Pemahaman Alkitab

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

(Rungkut Megah Raya, Blok D 16)

Jumat, tanggal 10 Desember 2010, pk 19.00 

Pdt. Budi Asali, M. Div.

(7064-1331 / 6050-1331)

[email protected]

Pria sejati / maximal (10)

10)      “Etika bukanlah sekedar mata kuliah bagi mahasiswa yang menekuni jurusan filsafat” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 311).

Tanggapan saya:

Saya tak mengerti apa hubungan etika dan filsafat!

11)      “Kaum Saduki adalah orang yang gemar mengubah hal-hal yang mutlak menjadi bersifat relatif” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 312).

 

Tanggapan saya:

Apa iya? Apa dasarnya mengatakan hal ini?

 

12)      “Kemampuan untuk mengakui keunikan orang lain merupakan suatu kekuatan tersendiri. Kaum wanita diciptakan dengan suatu keunikan yang berasal dari Allah sendiri. Apabila seorang suami mampu menerima dan menghargai keunikan itu, maka istrinya akan menjadi istri dan sahabat terbaik baginya, dan akan menyempurnakan kehidupannya. Kalau keunikan seorang wanita diabaikan, dipadamkan, atau hanya dipandang sebagai pembangkit hawa nafsu, maka ia akan menjadi wanita yang tidak utuh dan tidak pernah dapat merasakan kepuasan dalam hidupnya (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 330-331).

 

Tanggapan saya:

a)   Keunikan apa yang ia maksudkan? Hanya kaum wanita punya keunikan itu? Menurut saya setiap orang, pria atau wanita, adalah unik!

b)   Bagian bawah kutipan itu (yang saya beri garis bawah ganda) menunjukkan bahwa kebahagiaan seorang istri secara mutlak tergantung dari sikap suaminya terhadap dia. Ini omong kosong! Tidak peduli bagaimana sikap suaminya terhadap dia, kalau ia menghadapinya dengan benar, ia bisa bahagia!

 

13)      “Hati dan pikiran para veteran perang Vietnam yang sebelumnya selalu dihantui mimpi buruk, kepahitan, kedengkian, permusuhan, dan kebencian saat itu dibasuh oleh firman dan Roh Yesus Kristus” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 359).

 

Tanggapan saya:

Bukan darah Kristus yang membasuh? Tetapi firman dan Roh Yesus Kristus? Ini ngawur / sesat! Dosa hanya bisa dihapus oleh darah Kristus (1Pet 1:18-19). Kalau untuk pengudusan, baru itu berurusan dengan Firman Tuhan dan Roh Kudus (Yoh 15:3  Yoh 17:17  Gal 5:22-23).

1Pet 1:18-19 - “(18) Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, (19) melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat”.

Yoh 15:3 - “Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu”.

Gal 5:22-23 - “(22) Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, (23) kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu”.

 

14)      “Minggu lalu saya menerima surat dari seorang hamba Tuhan yang menulis tentang ‘hari-hari akhir’ dan penghakiman yang akan Allah lakukan terhadap dunia ini. Memang kita perlu memikirkan hal-hal tersebut. Namun, jangan sampai berita negatif itu menghimpit berita yang positif, yaitu bahwa manusia juga dapat menyenangkan hati Allah!” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 359).

 

Tanggapan saya:

Berita tentang akhir jaman dan penghakiman ia sebut ‘berita negatif’?? Apa yang ia sebut ‘berita yang positif’ itu tidak akan terjadi kalau tidak ada ‘berita negatif’ itu!

 

Luk 21:34-36 - “(34) ‘Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat. (35) Sebab ia akan menimpa semua penduduk bumi ini. (36) Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.’”.

 

1Tes 5:1-10 - “(1) Tetapi tentang zaman dan masa, saudara-saudara, tidak perlu dituliskan kepadamu, (2) karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam. (3) Apabila mereka mengatakan: Semuanya damai dan aman - maka tiba-tiba mereka ditimpa oleh kebinasaan, seperti seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin - mereka pasti tidak akan luput. (4) Tetapi kamu, saudara-saudara, kamu tidak hidup di dalam kegelapan, sehingga hari itu tiba-tiba mendatangi kamu seperti pencuri, (5) karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan. (6) Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar. (7) Sebab mereka yang tidur, tidur waktu malam dan mereka yang mabuk, mabuk waktu malam. (8) Tetapi kita, yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan. (9) Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, (10) yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia”.

 

Ibr 10:25 - Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.

 

Catatan: yang saya beri garis bawah tunggal adalah ‘berita positif’, sedangkan yang saya beri garis bawah ganda adalah ‘berita negatif’. Keduanya jelas berhubungan, dan ‘berita negatif’ itu yang menyebabkan kita mentaati ‘berita positif’!

 

15)      “Allah berkenan tidak hanya kepada keilahian Yesus, tetapi juga kepada kemanusiaan yang diperlihatkanNya” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 361).

 

Tanggapan saya:

Ini omongan apa???

 

16)      “Dalam diri Yesus, Allah mewujudkan secara nyata apa yang telah difirmankanNya, yaitu bahwa Ia menciptakan pria ‘menurut gambarNya’ ... Bagaimana kita dapat menghampiri Allah-manusia, Yesus Kristus ini? Bahkan bagaimana mungkin kita dapat menyamai sifat-sifat ilahi dari Allah yang Mahakudus yang menyatakan diri di bumi sebagai seorang Pria? Saya mengakui bahwa saya belum mendapatkan seluruh jawabannya.” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 8).

 

Tanggapan saya:

a)      Gila, siapa yang menyuruh kita menyamai sifat ilahi dari Yesus?

b)   Ia mengatakan ‘Saya mengakui bahwa saya belum mendapatkan seluruh jawabannya’. Jadi ia sudah mendapatkan sebagian jawabannya? Mengapa ia tidak memberitahukan apa yang sebagian itu?

 

17)            “Kepriaan ada di dalam roh” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 112).

 

Tanggapan saya:

Lagi-lagi, kata-kata gila dari orang yang asal mangap / buka mulut!

 

18)      “Anda bisa memperoleh kerohanian di dalam gereja dari kaum wanita, tetapi Anda hanya mendapatkan kekuatan dari kaum pria” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 136).

 

Tanggapan saya:

Apa bisa ada kekuatan tanpa kerohanian?

 

19)      “Apa yang Anda percaya tentang Allah menunjukkan apa yang Anda percaya tentang diri Anda sendiri” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 151).

 

Tanggapan saya:

Lagi-lagi suatu kegilaan! Kalau saya mempercayai bahwa Allah itu maha kuasa, apakah saya percaya bahwa diri saya juga maha kuasa? Kalau saya percaya bahwa Allah itu kekal, dan ada tanpa diciptakan, dan tidak ada saat dimana Dia tidak ada atau belum ada, apakah saya mempercayai bahwa diri saya juga seperti itu??

 

20)      “Yang menjadi topik saat ini adalah pesan dari kisah penginjilan dan kebenaran utamanya. Kebenaran ini adalah tentang salib, simbol kekristenan. Simbol itu bukanlah palungan atau kubur kosong, tetapi salib di Golgota. Yesus lahir dalam sebuah palungan dan bangkit dari dalam kubur, tetapi penebusan manusia dilakukan di atas kayu salib. ... Salib merupakan topik utama dari Alkitab. ... Salib adalah puncak penyembahan; pertama adalah altar, lalu tabernakel, rumah ibadah dan akhirnya Golgota (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 151,152).

 

Tanggapan saya:

Omongan konyol! Sebelum pendirian Kemah Suci, orang-orang yang beriman memang mendirikan mezbah (pada jaman Abraham dsb). Lalu muncul Kemah Suci / tabernakel (jaman Musa). Seharusnya lalu muncul Bait Allah (jaman Salomo), dan akhirnya gereja. Tetapi Edwin Louis Cole tahu-tahu mengatakan ‘rumah ibadah’, dan akhirnya Golgota. Apa ini dan dari mana?

 

21)      “Mengapa pria itu begitu penting? Lima kitab pertama dalam Alkitab adalah kisah tentang tujuh orang pria. Kisah Allah tersingkap melalui manusia (pria???). Allah menyingkapkan Diri-Nya sebagai Bapa kita (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 163).

 

Tanggapan saya:

a)   Lima kitab pertama adalah Kejadian - Ulangan. Siapa tujuh orang pria itu???? Ada banyak pria dalam 5 kitab itu, jauh lebih banyak dari 7! Anak-anak Yakub saja ada 12 pria!

b)      Kisah Allah?? Tersingkap melalui manusia (pria)???

c)   Allah menyingkapkan DiriNya sebagai Bapa kita?? Ini bukan sesuatu yang bisa dipilih oleh Allah. Ia memang adalah Bapa, dan tidak bisa menyatakan diri sebagai sesuatu yang lain. Ia harus menyatakan diriNya sebagaimana adanya Dia, yaitu sebagai Bapa!

 

22)            “Rohnya terlihat sangat lapar” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 35).

 

Tanggapan saya:

Bagaimana kelihatannya roh yang sangat lapar???

 

23)      “Allah menghendaki Adam benar-benar menjadi seorang pria. Oleh karena itulah Dia mengajukan pertanyaan berikut ini kepada Adam, ‘Jawab pertanyaan ini: Engkau memakannya atau tidak?’ Namun, Adam ternyata menjawabnya demikian, ‘Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.’ Adam telah gagal dalam menghadapi ujian jati diri pria yang diajukan Allah. ... Jawaban Adam tersebut menentukan jalan kehidupan seluruh kaum pria sejak saat itu (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 227).

 

Tanggapan saya:

a)   Allah tidak pernah bertanya / berkata kepada Adam ‘Jawab pertanyaan ini: Engkau memakannya atau tidak?’.

Bdk. Kej 3:11-12 - “(11) FirmanNya: ‘Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?’ (12) Manusia itu menjawab: ‘Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.’”.

Jadi, yang Allah tanyakan adalah: “FirmanNya: ‘Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?’” (Kej 3:11). Dan Ia menanyakan pertanyaan ini supaya Adam mau mengakui dosanya, bukan karena Ia ‘menghendaki Adam benar-benar menjadi seorang pria’ atau untuk memberikan ‘ujian jati diri pria’ kepada Adam!

Juga pada waktu Adam mengatakan / menjawab ‘Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.’ (Kej 3:12), ia bukannya ‘gagal dalam menghadapi ujian jati diri pria’, tetapi sekedar tidak mengakui dosanya tetapi melemparkan tanggung jawab kepada Hawa.

b)   Apa yang Cole maksudkan dengan kata-kata ‘Yang menentukan jalan kehidupan seluruh kaum pria sejak saat itu’? Kalau yang Cole maksudkan adalah bahwa sejak saat itu manusia semuanya menjadi berdosa, maka itu disebabkan karena dosa Adam, bukan karena jawaban Adam terhadap pertanyaan Allah!

c)   Kalau Kej 3:11b dianggap sebagai ujian jati diri pria, dan Kej 3:12 sebagai kegagalan Adam dalam ujian tersebut, lalu bagaimana pandangan Edwin Louis Cole terhadap Kej 3:13 - “Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: ‘Apakah yang telah kauperbuat ini?’ Jawab perempuan itu: ‘Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.’”? Apakah ini juga merupakan ujian jati diri pria? Atau ujian jati diri wanita? Dam Hawa juga gagal dalam ujian tersebut?

 

24)      “Begitu juga sikap Allah terhadap anak-anakNya. Ia mengharapkan kita menjadi pria yang bersedia memikul tanggung jawab. Adam adalah pria pertama yang tidak mau bertanggung jawab dan ternyata ia bukan pria yang terakhir yang berlaku demikian” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 229).

 

Tanggapan saya:

Saya setuju dengan kata-kata ini, dan Edwin Louis Cole sendiri termasuk salah satu di antara pria-pria yang tidak bertanggung jawab itu, khususnya pada waktu ia membuang semua tugasnya dalam waktu 24 jam!

 

E)   Cerita-cerita konyol yang dijadikan ajaran / dasar ajaran.

 

1)      “Jack King adalah perwakilan ladang misi bagi Christian Men’s Network. Kami sering bekerja, berdoa, mengadakan perjalanan, dan melayani bersama-sama ke seluruh dunia. Ia masuk ke dalam lembaga pelayanan ini dengan suatu kesaksian yang mengesankan. ‘Pembunuhan Bergaya Hukuman Mati’, begitulah bunyi kepala berita di surat kabar ketika ayah Jack ditemukan terbunuh dengan luka tembakan di wajahnya. Selama bertahun-tahun kemudian Jack selalu menenteng pistol ke mana pun ia pergi dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk merencanakan pembalasan yang setimpal bagi orang yang telah membunuh ayahnya. Sebagai mantan sersan pelatih di Angkatan Darat Amerika Serikat, Jack memiliki tabiat yang keras dan kasar yang kini berubah menjadi kebencian yang mendalam terhadap si pembunuh dan kehausan untuk membalas dendam. Lebih buruk lagi, ia merasa tahu pasti orang yang membunuh ayahnya - seorang rekan bisnis ayahnya. Suatu hari Jack bertobat dan Yesus Kristus mengubah kehidupannya sehingga seketika itu juga ia terlepas dari kebenciannya yang mendarah daging itu. Namun, sekalipun ia sudah lahir baru, perasaan terluka akibat kematian ayahnya itu masih menggores di hatinya. Suatu malam dalam kebaktian di gereja, firman Allah seakan-akan berbicara secara langsung kepadanya bahwa kalau ia tidak mengampuni, Allah juga tidak akan mengampuninya. Pada saat itu juga ia berdoa dan meminta pengampunan Allah atas kebencian dan usaha pembunuhan yang pernah direncanakannya itu. Ia percaya Allah mendengar dan menjawab doanya, namun ia sama sekali belum siap sewaktu Allah langsung memberinya ujian. Beberapa malam kemudian istrinya memintanya pergi ke toko daging untuk membeli daging sapi. Ketika sedang mengendarai mobilnya menembus kegelapan malam, ia melihat sekumpulan orang banyak sedang menyaksikan kebakaran yang terjadi di seberang jalan. Setelah makin dekat, Jack segera mengenali daerah itu sebagai kompleks gudang tempat ia menemukan mayat ayahnya. Gudang itu sekarang dimiliki oleh pria yang diyakini Jack bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Sambil menggumam, ‘Rasain kamu,’ Jack terus melanjutkan perjalanannya ke toko daging. Namun, ada ‘suara kecil’ dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia perlu menemui pria itu dan meminta ampun kepadanya. Ketika meninggalkan toko dan bersiap pulang, suara itu masih tetap berbicara dan membuat Jack tiba-tiba berbelok ke jalan itu untuk mencari bekas musuhnya. Jack turun dari mobil tepat di tempat ayahnya ditemukan tewas. Ia lalu berjalan menyusuri gang yang gelap sambil mengamati keributan akibat kebakaran itu dan matanya sibuk mencari rekan bisnis ayahnya itu. Dalam kilasan lampu-lampu mobil pemadam kebakaran Jack melihat ada seseorang yang juga berdiri di gang yang gelap itu. Dengan menajamkan pandangan matanya menembus kegelapan dan gumpalan asap, Jack melihat bahwa itu adalah orang yang dicarinya. Dikumpulkannya segenap kekuatannya, lalu ia melangkah mendekati orang itu dan bertanya, ‘Anda kenal saya?’ ‘Rasanya saya kenal,’ jawab orang itu tercekat. ‘Saya Jack King.’ Meskipun keadaan di tempat itu cukup gelap, Jack dapat melihat wajah orang itu pucat pasi karena ketakutan. Belakangan Jack baru mengetahui bahwa orang itu mengira Jack telah sengaja membakar gudang itu dan kini hendak menuntaskan pembalasannya. ‘Allah telah mengubah kehidupan saya,’ kata Jack kepadanya ‘dan saya datang untuk meminta Anda mengampuni saya karena saya telah menuduh Anda membunuh ayah saya. Saya mau membereskan kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan sebelum bertobat. Salah satunya adalah meminta Anda mengampuni saya karena saya telah membenci Anda dan mengejar-ngejar Anda selama beberapa tahun belakangan ini. Juga karena saya pernah berusaha menghancurkan kehidupan Anda, keluarga Anda, dan karier Anda.’ ‘Yah, baik,’ jawab orang itu. ‘Saya ingin Anda mengampuni saya atas semua kejahatan yang telah saya lakukan pada Anda,’ desak Jack. ‘Ampunilah saya.’ ‘Baiklah. Anda sudah saya ampuni,’ kata orang itu cepat-cepat. Jelas terlihat bahwa ia ingin percakapan itu segera berakhir saja. ‘Tidak,’ desak Jack dengan nada yang semakin tegas. ‘Saya ingin Anda benar-benar mengampuni saya, bukan sekadar dengan perkataan, namun juga dengan sikap yang nyata. Saya tidak mau lagi melukai Anda atau berniat buruk terhadap Anda. Saya ingin Anda tahu itu.’ Keduanya terdiam untuk sesaat lamanya. Akhirnya orang itu menarik napas dalam-dalam, kemudian dengan sikap mantap ia mengampuni Jack. Jack meraih tangan orang itu dan mereka bersalaman” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 231-233).

 

“Jack bersukacita karena menyadari dirinya telah bertindak sebagai ‘pria sejati’. Sejak saat itu Jack King telah benar-benar berubah menjadi pria yang baru. ... Tetapi akhirnya ia menyadari bahwa kesediaan memikul tanggung jawab atas perbuatannya sendiri serta kerelaan untuk mengampuni orang lain membuatnya menemukan jati dirinya sebagai pria sejati yang tidak mungkin diperolehnya dengan cara lain” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 234).

 

Tanggapan saya:

 

a)   Jack belum menyakiti orang itu, dan Allah menyuruh ia minta ampun kepada orang itu? Menurut saya ini merupakan kegilaan! Lalu pembunuhan itu dibiarkan begitu saja? Setelah cerita ini (‘Menjadi Pria Sejati’ hal 234), Edwin Louis Cole mengutip Ro 12:19 (‘pembalasan adalah hakKu’). Apakah ia tidak menyadari bahwa Allah juga yang mengangkat pemerintah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat?

 

Ro 13:4 - “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”.

 

b)   Perhatikan kalimat yang saya garis-bawahi dalam kutipan di atas. Untuk jelasnya, saya kutip ulang di sini.

Suatu hari Jack bertobat dan Yesus Kristus mengubah kehidupannya sehingga seketika itu juga ia terlepas dari kebenciannya yang mendarah daging itu. Namun, sekalipun ia sudah lahir baru, perasaan terluka akibat kematian ayahnya itu masih menggores di hatinya. Suatu malam dalam kebaktian di gereja, firman Allah seakan-akan berbicara secara langsung kepadanya bahwa kalau ia tidak mengampuni, Allah juga tidak akan mengampuninya.

 

Bagaimana mungkin Allah bisa tidak mengampuni kalau Jack betul-betul sudah bertobat / lahir baru? Kalau pengampunan Allah didasarkan pada pengampunan kita kepada orang-orang yang bersalah kepada kita, maka itu berarti kita percaya pada keselamatan karena perbuatan baik, yang merupakan ajaran sesat.

 

Tetapi lalu bagaimana dengan ayat-ayat di bawah ini?

 

Mat 6:12,14-15 - “(12) dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; ... (14) Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. (15) Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.’”.

 

Mat 18:21-35 - “(21) Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: ‘Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ (22) Yesus berkata kepadanya: ‘Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. (23) Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. (24) Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. (25) Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. (26) Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. (27) Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. (28) Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! (29) Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. (30) Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. (31) Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. (32) Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. (33) Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? (34) Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. (35) Maka BapaKu yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.’”.

 

Kata-kata Yesus dalam ayat-ayat di atas ini tidak boleh diartikan bahwa pengampunan yang kita berikan menyebabkan kita diampuni. Mengapa? Karena kalau diartikan seperti ini akan menjadi ajaran ‘keselamatan karena perbuatan baik’ yang merupakan ajaran sesat yang bertentangan dengan banyak ayat-ayat Kitab Suci seperti Ef 2:8-9 dan sebagainya. Jadi, bagaimana artinya? Iman kita yang menyebabkan kita diampuni, tetapi iman harus dibuktikan dengan maunya kita mengampuni orang lain.

 

Calvin: “This condition is added, that no one may presume to approach God and ask forgiveness, who is not pure and free from all resentment. And yet the forgiveness, which we ask that God would give us, does not depend on the forgiveness which we grant to others: ... Christ did not intend to point out the cause, but only to remind us of the feelings which we ought to cherish towards brethren, when we desire to be reconciled to God” (= Syarat ini ditambahkan, supaya tak seorangpun berani mendekati Allah dan meminta pengampunan, jika ia tidak murni dan bebas dari semua kemarahan / kebencian. Tetapi pengampunan yang kita minta Allah berikan kepada kita, tidak tergantung pada pengampunan yang kita berikan kepada orang-orang lain: ... Kristus tidak bermaksud untuk menunjukkan penyebabnya, tetapi hanya mengingatkan kita tentang perasaan yang harus kita pelihara terhadap saudara-saudara kita, pada waktu kita ingin diperdamaikan dengan Allah) - hal 327.

 

Jamieson, Fausset & Brown (tentang Mat 6:12): “After what has been said on Matt 5:7, it will not be thought that our Lord here teaches that our exercise of forgiveness toward our offending fellow-men absolutely precedes and is the proper ground of God’s forgiveness of us. His whole teaching, indeed - as of all Scripture - is the reverse of this. But as no one can reasonably imagine himself to be the object of divine forgiveness who is deliberately and habitually unforgiving toward his fellow-men, so it is a beautiful provision to make our right to ask and expect daily forgiveness ... dependent upon our consciousness of a forgiving disposition toward our fellows” (= Setelah apa yang telah dikatakan tentang Mat 5:7, tidak akan dipikirkan bahwa Tuhan kita di sini mengajar bahwa tindakan pengampunan kita terhadap sesama kita yang bersalah kepada kita secara mutlak mendahului dan merupakan dasar yang benar / tepat dari pengampunan Allah kepada kita. Seluruh pengajarannya, bahkan - seperti seluruh pengajaran Kitab Suci - adalah kebalikan dari ini. Tetapi karena tidak seorangpun bisa secara masuk akal membayangkan dirinya sendiri sebagai obyek dari pengampunan ilahi yang secara sengaja dan terus menerus bersikap tidak mengampuni terhadap sesamanya, demikianlah itu merupakan suatu ketetapan / syarat yang indah untuk membuat hak kita untuk meminta dan mengharapkan pengampunan harian ... tergantung pada kesadaran kita tentang suatu kecenderungan mengampuni terhadap sesama kita).

 

Matthew Henry (tentang Mat 6:12): “if there be in us this gracious disposition, it is wrought of God, ... it will be an evidence to us that he has forgiven us, having wrought in us the condition of forgiveness” (= jika di dalam kita ada kecenderungan yang murah hati / bersifat kasih karunia, itu dibuat oleh Allah, ... itu akan merupakan suatu bukti bagi kita bahwa Ia telah mengampuni kita, setelah membuat di dalam kita syarat dari pengampunan).

 

2)      “Seorang pria bernama Hal pernah merasa begitu terancam oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia sebenarnya bertanggung jawab untuk memimpin sekelompok besar kaum pria di kotanya dan harus banyak berurusan dengan orang-orang yang terkenal, kaya, berkuasa dan berprestise. Ia sendiri belum pernah mengalami keberhasilan semacam itu sehingga merasa rendah diri. Perasaan rendah dirinya itu semakin menjadi-jadi dan ia mulai meragukan kemampuannya sebagai seorang pemimpin. Kami bertiga, yaitu Hal, pendetanya, dan saya kemudian meluangkan waktu khusus untuk berdoa bersama-sama. Pada waktu berdoa, pendeta Hal itu mengucapkan kata-kata hikmat yang luar biasa dan akhirnya menjadi kata-kata kesembuhan bagi Hal. ‘Tuhan, ajarkanlah kepada Hal, bahwa ia tidak perlu menjadi sejajar dengan orang-orang yang dilayaninya itu,’ begitulah kata-kata hikmat dari pendeta itu. Kata-kata tersebut segera melepaskan Hal dari segala rasa takut dan rendah dirinya terhadap orang-orang yang dipimpinnya dan memberinya kepercayaan diri untuk melanjutkan kepemimpinannya itu. Masalah yang dialami Hal ini juga sering menimpa banyak gembala sidang yang dipanggil untuk menggembalakan orang-orang yang sukses dan terkemuka. Untuk mengatasinya, mereka tentu saja juga memerlukan kata-kata hikmat yang telah menyembuhkan penyakit rendah diri dari Hal itu” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 314).

 

Tanggapan saya:

 

Banyak kesalahan / keanehan dalam cerita di atas ini:

a)   Pendeta itu berdoa untuk Hal, tetapi penceritaan dari Edwin Louis Cole ini menunjukkan bahwa bukan jawaban doa dari Tuhan yang menyembuhkan Hal, tetapi ‘kata-kata hikmat’ dari pendeta itu. Karena itu Cole bukannya memuji Tuhan tetapi memuji kata-kata hikmat itu!

b)   Pendeta itu berdoa supaya Hal diajar oleh Tuhan untuk tidak perlu menjadi sejajar dengan orang-orang yang dilayaninya. Tetapi apa yang dialami oleh Hal adalah bahwa ia segera terlepas dari segala rasa takut dan rendah dirinya terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Jadi, doa pendeta itu dan apa yang terjadi dalam diri Hal sangat berbeda!

c)      Edwin Louis Cole mengatakan ‘kata-kata hikmat yang luar biasa’.

Bdk. 1Kor 2:1-5 - “(1) Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. (2) Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. (3) Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. (4) Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, (5) supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah”.

d)   Hal segera lepas dari rasa rendah diri. Ini tidak masuk akal. Perubahan hidup / pengudusan selalu merupakan suatu proses yang berjalan / maju sedikit demi sedikit. Karena itu digambarkan sebagai ‘buah’ (Gal 5:22-23), yang membesar dan matang secara bertahap.

e)   Setelah sembuh Hal menjadi percaya diri. PD justru dikecam / dikutuk oleh Alkitab (Yer 9:23-24  Yer 17:5,7).

f)    Apa yang mujarab untuk Hal, diharuskan terjadi untuk orang-orang lain. Ini lagi-lagi salah, karena pengalaman seseorang, kecuali itu didukung oleh Alkitab, tidak harus menjadi pengalaman orang lain.

g)   Semua ini dinyatakan oleh Edwin Louis Cole tanpa dasar Alkitab. Ini ajaran yang hanya didasarkan pada pengalaman.

 

3)      “Pada tahun 1987 di Harare, Zimbabwe, tiga orang wanita menyampaikan ‘suatu perkataan dari Allah’ kepada saya. Pada mulanya seorang mantan inspektur polisi yang membantu mempersiapkan kebaktian kaum pria yang akan kami adakan di negeri itu suatu sore mengatakan kepada saya bahwa ada tiga wanita yang merasa yakin bahwa saya perlu mendengar perkataan mereka. Jadwal saya yang demikian ketat membuat saya tidak dapat bertemu langsung dengan mereka, sehingga inspektur polisi itu menjadi perantara yang menyampaikan pesan tersebut kepada saya. Sebelum menyampaikan pesan itu, sebagai seorang mantan pejabat milter, ia terlebih dahulu membeberkan secara singkat latar belakang negaranya. Negara yang sebelumnya bernama Rhodesia ini dilanda bencana peperangan selama 14 tahun hingga akhirnya berganti nama menjadi Zimbabwe. Pada masa perang itu kaum pria Zimbabwe berjuang di medan tempur selama enam minggu penuh lalu selama enam minggu berikutnya berada di rumah untuk mencari nafkah dan kemudian kembali lagi ke medan perang. Dapat dibayangkan betapa besar ketegangan dan kecemasan yang dirasakan oleh para keluarga dan seluruh bangsa di negeri itu. Wanita-wanita saleh yang ada di negeri itu mulai bangkit dan melakukan doa syafaat bagi kaum pria dan negeri mereka. Seiring dengan berlalunya waktu, mereka mulai menyadari bahwa diri mereka telah berperan sebagai ‘Ester’. Alkitab mencatat Ester sebagai ratu yang bersyafaat demi keselamatan bangsa dan negerinya dan memohonkan semuanya itu kepada raja yang merupakan suaminya sendiri. .... Kaum wanita Rhodesia yang berdoa bagi bangsanya itu menjadi yakin bahwa mereka bertindak demi bangsanya untuk menghadapi masa perang itu. Akhirnya perang itu pun selesai. Rhodesia berubah menjadi Zimbabwe. Kaum pria pun kembali ke keluarganya. Tetapi, kini muncul persoalan baru yang juga memerlukan perhatian dan doa syafaat mereka seperti yang mereka lakukan di masa perang. Di mata mereka, kaum pria itu telah berubah menjadi pasif, mudah berpuas diri, dan patah semangat. Para ‘Ester’ ini melihat bahwa di masa damai itu dibutuhkan juga doa syafaat yang sama banyaknya dengan yang dibutuhkan pada masa perang. Selama 7 tahun berikutnya mereka terus menaikkan doa syafaat tanpa berkeputusan. Suatu hari ketika sedang berdoa, ketiga wanita ini terkesan dengan sesuatu yang mereka yakini sebagai ‘firman’ yang ditujukan bagi kaum pria di negeri mereka. Mereka terus memelihara ‘firman’ itu dan ‘menanti saatnya’ yang tepat untuk menyampaikannya (Habakuk 2:3). Setahun kemudian mereka mendengar bahwa ‘kesempurnaan seorang pria itu sama dengan keserupaan dengan Kristus’. Ini adalah pengajaran yang kami sampaikan di negeri mereka. Setelah mendengar pengajaran itu, mereka yakin bahwa ‘firman’ yang mereka terima itu perlu disampaikan kepada saya dan lembaga pelayanan kami, Christian Men’s Network. ‘Firman’ yang mereka sampaikan itu begitu sederhana hingga hampir saya mengabaikannya. Namun, selang beberapa lama, ‘firman’ itu bertumbuh terus dalam roh saya dan saat ini saya merasa yakin bahwa ‘firman’ itu sesungguhnya berlaku bukan saja bagi kaum pria Zimbabwe, melainkan juga bagi seluruh pria yang hidup di dunia saat ini - khususnya kaum pria yang telah membiarkan wanita memegang tampuk kepemimpinan di gereja, rumah tangga, dan negara. Firman yang disampaikan ketiga wanita itu adalah ‘Dahulu adalah waktu bagi para Ester, namun kini adalah waktu bagi para Daniel’. Sungguh suatu firman yang penuh kuasa. Para Ester itu adalah kaum wanita yang harus menanggung beban dalam teriknya sengatan kehidupan ini dan harus memikul tanggung jawab yang ditinggalkan kaum pria ketika mereka pergi berperang, yang kemudian tidak mereka ambil alih kembali setelah perang usai. Para wanita Zimbabwe itu melihat bahwa keadaan itulah yang menimpa kehidupan bangsa mereka; tetapi saya melihatnya sebagai suatu masalah yang melanda kaum pria di seluruh dunia. Sudah tiba waktunya bagi kaum pria untuk mau memegang kepemimpinan rohani dan moral dalam keluarga, gereja, serta masyarakat. Kaum pria diharapkan menjadi para Daniel masa kini yang memimpin keluarga, gereja, dan negaranya. Ini merupakan panggilan dari Allah, bukan sekadar seruan kaum wanita” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 319-321).

 

Tanggapan saya:

 

a)      Ini cerita yang konyol dan tidak karuan!

Dalam penceritaan waktu perang itu terjadi, dikatakan bahwa Pada masa perang itu kaum pria Zimbabwe berjuang di medan tempur selama enam minggu penuh lalu selama enam minggu berikutnya berada di rumah untuk mencari nafkah dan kemudian kembali lagi ke medan perang’, sedangkan para perempuan / istri hanya berdoa.

Tetapi pada bagian akhir dikatakan bahwa ‘Para Ester itu adalah kaum wanita yang harus menanggung beban dalam teriknya sengatan kehidupan ini dan harus memikul tanggung jawab yang ditinggalkan kaum pria ketika mereka pergi berperang, yang kemudian tidak mereka ambil alih kembali setelah perang usai’.

Mengapa tidak cocok?

 

b)      Ayat Habakuk yang digunakan itu tidak cocok.

Hab 2:3 - “Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh”.

Ini membicarakan penggenapan dari suatu penglihatan, bukan membicarakan tindakan menunggu penyampaian dari ‘firman’ yang diterima seseorang kepada orang lain!

 

4)   Di lain pihak, beberapa orang takut untuk mengatakan kebenaran. Mereka takut melukai hati orang lain, atau mereka takut kehilangan kasih dari mereka. Mereka sesungguhnya tidak menyadari bahwa hal itu merupakan kebenaran, yakni membicarakannya di dalam kasih merupakan satu-satunya cara untuk menyatakan kasih yang sebenarnya. Saya menyebut bentuk kasih yang terakhir ini sebagai kasih sayang terbaik. Izinkanlah saya memberikan sebuah ilustrasi. Ketika saya sedang berkhotbah, di tengah-tengah acara kebaktian, seseorang mengangkat tangannya sambil menggenggam sebuah catatan yang mengatakan bahwa rumah salah seorang dari jemaat yang hadir dalam kebaktian baru saja terbakar. Apa yang harus saya perbuat? Orang tersebut berada dalam situasi berbahaya dan ia segera akan kehilangan segala sesuatu yang ia miliki. Tetapi, bila saya menyela acara kebaktian itu dan mengatakan hal itu kepadanya, saya akan membuatnya bingung dan mungkin pula akan merasa sedih, atau malah mungkin akan membuat hatinya terluka. Karena itu, saya tidak ingin ia mengalami banyak kesulitan, kesedihan, atau kebingungan. Dan, saya akhirnya memutuskan untuk tidak memberitakan informasi itu. Kemudian, setelah kebaktian, dalam keadaan ketakutan seorang anggota jemaat datang sambil menangis, ‘Rumah saya hangus terbakar!’ ‘Ya, saya sudah tahu,’ respons saya. Anggota jemaat yang mengalami musibah itu menatap saya dengan mata terbelalak. ‘Anda sudah tahu?’ ‘Betul,’ saya menegaskan. ‘Masih ingatkah Anda dengan tangan yang teracung ke atas sambil memegang catatan ketika acara kebaktian sedang berlangsung? Catatan itu mengatakan, bahwa rumah Anda terbakar.’ ‘Mengapa Anda tidak mengatakannya kepada saya?’ Dan, jawaban saya sederhana saja: ‘Saya tidak ingin mengatakannya kepada Anda karena saya tahu hal itu akan membuat Anda sedih.’” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 33).

 

Tanggapan saya:

Saya tidak mengerti omongan kacau balau ini. Apa yang Edwin Louis Cole lakukan bertentangan dengan apa yang ia katakan. Apakah ilustrasi itu bukan sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, dan hanya mengilustrasikan suatu ketololan seandainya ia melakukannya? Tetapi dari penceritaannya rasanya tidak demikian. Rasanya itu sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi.

Jadi, pada bagian awal Edwin Louis Cole mengatakan dengan nada mengecam, orang-orang yang takut untuk mengatakan kebenaran. Tetapi dalam ilustrasi yang ia ceritakan, ia sedang berkhotbah, pada waktu seseorang menunjukkan suatu catatan bahwa rumah dari seorang jemaat baru saja terbakar. Tetapi Cole ternyata tidak memberitakan hal itu kepada jemaat itu, karena takut bahwa jemaat itu akan menjadi sedih! Betul-betul lucu!

 

5)      “Ketika saya masih kanak-kanak, dan ibu saya bertugas di sebuah Sekolah Alkitab di Los Angeles, saya pergi bersamanya dengan murid-murid yang lain ke suatu daerah yang runtuh akibat keributan yang terjadi. Di tempat itulah mereka melakukan pemberitaan Injil. Ibu, Annie, dan mereka semua mengambil gitar, tamborin, dan drum besar. Di sudut jalan itu, mereka bermain musik dan bernyanyi sambil memberitakan Injil. Mereka melayani masyarakat yang mengalami penderitaan yang sangat dalam itu. Suatu sore, setiap orang sedang menyanyikan lagu rohani lama: ‘Dosa dapat di hapus, hanya oleh darah Yesus ...’ Seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok kami, dengan tubuh yang tidak terawat, tampaknya ia seorang pecandu berat alkohol datang mendekati Annie. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut dia ‘winos’. Sama seperti yang lainnya, sepotong rokok lusuh menempal di celah-celah jarinya yang kuning dengan kukunya yang kotor. Ia menggunakan kaca mata bergagang tipis, Kulitnya penuh daki, pakaiannya terbuat dari karung, dan napasnya mengeluarkan aroma anggur murahan. Ia menarik lengan Annie, tetapi Annie segera menepisnya. Beberapa kali ia melakukan hal yang sama, sampai akhirnya ia menarik Annie ke arahnya, sehingga pria itu bisa berbicara kepada Annie sementara teman-teman yang lain masih tetap bernyanyi. ‘Saya tahu, apa yang Anda katakan itu benar,’ ia berkata perlahan dan berbisik, dengan suara aneh, janggal, dan parau. ‘Tidak ada yang bisa membasuh dosa kita selain darah Yesus.’ Saya berdiri di sana, mendengar, mengamati, serta merenungkannya. ‘Saya pernah memimpin sebuah seminari,’ ia meneruskan kata-katanya. ‘Saya tahu semua itu. Tetapi, perlu Anda camkan dan ketahui, ada perbedaan, perbedaan yang besar antara dibasuh menjadi putih dengan membasuh menjadi putih.’ Kemudian, ia melengos pergi sambil terhuyung-huyung. Sementara ia berlalu kata-katanya tetap membekas, dan tetap ada dalam ingatan saya sampai saat ini. Allah telah membasuh menjadi putih. Dosa yang tidak diakui adalah dosa yang tidak diampuni. Hikmat manusia menghalangi. Hikmat Allah menyingkapnya. Manusia dibasuh menjadi putih. Allah membasuh menjadi putih.” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 36-37).

 

Tanggapan saya:

Cerita ini konyol dan tak bisa saya mengerti apa maksudnya. Sama sekali tidak ada apa-apanya, tetapi diceritakan sedemikian rupa seakan-akan ini merupakan cerita yang luar biasa.

 

6)      “Selama berada di pekarangan, ia mendengar suara dari dalam dirinya yang berkata, ‘Pergilah.’ Pada kesempatan lain, suara yang sama mengatakan hal yang sama lagi. ... Ia ingin tahu, ‘Apakah Roh Kudus yang berbicara kepada saya, ataukah setan - atau yang lain?’ Semakin kami banyak bercakap-cakap, semakin saya menyadari bahwa Allah sedang bekerja di dalam kehidupannya. Tetapi, Rick belum menyadari hal itu. ... Dan kemudian, saya masih tetap mendengar suara ini berkata di dalam diri saya, pergilah.’’. Rick sudah menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadinya beberapa tahun yang lalu. Tetapi, ia belum pernah membuat sebuah komitmen secara menyeluruh. Beberapa bagian dari kehidupannya masih berada di bawah pengawasan pribadi, bukan di bawah pengawasan Allah. Setelah kami berbincang-bincang, kami berdoa bersama. Sinar terang mulai menyeruak di dalam hati Rick. Suara yang ada di dalam diri Rick sesungguhnya adalah suara Allah yang berbicara melalui Roh Kudus. ‘Pergilah’ berarti, pergilah, bebaskan dirimu dan kemudian serahkanlah dirimu sepenuhnya ke dalam genggaman tangan Tuhan, percaya penuh kepada-Nya. Rick memahami perkataan Allah yang sederhana itu, ‘Tinggalkan semua caramu sendiri, dan bergantung sepenuhnya di dalam Aku.’ (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 84-85).

 

Tanggapan saya:

Kok aneh, kata ‘pergilah’ di artikan seperti itu??? Dan itu disebut ‘sederhana’?

 

7)      “Tim dan Alice datang kepada saya untuk melakukan konseling. Mereka mengalami penderitaan di dalam pernikahan mereka, padahal Tim adalah seorang hamba Tuhan. Karena hal itu, Tim merasa takut untuk mengungkapkan segala sesuatu yang menyangkut tentang dirinya, takut terhadap tanggapan istrinya terhadap dia. Ada kepedihan di dalam hati dan roh Alice. Juga, ada kegelisahan di dalam diri Tim. Tim berasal dari keluarga pria ‘macho’, di mana kaum prialah yang menguasai segala sesuatunya. Ayah dan saudara laki-lakinya adalah seorang yang tidak beradat, kasar, dan kebanyakan dari mereka bertingkah laku yang tidak bermoral dan juga tidak senonoh. Akan tetapi Tim sudah dipengaruhi oleh firman Allah dan kepada pewahyuan dari jiwanya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat pribadinya. Ia sudah bertobat dari dosa-dosanya, percaya kepada Tuhan dan menjadi manusia baru ketika Roh Kudus masuk ke dalam hidupnya di dalam kuasa penyelamatan. Karena anugerah Allah yang besar yang ia saksikan, sukacita karena dosanya sudah diampuni, dan kerinduan untuk memberitakan Injil kepada sebanyak mungkin orang, ia kemudian memutuskan untuk mengikuti sekolah Alkitab. Alice ialah seorang guru Sekolah Minggu. Ia dibesarkan di lingkungan gereja, ia belum pernah mengenal lingkungan lain selain kehidupan dan budaya kristiani. Alice, sama seperti Tim, ingin pula menyaksikan kasihnya kepada Yesus kepada seluruh dunia, dan untuk memperlengkapi dirinya dalam misi tersebut, ia mendaftarkan dirinya di sebuah sekolah Alkitab. Tim dan Alice bertemu dan berkenalan di sekolah Alkitab. Mereka berpacaran selama setahun. Saat yang dinanti-nantikan Alice pun datang, ia menerima lamaran Tim, dan mereka segera mengumumkan pertunangan mereka. Tiga minggu sebelum pernikahan dilangsungkan, mereka pergi ke suatu tempat yang tersembunyi. Memeluk Alice membuat gairah Tim meningkat, dan Alice pun menjadi lebih terlena, dan kelihatannya ia sudah tidak mampu lagi untuk menghentikan cumbuan Tim. Tim tidak pernah punya standar kerohanian dan standar alkitabiah untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pikir Tim: mereka akan menikah tiga minggu lagi - kenapa harus menunggu? Alice tahu lebih banyak mengenai kebenaran, tetapi ia tidak ingin mengecewakan Tim. Akhirnya, ia pasrah. Mereka melakukan hubungan sex di ruang belakang sebuah gedung tua. Enam tahun setelah itu, mereka ada di kantor saya. Di depan umum kehidupan mereka tampaknya penuh kasih sayang, tetapi sesungguhnya mereka mudah mengubah pendirian, mengeluarkan kata-kata kasar, menuduh dengan sengit, termasuk kekejaman fisik yang dilakukan akibat persoalan yang tidak bisa dipecahkan, perbuatan yang tidak mengampuni, dan kasih yang tidak sepenuhnya. Tim mengeluhkan permusuhan tersembunyi yang dilakukan Alice. Alice mengecam rasa tidak bertanggung jawab Tim terhadap dirinya. Berjam-jam saya mengarahkan mereka dari satu pemikiran ke pemikiran yang lain, dan dari satu perasaan ke perasaan yang lain. Akhirnya, kami menemukan batuan keras yang merupakan penghalang hubungan mereka selama ini. Setelah enam tahun pernikahan mereka, Alice mengatakan dengan terus terang tentang apa yang membuat ia tertekan selama ini. Ia sangat membenci Tim karena tidak membiarkan dirinya untuk tetap perawan sampai mereka menuju pernikahan. Dihadapkan dengan masalah itu, Tim memandang Alice dengan perasaan heran bercampur marah. ‘Maksudmu, kau menyalahkan aku atas semua masalah yang pernah kita lakukan? Menyalahkanku karena satu perkara itu? Aku sama sekali tidak pernah mengetahui bahwa hal itu sangat mempengaruhimu!’ Kemarahannya pun meledak. Saya memotong pembicaraan mereka. ‘Tuan, sebenarnya masalah itu ada pada diri Anda - di pihak Anda. Kecuali, kalau Anda mau menerima tanggung jawab Anda atas istri Anda yang sudah merasakan kehilangan dan malu, kecuali kalau Anda mau memohon pengampunan atas tindakan itu, Anda tidak akan pernah mempunyai hubungan yang sehat dengan istri Anda.’ Ia seperti sedang dilanda badai topan yang dahsyat. Wajahnya pucat pasi. Tetapi, setelah ia memikirkannya di rumah, is mulai melihat betapa pentingnya keperawanan itu. Ia merampas apa yang oleh Alice dianggap sebagai pemberian yang paling berharga yang kelak akan diberikan kepadanya. Perbuatan kotor yang mereka lakukan di ruangan belakang gedung tua itu tidak lebih dari sekadar pemerkosaan atas dirinya dibandingkan aktivitas biologis atas dasar kasih yang tertinggi antara seorang pria dengan seorang wanita. Akhirnya, waktu itu datang juga ketika ia harus mengakuinya, bahwa gairah birahinyalah, bukan kasihnya yang telah menyebabkan persoalan. Itu merupakan kesalahannya, dosanya, dan ia bertobat dari hal itu, memohon pengampunan kepada istrinya dan mengadakan pemulihan kepada istrinya. Istrinya sungguh-sungguh mengampuninya. Permusuhan terhadap dirinya tidak ada lagi, dan kehidupan mereka berubah secara dramatis” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 126-128).

 

Tanggapan saya:

Cerita ini merupakan suatu omong kosong dan salah. Dua orang yang pacaran menjadi begitu bernafsu sehingga akhirnya melakukan hubungan sex. Dikatakan Alice pun ‘menjadi lebih terlena’ dan ‘tidak mampu lagi untuk menghentikan cumbuan Tim’. Juga dikatakan ‘ia tidak ingin mengecewakan Tim. Akhirnya ia pasrah’. Lalu mengapa wanitanya marah? Dan mengapa Tim yang disalahkan dan harus minta maaf? Mengapa disebut sebagai ‘pemerkosaan’? Tidak ada pemerkosaan! Mereka melakukan atas dasar mau sama mau! Jadi, keduanya sama-sama salah, dan sama-sama harus minta ampun kepada Tuhan, dan bukan satu kepada yang lain!

 

Dan dalam cerita ini juga ada kejanggalan-kejanggalan theologis:

a)   Mula-mula dikatakan Tim ‘sudah dipengaruhi oleh firman Allah dan kepada pewahyuan dari jiwanya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat pribadinya. Ia sudah bertobat dari dosa-dosanya, percaya kepada Tuhan dan menjadi manusia baru ketika Roh Kudus masuk ke dalam hidupnya di dalam kuasa penyelamatan’.

Tetapi di bagian bawah dikatakan Tim tidak pernah punya standar kerohanian dan standar alkitabiah untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah’.

Tidakkah kedua pernyataan ini saling bertentangan?

b)   Kata-kata Ia sudah bertobat dari dosa-dosanya, percaya kepada Tuhan dan menjadi manusia baru ketika Roh Kudus masuk ke dalam hidupnya di dalam kuasa penyelamatan’ juga salah / sesat secara theologis, karena:

1. Menunjukkan bahwa pertobatan dari dosa terjadi lebih dulu dari masuknya Roh Kudus ke dalam hidupnya.

2. Edwin Louis Cole mengatakan bahwa ‘Roh Kudus masuk di dalam hidupnya di dalam kuasa penyelamatan’.

Setelah ia bertobat dari dosa, Roh Kudus masuk, dan menyelamatkan? Ini terbalik tidak karuan! Mestinya percaya Yesus dulu, lalu diselamatkan, dan Roh Kudus masuk (Ef 1:13), lalu terjadi perubahan / pertobatan dari dosa (Gal 5:22-23).

 

-bersambung-

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ

Channel Live Streaming Youtube :  bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali