Pemahaman
Alkitab
(Rungkut Megah
Raya, Blok D 16)
Jumat, tanggal
10 Desember 2010, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(7064-1331 /
6050-1331)
Pria
sejati / maximal (10)
10)
“Etika bukanlah sekedar mata kuliah bagi mahasiswa yang menekuni
jurusan filsafat” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 311).
Tanggapan
saya:
Saya
tak mengerti apa hubungan etika dan filsafat!
11)
“Kaum Saduki adalah orang yang gemar mengubah hal-hal yang mutlak
menjadi bersifat relatif” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 312).
Tanggapan
saya:
Apa
iya? Apa dasarnya mengatakan hal ini?
12)
“Kemampuan untuk mengakui keunikan orang lain merupakan suatu
kekuatan tersendiri. Kaum wanita diciptakan dengan
suatu keunikan yang berasal dari Allah sendiri. Apabila
seorang suami mampu menerima dan menghargai keunikan itu, maka istrinya akan
menjadi istri dan sahabat terbaik baginya, dan akan menyempurnakan kehidupannya.
Kalau keunikan seorang wanita diabaikan, dipadamkan, atau hanya dipandang
sebagai pembangkit hawa nafsu, maka ia akan menjadi wanita yang tidak utuh dan
tidak pernah dapat merasakan kepuasan dalam hidupnya” (‘Menjadi Pria
Sejati’, hal 330-331).
Tanggapan saya:
a)
Keunikan apa yang ia maksudkan? Hanya kaum wanita punya keunikan itu?
Menurut saya setiap orang, pria atau wanita, adalah unik!
b)
Bagian bawah kutipan itu (yang saya beri garis bawah ganda) menunjukkan
bahwa kebahagiaan seorang istri secara mutlak tergantung dari sikap suaminya
terhadap dia. Ini omong kosong! Tidak peduli bagaimana sikap suaminya terhadap
dia, kalau ia menghadapinya dengan benar, ia bisa bahagia!
13)
“Hati dan pikiran para veteran perang Vietnam yang sebelumnya selalu
dihantui mimpi buruk, kepahitan, kedengkian, permusuhan, dan kebencian saat itu
dibasuh oleh firman dan Roh Yesus Kristus” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal
359).
Tanggapan
saya:
Bukan
darah Kristus yang membasuh? Tetapi firman dan Roh Yesus Kristus? Ini ngawur /
sesat! Dosa hanya bisa dihapus oleh darah Kristus (1Pet 1:18-19). Kalau
untuk pengudusan, baru itu berurusan dengan Firman Tuhan dan Roh Kudus (Yoh 15:3
Yoh 17:17 Gal 5:22-23).
1Pet
1:18-19 - “(18) Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu
yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang
fana, bukan pula dengan perak atau emas, (19) melainkan dengan darah yang mahal,
yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak
bercacat”.
Yoh
15:3 - “Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan
kepadamu”.
Gal 5:22-23
- “(22) Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
kemurahan, kebaikan, kesetiaan, (23) kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada
hukum yang menentang hal-hal itu”.
14)
“Minggu lalu saya menerima surat dari seorang hamba Tuhan yang
menulis tentang ‘hari-hari akhir’ dan penghakiman yang akan Allah lakukan
terhadap dunia ini. Memang kita perlu memikirkan hal-hal tersebut. Namun, jangan
sampai berita negatif itu menghimpit berita yang positif, yaitu
bahwa manusia juga dapat menyenangkan hati Allah!” (‘Menjadi Pria
Sejati’, hal 359).
Tanggapan
saya:
Berita
tentang akhir jaman dan penghakiman ia sebut ‘berita negatif’?? Apa yang ia
sebut ‘berita yang positif’ itu tidak akan terjadi kalau tidak ada ‘berita
negatif’ itu!
Luk 21:34-36
- “(34) ‘Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora
dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan supaya hari
Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat. (35)
Sebab ia akan menimpa semua penduduk bumi ini. (36) Berjaga-jagalah
senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan untuk luput dari
semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu
tahan berdiri di hadapan Anak Manusia.’”.
1Tes
5:1-10 - “(1) Tetapi tentang zaman dan masa, saudara-saudara, tidak perlu
dituliskan kepadamu, (2) karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari
Tuhan datang seperti pencuri pada malam. (3) Apabila mereka mengatakan:
Semuanya damai dan aman - maka tiba-tiba mereka ditimpa oleh kebinasaan, seperti
seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin - mereka pasti tidak
akan luput. (4) Tetapi kamu, saudara-saudara, kamu tidak hidup di dalam
kegelapan, sehingga hari itu tiba-tiba
mendatangi kamu seperti pencuri, (5) karena kamu semua adalah anak-anak
terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang
kegelapan. (6) Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain,
tetapi berjaga-jaga dan sadar. (7) Sebab mereka yang tidur, tidur waktu
malam dan mereka yang mabuk, mabuk waktu malam. (8) Tetapi kita, yang adalah
orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan
berketopongkan pengharapan keselamatan. (9) Karena Allah tidak menetapkan
kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus,
Tuhan kita, (10) yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga,
entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia”.
Ibr
10:25 - “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah
kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling
menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari
Tuhan yang mendekat”.
Catatan:
yang saya beri garis bawah tunggal adalah ‘berita positif’, sedangkan yang
saya beri garis bawah ganda adalah ‘berita negatif’. Keduanya jelas
berhubungan, dan ‘berita negatif’ itu yang menyebabkan kita mentaati
‘berita positif’!
15)
“Allah berkenan tidak hanya kepada keilahian Yesus, tetapi juga
kepada kemanusiaan yang diperlihatkanNya” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal
361).
Tanggapan
saya:
Ini
omongan apa???
16)
“Dalam diri Yesus, Allah mewujudkan secara nyata apa yang telah
difirmankanNya, yaitu bahwa Ia menciptakan pria ‘menurut gambarNya’ ...
Bagaimana kita dapat menghampiri Allah-manusia, Yesus Kristus ini? Bahkan bagaimana mungkin kita dapat menyamai sifat-sifat ilahi dari Allah yang
Mahakudus yang menyatakan diri di bumi sebagai seorang Pria? Saya
mengakui bahwa saya belum mendapatkan seluruh jawabannya.” (‘Menjadi
Pria Sejati’, hal 8).
Tanggapan
saya:
a)
Gila, siapa yang menyuruh kita menyamai sifat ilahi dari Yesus?
b)
Ia mengatakan ‘Saya mengakui
bahwa saya belum mendapatkan seluruh jawabannya’. Jadi ia sudah
mendapatkan sebagian jawabannya? Mengapa ia tidak memberitahukan apa yang
sebagian itu?
