi gereja di kota ini memburuk secara menyedihkan. Gereja ini menerima kecaman yang paling keras dari ketujuh gereja kepada siapa surat-surat ini ditujukan) - hal 82.

Penerapan:

Kondisi gereja memang mudah memburuk. Karena itu kita semua harus mempunyai rasa ‘ikut memiliki’ dan harus ikut berjuang untuk menjaga supaya gereja tidak memburuk. Perjuangan itu meliputi banyak hal seperti:

·        doa.

·        pelayanan.

·        kehadiran kita dalam acara gereja.

·        persembahan.

3)   ‘Inilah firman dari Amin’.

a)   Ini adalah satu-satunya tempat dimana Kristus disebut dengan gelar ‘Amin’.

Kata ‘Amin’ muncul 9 x dalam kitab Wahyu dan banyak kali dalam bagian Kitab Suci yang lain, tetapi di sini adalah satu-satunya dimana kata itu digunakan sebagai gelar bagi Kristus.

b)   Apa artinya gelar ‘Amin’ ini bagi Kristus?

Dalam kamus Alkitab Indonesia kata ini diartikan sebagai ‘sungguh’, ‘benar’, atau ‘pasti’. Sekarang apa artinya kalau kata ini dijadikan gelar bagi Kristus?

·        Pulpit mengatakan bahwa gelar ini menunjukkan Kristus sebagai ‘the true One’ (= Yang benar).

·        Beasley-Murray mengatakan bahwa ini menunjukkan kesetiaan Kristus.

G. R. Beasley-Murray: “The idea involved in the expression is not that God is the true God in contrast to false gods, but that God is the faithful one, the reliable and trustworthy one, who can be trusted to keep his covenant with his people” (= Gagasan yang dimaksud dalam ungkapan ini bukanlah bahwa Allah adalah Allah yang benar sebagai kontras dari allah-allah palsu, tetapi bahwa Allah adalah Allah yang setia, dapat diandalkan dan dapat dipercaya, yang bisa dipercaya untuk memegang perjanjianNya dengan umatNya) - hal 64-65.

·        William R. Newell menghubungkan kata / nama ‘Amin’ untuk Yesus di sini dengan 2Kor 1:20 - Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah”.

KJV: ‘For all the promises of God in him are yea, and in him Amen, unto the glory of God by us’ (= Karena semua janji-janji Allah dalam Dia adalah ya, dan dalam Dia Amin, bagi kemuliaan Allah oleh kita).

Newell lalu berkata:

“This is a great announcement, for in ourselves we are worse than failures, but in Christ all God’s plans are made good” (= Ini merupakan suatu pengumuman yang besar, karena dalam diri kita sendiri kita lebih buruk dari kegagalan, tetapi dalam Kristus semua rencana Allah sukses / berhasil) - hal 75.

4)   ‘Saksi yang setia dan benar’.

Robert H. Mounce (NICNT): “... it was added to clarify for the non-Hebrew-speaking audience the meaning of ‘amen’ (p. 418). It presents the trustworthiness of Christ in sharp contrast to the unfaithfulness of the Laodicean church” (= ... ini ditambahkan untuk menjelaskan arti ‘amin’ untuk pendengar yang tidak berbahasa Ibrani. Ini menyajikan sifat dapat dipercaya dari Kristus yang dikontraskan secara menyolok dengan ketidak-setiaan gereja Laodikia) - hal 124.

Herman Hoeksema: “Just because the Lord is the Amen in Himself, He is also such in His testimony. His witness is true and faithful. He never makes a mistake. ... And the result is that his testimony is perfectly in harmony with the condition of the church in Laodicea. The members of the church may certainly rely upon it, that if His testimony cencerning them clashes with their own opinion of self, it is because the latter, and not the former, is erroneous.” (= Karena Tuhan itu adalah Amin itu sendiri, maka Ia juga demikian dalam kesaksianNya. KesaksianNya benar dan setia. Ia tidak pernah membuat kesalahan. ... Dan akibatnya adalah bahwa kesaksianNya cocok secara sempurna dengan kondisi gereja di Laodikia. Anggota-anggota gereja ini bisa dengan pasti bersandar pada kesaksian itu, dan jika kesaksianNya tentang mereka bertentangan dengan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri, itu disebabkan karena pandangan mereka tentang diri mereka sendiri adalah salah) - hal 143-144.

5)   ‘permulaan dari ciptaan Allah’.

a)   Penafsiran sesat dari Arianisme: Yesus adalah ciptaan pertama dari Bapa.

Robert H. Mounce (NICNT): “The Arian meaning, ‘the first thing created,’ is at variance with the Colossian passage that declares that ‘in ... through ... and for him’ all things were created (Col 1:16)” [= Arti yang diambil oleh Arianisme ‘hal pertama yang diciptakan’ bertentangan dengan text dalam surat Kolose yang menyatakan bahwa segala sesuatu diciptakan ‘dalam ... melalui ... dan untuk Dia’ (Kol 1:16)] - hal 125.

Kol 1:16 - “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.

Steve Gregg mengatakan (hal 79) bahwa karena Paulus menginstruksi-kan gereja Kolose untuk menyampaikan suratnya kepada gereja Laodikia (Kol 4:16), maka gereja Laodikia pasti tahu tentang surat Kolose, yang mempunyai ayat yang berbunyi: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu” (Kol 1:15-18).

Catatan: ada beberapa kesalahan penterjemahan dari text ini, dan akan saya bahas di bawah nanti (point b).

Tahunya gereja Laodikia tentang text Kolose ini, tidak memungkinkan mereka salah mengerti tentang maksud dari kata-kata Kristus di sini, dan lalu menafsirkannya bahwa Yesus adalah ciptaan pertama dari Bapa.

b)   Penafsiran yang benar tentang kata-kata ini.

·        Bagian ini berhubungan dengan Kol 1:15-18.

Robert H. Mounce (NICNT): “‘the beginning of the creation of God,’ is undoubtedly linked to Paul’s great christological passage in Colossians 1:15 ff, where Christ is designated ‘the beginning’ (vs. 18) and ‘the firstborn of all creation’ (vs. 15)” [= kata-kata ‘permulaan dari ciptaan Allah’ tak diragukan lagi berhubungan dengan text kristologi yang besar dari Paulus dalam Kol 1:15-dst., dimana Kristus digambarkan sebagai ‘permulaan’ (ay 18) dan ‘yang sulung dari semua ciptaan’ (ay 15)] - hal 124.

Kol 1:15 - “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan. Ini terjemahannya salah, dan TB2-LAI tidak memperbaikinya.

NASB: ‘And He is the image of the invisible God, the firstborn of all creation (= Dan Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung dari semua ciptaan).

Kol 1:18 - “Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu”. Ini terjemahannya juga salah, dan TB2-LAI juga tidak memperbaikinya.

NASB: ‘He is also head of the body, the church; and He is the beginning, the first-born from the dead; so that He Himself might come to have first place in everything’ (= Ia juga adalah kepala tubuh, gereja; dan Ia adalah permulaan, yang sulung dari orang mati; sehingga Ia sendiri bisa datang untuk mendapat tempat pertama dalam segala sesuatu).

·        Bagian ini tidak boleh diartikan sehingga bertentangan dengan bagian-bagian lain dari Kitab Suci.

John Stott: “He is the beginning of God’s creation. If we adopt the fundamental principle of Biblical interpretation that each Scripture must be understood in the light of all and that no passage may be so expounded ‘that it be repugnant to another’ ... , then this title of Christ means ‘the originator of the creation of God’” (= Ia adalah permulaan dari ciptaan Allah. Jika kita menyetujui prinsip dasar dari penafsiran Alkitab bahwa setiap bagian Kitab Suci harus dimengerti dalam terang dari semua dan tidak ada text yang boleh dijelaskan ‘sehingga itu menjadi menjijikkan bagi yang lain’ ..., maka gelar Kristus ini berarti ‘yang memulai ciptaan / penciptaan Allah’) - hal 121.

·        kita harus memilih arti yang benar dari 2 arti yang ada.

William Barclay: “This phrase, as it stands in English, is ambiguous. It could mean, either, that Jesus was the first person to be created or that he began the process of creation .... It is the second meaning which is intended here. The word for beginning is ARCHE. In early Christian writings we read that Satan is the arche of death, that is to say, death takes its origin in him; and that God is the arche of all things, that is, all things find their beginning in him” (= Ungkapan ini dalam bahasa Inggris mempunyai arti ganda. Ungkapan ini bisa diartikan bahwa Yesus adalah pribadi pertama yang diciptakan, atau bahwa Ia memulai proses penciptaan. ... Adalah arti kedua yang dimaksudkan di sini. Kata untuk ‘permulaan’ adalah ARCHE. Dalam tulisan kristen kuno kita membaca bahwa Setan adalah ARCHE dari kematian, arti­nya, kematian punya asal mula di dalam dia; dan bahwa Allah adalah ARCHE dari segala sesuatu, artinya, segala sesuatu mendapatkan permulaannya dalam Dia) - hal 140-141.

·        komentar-komentar lain tentang bagian ini.

Barnes’ Notes: “he is ‘the beginning of the creation of God,’ in the sense that he is the head or prince of the creation. ... Having this rank, it was proper that he should speak with authority to the church at Laodicea” (= Ia adalah ‘permulaan dari ciptaan Allah’, dalam arti bahwa Ia adalah kepala atau pangeran dari ciptaan / penciptaan. ... Karena adanya pangkat / kedudukan ini, maka tepatlah kalau Ia berbicara dengan otoritas kepada gereja di Laodikia) - hal 1569.

G. R. Beasley-Murray: “NEB renders the phrase, ‘the prime source of all God’s creation’. The concept is the same as ‘alpha’ in the title ‘alpha and omega’.” (= NEB menterjemahkan ungkapan ini ‘sumber utama dari semua ciptaan Allah’. Konsepnya sama seperti ‘alfa’ dalam gelar ‘alfa dan omega’.) - hal 104.

Robert H. Mounce (NICNT): “Moffat calls this ‘the most explicit allusion to the pre-existence of Jesus in the Apocalypse’ (p. 370)” [= Moffat menyebut ini ‘kiasan yang paling explicit terhadap ke-pra-ada-an Yesus dalam kitab Wahyu’ (hal 370)] - hal 125.

Ay 15-16: “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu”.

1)   ‘Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. ... Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, ...’ (ay 15a,16a).

Ada bermacam-macam penafsiran tentang bagian ini / tentang kata-kata ‘dingin’, ‘panas’, dan ‘suam-suam kuku’ ini:

a)   Harus ditafsirkan secara keseluruhan, dan sekedar berarti bahwa Tuhan muak dengan keadaan mereka.

Herman Hoeksema (hal 139-140) mengatakan bahwa ia tidak setuju untuk menafsirkan bahwa ‘panas’ berarti orang yang betul-betul hidup secara rohani dan bersemangat dalam pelayanan dan pekerjaan Tuhan, sedangkan ‘dingin’ berarti kondisi mati rohani yang mutlak. Alasannya, kalau diartikan seperti itu maka tidak mungkin Yesus lebih menginginkan ‘dingin’ dari pada ‘suam-suam kuku’. Karena itu ia tidak mau menafsirkan ay 15 ini bagian perbagian atau kata per kata. Ia menafsirkannya secara keseluruhan dan artinya adalah: Tuhan muak dengan keadaan mereka. Tetapi boleh dikatakan semua penafsir berpandangan berbeda dengan Hoeksema.

b)   Ini dilatar-belakangi oleh sebuah mata air panas yang berkhasiat untuk mengobati, dan air dingin dari Kolose.

Robert H. Mounce (NICNT): “Six miles north across the Lycus was the city of Hierapolis, famous for its hot springs which, rising within the city, flowed across a wide plateau and spilled over a broad escarpment directly opposite Laodicea. ... Blaiklock is representative of those who see this as the background for picturing the lukewarmness of the Laodicean church and Christ’s reaction to it. ... Rudwick and Green argue that the adjectives ‘hot,’ ‘cold,’ and ‘lukewarm’ are not to be taken as describing the spiritual fervor (or lack of it) of people. The contrast is between the hot medicinal waters of Hierapolis and the cold, pure waters of Colossae. Thus the church in Laodicea ‘was providing neither refreshment for the spiritual weary, nor healing for the spiritually sick. It was totally ineffective, and thus distasteful to its Lord’ (p. 178). ... Among the several advantages of this interpretation is the fact that it is no longer necessary to wonder why Christ prefer the church to be ‘cold’ rather than ‘lukewarm.’” [= Enam mil di Utara Lycus ada kota Hierapolis, yang terkenal karena mata air panasnya, yang muncul di dalam kota, mengalir melewati dataran tinggi yang luas dan meluap ke suatu lereng gunung yang curam langsung berhadapan dengan Laodikia. Blaiklock adalah wakil dari mereka yang melihat ini sebagai latar belakang untuk penggambaran kesuaman dari gereja Laodikia dan reaksi Kristus terhadapnya. ... Rudwick dan Green berargumentasi bahwa kata-kata sifat ‘panas’, ‘dingin’, dan ‘suam-suam kuku’ tidak boleh dianggap menunjukkan semangat rohani (atau tidak adanya semangat rohani) dari orang-orang Laodikia. Kontrasnya adalah antara air panas yang bersifat sebagai obat dari Hierapolis dan air dingin yang murni dari Kolose. Jadi gereja di Laodikia ‘tidak memberikan penyegaran untuk orang yang lelah secara rohani (seperti air dingin dari Kolose), maupun penyembuhan untuk orang yang sakit secara rohani (seperti mata air panas dari Hierapolis). Gereja ini sama sekali tidak efektif, sehingga tidak disukai oleh Tuhannya’ (hal 178). ... Di antara beberapa keuntungan dari penafsiran ini adalah fakta bahwa kita tidak lagi perlu untuk bingung mengapa Kristus lebih menginginkan gereja itu untuk menjadi ‘dingin’ dari pada ‘suam-suam kuku’.] - hal 125-126.

c)   Mayoritas penafsir menganggap bahwa ‘panas’ berarti orang kristen yang sungguh-sungguh bagi Tuhan, ‘dingin’ berarti orang kafir, sedangkan ‘suam-suam kuku’ adalah orang kristen yang tidak bersemangat bagi Tuhan.

Homer Hailey: “Hot, ZESTOS (from ZEO) occurs only here and means to boil, be hot, fervent. Apollos is spoken of as being ‘fervent (ZEO) in spirit’ (Acts 18:25), and in a like use of the word Paul urges the Roman saints to be ‘fervent (ZEO) in spirit serving the Lord’ (Rom. 12:11)” [= Panas, ZESTOS (dari ZEO) muncul hanya di sini dan berarti ‘mendidih’, ‘panas’, ‘sungguh-sungguh’. Apolos dikatakan sebagai ‘bersungguh-sungguh (ZEO) dalam roh’ (Kis 18:25), dan dalam penggunaan yang sama tentang kata itu Paulus mendesak orang-orang kudus Roma untuk ‘bersungguh-sungguh (ZEO) dalam roh melayani Tuhan’ (Ro 12:11)] - hal 158.

Catatan: kedua ayat di atas diambil dari terjemahan NASB.

Tentang orang yang suam-suam kuku ini Adam Clarke berkata:

“Ye are neither heathens nor Christians - neither good nor evil - neither led away by false doctrine, nor thoroughly addicted to that which is true. In a word, they were listless and indifferent, and seemed to care little whether heathenism or Christianity prevailed (= Kamu bukannya orang kafir ataupun Kristen - bukannya baik atau jahat - tidak disesatkan oleh ajaran palsu maupun sepenuhnya ketagihan / kecanduan terhadap apa yang benar. Singkatnya, mereka itu tidak bergairah dan acuh tak acuh, dan kelihatannya tak terlalu peduli apakah kekafiran atau kekristenan yang menang) - hal 985.

Renungkan:

Apakah saudara begitu rindu terhadap kebenaran, sampai bisa disebut sebagai ‘ketagihan / kecanduan’?

Adam Clarke: “If ever the words of Mr. Erskine, in his Gospel Sonnets, were true, they were true of this Church: ‘To good and evil equal bent, I’m both a devil and a saint’” (= Seandainya kata-kata dari Mr. Erskine, dalam Soneta Injilnya, adalah benar, maka kata-kata itu benar untuk gereja ini: ‘Condong secara sama pada kebaikan dan kejahatan, aku adalah baik setan maupun orang kudus’) - hal 985.

John Stott: “the church in Laodicea had now fallen on evil days, and Jesus Christ sends to it the sternest of the seven letters, containing much censure and no praise. The church had not been infected with the poison of any special sin or error. We read neither of heretics nor persecutors. But the Christians in Laodicea were neither cold not hot (v. 15)” [= gereja di Laodikia telah jatuh pada hari-hari yang jahat, dan Yesus Kristus mengirimkan kepada gereja ini surat yang paling keras dari ketujuh surat, yang berisikan banyak kritikan dan tidak ada pujian. Gereja ini tidak terpengaruh oleh racun dari dosa atau kesalahan yang khusus. Kita tidak membaca tentang ajaran sesat ataupun penganiaya. Tetapi orang-orang Kristen di Laodikia tidak dingin atau panas (ay 15)] - hal 115.

Sebetulnya di gereja Laodikia pernah ada ajaran sesat, seperti yang dikatakan oleh Pulpit Commentary di bawah ini.

Pulpit Commentary: “The Christian Church there may have been founded by Epaphras through whom St. Paul probably learned of the existence of false doctrine there (Col. 2:4,8 and 1:8), for the Epistle to the Colossians seems to be equally addressed to the Laodiceans (Col. 4:16)” [= Gereja Kristen di sana mungkin didirikan oleh Epafras, dan mungkin melalui dia Santo Paulus mengetahui adanya ajaran sesat di sana (Kol 2:4,8 dan 1:8), karena surat Kolose kelihatannya juga ditujukan kepada gereja Laodikia (Kol 4:16)] - hal 114.

Tetapi Herman Hoeksema (hal 138) mengatakan bahwa ajaran-ajaran sesat ada di Laodikia pada saat Paulus menulis surat Kolose, tetapi pada jaman rasul Yohanes menuliskan kitab Wahyu, keadaannya berbeda. Sekarang tidak ada ajaran-ajaran sesat, tetapi mereka dikuasai oleh kepuasan rohani yang palsu dan keduniawian.

Steve Gregg: “the command to be zealous and repent (v. 19) suggests that the lukewarmness represents a deficiency in zeal for Christ” [= perintah untuk menjadi bersemangat dan bertobat (ay 19) menunjukkan bahwa kesuaman menunjukkan kurangnya semangat bagi Kristus] - hal 79.

Catatan: ay 19 dari Kitab Suci Indonesia salah terjemahan, dan nanti akan dibahas dalam pembahasan ay 19.

Penerapan:

Kurang semangat ini bisa terjadi dalam macam-macam hal, seperti dalam mencari / belajar Firman Tuhan, dalam bersaat teduh / berdoa, dalam melayani Tuhan / memberitakan Injil, dalam memberi persembahan, dalam berusaha menguduskan diri / memajukan kerohanian, dan sebagainya. Jangan puas dengan satu atau dua hal dimana saudara bersemangat, tetapi bereskanlah hal-hal dimana saudara tidak bersemangat.

Theodore H. Epp: “Seorang yang merasa puas akan dirinya sendiri, cukup panas (puas?) untuk merasa senang dalam sifat acuh tak acuhnya terhadap perkara-perkara Allah, dan yang memandang enteng peringatan-peringatan Tuhan, orang-orang itulah yang disebut sebagai suam-suam kuku” - hal 118-119.

2)   ‘Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas!’.

a)   Tuhan lebih senang melihat seseorang itu ‘dingin’ dari pada ‘suam-suam kuku’.

Kalau Tuhan lebih menginginkan seseorang ‘panas’ dari pada ‘suam-suam kuku’, maka itu tidak mengherankan. Tetapi mengapa Ia lebih senang seseorang ‘dingin’ dari pada ‘suam-suam kuku’? Ada bermacam-macam alasan yang dikemukakan oleh para penafsir, yaitu:

1.   Karena sikap dingin seperti itu lebih jujur dari pada sikap suam-suam kuku. Tidak ada kepura-puraan, penyamaran, kemunafikan dan penipuan diri sendiri (bdk. ay 17).

2.   Orang suam-suam kuku itu biasanya sombong.

3.   William Hendriksen: “With the heathen, that is with those who have never come into contact with the gospel and who are therefore ‘cold’ with respect to it, you can do something. With sincere, humble Christians you can work with joy. But with these ‘we’re-all-such-very-good-folks-here-in-Laodicea’ people you can do nothing. Even Christ Himself cannot stand them. An emotion, a feeling is here ascribed to the Lord which is not predicated of Him anywhere else in the Good Book. We do not read that He is grieved with them. Neither do we read that He is angry with them. No, He is disgusted with these straddlers. And not just slightly disgusted but thoroughly nauseated” (= Dengan orang kafir, yaitu dengan mereka yang tidak pernah berhubungan dengan injil dan karena itu bisa disebut ‘dingin’, engkau bisa berbuat sesuatu. Dengan orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh dan rendah hati, engkau bisa bekerja / melayani dengan sukacita. Tetapi dengan orang-orang Laodikia yang menganggap diri baik ini, engkau tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan Kristus sendiri tidak tahan menghadapi mereka. Suatu emosi, suatu perasaan di sini digambarkan ada pada Tuhan, yang tidak pernah digambarkan tentang Dia di tempat lain dari Buku yang Baik ini. Kita tidak membaca bahwa Ia sedih karena mereka. Juga kita tidak membaca bahwa Ia marah kepada mereka. Tidak, Ia jijik / muak terhadap orang-orang yang ada di tengah-tengah ini. Dan bukan hanya agak jijik / muak tetapi sepenuhnya muak) - hal 77.

Catatan: kata ‘straddler’ berarti orang yang di tengah-tengah / tidak memihak. Dalam suatu perdebatan, orang ini tidak memilih pandangan yang manapun. Ini tentu dimaksudkan oleh Hendriksen untuk menunjuk kepada orang yang suam-suam kuku, yang tidak dingin dan tidak panas.

4.   Lebih ada harapan untuk bertobat bagi orang yang dingin dari pada yang suam-suam kuku.

Barnes’ Notes: “The most hopeless of all persons, in regard to salvation, are those who are members of the church without any evidence or personal piety; who are content with a name to live” (= Orang yang paling tidak ada harapan dalam persoalan keselamatan adalah mereka yang adalah anggota-anggota gereja tanpa bukti apapun atau kesalehan pribadi; yang puas untuk hidup dengan sebuah nama) - hal 1570.

Catatan: mungkin kata-kata ‘yang puas untuk hidup dengan sebuah nama’ maksudnya adalah bahwa orang itu sudah cukup puas untuk disebut sebagai orang kristen, sekalipun sebutan itu tidak punya bukti apapun.

Pulpit Commentary: “Some understand ‘cold’ to mean ‘untouched by the power of grace,’ and ‘lukewarm’ to denote those who, having received the grace of God, had not allowed it full scope in bringing forth works meet for repentance (Matt. 3:8). And just as there was more hope of the real conversion of the ‘cold’ publicans and harlots, who ‘went into heaven’ (Matt. 21:31) before the self-satisfied, ‘lukewarm’ Pharisees, so there is more hope of an unconverted sinner than of him who, having once been roused to a sense of God’s will, has relapsed into a state of self-satisfied indolence and carelessness” [= Sebagian orang mengartikan ‘dingin’ sebagai ‘tidak disentuh oleh kuasa kasih karunia’, dan ‘suam-suam kuku’ menunjukkan mereka yang setelah menerima kasih karunia Allah, tidak mememberi keleluasaan pada kasih karunia itu untuk menghasilkan perbuatan baik yang cocok untuk pertobatan (Mat 3:8). Dan sama seperti ada lebih banyak harapan untuk pertobatan sejati dari pemungut cukai dan pelacur yang ‘dingin’, yang ‘pergi ke surga’ (Mat 21:31) di depan orang-orang Farisi yang suam-suam kuku dan puas dengan dirinya sendiri, demikian juga ada lebih banyak harapan bagi orang berdosa yang belum bertobat dari pada ia, yang pernah dibangunkan pada suatu kesadaran akan kehendak Allah tetapi yang lalu jatuh lagi ke dalam suatu keadaan kelambanan yang puas diri dan ketidakpedulian] - hal 115.

Pulpit Commentary: “Spiritual indifferentism is a most incorrigible condition. Theoretical infidelity we may break down by argument, but moral indifferentism cannot be touched by logic. The spiritually indifferent man shouts out his Creed every Sunday, damns the atheist, and yet himself is ‘without God in the world.’” (= Sikap acuh tak acuh secara rohani merupakan kondisi yang paling tidak bisa diperbaiki. Kekafiran teoretis bisa dihancurkan oleh argumentasi, tetapi sikap acuh tak acuh secara moral tidak bisa disentuh oleh logika. Orang yang acuh tak acuh secara rohani mengucapkan Pengakuan Imannya dengan keras setiap hari Minggu, mengecam orang atheis, tetapi ia sendiri ‘tanpa Allah di dunia ini’) - hal 142.

Leon Morris (Tyndale): “‘There is no one farther from the truth in Christ than the one who make an idle profession without real faith’ (Walvoord)” [= Tidak ada orang yang lebih jauh dari kebenaran dalam Kristus dari pada orang yang membuat pengakuan yang tak berarti tanpa iman yang sejati (Walvoord)] - hal 82-83.

G. R. Beasley-Murray: “So alien to the spirit of Christ is the religious profession of the Laodiceans, John declares that the Lord would prefer them to be outright pagans. ... An honest atheist is more acceptable to the Lord than a self-satisfied religious man, for such a man’s religion has blunted his conscience and blinded him to his need for repentance. The road to the cross has always been easier for the publican than for the Pharisee” (= Pengakuan agamawi dari orang-orang Laodikia begitu asing bagi Roh Kristus, sehingga Yohanes menyatakan bahwa Tuhan lebih menginginkan mereka untuk menjadi kafir secara total. ... Seorang atheis yang jujur lebih bisa diterima oleh Tuhan dari pada seorang beragama yang puas dengan dirinya sendiri, karena agama dari orang seperti itu telah menumpulkan hati nuraninya dan membutakannya terhadap kebutuhan pertobatan. Jalan kepada salib selalu lebih mudah bagi pemungut cukai dari pada bagi orang Farisi) - hal 105.

Theodore H. Epp: “Seorang yang suam-suam kuku mempunyai indikasi kuat bahwa ia belum diselamatkan, tetapi juga bahwa ia merasa puas dengan dirinya sendiri dan sukar untuk beralih dari keadaan rohaninya yang acuh tak acuh. Masih lebih banyak harapan untuk keselamatan seorang yang sungguh-sungguh atheist, yang sama sekali tidak percaya akan Allah, daripada seorang yang mengaku beragama, yang merasa tinggi hati dan menipu dirinya sendiri. Para pemungut cukai dan orang sundal dapat lebih mudah dibawa masuk ke dalam kerajaan sorga daripada orang Farisi yang merasa dirinya suci dan tinggi hati” - hal 118.

5.   Matthew Poole menambahkan bahwa alasannya adalah: lebih baik tidak pernah mengenal kebenaran dari pada mengenal kebenaran tetapi hidup menentangnya (bdk. Luk 12:48  Ibr 6:4-6  Ibr 10:26-29  2Pet 2:21-22).

Sejalan dengan itu, William Barclay berkata:

“Hard as it may sound, the meaning of this terrible threat of the Risen Christ is that it is better not even to start on the Christian way than to start and then to drift into a conventional and meaningless Christianity. The fire must be kept burning” (= Sekalipun kedengarannya keras, arti dari ancaman yang menakutkan dari Kristus yang telah bangkit ini adalah bahwa lebih baik tidak pernah memulai pada jalan Kristen dari pada memulai dan lalu hanyut kepada kekristenan yang bersifat tradisi dan tak berarti. Api harus dijaga untuk terus menyala) - hal 142.

Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

·        2Pet 2:20-22 - “Sebab jika mereka, oleh pengenalan mereka akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus, telah melepaskan diri dari kecemaran-kecemaran dunia, tetapi terlibat lagi di dalamnya, maka akhirnya keadaan mereka lebih buruk dari pada yang semula. Karena itu bagi mereka adalah lebih baik, jika mereka tidak pernah mengenal Jalan Kebenaran dari pada mengenalnya, tetapi kemudian berbalik dari perintah kudus yang disampaikan kepada mereka. Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: ‘Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.’”.

·        Ibr 6:4-6 - “Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya, yang pernah mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, dan yang mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang, namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian, hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghinaNya di muka umum”.

·        Ibr 10:26-29 - “Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu. Tetapi yang ada ialah kematian yang mengerikan akan penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan semua orang durhaka. Jika ada orang yang menolak hukum Musa, ia dihukum mati tanpa belas kasihan atas keterangan dua atau tiga orang saksi. Betapa lebih beratnya hukuman yang harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-injak Anak Allah, yang menganggap najis darah perjanjian yang menguduskannya, dan yang menghina Roh kasih karunia?”.

b)   Dari 3 keadaan itu, tentu saja Tuhan paling senang melihat seseorang itu ‘panas’.

John Stott: “The idea of being on fire for Christ will strike some people as dangerous emotionalism. ‘Surely’, they will say, ‘we are not meant to go to extremes? You are not asking us to become hot-gospel fanatics?’ Well, wait a minute. It depends what you mean. If by ‘fanaticism’ you really mean ‘wholeheartedness’ then Christianity is a fanatical religion and every Christian should be a fanatic. But fanaticism is not wholeheartedness, nor is wholeheartedness fanaticism. Fanaticism is an unreasoning and unintelligent wholeheartedness. It is the running away of the heart with the head. ... ‘Commitment without reflexion is fanaticism in action; but reflexion without commitment is the paralysis of all action.’ What Jesus Christ desires and deserves is the reflexion which leads to commitment and the commitment which is born of reflexion. This is the meaning of wholeheartedness, or being aflame for God” (= Gagasan untuk ‘terbakar’ untuk Kristus akan dianggap oleh sebagian orang sebagai emosionalisme yang berbahaya. Mereka akan berkata: ‘Tentu saja kita tidak dimaksudkan untuk menjadi extrim, bukan? Engkau tidak meminta kita untuk menjadi orang yang fanatik terhadap injil?’ Nah, tunggu sebentar. Itu tergantung pada apa yang engkau maksudkan. Jika dengan ‘fanatisme’ engkau memaksudkan ‘ke-sepenuh-hati-an’ maka kekristenan adalah agama yang fanatik, dan setiap orang kristen harus menjadi seorang yang fanatik. Tetapi fanatisme bukanlah ‘ke-sepenuh-hati-an’ dan ‘ke-sepenuh-hati-an’ bukanlah fanatisme. Fanatisme merupakan ‘ke-sepenuh-hati-an yang tanpa akal’. Itu adalah hati yang terpisah dari kepala. ... ‘Komitmen tanpa pemikiran adalah fanatisme yang sedang beraksi; tetapi pemikiran tanpa komitmen merupakan pelumpuhan semua tindakan / aksi’. Apa yang diinginkan dan layak didapatkan oleh Yesus Kristus adalah pemikiran yang membawa kepada komitmen dan komitmen yang dilahirkan oleh pemikiran. Ini merupakan arti dari ke-sepenuh-hati-an, atau menyala bagi Allah) - hal 116-117.

Saudara mungkin bukanlah orang yang fanatik tanpa akal. Tetapi mungkin saudara adalah orang yang mempunyai pemikiran tetapi tidak disertai komitmen. Ingat bahwa Yesus menginginkan ‘pemikiran yang membawa kepada komitmen dan komitmen yang dilahirkan oleh pemikiran’.

3)   ‘Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu’.

a)   Kata-kata dari ancaman ini menunjukkan adanya perasaan jijik.

William R. Newell: “Either a hot drink on a cold day, or a cool one on a hot day, is acceptable and refreshing; lukewarm is neither, and disgusts” (= Atau minuman yang panas pada hari yang dingin, atau minuman yang dingin pada hari yang panas, bisa diterima dan menyegarkan; minuman yang suam-suam kuku tidak demikian, dan memuakkan) - hal 76.

Pulpit Commentary: “Nothing is so offensive to him as a corpse in religion’s cloak” (= Tidak ada yang begitu menjijikkan bagiNya seperti mayat yang berjubahkan agama) - hal 124.

b)   Sekalipun ini adalah ancaman yang keras, tetapi ini bukan suatu keputusan yang terakhir yang tidak bisa berubah.

James B. Ramsey: “The worst feature of such a condition is, that it so effectually conceals itself. ‘Thou knowest not.’ ... It seems to itself on the very threshold of heaven when ready to fall into the lowest hell. Such a church, with all its self-complacency and confidence, has less of the marks of a true church than any other that Christ acknowledges. It is on the very point of utter rejection, and that with abhorrence: ‘I will spew thee out of My mouth.’ As thus translated, these words seem to express the fixed and unchanging purpose or decision to reject it. This is too strong. The precise meaning is, ‘I am about’ to do this; implying still a brief interval allowed for repentance, before it is thus with loathing and violence rejected” (= Ciri yang terburuk dari kondisi seperti itu adalah bahwa kondisi itu menyembunyikan dirinya sendiri secara begitu efektif. ‘Engkau tidak tahu’. ... Bagi dirinya sendiri ia terlihat seperti ada di ambang pintu surga padahal sebetulnya ia siap untuk masuk ke dalam neraka yang paling rendah. Gereja seperti itu, dengan seluruh kepuasan dan keyakinannya mempunyai lebih sedikit tanda-tanda dari gereja yang benar dari pada gereja-gereja lain yang diakui Kristus. Gereja ini ada pada titik dimana mereka akan ditolak secara total, dan penolakan itu dilakukan dengan perasaan jijik. ‘Aku akan memuntahkan engkau dari mulutKu’. Diterjemahkan seperti itu, kata-kata ini kelihatannya menunjukkan tujuan atau keputusan yang tetap dan tidak berubah untuk menolak gereja itu. Tetapi ini terlalu kuat / keras. Arti yang tepat adalah, ‘Aku akan’ melakukan hal ini, menunjukkan secara tidak langsung bahwa tetap diberikan suatu jangka waktu yang singkat untuk pertobatan, sebelum gereja itu ditolak dengan rasa jijik dan dengan kekerasan) - hal 180.

Catatan: bagian yang saya garis-bawahi rupanya ditujukan untuk menentang pandangan orang-orang yang mempunyai pandangan seperti Hoeksema, yang mengatakan bahwa ay 16 ini menunjukkan kepastian penghakiman / penghukuman Tuhan, dalam arti mereka tidak diberi kesempatan untuk bertobat lagi. Kebanyakan penafsir tidak setuju dengan Hoeksema, karena adanya ay 18-20 menunjukkan bahwa mereka masih tetap diberi kesempatan untuk bertobat. Bandingkan dengan ancaman yang diberikan oleh Tuhan melalui Yunus kepada orang Niniwe (Yunus 3:4), yang juga tidak merupakan keputusan terakhir / pasti dari Allah untuk menghancurkan Niniwe.

c)   Akhirnya ancaman ini menjadi kenyataan.

John Stott: “Whether or not the Laodicean church heeded this warning we cannot say. Certainly the city, once prosperous and complacent, is now a miserable waste. ‘Nothing can exceed the desolation and melancholy appearance of the site of Laodicea’, says a recent traveller ... Archbishop Trench vividly portrays the scene: ‘All has perished now. He who removed the candlestick of Ephesus, has rejected Laodicea out of His mouth. The fragments of aqueducts and theatres spread over a vast extent of country tell of the former magnificence of this city; but of this once famous church nothing survives’” (= Apakah gereja Laodikia memperhatikan peringatan ini atau tidak, kita tidak bisa mengatakan. Yang jelas kota yang dahulu pernah makmur dan puas dengan diri sendiri ini, sekarang merupakan reruntuhan yang menyedihkan. ‘Tidak ada yang melebihi penampilan yang sunyi dan sedih dari peninggalan Laodikia’, kata seorang pelancong baru-baru ini ... Uskup besar Trench menggambarkan pemandangan itu secara hidup: ‘Sekarang semua telah binasa. Ia yang mengambil kaki dian dari Efesus, telah memuntahkan Laodikia dari mulutNya. Fragmen / pecahan-pecahan dari saluran-saluran air dan teater-teater tersebar di daerah yang luas menceritakan tentang kemegahan kota ini dahulu, tetapi tentang gereja yang pernah termasyhur ini, tidak ada apapun yang tertinggal’) - hal 120.

Pulpit Commentary: “The importance of this Church continued for some time, the celebrated Council of Laodicea being held there in A.D. 361, and a century later its bishop held a prominent position (Labbe, iv. p. 82, etc.). But its influence gradually waned, and the Turks pressed hardly upon it; so that at the present time it is little more than a heap of ruins. The warnings of the Apostles SS. Paul and John, if heeded at all for a time, were forgotten, and her candlestick was removed” [= Gereja ini tetap penting untuk waktu tertentu, dan ini ditunjukkan dengan penyelenggaraan Sidang gereja Laodikia di sini pada tahun 361 M., dan satu abad setelahnya uskup dari Laodikia memegang posisi yang menonjol (Labbe, iv. hal 82, dst.). Tetapi pengaruh gereja ini perlahan-lahan menyusut, dan orang-orang Turki menekannya dengan keras, sehingga pada saat ini itu hanya sedikit lebih dari setumpuk reruntuhan. Peringatan-peringatan dari rasul-rasul Paulus dan Yohanes, jika diperhatikan untuk sementara waktu, akhirnya dilupakan, dan kaki diannya disingkirkan] - hal 114.

d)   Ini juga merupakan peringatan bagi semua gereja / orang kristen yang suam-suam kuku.

Barnes’ Notes: “It may be remarked, also, that what was threatened to that church may be expected to occur to all churches, if they are in the same condition; and that all professing Christians, and Christian churches, that are lukewarm, have special reason to dread the indignation of the Saviour” (= Perlu diperhatikan juga bahwa apa yang diancamkan kepada gereja itu bisa diharapkan terjadi pada semua gereja, jika mereka ada dalam kondisi yang sama; dan bahwa semua orang yang mengaku sebagai orang Kristen dan gereja-gereja Kristen yang adalah suam-suam kuku, mempunyai alasan yang khusus untuk takut pada kemarahan Sang Juruselamat) - hal 1570.

Ay 17: “Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang”.

1)   ‘Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa’.

a)   ‘Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku’.

Barnes mengatakan bahwa kata-kata ini bisa diartikan secara jasmani maupun secara rohani.

·        Ada penafsir yang mengambil pandangan pertama (kaya jasmani), dan ini tentu saja masuk akal, karena Laodikia memang merupakan kota kaya.

·        Tetapi ada penafsir yang mengambil pandangan kedua (kaya rohani).

Robert H. Mounce (NICNT): “The ‘wealth’ claimed by the Laodicean church, however, was not material but spiritual” (= Tetapi kekayaan yang diclaim oleh Gereja Laodikia bukanlah kekayaan materi tetapi rohani) - hal 126.

Saya berpendapat ini tidak masuk akal. Tidak mungkin mereka tidak membicarakan kekayaan jasmaninya sama sekali.

Barnes sendiri (dan juga beberapa penafsir lain yang saya kutip di bawah) mengambil kedua-duanya, dan saya setuju dengan ini.

Barnes’ Notes: “It is not easy to determine which is the true sense; but may it not have been that there was an allusion to both, and that, in every respect, they boasted that they had enough? May it not have been so much the characteristic of that people to boast of their wealth, that they carried the spirit into everything, and manifested it even in regard to religion? Is it not true that they who have much of this world’s goods, when they make a profession of religion, are very apt to suppose that they are well off in everything, and to feel self-complacent and happy? And is not the possession of much wealth by an individual Christian, or Christian church, likely to produce just the lukewarmness which it is said existed in the church of Laodicea? ... the possession of great wealth tends to make a professed Christian self-complacent and satisfied in every respect; to make him feel that, although he may not have much religion, yet he is on the whole well off; and to produce, in religion, a state of just such lukewarmness as the Saviour here says was loathsome and odious” (= Tidak mudah untuk menentukan yang mana arti yang benar; tetapi tidakkah mungkin bahwa di sini ada suatu sindiran pada keduanya, dan bahwa dalam segala hal mereka membanggakan bahwa mereka telah cukup? Tidakkah mungkin bahwa orang-orang yang membanggakan kekayaannya membawa semangat itu pada segala sesuatu, dan bahkan mewujudkannya dalam persoalan agama? Tidakkah benar bahwa mereka yang mempunyai banyak harta benda dunia ini, pada waktu membuat pengakuan agama, cenderung untuk beranggapan bahwa mereka kaya dalam segala sesuatu, dan merasa puas diri dan senang? Dan bukankah pemilikan dari kekayaan yang besar oleh seorang individu Kristen, atau gereja Kristen, sangat mungkin untuk menyebabkan kesuaman persis seperti yang ada dalam gereja Laodikia? ... pemilikan kekayaan yang besar cenderung untuk menyebabkan seorang yang mengaku Kristen merasa puas dalam segala hal; menyebabkan ia merasa bahwa sekalipun ia tidak terlalu religius, tetapi secara keseluruhan ia kaya / beruntung; dan menghasilkan, dalam agama, suatu keadaan kesuaman yang dikatakan oleh Sang Juruselamat di sini sebagai memuakkan dan menjijikkan) - hal 1570.

George Eldon Ladd: “No doubt part of her problem was the inability to distinguish between material and spiritual prosperity. The church that is prospering materially and outwardly can easily fall into the self-deception that her outward prosperity is the measure of her spiritual prosperity” (= Tidak diragukan bahwa sebagian problem gereja ini adalah ketidak-mampuan untuk membedakan antara kemakmuran materi dan kemakmuran rohani. Gereja yang makmur secara materi dan lahiriah bisa dengan mudah jatuh ke dalam penipuan diri sendiri dengan mengira bahwa kemakmuran lahiriahnya merupakan ukuran dari kemakmuran rohaninya) - hal 66.

William Hendriksen: “Laodicea was especially famous for its wealth. ... Perhaps they imagined that their wealth was a sign of God’s special favour. ... They boasted of their spiritual riches. ... It is easy to see that these people were not troubled with any consciousness of sin” (= Laodikia termasyhur khususnya karena kekayaannya. ... Mungkin mereka berkhayal bahwa kekayaan mereka merupakan suatu tanda perkenan yang khusus dari Allah. ... Mereka membanggakan kekayaan rohani mereka. ... Adalah mudah untuk melihat bahwa orang-orang ini tidak diganggu dengan kesadaran dosa apapun) - hal 76.

b)   ‘dan aku tidak kekurangan apa-apa’.

Saya berpendapat bahwa kata-kata ini tidak boleh diartikan bahwa mereka adalah orang yang puas dengan kekayaan jasmaninya. Mengapa? Karena itu merupakan sesuatu yang baik (1Tim 6:6-8), sedangkan bagian ini ditulis sebagai suatu kritik.

Lalu apa arti kata-kata ini? Perhatikan kutipan-kutipan di bawah ini.

William R. Newell: “‘Need of nothing’: the loss of a sense of need, as the drowsiness that besets a freezing man, is fatal” (= ‘Tidak kekurangan apa-apa’: kehilangan perasaan membutuhkan, seperti perasaan mengantuk yang menimpa seseorang yang membeku, adalah fatal) - hal 77.

Barnes’ Notes: “It is almost unavoidable that those who are rich in this world’s goods should feel that they have need of nothing. There is no more common illusion among men than the feeling that if one has wealth, he has everything; that there is no want of his nature which cannot be satisfied with that; and that he may now sit down in contentment and ease. ... Comp. Luke 12:19” (= Hampir tidak terhindarkan bahwa mereka yang kaya dalam harta benda dunia ini merasa bahwa mereka tidak membutuhkan apapun. Tidak ada khayalan yang lebih umum di antara manusia dari pada perasaan bahwa jika seseorang memiliki kekayaan, ia mempunyai segala sesuatu; dan bahwa tidak ada kebutuhan yang tidak bisa dipuaskan dengan kekayaan itu; dan bahwa sekarang ia boleh duduk dalam kepuasan dan kesenangan / ketenteraman. ... Bdk. Luk 12:19) - hal 1570.

Luk 12:19 - “Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!”.

Steve Gregg: “Wealth has a way of imparting a false sense of self-sufficiency - the very antithesis of the beggarliness of spirit commended in the Sermon of the Mount (Matt. 5:3)” [= Kekayaan mempunyai cara untuk memberikan / menanamkan perasaan puas diri yang palsu - lawannya, yaitu kemiskinan roh dipuji / dihargai dalam Khotbah di Bukit (Mat 5:3)] - hal 79.

Mat 5:3 - “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”.

NIV: ‘Blessed are the poor in spirit, for theirs is the kingdom of heaven’ (= Berbahagialah / diberkatilah mereka yang miskin dalam roh, karena merekalah yang empunya kerajaan surga).

Kalau saudara adalah orang kaya yang merasa puas dengan keadaan saudara, dan saudara merasa bahwa dengan uang itu saudara bisa mendapatkan apapun, maka renungkan kata-kata di bawah ini.

What money cannot buy.

“Money will buy a bed but not sleep; books but not brains; food but not appetite; finery but not beauty; a house but not a home; medicine but not health; luxuries but not culture; amusements but not happiness; religion but not salvation; a passport to everywhere but heaven” (= Uang bisa membeli ranjang tetapi tidak bisa membeli tidur; buku-buku tetapi tidak otak; makanan tetapi tidak nafsu makan; pakaian bagus / perhiasan tetapi tidak kecantikan; rumah tetapi tidak suasana rumah yang menyenangkan; obat tetapi tidak kesehatan; barang-barang lux / kemewahan tetapi tidak kebudayaan; hiburan tetapi tidak kebahagiaan; agama tetapi tidak keselamatan; sebuah paspor kemana saja kecuali ke surga).

G. R. Beasley-Murray: “Laodicea was much like Sardis: an example of nominal, self-satisfied Christianity. One major difference is that at Sardis there remained a nucleus who had preserved a vital faith (3:4), while the entire Laodicean church was permeated by complacency” [= Laodikia sangat mirip dengan Sardis: suatu contoh dari ke-kristen-KTP-an yang puas diri. Satu perbedaan besar adalah bahwa di Sardis masih tersisa suatu inti yang masih memelihara iman yang hidup (3:4), sementara seluruh Gereja Laodikia diresapi oleh rasa puas diri] - hal 64.

Kekayaan gereja Laodikia yang menyebabkan mereka menjadi seperti itu, mirip dengan Israel pada jaman dahulu, seperti yang dikatakan dalam Ul 32:15,18 di bawah ini.

Ul 32:15,18 - “Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, - bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun - dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya. ... Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau”.

Karena itu, janganlah mengejar kekayaan, dan naikkanlah doa yang ada dalam Amsal 30:8b-9 ini.

Amsal 30:8b-9 - “Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkalMu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku”.

2)   ‘dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang’.

a)   ‘engkau tidak tahu’.

·        Merupakan suatu kondisi yang sangat menyedihkan, atau mungkin paling menyedihkan, dimana seseorang ada dalam kondisi rohani yang sangat jelek, tetapi ia sendiri tidak mengetahuinya.

Robert H. Mounce (NICNT): “And saddest of all, they did not realize their wretched condition” (= Dan yang paling menyedihkan dari semua, mereka tidak menyadari kondisi mereka yang malang / sangat buruk) - hal 126.

James B. Ramsey: “The worst feature of such a condition is, that it so effectually conceals itself. ‘Thou knowest not.’ ... It seems to itself on the very threshold of heaven when ready to fall into the lowest hell” (= Ciri terburuk dari kondisi seperti itu adalah bahwa kondisi itu menyembunyikan dirinya sendiri secara begitu efektif. ‘Engkau tidak tahu’. ... Gereja ini melihat dirinya sendiri pada ambang pintu surga pada waktu ia sebetulnya siap untuk jatuh ke dalam neraka yang terdalam) - hal 180.

Herman Hoeksema: “it was exactly this awful contrast between their actual condition and the opinion which they had of themselves that made them perfectly nauseating and that at the same time made their condition so hopeless. For indeed, the publican, who knows and confesses his wretchedness, is justified; but what hope is there for the miserable Pharisee, who thanks God for his own goodness?” (= kontras yang jelek / mengerikan antara keadaan mereka yang sebetulnya dan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri inilah yang membuat mereka benar-benar memuakkan dan yang pada saat yang sama membuat kondisi mereka begitu tanpa harapan. Karena memang, pemungut cukai yang mengetahui dan mengakui kemalangan / keburukannya, dibenarkan; tetapi harapan apa yang ada untuk orang Farisi yang sangat buruk / menyedihkan, yang bersyukur kepada Allah untuk kebaikannya sendiri?) - hal 142.

·        Sekarang mari kita bandingkan ay 17a dengan ay 17b (‘engkau berkata .... engkau tidak tahu’). Memang orang yang tidak tahu, seringkali berani berkata-kata dan bahkan terlalu berani berkata-kata, seakan-akan ia adalah orang yang mempunyai banyak pengetahuan. Dan ini biasanya ada dalam diri orang yang kaya seperti orang-orang Laodikia, tetapi tidak jarang juga ada dalam diri orang yang tidak kaya!

Kalau saudara adalah orang seperti itu, sebaiknya baca dan renungkan beberapa ayat Kitab Suci di bawah ini.

*        Amsal 10:19 - “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi”.

*        Amsal 12:23 - “Orang yang bijak menyembunyikan pengetahuan-nya, tetapi hati orang bebal menyeru-nyerukan kebodohan”.

*        Amsal 17:28 - “Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia berdiam diri dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya”.

*        Amsal 18:12 - “Orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya”.

*        Amsal 26:12 - “Jika engkau melihat orang yang menganggap dirinya bijak, harapan bagi orang bebal lebih banyak dari pada bagi orang itu”.

*        Amsal 29:20 - “Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya; harapan lebih banyak bagi orang bebal dari pada bagi orang itu”.

b)   Penggambaran Yesus tentang orang kristen Laodikia.

Sekalipun mereka menganggap diri mereka sendiri kaya dan tidak kekurangan apa-apa, tetapi Yesus menggambarkan mereka sebagai ‘melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang’.

Steve Gregg: “Each descriptive word was ironic, in view of the local medical school, the banks, the eye salve, the textile industry for which the city was famed” (= Setiap kata yang menggambarkan keadaan mereka merupakan sesuatu yang bersifat ironi / ejekan, mengingat akan sekolah medis, bank-bank, salep mata, industri textil tentang mana kota itu termasyhur) - hal 79.

1.   ‘melarat’. Ini salah terjemahan!

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘wretched’ (= sangat buruk / malang).

Hoeksema (hal 140) mengatakan bahwa kata yang diterjemahkan ‘wretched’ ini dalam bahasa Yunaninya sama dengan kata yang dipakai oleh Paulus dalam Ro 7:24 - “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?”.

NIV: ‘What a wretched man I am! Who will rescue me from this body of death?’ (= Aku betul-betul seorang manusia yang malang! Siapa yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?).

2.   ‘malang’.

KJV/NASB: ‘miserable’ (= menyedihkan / miskin).

RSV: ‘pitiable’ (= menyedihkan / yang menimbulkan belas kasihan).

NIV: ‘pitiful’ (= menyedihkan / yang menimbulkan belas kasihan).

Kata Yunani yang sama digunakan oleh Paulus dalam 1Kor 15:19 - “Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia”.

Barnes’ Notes: “There is no more pitiable condition than that where one has great property, and is self-complacent and proud, and who has nevertheless no God, no Saviour, no hope of heaven, and who perhaps that very day may ‘lift up his eyes in hell, being in torments.’” (= Tidak ada kondisi yang lebih menyedihkan / menimbulkan belas kasihan dari pada kondisi dimana seseorang mempunyai banyak kekayaan, dan merasa puas diri dan bangga, tetapi yang sebetulnya tidak mempunyai Allah, Juruselamat, pengharapan tentang surga, dan yang mungkin pada hari itu akan ‘mengangkat matanya / pandangannya dalam neraka, sementara ia ada dalam siksaan’) - hal 1571.

Catatan: bagian terakhir itu merupakan kutipan dari Luk 16:23a versi KJV, dan menunjukkan sikap / tindakan orang kaya pada waktu ada dalam neraka, dimana ia memandang ke surga dan melihat Abraham dan Lazarus dalam pelukan Abraham.

William Hendriksen: “Who is more to be pitied than an individual who imagines that he is a fine Christian, whereas in reality the Christ Himself is utterly disgusted with him?” (= Siapa yang lebih harus dikasihani dari pada  seseorang yang membayangkan bahwa ia adalah seorang Kristen yang baik, padahal dalam kenyataannya Kristus sendiri sama sekali muak terhadapnya?) - hal 77.

3.   ‘miskin’.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘poor’ (= miskin).

·        Kata Yunani yang digunakan adalah PTOCHOS, yang menunjukkan ‘miskin tanpa punya apa-apa sama sekali’. Ini tentu digunakan di sini dalam arti rohani. Ini berbeda dan bahkan bertentangan dengan miskin rohani yang dibicarakan oleh Mat 5:3. Dalam Mat 5:3 itu orang yang miskin secara rohani disebut ‘berbahagia / diberkati’ dan dikatakan sebagai pemilik kerajaan surga, karena miskin rohani di sana berarti bahwa orangnya sadar bahwa dirinya penuh dengan dosa (jemaat Laodikia jelas tidak seperti ini). Tetapi miskin rohani yang dibicarakan di sini, adalah dalam arti bahwa di surga mereka tidak mempunyai apa-apa. Ini sama seperti ‘tidak kaya di hadapan Allah’ dalam Luk 12:21b.

·        Barnes’ Notes: “men may think themselves to be rich, and yet, in fact, be miserably poor. They may have the wealth of this world in abundance, and yet have nothing that really will meet their wants in disappointment, bereavement, sickness, death; the wants of the never-dying soul; their wants in eternity” (= manusia bisa mengira diri mereka kaya, tetapi dalam faktanya mereka sangat miskin. Mereka mungkin mempunyai kekayaan dunia ini secara berlimpah-limpah, tetapi tidak mempunyai apapun yang betul-betul memenuhi kebutuhan mereka pada waktu mereka kecewa, kehilangan, sakit, mati; kebutuhan dari jiwa yang tidak pernah mati; kebutuhan mereka dalam kekekalan) - hal 1571. Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

*        Luk 12:15 - “KataNya lagi kepada mereka: ‘Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.’”.

*        Luk 12:21 - “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.

*        Amsal 11:4 - “Pada hari kemurkaan harta tidak berguna, tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut”.

·        Herman Hoeksema: “Spiritual poverty and spiritual pride went together” (= Kemiskinan rohani dan kesombongan rohani berjalan bersama-sama) - hal 142.

·        Gereja Laodikia ini bertentangan dengan gereja Smirna yang dalam Wah 2:9 dikatakan miskin (secara jasmani), tetapi kaya (secara rohani).

4.   ‘buta’.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘blind’ (= buta).

·        Ini juga dalam arti rohani. Kebutaan inilah yang  menyebabkan semua dugaan / anggapan mereka tentang diri mereka sendiri begitu salah, dan bahkan terbalik. Bandingkan dengan Yoh 9:39-41 - “Kata Yesus: ‘Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta.’ Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepadaNya: ‘Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?’ Jawab Yesus kepada mereka: ‘Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.’”.

·        kebutaan rohani bisa ada karena 2 hal, yaitu:

*        tidak adanya kelahiran baru. Sebetulnya inilah kebutaan yang sungguh-sungguh.

*        ketidak-mengertian terhadap Firman Tuhan. Kalau seseorang sudah dilahirbarukan, sebetulnya ia tidak lagi buta. Tetapi kalau ia tidak mempunyai pengetahuan Firman Tuhan, maka ia seperti orang melek yang ada dalam gelap, sehingga secara praktis sama dengan buta.

Penerapan:

Karena itu rajin dan tekunlah belajar Firman Tuhan.

5.   ‘telanjang’.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘naked’ (= telanjang).

Ini juga dalam arti rohani.

Barnes’ Notes: “Salvation is often represented as a garment, (Matt. 22:11,12; Rev. 6:11; 7:9,13,14;) and the declaration here is equivalent to saying that they had no religion” [= Keselamatan sering digambarkan sebagai pakaian (Mat 22:11,12; Wah 6:11; 7:9,13,14) dan pernyataan di sini sama dengan mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai agama] - hal 1571.

G. R. Beasley-Murray: “Despite their overflowing banks they are poor; despite their physicians and medicaments they are blind; despite their clothing factories, they are naked. They are in truth wretched and pitiable” (= Sekalipun mereka mempunyai bank-bank yang melimpah mereka miskin; sekalipun mereka mempunyai dokter-dokter dan obat-obat mereka buta; sekalipun mereka mempunyai pabrik-pabrik pakaian, mereka telanjang. Sebenarnya mereka malang dan perlu dikasihani) - hal 106.

c)   Mengapa jemaat Laodikia bisa ada dalam kondisi seperti itu? Salah satu penyebabnya, yang sudah kita bahas di depan, adalah kekayaan jasmani / duniawi. Tetapi Hoeksema memberikan kemungkinan penyebab yang lain, yaitu pendeta yang brengsek dari gereja Laodikia.

Herman Hoeksema: “The development of the church is often thus, that the leader, the angel, the minister of the church, becomes lax dan unfaithful and falls away first of all; and the congregation gradually follows. I imagine that the angel of Laodicea was a well-satisfied, easy going, good-for-nothing sort of man. He must have been a man who always spoke of peace where there was no peace. He lacked the courage to lay his finger on the sore spots. He was no fighter. He attempted to find out what the opinion of his people was before he expressed his own. And so he gradually flattered them into their self-satisfied condition. He preached no sin and condemnation; or, if he did, he knew how to do it in such a way that nobody could possibly be offended. He left the people blind and poor and naked; and he told them that they were rich and that their goods increased. Thus, I imagine, did the angel of the church in Laodicea behave. Small wonder, then, that the congregation followed!” (= Perkembangan dari gereja seringkali demikian, dimana sang pemimpin, sang malaikat, sang pendeta dari gereja itu yang pertama-tama menjadi lalai dan tidak setia dan melemah; dan jemaat mengikuti secara bertahap. Saya membayangkan bahwa sang malaikat dari gereja Laodikia adalah seorang yang puas diri, orang santai / orang yang tidak mau repot, orang yang tidak baik untuk apapun. Ia pasti adalah orang yang selalu mengatakan damai sejahtera pada saat di sana tidak ada damai sejahtera (bdk. Yer 6:14  Yer 8:11  Yeh 13:10). Ia tidak mempunyai keberanian untuk menunjuk pada titik yang sakit. Ia bukan seorang petarung. Ia berusaha untuk mengetahui pandangan dari jemaatnya sebelum ia menyatakan pandangannya sendiri. Dan dengan demikian ia secara bertahap menjilat mereka sehingga menjadikan mereka masuk ke dalam kondisi puas diri. Ia tidak berkhotbah tentang dosa dan hukuman / kutukan; atau, jika ia melakukannya, ia tahu bagaimana melakukannya sedemikian rupa sehingga tidak seorangpun yang bisa tersinggung. Ia membiarkan jemaatnya buta dan miskin dan telanjang; dan ia memberitahu mereka bahwa mereka kaya dan bahwa harta mereka bertambah. Demikianlah saya membayangkan kelakuan dari malaikat gereja Laodikia. Karena itu, tidak heran bahwa jemaat mengikuti!) - hal 142.

Ay 18: “maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari padaKu emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat”.

Pulpit mengatakan (hal 116) bahwa ada yang menghubungkan ay 18 dengan ay 17, dan ada yang menghubungkan ay 18 dengan ay 16. Saya memilih yang pertama.

1)   ‘maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari padaKu’.

a)   ‘Aku menasihatkan engkau’.

Dalam setiap keadaan, apalagi dalam keadaan rohani yang buruk, kita membutuhkan nasihat Tuhan. Lagi-lagi ini merupakan sesuatu yang seharusnya mendorong kita untuk makin banyak belajar Firman Tuhan!

b)   ‘membeli.

Ada beberapa penafsiran yang perlu diperhatikan tentang kata ‘membeli’ ini:

·        kata ‘membeli’ tidak menunjuk pada ‘keselamatan karena usaha kita’.

Kata ‘membeli’ di sini, dan demikian juga dalam Mat 13:44-46, tidak boleh diartikan bahwa keselamatan didapatkan dengan usaha kita, karena ini akan bertentangan dengan Ro 3:24 (‘dengan cuma-cuma’) dan Yes 55:1 (‘tanpa uang pembeli ... tanpa bayaran’).

John Stott: “But why does He recommend the Laodiceans to buy from Him? Can salvation be bought? No. Certainly not. It is a free gift to us because it was purchased by Christ on the cross. His invitation ‘buy from me’ should not be pressed. He is doubtless using language appropriate to the commercially-minded Laodiceans. He likens Himself to a merchant who visits the city to sell his wares and goes into competition with other salesmen. ... Perhaps also He is thinking of Jehovah’s appeal: ‘Ho, every one who thirsts, come to the waters; and he who has no money, come, buy and eat! Come, buy wine and milk without money and without price’ (Is. 55:1)” [= Tetapi mengapa Ia menasihatkan jemaat Laodikia untuk membeli dari padaNya? Bisakah keselamatan dibeli? Tidak. Pasti tidak. Itu merupakan karunia cuma-cuma bagi kita karena itu dibeli oleh Kristus pada kayu salib. UndanganNya ‘belilah dari padaKu’ tidak boleh ditekankan. Tidak diragukan bahwa Ia menggunakan bahasa yang cocok dengan jemaat Laodikia yang mempunyai pikiran dagang. Ia menyamakan diriNya sendiri dengan seorang pedagang yang mengunjungi kota itu untuk menjual barang-barangnya dan bersaing dengan penjual-penjual yang lain. ... Mungkin ia juga memikirkan seruan Yehovah: ‘Hai, setiap orang yang haus, datanglah kepada air; dan ia yang tidak mempunyai uang, datanglah dan makanlah! Datanglah, belilah anggur dan susu tanpa uang dan tanpa harga’ (Yes 55:1)] - hal 122.

Catatan: Yes 55:1 ini diambil dari RSV dan saya terjemahkan dari RSV.

Bdk. Yes 55:1 versi Kitab Suci Indonesia: “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran”.

William R. Newell: “Grace is ever free. We buy it ‘without money and without price,’ although it cost Christ the fire of God’s judgment to get it for us” (= Kasih karunia selalu cuma-cuma. Kita membelinya ‘tanpa uang dan tanpa harga’, sekalipun Kristus harus menanggung api penghakiman Allah untuk mendapatkannya bagi kita) - hal 77.

·        sekalipun keselamatan itu cuma-cuma, tetapi kata ‘membeli’ menunjukkan bahwa kita harus rela berkorban demi keselamatan tersebut.

Pulpit Commentary: “Yet it was to be bought, and would entail the sacrifice of something which, though perhaps dear to them, would be nothing in comparison with the return they would obtain” (= Tetapi itu harus dibeli, dan akan memerlukan pengorbanan sesuatu, yang sekalipun mereka cintai, tidak ada artinya dibandingkan dengan apa yang akan mereka dapatkan sebagai gantinya) - hal 116.

Bandingkan dengan:

*        Mat 13:44 - “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu”.

*        Mat 13:45-46 - “Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu”.

*        Mark 9:43-48 - “Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung dari pada dengan utuh kedua tanganmu dibuang ke dalam neraka, ke dalam api yang tak terpadamkan; (di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.) Dan jika kakimu menyesatkan engkau, penggallah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam hidup dengan timpang, dari pada dengan utuh kedua kakimu dicampakkan ke dalam neraka; (di tempat itu ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.) Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah, karena lebih baik engkau masuk ke dalam Kerajaan Allah dengan bermata satu dari pada dengan bermata dua dicampakkan ke dalam neraka, di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam”.

·        ‘membeli’ menunjuk pada hati yang remuk / sedih / menyesal.

Pulpit Commentary: “He bids them ‘buy of me.’ But if they were so poor, how could they buy? ‘The sacrifices of God are a broken spirit: a broken and a contrite heart, O God, thou wilt not despise.’ This is the money wherewith they must buy” (= Ia meminta mereka ‘belilah dari padaKu’. Tetapi jika mereka begitu miskin, bagaimana mereka bisa membeli? ‘Korban Allah adalah roh yang patah / hancur: hati yang patah dan menyesal, ya Allah, tidak akan Engkau pandang hina’) - hal 133.

Catatan: ayat dalam kutipan di atas diambil dari Maz 51:19 / Psalm 51:17 versi KJV.

c)   ‘dari padaKu’.

John Stott: “We must not miss the emphasis which is laid on the words ‘from me’. It was this above all that the Laodiceans had to learn. They considered themselves self-sufficient; they must humbly find their sufficiency in Christ. They were saying ‘I need nothing’; they must come to admit that their need was great and that only Christ could supply it. They said, ‘I am rich, I have prospered, and I need nothing’. Jesus Christ had to humble that boastful personal pronoun and lay it in the dust, and say ‘it is from Me that your salvation comes’.” [= Kita harus melihat penekanan yang diberikan pada kata-kata ‘dari padaKu’. Diatas segala-galanya inilah yang harus dipelajari oleh jemaat Laodikia. Mereka menganggap diri mereka sendiri cukup; mereka harus dengan rendah hati mendapatkan kecukupan mereka dalam Kristus. Mereka berkata: ‘Aku tidak membutuhkan / kekurangan apa-apa’; mereka harus mengakui bahwa mereka mempunyai kebutuhan yang besar dan bahwa hanya Kristus yang bisa memberikannya / menyuplainya. Mereka berkata: ‘Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku, dan aku tidak membutuhkan / kekurangan apa-apa’. Yesus Kristus harus merendahkan kata ganti orang yang sombong (maksudnya kata ‘aku’ dalam ay 17a) dan meletakkannya di tanah dan berkata: ‘dari padaKulah keselamatanmu datang’] - hal 121-122.

2)   emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat’.

Herman Hoeksema: “gold and eyesalve and garments here represent the riches of grace as they are all in Christ Jesus our Lord. They represent those riches which the church of Laodicea so sorely needed and lacked. And they are blessings of grace in the most absolute sense of the word. The sinner has nothing wherewith he would be able to buy them” (= emas dan salep mata dan pakaian di sini menggambarkan kekayaan kasih karunia sebagaimana mereka semua ada dalam Kristus Yesus Tuhan kita. Hal-hal itu mewakili kekayaan yang sangat dibutuhkan dan yang tidak dimiliki oleh gereja Laodikia. Dan hal-hal itu adalah berkat dari kasih karunia dalam arti yang paling mutlak dari kata itu. Orang berdosa tidak mempunyai apapun dengan mana ia bisa membelinya) - hal 145.

William Hendriksen: “‘People of Laodicea, you need to become new creatures: you need new hearts. Turn to me, therefore, that ye may be saved.’ ... Christ counsels this church to buy of Him - ‘of me’ is very emphatic - gold refined by fire, white garments, and eyesalve. In brief: ‘buy of me salvation’, for salvation is gold because it makes rich (2Cor. 8:9); it is white robes because it covers the nakedness of our guilt and clothes us with righteousness, holiness, and joy in the Lord; it is eyesalve because when we possess it we are no longer spiritually blind” (= ‘Jemaat Laodikia, kamu harus menjadi ciptaan baru: kamu membutuhkan hati yang baru. Karena itu, berbaliklah kepadaKu, supaya kamu diselamatkan’. ... Kristus menasehati gereja ini untuk membeli dari Dia - kata ‘dariKu’ sangat ditekankan - emas yang dimurnikan oleh api, pakaian putih, dan salep mata. Singkatnya: ‘belilah dari Aku keselamatan’, karena keselamatan adalah emas karena itu membuat kaya (2Kor 8:9); keselamatan adalah pakaian putih karena itu menutupi ketelanjangan dari kesalahan  kita dan memakaiani kita dengan kebenaran, kekudusan, dan sukacita dalam Tuhan; keselamatan adalah salep mata karena pada waktu kita memilikinya kita tidak lagi buta secara rohani) - hal 77-78.

Kata-kata ini menunjukkan bahwa Hendriksen menganggap mereka belum bertobat dan hanya Kristen KTP.

a)   Emas yang telah dimurnikan dalam api.

Ada yang menganggap bahwa ‘emas yang telah dimurnikan dalam api’ menunjuk pada iman. Ini didasarkan pada 1Pet 1:7 yang berbunyi: “Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu - yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api - sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diriNya”.

Tetapi saya sependapat dengan Beasley-Murray yang mengatakan bahwa di sini ‘iman’ disimbolkan dengan ‘tindakan membeli’, sedangkan ‘emas’ menyimbolkan ‘kekayaan rohani’ yang diberikan oleh Allah kepada orang yang beriman.

G. R. Beasley-Murray: “The wealth of faith is often mentioned in the New Testament (Lk. 12:21, Jas 2:5, 1Pet. 1:7), but since the ‘purchase’ of these desirable possessions itself represents the exercise of faith in God (see Isa. 55:1 - the purchase is ‘without money and without price’), the symbolism points rather to the riches bestowed by God to men of faith” [= Kekayaan dari iman sering disebutkan dalam Perjanjian Baru (Luk 12:21  Yak 2:5  1Pet 1:7), tetapi karena ‘pembelian’ dari milik yang diinginkan ini sendiri menggambarkan iman kepada Allah (lihat Yes 55:1 - pembelian adalah ‘tanpa uang dan tanpa harga’), maka simbolisme ini (emas) lebih menunjuk pada kekayaan yang diberikan oleh Allah kepada orang yang percaya] - hal 106.

Wilson membandingkan emas ini dengan 2Kor 8:9, sedangkan Homer Hailey membandingkannya dengan Kol 2:3.

2Kor 8:9 - “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya”.

Kol 2:3 - “sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan”.

b)   Pakaian putih.

William Barclay: “Laodicea prides itself on the magnificent garments it produces but spiritually it is naked and nakedness is shame. ... There is little point in a man adorning his body, if he has nothing to adorn his soul. Not all the clothes in the world will beautify a person whose nature is twisted and whose character is ugly” (= Laodikia membanggakan dirinya sendiri karena pakaian yang sangat indah yang mereka produksi, tetapi secara rohani mereka telanjang dan ketelanjangan merupakan sesuatu yang memalukan. ... Tidak terlalu ada artinya bagi seseorang untuk menghiasi / memperindah tubuhnya, jika ia tidak mempunyai apa-apa untuk menghiasi / memperindah jiwanya. Semua pakaian di dunia inipun tidak bisa mempercantik seseorang yang secara alamiah berbelat-belit dan yang karakternya jelek) - hal 144.

Robert H. Mounce (NICNT): “The Laodiceans need white garments as well to cover the shame of their nakedness. A contrast with the black woolen fabric for which the city was famous could be intended, but the figure of white garments as symbolic of righteousness is so widely used in Revelation (3:4,5; 4:4; 6:11; 7:9,13-14; 19:14) that no local allusion is necessary. In the Biblical world nakedness was a symbol of judgment and humiliation” [= Jemaat Laodikia juga membutuhkan pakaian putih untuk menutupi ketelanjangan mereka yang memalukan. Memang memungkinkan untuk memaksudkan suatu kontras dengan kain wol hitam untuk mana kota ini terkenal, tetapi pakaian putih sebagai simbol kebenaran begitu banyak digunakan dalam kitab Wahyu (3:4,5; 4:4; 6:11; 7:9,13-14; 19:14) sehingga tidak diperlukan kiasan lokal. Dalam dunia Alkitab ketelanjangan merupakan simbol dari penghakiman dan perendahan] - hal 127.

Geoffrey B. Wilson menghubungkan ‘pakaian putih’ ini dengan Yes 61:10 - “Aku bersukaria di dalam TUHAN, jiwaku bersorak-sorai di dalam Allahku, sebab Ia mengenakan pakaian keselamatan kepadaku dan menyelubungi aku dengan jubah kebenaran, seperti pengantin laki-laki yang mengenakan perhiasan kepala dan seperti pengantin perempuan yang memakai perhiasannya”.

Wilson juga menghubungkan ‘pakaian putih’ ini dengan dengan kata-kata dari lagu Rock of Ages, cleft for me’, yang pada bait ke 3nya mempunyai kalimat yang berbunyi: ‘Naked, come to Thee for dress’ (= Telanjang, datang kepadaMu untuk pakaian).

Rock of Ages, cleft for me’.

Rock of Ages, cleft for me, (= Batu karang jaman, celah bagiku,)

Let me hide myself in Thee; (= Biarlah aku menyembunyikan diriku di dalamMu,)

Let the water and the blood, (= Biarlah air dan darah,)

From Thy riven side which flowed, (= yang mengalir dari rusuk / sisiMu yang terluka,)

Be of sin the double cure, (= menjadi penyembuhan / pengobatan ganda bagi dosa,)

Cleanse me from its guilt and power (= mencuci aku dari kesalahan dan kuasanya).

Not the labors of my hands, (= bukan pekerjaan tanganku,)

Can fulfill Thy law’s demands; (= Dapat memenuhi tuntutan hukumMu;)

Could my zeal no respite know, (= Andaikata semangatku tidak mengenal istirahat,)

Could my tears forever flow, (= Andaikata airmataku mengalir selama-lamanya,)

All for sin could not atone; (= Semua itu tidak bisa menebus dosa;)

Thou must save, and Thou alone. (= Engkau harus menyelamatkan, dan Engkau saja).

Nothing in my hand I bring, (= Tidak ada yang kubawa dalam tanganku,)

Simply to Thy cross I cling; (= Hanya kepada salib aku berpegang;)

Naked, come to Thee for dress, (= Telanjang, datang kepadaMu untuk pakaian,)

Helpless, look to Thee for grace; (= Tak berdaya, memandangMu untuk kasih karunia;)

Foul, I to the fountain fly, (= Kotor, Aku terbang kepada air mancur,)

Wash me, Saviour, or I die! (= Cucilah aku, Juruselamat, atau aku mati).

While I draw this fleeting breath, (= Sementara waktu aku menarik nafas penghabisan,)

When mine eyes shall close in death, (= Ketika mataku tertutup dalam kematian,)

When I soar to worlds unknown, (= Ketika aku terbang ke dunia tak dikenal,)

See Thee on Thy judgment throne, (= melihatMu pada tahta penghakimanMu,)

Rock of Ages, cleft for me, (= Batu karang jaman, celah bagiku,)

Let me hide myself in Thee; (= Biarlah aku menyembunyikan diriku di dalamMu,)

c)   Minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.

Ini tentu dihubungkan dengan kebutaan mereka dalam ay 17.

Barnes’ Notes: “the grace of the gospel enables men who were before blind to see clearly the character of God, the beauty of the way of salvation, the loveliness of the person and work of Christ, etc.” (= kasih karunia injil memampukan manusia yang tadinya buta untuk melihat dengan jelas karakter Allah, keindahan jalan keselamatan, keindahan pribadi dan pekerjaan Kristus dsb.) - hal 1571.

Ay 19: “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”.

1)   Robert H. Mounce (NICNT) mengatakan bahwa ada orang (Ramsay) yang menganggap ay 19-22 bukan sebagai bagian / konklusi dari surat kepada gereja Laodikia, tetapi sebagai: “an epilogue to all seven letters” (= bagian akhir / kesimpulan / penutup dari ketujuh surat) - hal 127. Tetapi Mounce menambahkan (hal 128) bahwa jarang ada orang yang mengikuti pandangan Ramsay dalam persoalan ini.

2)   Hendriksen (hal 78) mengatakan bahwa tidak ada yang lebih indah di seluruh Kitab Suci dari pada pemberian kata-kata yang penuh kasih dalam ay 19-20 kepada orang-orang yang suam-suam kuku, yang memuakkan bagi Yesus.

Leon Morris juga mengatakan hal yang serupa.

Leon Morris (Tyndale): “Chastening is the lot of all whom God loves (cf. Pr. 3:12). On the use of the verb ‘love’ Charles comments, ‘It is a touching and unexpected manifestation of love to those who deserve it least among the Seven Churches.’ The ‘I’ is emphatic, for chastening comes not from hostile forces but from the Lord of the church Himself” [= Hajaran merupakan bagian / nasib dari semua yang dikasihi Allah (bdk. Amsal 3:12). Tentang penggunaan kata kerja ‘kasih’ Charles memberi komentar: ‘Ini merupakan manifestasi kasih yang mengharukan dan tak diharapkan kepada mereka yang paling tidak layak mendapatkannya di antara ke Tujuh Gereja’. Kata ‘Ku’ ditekankan, karena hajaran tidak datang dari kekuatan yang bermusuhan tetapi dari Tuhan dari gereja itu sendiri] - hal 84.

3)   ‘Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar’.

KJV: ‘As many as I love, I rebuke and chasten’ (= Sebanyak yang Kukasihi, Kuhardik dan Kuhajar).

RSV: ‘Those whom I love, I reprove and chasten’ (= Mereka yang Kukasihi, Kutegur dan Kuhajar).

NIV: ‘Those whom I love I rebuke and discipline’ (= Mereka yang Kukasihi Kuhardik dan Kudisiplin).

NASB: ‘Those whom I love, I reprove and discipline’ (= Mereka yang Kukasihi, Kutegur dan Kudisiplin).

Berdasarkan ay 19 ini ada beberapa penafsir yang menafsirkan bahwa orang-orang Laodikia ini betul-betul sudah kristen, tetapi lalu menjadi suam-suam kuku.

Matthew Poole: “‘I rebuke and chasten’: ... By these words Christ lets this angel know, that although he had in this epistle dealt smartly with him, yet he had done it from a principle of love, as a father to a child, Heb. 12:7. ‘Be zealous therefore, and repent’; he adviseth him therefore to quit himself of his lukewarmness, and to recover a warmth and zeal for God, repenting of his former coldness and negligence in his duty” (= ‘Kuhardik dan Kuhajar’: ... Dengan kata-kata ini Kristus memberitahu malaikat jemaat Laodikia bahwa sekalipun dalam surat ini Ia memperlakukannya secara menyakitkan, tetapi Ia melakukan ini karena kasih, seperti seorang bapa kepada anak, Ibr 12:7. ‘Karena itu bersungguh-sungguhlah dan bertobatlah’; karena itu Ia menasehatinya untuk meninggalkan kesuamannya, dan memulihkan suatu sikap panas dan semangat bagi Allah, bertobat dari sikapnya yang dingin dahulu dan pengabaian kewajibannya) - hal 959.

Geoffrey B. Wilson: “chastening is not the mark of rejection but an evidence of adoption (Prov. 3:11,12; Heb. 12:5,6)” [= hajaran bukanlah tanda penolakan tetapi suatu bukti pengadopsian (Amsal 3:11,12; Ibr 12:5,6)] - hal 51.

Amsal 3:11-12 - “Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatanNya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihiNya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi”.

Catatan: saya berpendapat kata ‘ajaran’ sebaiknya diganti dengan ‘hajaran’.

Ibr 12:5-6 - “Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: ‘Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkanNya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak.’”.

Dan Geoffrey B. Wilson lalu menambahkan dengan mengutip kata-kata Lenski: “The Lord is no soft Eli to his children (= Tuhan bukanlah Eli yang lunak terhadap anak-anakNya) - hal 51.

Kita juga harus meniru sikap kasih yang berani menegur ini, baik terhadap anak, murid, maupun jemaat.

William R. Newell: “How many preachers love the saints enough to risk their resentment by obeying 2Tim. 4:2: ‘reprove, rebuke’? I fear that we who preach are rarely as faithful in our love as our Lord” (= Berapa banyak pengkhotbah yang cukup mengasihi orang-orang kudus untuk menanggung resiko kemarahan mereka dengan mentaati 2Tim 4:2: ‘tegurlah, hardiklah’? Saya kuatir bahwa kita yang berkhotbah jarang setia pada kasih kita seperti Tuhan kita) - hal  78.

4)   ‘sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah’.

a)   ‘sebab itu relakanlah hatimu’. Ini terjemahannya ngawur!

KJV/NASB: ‘be zealous therefore’ (= karena itu jadilah bersemangat).

RSV: ‘so be zealous’ (= jadi, jadilah bersemangat).

NIV: ‘So be earnest’ (= jadi, bersungguh-sungguhlah).

Kata ‘bersungguh-sungguhlah’ ini dalam bahasa Yunaninya ada dalam bentuk present imperative (= kata perintah bentuk present), yang menunjukkan bahwa Tuhan menginginkan supaya perintah ini dilakukan terus-menerus.

Sekarang, apa saja yang harus kita lakukan untuk bisa menjadi panas / bersungguh-sungguh bagi Tuhan?

1.   Untuk orang yang termasuk kristen KTP, tentu saja langkah pertama adalah datang kepada Kristus, percaya dan menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat. Ini yang ditekankan dalam ay 18. Tanpa langkah pertama ini tidak mungkin seseorang bisa panas / bersungguh-sungguh bagi Tuhan!

2.   Mengintrospeksi dosa apa yang ada dalam hidup kita, dan bertobat dari dosa itu.

Dosa, apalagi yang disadari dan disengaja, merupakan sesuatu yang paling cepat membuat seseorang menjadi suam. Dosa ini bisa merupakan dosa aktif, dimana kita melakukan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan, seperti berdusta, berzinah, dan sebagainya, tetapi bisa juga merupakan dosa pasif dimana kita tidak melakukan / lalai melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhan, seperti malas melayani, tidak memberi persembahan persepuluhan, membolos dari kebaktian, tidak belajar Firman Tuhan, lalai dalam bersaat teduh, malas berdoa, dan sebagainya.

3.   Memaksakan diri untuk mulai berdoa, belajar Firman Tuhan, bersaat teduh, dan bahkan melayani.

Sama seperti orang sakit yang kehilangan nafsu makan, seringkali harus memaksakan diri untuk makan, atau orang yang terkena sesak nafas harus tetap memaksakan diri untuk bernafas, demikian juga pada saat kita malas berdoa atau malas belajar Firman Tuhan, kita justru harus memaksakan diri untuk melakukan hal-hal itu. Ada satu hal yang perlu dicamkan, yaitu: kalau ada dosa yang masih terus dipegangi, maka langkah no 3 ini akan sia-sia belaka. Jadi point no 2 di atas harus dilakukan lebih dulu dari no 3 ini.

b)   ‘bertobatlah’.

Kata ‘bertobatlah’ ada dalam aorist imperative (= kata perintah bentuk lampau), yang digunakan kalau yang memberi perintah menginginkan perintahnya dilakukan hanya satu kali saja! Karena itu, saya berpendapat bahwa perintah bertobat seperti ini bisa diartikan bahwa mereka diperintahkan untuk datang dan percaya kepada Yesus, seperti penggunaan kata ini oleh Petrus dalam Kis 2:38. Tetapi tidak ada penafsir yang mempunyai pandangan seperti ini, dan mungkin ini disebabkan karena:

·        perintah untuk datang dan percaya kepada Kristus sudah diberikan dalam ay 18.

·        perintah ‘bertobat’ di sini diberikan setelah perintah untuk bersungguh-sungguh, padahal seseorang seharusnya datang kepada Kristus dahulu baru bisa bersungguh-sungguh bagi Dia.

Kebanyakan penafsir menafsirkan bahwa ini berarti suatu perintah untuk melakukan tindakan pertobatan yang tegas (tidak plin-plan, tidak kembali kepada dosa lalu bertobat lagi, dsb).

Leon Morris (Tyndale): “a decisive act of repentance (repent is aorist of once-for-all action)” [= suatu tindakan pertobatan yang tegas (bertobatlah ada dalam bentuk aorist / lampau dan menunjukkan tindakan tegas / sekali untuk selamanya)] - hal 84.

Penerapan:

Apakah saudara sering plin-plan dalam melakukan pertobatan?

Ay 20: “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku”.

1)   Bolehkah Wah 3:20 digunakan sebagai text untuk penginjilan?

Steve Gregg: “Familiar as an evangelistic text for sinners, this verse, in context, actually expresses Christ’s feeling of being an outsiders from His own church, desiring to be invited back in” (= Terkenal sebagai ayat penginjilan untuk orang-orang berdosa, dalam kontextnya ayat ini sebetulnya menyatakan perasaan Kristus sebagai orang luar dari gerejaNya sendiri, yang menginginkan untuk diundang masuk kembali) - hal 80.

Kata-kata ini menunjukkan bahwa Gregg tidak terlalu menyetujui penggunaan Wah 3:20 sebagai ayat penginjilan.

Hoeksema (hal 146-147) mengatakan bahwa gereja Laodikia sudah begitu bejat sehingga yang Yesus berikan hanyalah pengumuman akan penghakiman / penghukumannya. Bandingkan dengan ay 16. Sedangkan panggilan untuk bertobat dan janji jika mereka bertobat, ditujukan kepada individu-individu tertentu dalam gereja Laodikia, yang merupakan ‘remnant’ (= sisa). Tetapi Hoeksema beranggapan bahwa bahkan ‘remnant’ (= sisa) ini juga tertidur, dikalahkan oleh atmosfir yang mematikan dalam gereja Laodikia. Dan Tuhan ingin mempertobatkan remnant / sisa ini, bukan seluruh gereja Laodikia. Ay 20 ditujukan kepada ‘remnant’ ini. Karena itu maka Hoeksema juga tidak setuju kalau Wah 3:20 ini dipakai sebagai text penginjilan.

Herman Hoeksema: “There certainly is no need to change the manner and object of the address here, as if Jesus was now standing at the door of the heart of the sinner. We are undoubtedly well aware as to how this interpretation is quite popular. Jesus is presented here as standing at the door of the sinner’s heart, begging that the sinner may open the door, to let Jesus in. But this representation of the matter finds no support in the text. Evidently Jesus is standing not at the door of the heart, but at the door of the church in Laodicea” (= Jelas tidak dibutuhkan perubahan tentang cara dan obyek dari kata-kata ini, seakan-akan Yesus sekarang sedang berdiri pada pintu hati orang berdosa. Tidak diragukan bahwa kita menyadari bagaimana populernya penafsiran ini. Di sini Yesus digambarkan berdiri pada pintu hati orang berdosa, memohon supaya orang berdosa itu membukakan pintu dan membiarkan Yesus masuk. Tetapi gambaran ini tidak mendapat dukungan dalam Text ini. Jelas bahwa Yesus sedang berdiri bukan pada pintu hati, tetapi pada pintu gereja Laodikia) - hal 147.

Robert H. Mounce (NICNT): “Verse 20 is often quoted as an invitation and promise to the person outside the community of faith. That it can be pressed into the service of evangelism in this way seems evident. ... In the context of the Laodicean letter, however, it is self-deluded members of the church who are being addressed. To the church Christ says, ‘Behold, I stand at the door and knock.’ In their blind self-sufficiency they had, as it were, excommunicated the risen Lord from their congregation. In an act of unbelievable condescension he requests permission to enter and re-establish fellowship” (= Ayat 20 sering dikutip sebagai suatu undangan dan janji bagi orang yang ada di luar masyarakat orang beriman. Bahwa ayat ini bisa ditekankan ke dalam pelayanan penginjilan dengan cara ini terlihat dengan jelas. ... Tetapi dalam kontext surat Laodikia, ini ditujukan kepada anggota-anggota gereja yang menipu diri sendiri. Kepada gereja Kristus berkata: ‘Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok’. Dalam kecukupan diri sendiri mereka yang buta, boleh dikatakan mereka telah mengucilkan Tuhan dari jemaat mereka. Dalam suatu tindakan perendahan yang luar biasa Ia meminta ijin untuk masuk dan menegakkan persekutuan kembali) - hal 128-129.

Saya menganggap penafsiran ini tak masuk akal karena kalau ay 20 ini memang ditujukan kepada orang kristen sejati, maka menggunakannya dalam penginjilan menunjukkan penggunaan yang ‘out of context’ (= menyimpang dari kontexnya), dan itu jelas salah. Saya berpendapat bahwa kalau mau konsisten, kita harus mengambil salah satu pandangan di bawah ini:

·        jemaat Laodikia hanyalah orang kristen KTP, dan ay 20 diucapkan supaya mereka mengundang Yesus. Dengan demikian ay 20 ini boleh digunakan untuk Pemberitaan Injil.

·        jemaat Laodikia adalah orang kristen sejati, sekalipun kerohaniannya berantakan. Dengan demikian ay 20 tidak boleh digunakan secara ‘out of context’ (= menyimpang dari kontexnya) untuk mengundang orang non kristen datang kepada Yesus.

Jadi, boleh tidaknya Wah 3:20 digunakan sebagai ayat penginjilan sebetulnya tergantung dari apakah jemaat gereja Laodikia itu adalah orang kristen KTP atau orang kristen sejati yang mundur. Kalau mereka adalah orang kristen KTP, maka ayat ini boleh digunakan sebagai ayat penginjilan. Sebaliknya kalau mereka adalah orang kristen sejati yang mundur, maka penggunaan Wah 3:20 sebagai ayat penginjilan merupakan penggunaan yang ‘out of context’ (= menyimpang dari kontexnya).

Padahal untuk menentukan apakah jemaat Laodikia adalah orang kristen KTP atau kristen sejati yang mundur, bukanlah hal yang mudah. Tetapi kelihatannya lebih banyak dasar untuk mengatakan bahwa mereka adalah orang kristen KTP. Ini terlihat dari:

¨       ay 17b - kata-kata ‘miskin’, ‘buta’, dan ‘telanjang’ yang ditujukan kepada jemaat Laodikia.

¨       ay 18 - jemaat Laodikia dinasehatkan untuk membeli emas, pakaian putih, dan minyak dari Yesus, yang semuanya jelas merupakan simbol keselamatan.

¨       ay 20 sendiri yang menggambarkan Kristus ada di luar pintu hati mereka.

Sedangkan dasar untuk mengatakan bahwa jemaat gereja Laodikia adalah orang kristen sejati yang mundur hanyalah kata ‘hajar’ / ‘chastened’ dalam ay 19 yang boleh dikatakan selalu digunakan terhadap anak Tuhan. Untuk orang yang bukan anak Tuhan biasanya digunakan kata ‘menghukum’ (seperti dalam Kel 12:13) atau ‘memukul’ / ‘strike’ (seperti dalam 1Sam 4:8).

Catatan: dalam terjemahan Kitab Suci Indonesia untuk 1Sam 4:8 digunakan kata ‘menghajar’, tetapi ini salah terjemahan.

Saya berpendapat bahwa kata ‘hajar’ ini bisa ditafsirkan sebagai berikut: dalam Kitab Suci kita sering melihat bahwa orang yang mengaku sebagai orang percaya (sekalipun ia sebetulnya tidak percaya) diperlakukan seakan-akan mereka adalah orang percaya, dan Kitab Suci bahkan menggunakan istilah-istilah yang seakan-akan menunjukkan bahwa orang itu adalah orang kristen.

Contoh: kalau kita membaca seluruh 2Pet 2, maka kita pasti akan melihat dengan jelas bahwa para nabi palsu yang dibicarakan oleh Petrus itu bukanlah orang percaya yang sejati, bahkan bisa dikatakan sebagai ‘reprobate’ (= orang yang ditentukan untuk binasa). Tetapi perhatikan 2Pet 2:1 - Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah umat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka dan dengan jalan demikian segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka”.

Yang dimaksud dengan ‘Penguasa’ tentu adalah Tuhan Yesus. Dan dikatakan bahwa Penguasa itu ‘menebus mereka’ (nabi-nabi palsu itu). Kita mempercayai doktrin ‘Limited Atonement’ (= Penebusan terbatas), yang menyatakan bahwa Kristus hanya mati untuk menebus orang-orang pilihan saja. Lalu mengapa 2Pet 2:1 ini menunjukkan bahwa Kristus menebus para nabi palsu yang termasuk golongan ‘reprobate’ (= orang yang ditetapkan untuk binasa) itu? Jawabannya adalah bahwa sebetulnya Kristus tidak menebus mereka. Di sini mereka diperlakukan seakan-akan mereka adalah orang kristen karena mereka mengaku sebagai kristen.

Contoh lain: dalam Kitab Suci kata ‘murid’ biasanya digunakan untuk menunjuk kepada orang kristen. Tetapi dalam Yoh 6:66 dikatakan bahwa ada banyak murid yang mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Yesus. Apakah ini mengajarkan bahwa seseorang bisa murtad dan bahwa keselamatan bisa hilang? Saya berpendapat tidak. Alasannya sama seperti di atas. Mereka disebut ‘murid’ karena mereka mengaku sebagai orang kristen / pengikut Kristus.

Sekarang kita kembali kepada kata ‘hajar’ dalam ay 19 ini. Jemaat Laodikia ini sebetulnya adalah kristen KTP, dan seharusnya bagi mereka digunakan kata ‘hukum’, bukan ‘hajar’. Tetapi karena mereka mengaku sebagai kristen, maka mereka diperlakukan seakan-akan mereka adalah orang kristen, dan Kitab Suci menggunakan ‘bahasa kristen’ untuk mereka.

Dari semua ini saya mempunyai kecondongan kuat untuk menganggap bahwa jemaat Laodikia hanyalah kristen KTP, dan dengan demikian Wah 3:20 boleh dipakai sebagai ayat penginjilan.

2)   ‘Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok’.

Ini menunjukkan bahwa Allah / Yesus mencari manusia, dan bahwa keselamatan bisa terjadi karena inisiatif Allah.

Barnes’ Notes: “this expression proves that the attempt at reconciliation begins with the Saviour. It is not that the sinner goes out to meet him, or to seek for him; it is that the Saviour presents himself at the door of the heart as if he were desirous to enjoy the friendship of man. ... Salvation, in the Scriptures, is never represented as originated by man” (= ungkapan ini membuktikan bahwa usaha perdamaian dimulai dengan Sang Juruselamat. Bukan orang berdosa yang keluar untuk menemui Dia atau mencari Dia, tetapi adalah Sang Juruselamat yang menunjukkan diriNya sendiri pada pintu hati, seakan-akan Ia ingin menikmati persahabatan manusia. ... Keselamatan, dalam Kitab Suci, tidak pernah digambarkan dimulai oleh manusia) - hal 1571-1572.

William Barclay: “We see the pleading of Christ. He stands at the door of the human heart and knocks. The unique new fact that Christianity brought into this world is that God is the seeker of men. No other religion has the vision of s seeking God” (= Kita melihat permohonan Kristus. Ia berdiri di pintu hati manusia dan mengetok. Fakta unik yang baru yang dibawakan kekristenan ke dalam dunia ini adalah bahwa Allah adalah pencari manusia) - hal 147.

William Barclay: “Here is the picture of Christ searching for sinful men who did not want him. Surely love can go no further than that” (= Di sinilah gambar dari Kristus mencari manusia berdosa yang tidak menginginkan Dia. Pasti kasih tidak bisa berjalan lebih jauh dari itu) - hal 147.

3)   ‘jikalau ada orang yang mendengarkan suaraKu’.

a)   Ini bersifat pribadi.

William Hendriksen: “Notice it is ‘if any one ...’ The Lord addresses Himself to individuals. Salvation is a very personal matter” (= Perhatikan bahwa dikatakan ‘jika ada orang ...’. Tuhan menunjukkan diriNya sendiri kepada individu-individu. Keselamatan merupakan suatu persoalan yang sangat bersifat pribadi) - hal 78.

John Stott: “this is a personal appeal. These words are addressed not to the church but to the individual” (= ini merupakan seruan / permohonan yang bersifat pribadi. Kata-kata ini tidak ditujukan kepada gereja tetapi kepada setiap individu) - hal 123.

Penerapan:

Jangan pernah mimpi bisa nunut pada keselamatan orang lain, bahkan orang tua saudara. Atau saudara sendiri mendengarkan suara Tuhan Yesus dan beriman kepadaNya, atau saudara akan masuk ke neraka selama-lamanya.

b)   Ketukan Yesus tidak boleh dibedakan dengan suara Yesus.

Seorang penafsir dari Pulpit Commentary menafsirkan bahwa ketukan Yesus berbeda dengan suara Yesus. Ketukan menunjuk pada penderitaan dari manusia yang dipakai oleh Tuhan untuk mempertobatkannya, sedangkan suara menunjuk pada Firman Tuhan yang membuat orang itu mengerti apa arti penderitaannya tersebut. Tetapi saya lebih setuju dengan pandangan yang menyamakan kedua hal tersebut, seperti pandangan Homer Hailey di bawah ini.

Homer Hailey: “The knocking expresses His effort through the Word to be admitted. The knocking is not one thing and His voice another; this is clear from what follows. ‘If any man hear my voice and open the door, I will come in to him, and will sup with him, and he with me.’” (= Ketukan menyatakan usahaNya melalui Firman untuk diterima. Jadi bukannya bahwa ketukan harus dibedakan dari suaraNya; ini jelas dari kalimat selanjutnya. ‘Jikalau ada orang yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku’) - hal 162.

4)   ‘dan membukakan pintu’.

Ada banyak penafsiran-penafsiran yang salah tentang bagian ini, seperti:

a)   Pembedaan antara ‘percaya’ dan ‘menerima’ Yesus.

Banyak orang dalam memberitakan Injil membedakan ‘percaya kepada Yesus’ dan ‘penerimaan Yesus ke dalam hati kita’. Menurut saya ini salah, karena tidak pernah ada dalam Kitab Suci dimana seseorang yang sudah percaya lalu disuruh menerima Yesus ke dalam hatinya. Jadi kedua hal ini adalah sama, dan kita tidak boleh membedakannya pada waktu kita memberitakan Injil.

b)   Penafsiran-penafsiran yang berbau Arminianisme, yang menekankan:

·        kebebasan kehendak.

·        manusia bisa menerima atau menolak keselamatan yang ditawarkan Kristus.

·        keselamatan hanya tergantung manusia dan tidak tergantung Allah. 

Mari kita melihat beberapa kutipan yang berbau Arminianisme.

1.   William Barclay: “We see human responsibility. Christ knocks and a man can answer or refuse to answer. Christ does not break in; he must be invited in. ... Holman Hunt was right when in his famous picture ‘The Light of the World’ he painted the door of the human heart with no handle on the outside, for it can be opened only from within” (= Kita melihat tanggung jawab manusia. Kristus mengetok dan manusia bisa menjawab atau menolak untuk menjawab. Kristus tidak mendobrak; Ia harus diundang masuk. ... Holman Hunt benar ketika dalam foto / gambarnya yang terkenal ‘Terang Dunia’ ia melukis pintu dari hati manusia tanpa gagang pintu di luarnya, karena itu hanya bisa dibuka dari dalam) - hal 148.

Ini bau Arminianisme, dimana pertobatan hanya tergantung orangnya dan bukan tergantung Allah! Memang benar bahwa dalam ayat ini Kristus tidak digambarkan mendobrak pintu hati kita, tetapi dari bagian-bagian Kitab Suci yang lain dikatakan bahwa melalui Roh KudusNya Ia melahirbarukan kita (Yoh 3:5-8), dan bahkan memberikan pengertian tentang Injil (Luk 24:45  Mat 11:25-27  Mat 13:11), dan memberikan iman / pertobatan kepada orang-orang pilihanNya sehingga orang-orang pilihanNya itu tidak bisa tidak percaya (Kis 13:48  Fil 1:29  Kis 11:18b)!

2.   Pulpit Commentary: “(1) The soul can do this. It is part of its great prerogative. It could not say, ‘Yes,’ if it could not say, ‘No;’ but because it can say, ‘No,’ it can also say, ‘Yes.’ (2) And the opening the door depends upon its saying, ‘Yes.’ This is no contradiction to the truth that the Holy Spirit must open the heart. Both are essential; neither can be done without. It is a co-operative work, as consciousness and Scripture alike teach. But the Spirit ever does his part of the work; it is we only who fail in ours. May we be kept herefrom!” [= (1) Jiwa bisa melakukan ini. Itu merupakan bagian dari hak istimewanya yang besar. Jiwa itu tidak bisa berkata ‘Ya’, jika ia tidak bisa berkata ‘Tidak’; tetapi karena ia bisa berkata ‘Tidak’, ia juga bisa berkata ‘Ya’. (2) Dan pembukaan pintu tergantung dari kata ‘Ya’ yang ia ucapkan. Ini tidak bertentangan dengan kebenaran bahwa Roh Kudus harus membukakan hati. Keduanya penting; yang manapun dari kedua hal itu tidak bisa dilakukan tanpa yang satunya. Itu merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan kerja sama, seperti yang diajarkan oleh kesadaran maupun Kitab Suci. Tetapi Roh selalu melakukan bagianNya; adalah kita saja yang gagal dalam melakukan bagian kita. Semoga kita dicegah dari kegagalan ini!] - hal 135.

Tanggapan saya:

·        kalimat terakhir dari kutipan di atas merupakan suatu doa, dan bertentangan dengan kalimat sebelumnya. Kalau Tuhan / Roh Kudus memang selalu melakukan bagianNya, untuk apa ia berdoa lagi supaya Tuhan mencegah kita dari kegagalan untuk melakukan bagian kita?

·        Ajaran Arminianisme dari kutipan ini persis seperti pandangan Pdt. Yusuf B. S., yang mengatakan bahwa karena Tuhan selalu mau mengerjakan bagianNya, dan karena itu keselamatan hanya tergantung diri kita sendiri, apakah kita mau percaya atau tidak. Bahwa Tuhan tidak selalu melakukan bagianNya terlihat jelas dari ayat seperti:

*        Mat 11:25-27 - “Pada waktu itu berkatalah Yesus: ‘Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepadaMu. Semua telah diserahkan kepadaKu oleh BapaKu dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya’.”.

*        Mat 13:10-15 - “Maka datanglah murid-muridNya dan bertanya kepadaNya: ‘Mengapa Engkau berkata-kata kepada mereka dalam perumpamaan?’ Jawab Yesus: ‘Kepadamu diberi karunia untuk mengetahui rahasia Kerajaan Sorga, tetapi kepada mereka tidak. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan; tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya. Itulah sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti. Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka.”.

*        Yoh 12:39-40 - Karena itu mereka tidak dapat percaya, sebab Yesaya telah berkata juga: ‘Ia telah membutakan mata dan mendegilkan hati mereka, supaya mereka jangan melihat dengan mata, dan menanggap dengan hati, lalu berbalik, sehingga Aku menyembuhkan mereka’”.

3.   Barnes’ Notes: “this also recognises the freedom of man. It is submitted to him whether he will hear the voice of the Redeemer or not; and whether he will open the door and admit him or not. He speaks loud enough, and distinctly enough, to be heard, but he does not force the door if it is not voluntarily opened. ... It may be added, that this is an easy thing. Nothing is more easy than to open the door when one knocks; ... the ease of the terms of salvation, represented by ‘hearing his voice,’ and ‘opening the door;’” (= ini juga mengakui kebebasan manusia. Diserahkan kepada dia apakah ia akan mendengar suara Sang Penebus atau tidak; dan apakah ia akan membuka pintu dan menerimaNya atau tidak. Ia berbicara cukup keras dan cukup jelas, untuk didengar, tetapi Ia tidak mendobrak pintu jika pintu itu tidak dibuka dengan sukarela. ... Bisa ditambahkan bahwa ini merupakan suatu hal yang mudah. Tidak ada yang lebih mudah dari pada membuka pintu pada waktu seseorang mengetok; ... kemudahan dari syarat-syarat keselamatan digambarkan oleh kata-kata ‘mendengar suaraNya’, dan ‘membukakan pintu’) - hal 1572.

Ia mengatakan bahwa manusia mampu untuk membukakan pintu, dan bahkan bahwa hal itu merupakan sesuatu yang mudah. Bandingkan ini dengan:

·        Yoh 6:44 - “Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepadaKu, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman”.

Ayat ini menunjukkan:

*        ketidakmampuan manusia untuk datang kepada Yesus dengan kekuatannya sendiri.

*        datang atau tidaknya manusia kepada Yesus sebetulnya tidak tergantung manusia itu sendiri tetapi tergantung Allah, yaitu apakah Ia mau ‘menarik’ manusia itu atau tidak.

Dalam Pemahaman Alkitab tentang Yoh 6:44, sudah pernah kita bahas bahwa kata ‘menarik’ diterjemahkan dari kata Yunani HELKO atau HELKUO yang hanya digunakan 8 x dalam Kitab Suci / Perjanjian Baru, yaitu dalam Yoh 6:44  12:32  18:10  21:6  21:11  Kis 16:19  21:30  Yak 2:6 (bacalah ayat-ayat ini). Perhatikan 3 komentar tentang kata itu di bawah ini.

Calvin: “True, indeed, as to the kind of drawing, it is not violent, so as to compel men by external force; but still it is a powerful impulse of the Holy Spirit, which makes men willing who formerly were unwilling and reluctant” (= Memang, tentang jenis tarikan, itu bukan sesuatu tarikan yang keras / kasar, seakan-akan memaksa manusia dengan kekuatan luar; tetapi itu tetap merupakan dorongan yang kuat dari Roh Kudus, yang membuat manusia yang tadinya tidak mau dan segan menjadi mau).

William Hendriksen: “The drawing of which these passages speak indicates a very powerful - we may even say, an irresistible - activity. To be sure, man resists, but his resistance is ineffective. It is in that sense that we speak of God’s grace as being irresistible” (= Tarikan tentang mana text-text itu berbicara menunjukkan suatu aktivitas yang sangat kuat, dan bahkan bisa dikatakan tak bisa ditahan / ditolak. Memang manusia menahan / menolak, tetapi tahanan / penolakannya tidak efektif. Dalam arti seperti itulah kami berbicara tentang kasih karunia Allah yang tidak bisa dito­lak).

Leon Morris (NICNT): “There is not one example in the New Testament of the use of this verb where the resistance is successful” (= Tidak ada satu con­tohpun dari Perjanjian Baru tentang penggunaan kata kerja ini dimana tahanan / penolakan itu berhasil).

·        Yoh 6:65 - “Lalu Ia berkata: ‘Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya.’”.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa dengan kekuatannya sendiri manusia tidak akan bisa datang kepada Kristus. Ia hanya bisa datang kepada Kristus kalau itu ‘dikaruniakan’ oleh Bapa kepadanya.

·        ay 22: “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat”. Ini secara implicit menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa mendengar, karena mereka tidak mempunyai telinga atau tuli. Bdk juga dengan Mat 13:13-17 - “Itulah sebabnya Aku berkata-kata dalam perumpamaan kepada mereka; karena sekalipun melihat, mereka tidak melihat dan sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti. Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. Sebab hati bangsa ini telah menebal, dan telinganya berat mendengar, dan matanya melekat tertutup; supaya jangan mereka melihat dengan matanya dan mendengar dengan telinganya dan mengerti dengan hatinya, lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka. Tetapi berbahagialah matamu karena melihat dan telingamu karena mendengar. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya banyak nabi dan orang benar ingin melihat apa yang kamu lihat, tetapi tidak melihatnya, dan ingin mendengar apa yang kamu dengar, tetapi tidak mendengarnya.

4.   Pulpit Commentary: “Man’s free will is here well and plainly set forth. Though the opening, to be effective, needs the help and presence of Christ, yet he does not forcibly effect an entrance; it is still within the power of man to disregard the knock, to refuse to hear the voice, to keep the door fast shut” (= Di sini kehendak bebas manusia dinyatakan dengan baik dan jelas. Sekalipun pembukaan pintu tidak akan bisa efektif tanpa pertolongan dan kehadiran Kristus, tetapi Ia tidak masuk secara paksa; tetap ada dalam kuasa / kekuatan manusia untuk mengabaikan ketukan, menolak untuk mendengar suara itu, membiarkan pintu tetap tertutup) - hal 117.

Ini bertentangan doktrin ‘Irresistible Grace’ (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak). Bandingkan dengan penafsiran tentang Yoh 6:44 di atas, yang menunjukkan bahwa tarikan Allah itu pasti berhasil, dan tidak mungkin ditolak.

Dari semua ini bisa disimpulkan bahwa kesalahan dari orang-orang yang menganut Arminianisme dalam persoalan ini adalah bahwa mereka hanya menyoroti Wah 3:20 ini dan membangun theologianya di atasnya, tetapi mereka mengabaikan ayat-ayat lain dari Kitab Suci yang bertentangan dengan ajaran tersebut. Untuk menghindari kesalahan seperti itu maka kita harus selalu menafsirkan suatu ayat dengan memperhatikan semua bagian Kitab Suci yang berhubungan dengan ayat tersebut.

5)   ‘Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku’.

a)   ‘Makan’ di sini adalah ‘makan malam’.

Barclay mengatakan bahwa kata Yunani yang digunakan untuk ‘makan’ adalah makan malam. Bukan makan pagi / siang yang dilakukan cepat-cepat, tetapi makan malam yang dilakukan dengan santai karena pekerjaan telah selesai.

b)   ‘Makan bersama’ menunjukkan suatu persekutuan yang intim / akrab.

George Eldon Ladd: “A shared meal in the ancient Jewish world had far more significance than it has today. It was a symbol of affection, of confidence, of intimacy. Jesus was criticized by the Pharisees not merely for associating with publicans and sinners but for eating with them (Luke 15:2). Peter was criticized by the Jerusalem Christians not for preaching the gospel to a gentile but for eating with him (Acts 11:3). So the present verse contains a promise of the most intimate fellowship possible” [= Makan bersama dalam tradisi kuno Yahudi mempunyai lebih banyak arti dari pada jaman sekarang. Itu merupakan simbol dari kasih, kepercayaan, dan keakraban. Yesus dikritik oleh orang-orang Farisi bukan hanya karena bergaul dengan pemungut cukai dan orang berdosa, tetapi karena makan bersama mereka (Luk 15:2). Petrus dikritik oleh orang-orang Kristen Yerusalem bukan karena memberitakan Injil kepada seorang non Yahudi tetapi karena makan bersamanya (Kis 11:3). Jadi ayat ini mencakup janji persekutuan yang paling intim yang dimungkinkan] - hal 68.

Bdk. 1Kor 5:11 - “Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.

William Hendriksen: “Christ and the believer dine together, which in the East was an indication of special friendship and of covenant relationship. In other words, the believer has blessed fellowship with his Saviour and Lord ... That fellowship begins even in this present life. It is perfected in the hereafter when the conqueror shall sit with Christ on His throne, just as Christ, the Conqueror, sat down with His Father on His throne. Not only will the conqueror reign by and by; he will reign with Christ (Rev. 20:4), in the closest possible fellowship with Him” [= Kristus dan orang percaya makan bersama-sama, yang di Timur merupakan suatu petunjuk tentang persahabatan yang khusus dan tentang hubungan perjanjian. Dengan kata lain, orang percaya mempunyai persekutuan yang mulia dengan Juruselamat dan Tuhannya ... Persekutuan itu dimulai bahkan dalam hidup yang sekarang ini. Itu disempurnakan di alam baka pada saat si pemenang akan duduk dengan Kristus di takhtaNya, persis seperti Kristus, Sang Pemenang, telah duduk dengan BapaNya di takhtaNya. Si pemenang bukan hanya akan segera memerintah; ia akan memerintah dengan Kristus (Wah 20:4), dalam persekutuan yang sedekat mungkin dengan Dia] - hal 79.

Ay 21: “Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhtaKu, sebagaimana Akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan BapaKu di atas takhtaNya”.

1)   Ay 21 ini berhubungan dengan ay 20, dan hanya terjadi pada orang yang memberikan tanggapan positif terhadap ketukan Yesus pada ay 20 itu.

Pulpit Commentary: “Victory is possible only when Christ is within us. If we keep him outside, not all the sanctuary teaching, nor the services, nor songs, nor ordinances, nor forms of godliness, nor parental virtue, can ever prevent us from falling miserably back to perdition. If we keep Christ out of our hearts, he will spue us out of his mouth” (= Kemenangan hanya dimungkinkan pada waktu Kristus ada di dalam kita. Jika kita membiarkanNya di luar, maka semua pengajaran dari tempat kudus, kebaktian-kebaktian, lagu-lagu, upacara-upacara, bentuk-bentuk kesalehan, kebaikan / sifat baik yang berasal dari orang tua, tidak pernah bisa mencegah kita untuk jatuh secara menyedihkan ke dalam kehancuran / hukuman kekal. Jika kita membiarkan Kristus di luar hati kita, Ia akan memuntahkan kita dari mulutNya) - hal 125.

John Stott: “If we let Christ enter the house of our heart, He will let us enter the house of His Father. Further, if we allow Christ to sit with us at our table, He will allow us to sit with Him on His throne. Here then is the great alternative which confronts every thoughtful person. To be halfhearted, complacent and only casually interested in the things of God is to prove oneself not a Christian at all and to be so distasteful to Christ as to be in danger of a vehement rejection. But to be wholehearted in one’s devotion to Christ, having opened the door and submitted without reserve to Him, is to be given the privilege both of supping with Him on earth and of reigning with Him in heaven. Here is a choice we cannot avoid. We must either throw the door open to Him or keep it close in His face” (= Jika kita membiarkan Kristus memasuki rumah hati kita, Ia akan membiarkan kita memasuki rumah BapaNya. Selanjutnya, jika kita mengijinkan Kristus duduk bersama kita di meja kita, Ia akan mengijinkan kita duduk bersamaNya di takhtaNya. Maka di sini ada pilihan yang besar yang dihadapkan pada setiap orang yang suka berpikir. Bersikap setengah hati, puas dengan diri sendiri dan hanya secara sambil lalu berminat / tertarik terhadap hal-hal dari Allah sama dengan membuktikan bahwa dirinya bukan orang Kristen sama sekali, dan begitu tidak menyenangkan bagi Kristus sehingga ada dalam bahaya penolakan yang keras. Tetapi bersikap sepenuh hati dalam pembaktian kepada Kristus setelah membuka pintu dan tunduk tanpa batas kepadaNya, berarti diberi hak baik untuk makan dengan Dia di bumi maupun untuk bertakhta dengan Dia di surga. Di sini ada pilihan yang tidak bisa kita hindari. Kita harus membuka pintu bagiNya atau membiarkannya tertutup di depan wajahNya) - hal 126. Dari sini kelihatannya Stott menganggap jemaat Laodikia bukan Kristen.

2)   Janji ini berhubungan dengan akhir jaman / kedatangan Yesus yang keduakalinya.

Robert H. Mounce (NICNT): “The promise of sitting with Christ on his throne is wholly eschatological” (= Janji tentang duduk bersama Kristus pada takhtaNya sepenuhnya bersifat eschatologi / berhubungan dengan akhir jaman) - hal 130. Bdk. Mat 19:28  2Tim 2:12.

3)   Sekalipun duduknya orang percaya pada takhta Kristus baru akan terjadi pada akhir jaman, tetapi Kristusnya sendiri sudah bertakhta sekarang ini.

Perhatikan bahwa untuk bagian yang menunjukkan bahwa Kristus duduk bersama Bapa pada takhtaNya, KJV menggunakan present tense / bentuk sekarang, sedangkan RSV/NIV/NASB menggunakan past tense / bentuk lampau.

KJV: ‘To him that overcometh will I grant to sit with me in my throne, even as I also overcame, and am set down with my Father in his throne’ (= Bagi dia yang menang, Aku akan membolehkannya untuk duduk denganKu pada takhtaKu, sebagaimana Aku juga telah menang dan duduk dengan BapaKu pada takhtaNya).

RSV: ‘He who conquers, I will grant him to sit with me on my throne, as I myself conquered and sat down with my Father on his throne’ (= Ia yang menang, Aku akan membolehkannya untuk duduk denganKu pada takhtaKu, seperti Aku sendiri telah menang dan telah duduk dengan BapaKu pada takhtaNya).

NIV: ‘To him who overcomes, I will give the right to sit with me on my throne, just as I overcame and sat down with my Father on his throne’ (= Bagi dia yang menang, Aku akan memberinya hak untuk duduk denganKu pada takhtaKu, sama seperti Aku telah menang dan telah duduk dengan BapaKu pada takhtaNya).

NASB: ‘He who overcomes, I will grant to him to sit down with Me on My throne, as I also overcame and sat down with My Father on His throne’ (= Ia yang menang, Aku akan membolehkannya untuk duduk denganKu pada takhtaKu, seperti Aku juga telah menang dan telah duduk dengan BapaKu pada takhtaNya).

George Eldon Ladd: “The important fact is that Christ is already enthroned. His messianic reign is not something which begins at his parousia; it has already begun, even though it is visible only to the eye of faith. ... To be sure, the world does not recognize his lordship and his heavenly reign, the demoniac powers are still allowed to work through pagan rulers to bring fearful affliction and persecution to God’s people. Here is a message for every church which faces persecution: the assurance that their evil plight is only temporary; that even though human experience may seem to contradict it, Christ is already enthroned as Lord and King; and that his kingly rule will soon put all his enemies under his feet (1Cor. 15:25)” [= Fakta yang penting adalah bahwa Kristus sudah bertakhta. Pemerintahan MesiasNya bukanlah sesuatu yang dimulai pada kedatanganNya yang keduakalinya; itu sudah dimulai, sekalipun itu hanya terlihat oleh mata iman. ... Tentu saja dunia tidak mengenali ketuhananNya dan pemerintahan surgawiNya, dan kuasa setan masih diijinkan untuk bekerja melalui pemerintahan-pemerintahan kafir untuk menyebabkan penderitaan dan penganiayaan yang menakutkan bagi umat Allah. Di sini ada pesan untuk setiap gereja yang menghadapi penganiayaan: jaminan bahwa keadaan yang buruk / menyedihkan itu hanyalah bersifat sementara; bahwa sekalipun pengalaman manusia kelihatannya bertentangan dengannya, Kristus sudah bertakhta sebagai Tuhan dan Raja; dan bahwa pemerintahan rajaniNya akan segera meletakkan semua musuh-musuhNya di bawah kakiNya (1Kor 15:25)] - hal 68-69.

Ay 22: “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat”.

Kata-kata ini keluar dalam setiap surat dari ketujuh surat dalam Wah 2-3, dan karena itu tidak dibahas lagi di sini.

Sampai surat ini berakhir, kita tidak melihat satu pujianpun untuk gereja yang menyedihkan ini. Perhatikan komentar Ramsey di bawah ini.

James B. Ramsey: “There is not one relieving trait, not one single feature upon which even the gentle and loving eye of Jesus can bestow a single commendation. Yet it has not apostatized from the truth; it is not guilty of foul heresy; it has followed no Jezebel; it is charged with no Nicolaitan doctrine or deeds; the whole is summed up in the expressive word, ‘lukewarm,’ ‘neither cold nor hot.’ For a church, or a follower of Jesus Christ, while recognizing His divine claim, His infinite love, His precious blood, His almighty Spirit, His sweet and holy service, and His promised glory, to treat it all with indifference, to be unmoved, or slightly moved by it, to manifest no warm affection, no earnest devotion, no self-denying and self-sacrificing zeal, is specially insulting to Him, and indicates a degree on insensibility almost past hope” (= Di sana tidak ada satupun sifat / ciri yang melegakan, tidak satupun ciri / segi tentang mana mata yang lembut dan kasih dari Yesus bisa memberikan satu pujian. Tetapi gereja ini tidak murtad dari kebenaran; gereja ini tidak bersalah tentang ajaran sesat yang kotor / busuk; gereja ini tidak mengikuti Izebel, gereja ini tidak dituduh dengan ajaran atau perbuatan Nikolaus; seluruhnya disimpulkan dalam kata yang bersifat menyatakan perasaan, ‘suam-suam kuku’, ‘tidak dingin atau panas’. Bagi sebuah gereja atau seorang pengikut Kristus, yang mengenali claim ilahiNya, kasihNya yang tak terbatas, darahNya yang berharga, RohNya yang mahakuasa, pelayananNya yang manis dan kudus, dan janji kemuliaanNya, tetapi memperlakukan itu semua dengan sikap acuh tak acuh, tidak terharu / tergerak, atau hanya sedikit terharu / tergerak olehnya, tidak menunjukkan perasaan yang hangat, tidak ada pembaktian yang sungguh-sungguh, tidak ada semangat menyangkal diri dan mengorbankan diri, itu merupakan penghinaan secara khusus kepadaNya, dan menunjukkan keadaan tidak berperasaan pada tingkat yang hampir tidak ada harapan) - hal 179-180.

Steve Gregg: “Among historicists and some futurists, it is generally argued that Laodicea represents the lukewarm sector of the church in the end of times (possibly beginning near the end of the nineteenth century). The scholarly assault on the Bible, epitomized and exacerbated by the publication of Darwin’s Origin of Species (1859), put tremendous pressure upon the church to conform to modern thought or lose academic respectability. Many theologians succumbed to this pressure and began subjecting the Bible to ‘scientific methods’ of analysis. Such analysis, though far from objective and conclusive, became fashionable in many seminaries and denominations, resulting in a loss of respect for the Bible as a genuine revelation from God. In many cases, secular psychology, sociology, anthropology, philosophy, and whatever social trend became popular in secular thinking (e.g., the breakdown of biblical models of marriage and sexuality), have displaced the Bible in its authority to dictate norms for the church. Modern churches that have gone this route are said to be represented by this Laodicean church. They are lukewarm, and Christ says that they nauseate him. Those applying the seven church letters to eras of church history believe that both the Philadelphian and the Laodicean types of church will exist together until the coming of Christ” [= Di antara historicist dan sebagian futurist pada umumnya dianjurkan secara kuat bahwa Laodikia melambangkan sektor suam-suam kuku dari gereja pada akhir jaman (mungkin dimulai sekitar akhir abad ke 19). Serangan para ahli ilmu pengetahuan terhadap Alkitab, diwakili dan dipertajam oleh publikasi dari buku Darwin yang berjudul ‘Origin of Species’ (1859), memberikan tekanan yang dahsyat terhadap gereja untuk menyesuaikan diri dengan pemikiran modern atau kehormatan akademis yang longgar. Banyak ahli theologia tunduk pada tekanan ini dan mulai menundukkan Alkitab kepada analisa ‘metode ilmiah’. Analisa ini, sekalipun tidak obyektif ataupun meyakinkan, menjadi populer dalam banyak seminari dan aliran, menghasilkan hilangnya rasa hormat terhadap Alkitab sebagai wahyu yang asli dari Allah. Dalam banyak kasus, psikologi dunia, sosiologi, anthropologi, filsafat, dan kecenderungan sosial apapun menjadi populer dalam pemikiran dunia (misalnya kerusakan contoh alkitab tentang pernikahan dan sex), telah menggantikan Alkitab dalam otoritasnya untuk mendikte norma-norma untuk gereja. Dikatakan bahwa gereja-gereja modern yang telah mengambil jalan ini, dilambangkan oleh gereja Laodikia ini. Mereka suam-suam kuku, dan Kristus berkata bahwa mereka memuakkan Dia. Mereka yang menerapkan ketujuh surat gereja kepada masa-masa dari sejarah gereja percaya bahwa type gereja Filadelfia dan type gereja Laodikia akan ada bersama-sama sampai kedatangan Kristus] - hal 80-81.

Herman Hoeksema: “Yet, although we strongly repudiate the idea of seven definite periods being represented in these letters, it must not be overlooked, as we said in the last chapter, that there is a certain intentional arrangement in the order in which the seven letters appear. The last church to be discussed is that of Laodicea, a church most miserable in every respect. There is in this purposely arranged order an indication as to what we may expect in the future. From a human point of view, the Word of God pictures that future as not too bright. And those who live under the impression that toward the end of time and the coming of our Lord Jesus Christ the church will appear in a most flourishing condition certainly find no support in Scripture” (= Tetapi, sekalipun kami menolak dengan keras gagasan tentang tujuh periode tertentu yang diwakili dalam surat-surat ini, tidak boleh dilupakan / diabaikan, seperti yang kami katakan dalam pasal yang terdahulu, bahwa di sana ada pengaturan tertentu yang disengaja dalam urut-urutan dalam mana ketujuh surat itu muncul. Gereja terakhir yang dibicarakan adalah gereja Laodikia, gereja yang paling menyedihkan dalam segala hal. Dalam urut-urutan yang diatur secara sengaja ini ada suatu petunjuk berkenaan dengan apa yang bisa kita harapkan untuk masa yang akan datang. Dari sudut pandang manusia, Firman Allah menggambarkan bahwa masa depan itu tidaklah terlalu cerah. Dan mereka yang hidup di bawah suatu pemikiran bahwa menjelang akhir jaman dan kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus, gereja akan muncul dalam keadaan yang paling maju / tumbuh dengan subur, jelas tidak mempunyai dukungan dalam Kitab Suci) - hal 139.

-AMIN-


e-mail us at [email protected]