17)
“Kepriaan ada di dalam roh” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’,
hal 112).
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi,
kata-kata gila dari orang yang asal mangap / buka mulut!
18)
“Anda bisa memperoleh kerohanian di dalam gereja dari kaum wanita,
tetapi Anda hanya mendapatkan kekuatan dari kaum pria” (‘Kesempurnaan
Seorang Pria’, hal 136).
Tanggapan
saya:
Apa
bisa ada kekuatan tanpa kerohanian?
19)
“Apa yang Anda percaya tentang Allah menunjukkan apa yang Anda
percaya tentang diri Anda sendiri” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal
151).
Tanggapan
saya:
Lagi-lagi
suatu kegilaan! Kalau saya mempercayai bahwa Allah itu maha kuasa, apakah saya
percaya bahwa diri saya juga maha kuasa? Kalau saya percaya bahwa Allah itu
kekal, dan ada tanpa diciptakan, dan tidak ada saat dimana Dia tidak ada atau
belum ada, apakah saya mempercayai bahwa diri saya juga seperti itu??
20)
“Yang menjadi topik saat ini adalah pesan dari kisah penginjilan dan
kebenaran utamanya. Kebenaran ini adalah tentang salib, simbol kekristenan.
Simbol itu bukanlah palungan atau kubur kosong, tetapi salib di Golgota. Yesus
lahir dalam sebuah palungan dan bangkit dari dalam kubur, tetapi penebusan
manusia dilakukan di atas kayu salib. ... Salib merupakan topik utama dari
Alkitab. ... Salib adalah puncak penyembahan;
pertama adalah altar, lalu tabernakel, rumah ibadah dan akhirnya Golgota”
(‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 151,152).
Tanggapan
saya:
Omongan
konyol! Sebelum pendirian Kemah Suci, orang-orang yang beriman memang mendirikan
mezbah (pada jaman Abraham dsb). Lalu muncul Kemah Suci / tabernakel (jaman
Musa). Seharusnya lalu muncul Bait Allah (jaman Salomo), dan akhirnya gereja.
Tetapi Edwin Louis Cole tahu-tahu mengatakan ‘rumah ibadah’, dan akhirnya
Golgota. Apa ini dan dari mana?
21)
“Mengapa pria itu begitu penting? Lima
kitab pertama dalam Alkitab adalah kisah tentang tujuh orang pria. Kisah
Allah tersingkap melalui manusia (pria???). Allah menyingkapkan
Diri-Nya sebagai Bapa kita”
(‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 163).
Tanggapan
saya:
a)
Lima kitab pertama adalah Kejadian - Ulangan. Siapa tujuh orang pria
itu???? Ada banyak pria dalam 5 kitab itu, jauh lebih banyak dari 7! Anak-anak
Yakub saja ada 12 pria!
b)
Kisah Allah?? Tersingkap melalui manusia (pria)???
c)
Allah menyingkapkan DiriNya sebagai Bapa kita?? Ini bukan sesuatu yang
bisa dipilih oleh Allah. Ia memang adalah Bapa, dan tidak bisa menyatakan diri
sebagai sesuatu yang lain. Ia harus menyatakan diriNya sebagaimana adanya Dia,
yaitu sebagai Bapa!
22)
“Rohnya terlihat sangat lapar” (‘Kesempurnaan Seorang
Pria’, hal 35).
Tanggapan
saya:
Bagaimana
kelihatannya roh yang sangat lapar???
23)
“Allah menghendaki Adam benar-benar menjadi seorang pria. Oleh
karena itulah Dia mengajukan pertanyaan berikut ini
kepada Adam, ‘Jawab pertanyaan ini: Engkau memakannya atau tidak?’
Namun, Adam ternyata menjawabnya demikian, ‘Perempuan yang Kautempatkan di
sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.’ Adam telah gagal dalam menghadapi ujian jati diri pria yang diajukan
Allah. ... Jawaban Adam tersebut
menentukan jalan kehidupan seluruh kaum pria sejak saat itu”
(‘Menjadi Pria Sejati’, hal 227).
Tanggapan
saya:
a)
Allah tidak pernah bertanya / berkata kepada Adam ‘Jawab
pertanyaan ini: Engkau memakannya atau tidak?’.
Bdk.
Kej 3:11-12 - “(11) FirmanNya: ‘Siapakah yang memberitahukan
kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang
Kularang engkau makan itu?’ (12) Manusia itu menjawab: ‘Perempuan yang
Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka
kumakan.’”.
Jadi,
yang Allah tanyakan adalah: “FirmanNya: ‘Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau
telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan
itu?’” (Kej 3:11). Dan Ia menanyakan pertanyaan ini supaya Adam mau
mengakui dosanya, bukan karena Ia ‘menghendaki
Adam benar-benar menjadi seorang pria’ atau untuk memberikan ‘ujian
jati diri pria’ kepada Adam!
Juga
pada waktu Adam mengatakan / menjawab ‘Perempuan yang Kautempatkan di
sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan.’ (Kej 3:12), ia bukannya ‘gagal
dalam menghadapi ujian jati diri pria’,
tetapi sekedar tidak mengakui dosanya
tetapi melemparkan tanggung jawab kepada Hawa.
b)
Apa yang Cole maksudkan dengan kata-kata ‘Yang
menentukan jalan kehidupan seluruh kaum pria sejak saat itu’? Kalau yang
Cole maksudkan adalah bahwa sejak saat itu manusia semuanya menjadi berdosa,
maka itu disebabkan karena dosa Adam, bukan karena jawaban Adam
terhadap pertanyaan Allah!
c)
Kalau Kej 3:11b dianggap sebagai ujian jati diri pria, dan Kej 3:12
sebagai kegagalan Adam dalam ujian tersebut, lalu bagaimana pandangan Edwin
Louis Cole terhadap Kej 3:13 - “Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada
perempuan itu: ‘Apakah yang telah kauperbuat ini?’ Jawab perempuan itu:
‘Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan.’”? Apakah ini juga
merupakan ujian jati diri pria? Atau ujian jati diri wanita? Dam Hawa juga gagal
dalam ujian tersebut?
24)
“Begitu juga sikap Allah terhadap anak-anakNya. Ia mengharapkan kita
menjadi pria yang bersedia memikul tanggung jawab. Adam adalah pria pertama yang
tidak mau bertanggung jawab dan ternyata ia bukan pria yang terakhir yang
berlaku demikian” (‘Menjadi Pria Sejati’, hal 229).
Tanggapan saya:
Saya
setuju dengan kata-kata ini, dan Edwin Louis Cole sendiri termasuk salah satu di
antara pria-pria yang tidak bertanggung jawab itu, khususnya pada waktu ia
membuang semua tugasnya dalam waktu 24 jam!
E)
Cerita-cerita konyol yang dijadikan ajaran / dasar ajaran.
1) “Jack
King adalah perwakilan ladang misi bagi Christian Men’s Network. Kami sering
bekerja, berdoa, mengadakan perjalanan, dan melayani bersama-sama ke seluruh
dunia. Ia masuk ke dalam lembaga pelayanan ini dengan suatu kesaksian yang
mengesankan. ‘Pembunuhan Bergaya Hukuman Mati’, begitulah bunyi kepala
berita di surat kabar ketika ayah Jack ditemukan terbunuh dengan luka tembakan
di wajahnya. Selama bertahun-tahun kemudian Jack selalu menenteng pistol ke mana
pun ia pergi dan sebagian besar waktunya dihabiskan untuk merencanakan
pembalasan yang setimpal bagi orang yang telah membunuh ayahnya. Sebagai mantan
sersan pelatih di Angkatan Darat Amerika Serikat, Jack memiliki tabiat yang
keras dan kasar yang kini berubah menjadi kebencian yang mendalam terhadap si
pembunuh dan kehausan untuk membalas dendam. Lebih buruk lagi, ia merasa tahu
pasti orang yang membunuh ayahnya - seorang rekan bisnis ayahnya. Suatu hari
Jack bertobat dan Yesus Kristus mengubah kehidupannya sehingga seketika itu juga
ia terlepas dari kebenciannya yang mendarah daging itu. Namun, sekalipun ia
sudah lahir baru, perasaan terluka akibat kematian ayahnya itu masih menggores
di hatinya. Suatu malam dalam kebaktian di gereja, firman Allah seakan-akan
berbicara secara langsung kepadanya bahwa kalau ia tidak mengampuni, Allah juga
tidak akan mengampuninya. Pada saat itu juga ia berdoa dan meminta
pengampunan Allah atas kebencian dan usaha pembunuhan yang pernah
direncanakannya itu. Ia percaya Allah mendengar dan menjawab doanya, namun ia
sama sekali belum siap sewaktu Allah langsung memberinya ujian. Beberapa malam
kemudian istrinya memintanya pergi ke toko daging untuk membeli daging sapi.
Ketika sedang mengendarai mobilnya menembus kegelapan malam, ia melihat
sekumpulan orang banyak sedang menyaksikan kebakaran yang terjadi di seberang
jalan. Setelah makin dekat, Jack segera mengenali daerah itu sebagai kompleks
gudang tempat ia menemukan mayat ayahnya. Gudang itu sekarang dimiliki oleh pria
yang diyakini Jack bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Sambil menggumam,
‘Rasain kamu,’ Jack terus melanjutkan perjalanannya ke toko daging. Namun,
ada ‘suara kecil’ dalam hatinya yang mengatakan bahwa ia perlu menemui pria
itu dan meminta ampun kepadanya. Ketika meninggalkan toko dan bersiap pulang,
suara itu masih tetap berbicara dan membuat Jack tiba-tiba berbelok ke jalan itu
untuk mencari bekas musuhnya. Jack turun dari mobil tepat di tempat ayahnya
ditemukan tewas. Ia lalu berjalan menyusuri gang yang gelap sambil mengamati
keributan akibat kebakaran itu dan matanya sibuk mencari rekan bisnis ayahnya
itu. Dalam kilasan lampu-lampu mobil pemadam kebakaran Jack melihat ada
seseorang yang juga berdiri di gang yang gelap itu. Dengan menajamkan pandangan
matanya menembus kegelapan dan gumpalan asap, Jack melihat bahwa itu adalah
orang yang dicarinya. Dikumpulkannya segenap kekuatannya, lalu ia melangkah
mendekati orang itu dan bertanya, ‘Anda kenal saya?’ ‘Rasanya saya
kenal,’ jawab orang itu tercekat. ‘Saya Jack King.’ Meskipun keadaan di
tempat itu cukup gelap, Jack dapat melihat wajah orang itu pucat pasi karena
ketakutan. Belakangan Jack baru mengetahui bahwa orang itu mengira Jack telah
sengaja membakar gudang itu dan kini hendak menuntaskan pembalasannya. ‘Allah
telah mengubah kehidupan saya,’ kata Jack kepadanya ‘dan saya datang untuk
meminta Anda mengampuni saya karena saya telah menuduh Anda membunuh ayah saya.
Saya mau membereskan kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan sebelum
bertobat. Salah satunya adalah meminta Anda mengampuni saya karena saya telah
membenci Anda dan mengejar-ngejar Anda selama beberapa tahun belakangan ini.
Juga karena saya pernah berusaha menghancurkan kehidupan Anda, keluarga Anda,
dan karier Anda.’ ‘Yah, baik,’ jawab orang itu. ‘Saya ingin Anda
mengampuni saya atas semua kejahatan yang telah saya lakukan pada Anda,’ desak
Jack. ‘Ampunilah saya.’ ‘Baiklah. Anda sudah saya ampuni,’ kata orang
itu cepat-cepat. Jelas terlihat bahwa ia ingin percakapan itu segera berakhir
saja. ‘Tidak,’ desak Jack dengan nada yang semakin tegas. ‘Saya ingin Anda
benar-benar mengampuni saya, bukan sekadar dengan perkataan, namun juga dengan
sikap yang nyata. Saya tidak mau lagi melukai Anda atau berniat buruk terhadap
Anda. Saya ingin Anda tahu itu.’ Keduanya terdiam untuk sesaat lamanya.
Akhirnya orang itu menarik napas dalam-dalam, kemudian dengan sikap mantap ia
mengampuni Jack. Jack meraih tangan orang itu dan mereka bersalaman”
(‘Menjadi Pria Sejati’, hal 231-233).
“Jack
bersukacita karena menyadari dirinya telah bertindak sebagai ‘pria sejati’.
Sejak saat itu Jack King telah benar-benar berubah menjadi pria yang baru. ...
Tetapi akhirnya ia menyadari bahwa kesediaan memikul tanggung jawab atas
perbuatannya sendiri serta kerelaan untuk mengampuni orang lain membuatnya
menemukan jati dirinya sebagai pria sejati yang tidak mungkin diperolehnya
dengan cara lain” (‘Menjadi Pria
Sejati’, hal 234).
Tanggapan
saya:
a)
Jack belum menyakiti orang itu, dan Allah menyuruh ia minta ampun kepada
orang itu? Menurut saya ini merupakan kegilaan! Lalu pembunuhan itu dibiarkan
begitu saja? Setelah cerita ini (‘Menjadi Pria Sejati’ hal 234), Edwin Louis
Cole mengutip Ro 12:19 (‘pembalasan
adalah hakKu’). Apakah ia tidak menyadari bahwa Allah juga yang mengangkat
pemerintah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat?
Ro 13:4
- “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika
engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah
menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah
atas mereka yang berbuat jahat”.
b)
Perhatikan kalimat yang saya garis-bawahi dalam kutipan di atas. Untuk
jelasnya, saya kutip ulang di sini.
“Suatu
hari Jack bertobat dan Yesus Kristus mengubah kehidupannya sehingga seketika itu
juga ia terlepas dari kebenciannya yang mendarah daging itu. Namun, sekalipun ia
sudah lahir baru, perasaan terluka akibat kematian ayahnya itu masih menggores
di hatinya. Suatu malam dalam kebaktian di gereja, firman Allah seakan-akan
berbicara secara langsung kepadanya bahwa kalau ia tidak mengampuni, Allah juga
tidak akan mengampuninya”.
Bagaimana
mungkin Allah bisa tidak mengampuni kalau Jack betul-betul sudah bertobat /
lahir baru? Kalau pengampunan Allah didasarkan pada pengampunan kita kepada
orang-orang yang bersalah kepada kita, maka itu berarti kita percaya pada
keselamatan karena perbuatan baik, yang merupakan ajaran sesat.
Tetapi
lalu bagaimana dengan ayat-ayat di bawah ini?
Mat 6:12,14-15
- “(12) dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga
mengampuni orang yang bersalah kepada kami; ... (14) Karena jikalau kamu
mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. (15)
Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni
kesalahanmu.’”.
Mat 18:21-35
- “(21) Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: ‘Tuhan,
sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap
aku? Sampai tujuh kali?’ (22) Yesus berkata kepadanya: ‘Bukan! Aku berkata
kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.
(23) Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan
perhitungan dengan hamba-hambanya. (24) Setelah ia mulai mengadakan perhitungan
itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. (25)
Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan
supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar
hutangnya. (26) Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu,
segala hutangku akan kulunaskan. (27) Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas
kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya.
(28) Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang
berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu,
katanya: Bayar hutangmu! (29) Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya:
Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. (30) Tetapi ia menolak dan
menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. (31)
Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang
terjadi kepada tuan mereka. (32) Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan
berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan
karena engkau memohonkannya kepadaku. (33) Bukankah engkaupun harus mengasihani
kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? (34) Maka marahlah tuannya itu dan
menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya.
(35) Maka BapaKu yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu,
apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.’”.
Kata-kata Yesus dalam ayat-ayat di atas ini
tidak boleh diartikan bahwa pengampunan yang kita berikan menyebabkan kita
diampuni. Mengapa? Karena kalau diartikan seperti ini akan menjadi ajaran
‘keselamatan karena perbuatan baik’ yang merupakan ajaran sesat yang
bertentangan dengan banyak ayat-ayat Kitab Suci seperti Ef 2:8-9 dan
sebagainya. Jadi, bagaimana artinya? Iman kita yang menyebabkan kita diampuni,
tetapi iman harus dibuktikan dengan maunya kita mengampuni orang lain.
Calvin:
“This condition is added, that no one may presume to approach God and
ask forgiveness, who is not pure and free from all resentment. And yet the
forgiveness, which we ask that God would give us, does not depend on the
forgiveness which we grant to others: ... Christ did not intend to point out
the cause, but only to remind us of the feelings which we ought to cherish
towards brethren, when we desire to be reconciled to God” (= Syarat
ini ditambahkan, supaya tak seorangpun berani mendekati Allah dan meminta
pengampunan, jika ia tidak murni dan bebas dari semua kemarahan / kebencian. Tetapi
pengampunan yang kita minta Allah berikan kepada kita, tidak tergantung pada
pengampunan yang kita berikan kepada orang-orang lain: ... Kristus tidak
bermaksud untuk menunjukkan penyebabnya, tetapi hanya mengingatkan kita tentang
perasaan yang harus kita pelihara terhadap saudara-saudara kita, pada waktu kita
ingin diperdamaikan dengan Allah) - hal 327.
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Mat 6:12):
“After
what has been said on Matt 5:7, it will not be thought that our Lord here
teaches that our exercise of forgiveness toward our offending fellow-men
absolutely precedes and is the proper ground of God’s forgiveness of us.
His whole teaching, indeed - as of all Scripture - is the reverse of this. But
as no one can reasonably imagine himself to be the object of divine forgiveness
who is deliberately and habitually unforgiving toward his fellow-men, so it is a
beautiful provision to make our right to ask and expect daily forgiveness ...
dependent upon our consciousness of a forgiving disposition toward our
fellows” (= Setelah apa yang telah dikatakan
tentang Mat 5:7, tidak akan dipikirkan bahwa Tuhan kita di sini mengajar
bahwa tindakan pengampunan kita terhadap sesama kita yang bersalah kepada kita
secara mutlak mendahului dan merupakan dasar yang benar / tepat dari pengampunan
Allah kepada kita. Seluruh pengajarannya, bahkan - seperti seluruh
pengajaran Kitab Suci - adalah kebalikan dari ini. Tetapi karena tidak
seorangpun bisa secara masuk akal membayangkan dirinya sendiri sebagai obyek
dari pengampunan ilahi yang secara sengaja dan terus menerus bersikap tidak
mengampuni terhadap sesamanya, demikianlah itu merupakan suatu ketetapan /
syarat yang indah untuk membuat hak kita untuk meminta dan mengharapkan
pengampunan harian ... tergantung pada kesadaran kita tentang suatu
kecenderungan mengampuni terhadap sesama kita).
Matthew
Henry (tentang Mat 6:12): “if
there be in us this gracious disposition, it is wrought of God, ... it will be
an evidence to us that he has forgiven us, having wrought in us the condition of
forgiveness” (= jika di dalam kita ada
kecenderungan yang murah hati / bersifat kasih karunia, itu dibuat oleh Allah,
... itu akan merupakan suatu bukti bagi kita bahwa Ia telah mengampuni kita,
setelah membuat di dalam kita syarat dari pengampunan).
2)
“Seorang pria bernama Hal pernah merasa begitu terancam oleh
orang-orang di sekelilingnya. Ia sebenarnya bertanggung jawab untuk memimpin
sekelompok besar kaum pria di kotanya dan harus banyak berurusan dengan
orang-orang yang terkenal, kaya, berkuasa dan berprestise. Ia sendiri belum
pernah mengalami keberhasilan semacam itu sehingga merasa rendah diri. Perasaan
rendah dirinya itu semakin menjadi-jadi dan ia mulai meragukan kemampuannya
sebagai seorang pemimpin. Kami bertiga, yaitu Hal, pendetanya, dan saya kemudian meluangkan waktu khusus untuk berdoa bersama-sama. Pada waktu
berdoa, pendeta Hal itu mengucapkan kata-kata hikmat yang luar biasa dan
akhirnya menjadi kata-kata kesembuhan bagi Hal. ‘Tuhan, ajarkanlah kepada Hal,
bahwa ia tidak perlu menjadi sejajar dengan orang-orang yang dilayaninya itu,’
begitulah kata-kata hikmat dari pendeta itu. Kata-kata tersebut segera
melepaskan Hal dari segala rasa takut dan rendah dirinya terhadap orang-orang
yang dipimpinnya dan memberinya kepercayaan diri untuk melanjutkan
kepemimpinannya itu. Masalah yang dialami Hal ini juga sering menimpa banyak
gembala sidang yang dipanggil untuk menggembalakan orang-orang yang sukses dan
terkemuka. Untuk mengatasinya, mereka tentu saja juga memerlukan kata-kata
hikmat yang telah menyembuhkan penyakit rendah diri dari Hal itu”
(‘Menjadi Pria Sejati’, hal 314).
Tanggapan
saya:
Banyak
kesalahan / keanehan dalam cerita di atas ini:
a)
Pendeta itu berdoa untuk Hal, tetapi penceritaan dari Edwin Louis Cole
ini menunjukkan bahwa bukan jawaban doa dari Tuhan yang menyembuhkan Hal, tetapi
‘kata-kata hikmat’ dari pendeta itu. Karena itu Cole bukannya memuji Tuhan
tetapi memuji kata-kata hikmat itu!
b)
Pendeta itu berdoa supaya Hal diajar oleh Tuhan untuk tidak perlu menjadi
sejajar dengan orang-orang yang dilayaninya. Tetapi apa yang dialami oleh Hal
adalah bahwa ia segera terlepas dari segala rasa takut dan rendah dirinya
terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Jadi, doa pendeta itu dan apa yang
terjadi dalam diri Hal sangat berbeda!
c)
Edwin Louis Cole mengatakan ‘kata-kata hikmat yang luar biasa’.
Bdk.
1Kor 2:1-5 - “(1) Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu,
saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan
hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. (2) Sebab aku telah
memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus,
yaitu Dia yang disalibkan. (3) Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan
dan dengan sangat takut dan gentar. (4) Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak
kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan
akan kekuatan Roh, (5) supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia,
tetapi pada kekuatan Allah”.
d)
Hal segera lepas dari rasa rendah diri. Ini tidak masuk akal.
Perubahan hidup / pengudusan selalu merupakan suatu proses yang berjalan / maju
sedikit demi sedikit. Karena itu digambarkan sebagai ‘buah’ (Gal 5:22-23), yang membesar dan matang secara
bertahap.
e)
Setelah sembuh Hal menjadi percaya diri. PD justru dikecam / dikutuk oleh
Alkitab (Yer 9:23-24 Yer 17:5,7).
f)
Apa yang mujarab untuk Hal, diharuskan terjadi untuk orang-orang lain.
Ini lagi-lagi salah, karena pengalaman seseorang, kecuali itu didukung oleh
Alkitab, tidak harus menjadi pengalaman orang lain.
g)
Semua ini dinyatakan oleh Edwin Louis Cole tanpa dasar Alkitab. Ini
ajaran yang hanya didasarkan pada pengalaman.
3)
“Pada tahun 1987 di Harare, Zimbabwe, tiga orang wanita menyampaikan
‘suatu perkataan dari Allah’ kepada
saya. Pada mulanya seorang mantan inspektur polisi yang membantu mempersiapkan
kebaktian kaum pria yang akan kami adakan di negeri itu suatu sore mengatakan
kepada saya bahwa ada tiga wanita yang merasa yakin bahwa saya perlu mendengar
perkataan mereka. Jadwal saya yang demikian ketat membuat saya tidak dapat
bertemu langsung dengan mereka, sehingga inspektur polisi itu menjadi perantara
yang menyampaikan pesan tersebut kepada saya. Sebelum menyampaikan pesan itu,
sebagai seorang mantan pejabat milter, ia terlebih dahulu membeberkan secara
singkat latar belakang negaranya. Negara yang sebelumnya bernama Rhodesia ini
dilanda bencana peperangan selama 14 tahun hingga akhirnya berganti nama menjadi
Zimbabwe. Pada masa perang itu kaum pria Zimbabwe berjuang di medan tempur
selama enam minggu penuh lalu selama enam minggu berikutnya berada di rumah
untuk mencari nafkah dan kemudian kembali lagi ke medan perang. Dapat
dibayangkan betapa besar ketegangan dan kecemasan yang dirasakan oleh para
keluarga dan seluruh bangsa di negeri itu. Wanita-wanita saleh yang ada di
negeri itu mulai bangkit dan melakukan doa syafaat bagi kaum pria dan negeri
mereka. Seiring dengan berlalunya waktu, mereka mulai menyadari bahwa diri
mereka telah berperan sebagai ‘Ester’. Alkitab mencatat Ester sebagai ratu
yang bersyafaat demi keselamatan bangsa dan negerinya dan memohonkan semuanya
itu kepada raja yang merupakan suaminya sendiri. .... Kaum wanita Rhodesia yang
berdoa bagi bangsanya itu menjadi yakin bahwa mereka bertindak demi bangsanya
untuk menghadapi masa perang itu. Akhirnya perang itu pun selesai. Rhodesia
berubah menjadi Zimbabwe. Kaum pria pun kembali ke keluarganya. Tetapi, kini
muncul persoalan baru yang juga memerlukan perhatian dan doa syafaat mereka
seperti yang mereka lakukan di masa perang. Di mata mereka, kaum pria itu telah
berubah menjadi pasif, mudah berpuas diri, dan patah semangat. Para ‘Ester’
ini melihat bahwa di masa damai itu dibutuhkan juga doa
syafaat yang sama banyaknya dengan yang dibutuhkan pada masa perang. Selama 7
tahun berikutnya mereka terus menaikkan doa syafaat tanpa berkeputusan. Suatu
hari ketika sedang berdoa, ketiga wanita ini terkesan dengan sesuatu yang
mereka yakini sebagai ‘firman’ yang ditujukan bagi kaum pria di negeri
mereka. Mereka terus memelihara ‘firman’ itu dan ‘menanti saatnya’
yang tepat untuk menyampaikannya (Habakuk 2:3). Setahun kemudian mereka
mendengar bahwa ‘kesempurnaan seorang pria itu sama dengan keserupaan dengan
Kristus’. Ini adalah pengajaran yang kami sampaikan di negeri mereka. Setelah
mendengar pengajaran itu, mereka yakin bahwa ‘firman’ yang mereka terima itu
perlu disampaikan kepada saya dan lembaga pelayanan kami, Christian Men’s
Network. ‘Firman’ yang mereka sampaikan itu begitu sederhana hingga hampir
saya mengabaikannya. Namun, selang beberapa lama, ‘firman’ itu bertumbuh
terus dalam roh saya dan saat ini saya merasa yakin bahwa ‘firman’ itu
sesungguhnya berlaku bukan saja bagi kaum pria Zimbabwe, melainkan juga bagi
seluruh pria yang hidup di dunia saat ini - khususnya kaum pria yang telah
membiarkan wanita memegang tampuk kepemimpinan di gereja, rumah tangga, dan
negara. Firman yang disampaikan ketiga wanita itu adalah ‘Dahulu adalah waktu
bagi para Ester, namun kini adalah waktu bagi para Daniel’. Sungguh suatu
firman yang penuh kuasa. Para Ester itu adalah kaum wanita yang harus menanggung
beban dalam teriknya sengatan kehidupan ini dan harus memikul tanggung jawab
yang ditinggalkan kaum pria ketika mereka pergi berperang, yang kemudian tidak
mereka ambil alih kembali setelah perang usai. Para wanita Zimbabwe itu melihat
bahwa keadaan itulah yang menimpa kehidupan bangsa mereka; tetapi saya
melihatnya sebagai suatu masalah yang melanda kaum pria di seluruh dunia.
Sudah tiba waktunya bagi kaum pria untuk mau memegang kepemimpinan rohani dan
moral dalam keluarga, gereja, serta masyarakat. Kaum pria diharapkan menjadi
para Daniel masa kini yang memimpin keluarga, gereja, dan negaranya. Ini
merupakan panggilan dari Allah, bukan sekadar seruan kaum wanita”
(‘Menjadi Pria Sejati’, hal 319-321).
Tanggapan
saya:
a)
Ini cerita yang konyol dan tidak karuan!
Dalam
penceritaan waktu perang itu terjadi, dikatakan bahwa ‘Pada masa perang itu kaum pria Zimbabwe berjuang di medan tempur selama
enam minggu penuh lalu selama enam minggu berikutnya berada di rumah untuk
mencari nafkah dan kemudian kembali lagi ke medan perang’,
sedangkan para perempuan / istri hanya berdoa.
Tetapi
pada bagian akhir dikatakan bahwa ‘Para Ester itu adalah kaum wanita yang harus menanggung beban
dalam teriknya sengatan kehidupan ini dan harus memikul tanggung jawab yang
ditinggalkan kaum pria ketika mereka pergi berperang, yang kemudian tidak mereka
ambil alih kembali setelah perang usai’.
Mengapa
tidak cocok?
b)
Ayat Habakuk yang digunakan itu tidak cocok.
Hab 2:3
- “Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju
kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu,
sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh”.
Ini
membicarakan penggenapan dari suatu penglihatan, bukan membicarakan tindakan
menunggu penyampaian dari ‘firman’ yang diterima seseorang kepada orang
lain!
4)
“Di lain pihak, beberapa orang takut untuk mengatakan kebenaran.
Mereka takut melukai hati orang lain, atau mereka takut kehilangan kasih dari
mereka. Mereka sesungguhnya tidak menyadari bahwa hal itu merupakan kebenaran,
yakni membicarakannya di dalam kasih merupakan satu-satunya cara untuk
menyatakan kasih yang sebenarnya. Saya menyebut bentuk kasih yang terakhir ini
sebagai kasih sayang terbaik. Izinkanlah saya memberikan sebuah ilustrasi.
Ketika saya sedang berkhotbah, di tengah-tengah acara kebaktian, seseorang
mengangkat tangannya sambil menggenggam sebuah catatan yang mengatakan bahwa
rumah salah seorang dari jemaat yang hadir dalam kebaktian baru saja terbakar.
Apa yang harus saya perbuat? Orang tersebut berada dalam situasi berbahaya dan
ia segera akan kehilangan segala sesuatu yang ia miliki. Tetapi, bila saya
menyela acara kebaktian itu dan mengatakan hal itu kepadanya, saya akan
membuatnya bingung dan mungkin pula akan merasa sedih, atau malah mungkin akan
membuat hatinya terluka. Karena itu, saya tidak ingin ia mengalami banyak
kesulitan, kesedihan, atau kebingungan. Dan, saya akhirnya memutuskan untuk
tidak memberitakan informasi itu. Kemudian, setelah kebaktian, dalam keadaan
ketakutan seorang anggota jemaat datang sambil menangis, ‘Rumah saya hangus
terbakar!’ ‘Ya, saya sudah tahu,’ respons saya. Anggota jemaat yang
mengalami musibah itu menatap saya dengan mata terbelalak. ‘Anda sudah
tahu?’ ‘Betul,’ saya menegaskan. ‘Masih ingatkah Anda dengan tangan yang
teracung ke atas sambil memegang catatan ketika acara kebaktian sedang
berlangsung? Catatan itu mengatakan, bahwa rumah Anda terbakar.’ ‘Mengapa
Anda tidak mengatakannya kepada saya?’ Dan, jawaban saya sederhana saja:
‘Saya tidak ingin mengatakannya kepada Anda karena saya tahu hal itu akan
membuat Anda sedih.’” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 33).
Tanggapan
saya:
Saya
tidak mengerti omongan kacau balau ini. Apa yang Edwin Louis Cole lakukan
bertentangan dengan apa yang ia katakan. Apakah ilustrasi itu bukan sesuatu yang
sungguh-sungguh terjadi, dan hanya mengilustrasikan suatu ketololan seandainya
ia melakukannya? Tetapi dari penceritaannya rasanya tidak demikian. Rasanya itu
sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi.
Jadi,
pada bagian awal Edwin Louis Cole mengatakan dengan nada mengecam, orang-orang
yang takut untuk mengatakan kebenaran. Tetapi dalam ilustrasi yang ia ceritakan,
ia sedang berkhotbah, pada waktu seseorang menunjukkan suatu catatan bahwa rumah
dari seorang jemaat baru saja terbakar. Tetapi Cole ternyata tidak memberitakan
hal itu kepada jemaat itu, karena takut bahwa jemaat itu akan menjadi sedih!
Betul-betul lucu!
5)
“Ketika saya masih kanak-kanak, dan ibu saya bertugas di sebuah
Sekolah Alkitab di Los Angeles, saya pergi bersamanya dengan murid-murid yang
lain ke suatu daerah yang runtuh akibat keributan yang terjadi. Di tempat itulah
mereka melakukan pemberitaan Injil. Ibu, Annie, dan mereka semua mengambil
gitar, tamborin, dan drum besar. Di sudut jalan itu, mereka bermain musik dan
bernyanyi sambil memberitakan Injil. Mereka melayani masyarakat yang mengalami
penderitaan yang sangat dalam itu. Suatu sore, setiap orang sedang menyanyikan
lagu rohani lama: ‘Dosa dapat di hapus, hanya oleh darah Yesus ...’
Seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok kami, dengan tubuh yang tidak
terawat, tampaknya ia seorang pecandu berat alkohol datang mendekati Annie.
Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut dia ‘winos’. Sama seperti yang
lainnya, sepotong rokok lusuh menempal di celah-celah jarinya yang kuning dengan
kukunya yang kotor. Ia menggunakan kaca mata bergagang tipis, Kulitnya penuh
daki, pakaiannya terbuat dari karung, dan napasnya mengeluarkan aroma anggur
murahan. Ia menarik lengan Annie, tetapi Annie segera menepisnya. Beberapa kali
ia melakukan hal yang sama, sampai akhirnya ia menarik Annie ke arahnya,
sehingga pria itu bisa berbicara kepada Annie sementara teman-teman yang lain
masih tetap bernyanyi. ‘Saya tahu, apa yang Anda katakan itu benar,’ ia
berkata perlahan dan berbisik, dengan suara aneh, janggal, dan parau. ‘Tidak
ada yang bisa membasuh dosa kita selain darah Yesus.’ Saya berdiri di sana,
mendengar, mengamati, serta merenungkannya. ‘Saya pernah memimpin sebuah
seminari,’ ia meneruskan kata-katanya. ‘Saya tahu semua itu. Tetapi, perlu
Anda camkan dan ketahui, ada perbedaan,
perbedaan yang besar antara dibasuh menjadi putih dengan membasuh menjadi putih.’
Kemudian, ia melengos pergi sambil terhuyung-huyung. Sementara ia berlalu
kata-katanya tetap membekas, dan tetap ada dalam ingatan saya sampai saat ini.
Allah telah membasuh menjadi putih. Dosa yang tidak diakui adalah dosa yang
tidak diampuni. Hikmat manusia menghalangi. Hikmat Allah menyingkapnya. Manusia
dibasuh menjadi putih. Allah membasuh menjadi putih.” (‘Kesempurnaan
Seorang Pria’, hal 36-37).
Tanggapan
saya:
Cerita
ini konyol dan tak bisa saya mengerti apa maksudnya. Sama sekali tidak ada
apa-apanya, tetapi diceritakan sedemikian rupa seakan-akan ini merupakan cerita
yang luar biasa.
6)
“Selama berada di pekarangan, ia mendengar suara dari dalam dirinya
yang berkata, ‘Pergilah.’ Pada kesempatan lain, suara yang sama
mengatakan hal yang sama lagi. ... Ia ingin tahu, ‘Apakah Roh Kudus yang
berbicara kepada saya, ataukah setan - atau yang lain?’ Semakin kami banyak
bercakap-cakap, semakin saya menyadari bahwa Allah sedang bekerja di dalam
kehidupannya. Tetapi, Rick belum menyadari hal itu. ... Dan kemudian, saya masih
tetap mendengar suara ini berkata di dalam diri saya, pergilah.’’. Rick
sudah menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadinya beberapa tahun yang
lalu. Tetapi, ia belum pernah membuat sebuah komitmen secara menyeluruh.
Beberapa bagian dari kehidupannya masih berada di bawah pengawasan pribadi,
bukan di bawah pengawasan Allah. Setelah kami berbincang-bincang, kami berdoa
bersama. Sinar terang mulai menyeruak di dalam hati Rick. Suara yang ada di
dalam diri Rick sesungguhnya adalah suara Allah yang berbicara melalui Roh
Kudus. ‘Pergilah’ berarti, pergilah, bebaskan dirimu dan kemudian
serahkanlah dirimu sepenuhnya ke dalam genggaman tangan Tuhan, percaya penuh
kepada-Nya. Rick memahami perkataan Allah yang sederhana
itu, ‘Tinggalkan semua caramu sendiri, dan bergantung sepenuhnya di dalam
Aku.’” (‘Kesempurnaan Seorang Pria’, hal 84-85).
Tanggapan
saya:
Kok
aneh, kata ‘pergilah’ di artikan seperti itu??? Dan itu disebut
‘sederhana’?
7) “Tim dan Alice datang kepada saya
untuk melakukan konseling. Mereka mengalami penderitaan di dalam pernikahan
mereka, padahal Tim adalah seorang hamba Tuhan. Karena hal itu, Tim merasa takut
untuk mengungkapkan segala sesuatu yang menyangkut tentang dirinya, takut
terhadap tanggapan istrinya terhadap dia. Ada kepedihan di dalam hati dan roh
Alice. Juga, ada kegelisahan di dalam diri Tim. Tim berasal dari keluarga pria
‘macho’, di mana kaum prialah yang menguasai segala sesuatunya. Ayah dan
saudara laki-lakinya adalah seorang yang tidak beradat, kasar, dan kebanyakan
dari mereka bertingkah laku yang tidak bermoral dan juga tidak senonoh. Akan
tetapi Tim sudah dipengaruhi oleh firman Allah dan kepada pewahyuan dari jiwanya
bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat pribadinya. Ia sudah bertobat dari
dosa-dosanya, percaya kepada Tuhan dan menjadi manusia baru ketika Roh Kudus
masuk ke dalam hidupnya di dalam kuasa penyelamatan. Karena anugerah Allah
yang besar yang ia saksikan, sukacita karena dosanya sudah diampuni, dan
kerinduan untuk memberitakan Injil kepada sebanyak mungkin orang, ia kemudian
memutuskan untuk mengikuti sekolah Alkitab. Alice ialah seorang guru Sekolah
Minggu. Ia dibesarkan di lingkungan gereja, ia belum pernah mengenal lingkungan
lain selain kehidupan dan budaya kristiani. Alice, sama seperti Tim, ingin pula
menyaksikan kasihnya kepada Yesus kepada seluruh dunia, dan untuk memperlengkapi
dirinya dalam misi tersebut, ia mendaftarkan dirinya di sebuah sekolah Alkitab.
Tim dan Alice bertemu dan berkenalan di sekolah Alkitab. Mereka berpacaran
selama setahun. Saat yang dinanti-nantikan Alice pun datang, ia menerima lamaran
Tim, dan mereka segera mengumumkan pertunangan mereka. Tiga minggu sebelum
pernikahan dilangsungkan, mereka pergi ke suatu tempat yang tersembunyi. Memeluk
Alice membuat gairah Tim meningkat, dan Alice pun menjadi lebih terlena, dan
kelihatannya ia sudah tidak mampu lagi untuk menghentikan cumbuan Tim. Tim tidak
pernah punya standar kerohanian dan standar alkitabiah untuk membedakan mana
yang benar dan mana yang salah. Pikir Tim: mereka akan menikah tiga minggu
lagi - kenapa harus menunggu? Alice tahu lebih banyak mengenai kebenaran,
tetapi ia tidak ingin mengecewakan Tim. Akhirnya, ia pasrah. Mereka melakukan
hubungan sex di ruang belakang sebuah gedung tua. Enam tahun setelah itu,
mereka ada di kantor saya. Di depan umum kehidupan mereka tampaknya penuh kasih
sayang, tetapi sesungguhnya mereka mudah mengubah pendirian, mengeluarkan
kata-kata kasar, menuduh dengan sengit, termasuk kekejaman fisik yang dilakukan
akibat persoalan yang tidak bisa dipecahkan, perbuatan yang tidak mengampuni,
dan kasih yang tidak sepenuhnya. Tim mengeluhkan permusuhan tersembunyi yang
dilakukan Alice. Alice mengecam rasa tidak bertanggung jawab Tim terhadap
dirinya. Berjam-jam saya mengarahkan mereka dari satu pemikiran ke pemikiran
yang lain, dan dari satu perasaan ke perasaan yang lain. Akhirnya, kami
menemukan batuan keras yang merupakan penghalang hubungan mereka selama ini.
Setelah enam tahun pernikahan mereka, Alice mengatakan dengan terus terang
tentang apa yang membuat ia tertekan selama ini. Ia sangat membenci Tim karena
tidak membiarkan dirinya untuk tetap perawan sampai mereka menuju pernikahan.
Dihadapkan dengan masalah itu, Tim memandang Alice dengan perasaan heran
bercampur marah. ‘Maksudmu, kau menyalahkan aku atas semua masalah yang pernah
kita lakukan? Menyalahkanku karena satu perkara itu? Aku sama sekali tidak
pernah mengetahui bahwa hal itu sangat mempengaruhimu!’ Kemarahannya pun
meledak. Saya memotong pembicaraan mereka. ‘Tuan, sebenarnya masalah itu ada
pada diri Anda - di pihak Anda. Kecuali, kalau Anda mau menerima tanggung jawab
Anda atas istri Anda yang sudah merasakan kehilangan dan malu, kecuali kalau
Anda mau memohon pengampunan atas tindakan itu, Anda tidak akan pernah mempunyai
hubungan yang sehat dengan istri Anda.’ Ia seperti sedang dilanda badai topan
yang dahsyat. Wajahnya pucat pasi. Tetapi, setelah ia memikirkannya di rumah, is
mulai melihat betapa pentingnya keperawanan itu. Ia merampas apa yang
oleh Alice dianggap sebagai pemberian yang paling berharga yang kelak akan
diberikan kepadanya. Perbuatan kotor yang mereka lakukan di ruangan belakang
gedung tua itu tidak lebih dari sekadar pemerkosaan atas dirinya
dibandingkan aktivitas biologis atas dasar kasih yang tertinggi antara seorang
pria dengan seorang wanita. Akhirnya, waktu itu datang juga ketika ia harus
mengakuinya, bahwa gairah birahinyalah, bukan kasihnya yang telah menyebabkan
persoalan. Itu merupakan kesalahannya, dosanya, dan ia bertobat dari hal itu,
memohon pengampunan kepada istrinya dan mengadakan pemulihan kepada istrinya.
Istrinya sungguh-sungguh mengampuninya. Permusuhan terhadap dirinya tidak ada
lagi, dan kehidupan mereka berubah secara dramatis” (‘Kesempurnaan
Seorang Pria’, hal 126-128).
Tanggapan
saya:
Cerita
ini merupakan suatu omong kosong dan salah. Dua orang yang pacaran menjadi
begitu bernafsu sehingga akhirnya melakukan hubungan sex. Dikatakan Alice pun ‘menjadi
lebih terlena’ dan ‘tidak mampu
lagi untuk menghentikan cumbuan Tim’. Juga dikatakan ‘ia tidak ingin mengecewakan Tim. Akhirnya ia pasrah’. Lalu
mengapa wanitanya marah? Dan mengapa Tim yang disalahkan dan harus minta maaf?
Mengapa disebut sebagai ‘pemerkosaan’?
Tidak ada pemerkosaan! Mereka melakukan atas dasar mau sama mau! Jadi, keduanya
sama-sama salah, dan sama-sama harus minta ampun kepada Tuhan, dan bukan
satu kepada yang lain!
Dan
dalam cerita ini juga ada kejanggalan-kejanggalan theologis:
a)
Mula-mula dikatakan Tim ‘sudah dipengaruhi oleh firman Allah dan
kepada pewahyuan dari jiwanya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat
pribadinya. Ia sudah bertobat dari dosa-dosanya, percaya kepada Tuhan dan
menjadi manusia baru ketika Roh Kudus masuk ke dalam hidupnya di dalam kuasa
penyelamatan’.
Tetapi
di bagian bawah dikatakan ‘Tim
tidak pernah punya standar kerohanian dan standar alkitabiah untuk membedakan
mana yang benar dan mana yang salah’.
Tidakkah
kedua pernyataan ini saling bertentangan?
b)
Kata-kata ‘Ia sudah bertobat dari dosa-dosanya, percaya kepada Tuhan dan menjadi
manusia baru ketika Roh Kudus masuk ke dalam hidupnya di dalam kuasa
penyelamatan’ juga salah / sesat secara theologis, karena:
1. Menunjukkan
bahwa pertobatan dari dosa terjadi lebih dulu dari masuknya Roh Kudus ke dalam
hidupnya.
2. Edwin
Louis Cole mengatakan bahwa ‘Roh Kudus
masuk di dalam hidupnya di dalam kuasa penyelamatan’.
Setelah
ia bertobat dari dosa, Roh Kudus masuk, dan menyelamatkan? Ini terbalik tidak
karuan! Mestinya percaya Yesus dulu, lalu diselamatkan, dan Roh Kudus masuk (Ef
1:13), lalu terjadi perubahan / pertobatan dari dosa (Gal 5:22-23).
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali