Eksposisi Injil Matius

oleh: Pdt. Budi Asali MDiv.


Matius 5:21-26

I) Yesus bukan menentang Firman Tuhan / Perjanjian Lama, tetapi menentang penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang Perjanjian Lama.

1)   Terjemahan yang salah dari Kitab Suci Indonesia.

Ay 21: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum”.

KJV/RSV/NIV/Lit: ‘it was said’ (= dikatakan).

Kitab Suci Indonesia menterjemahkan ‘difirmankan’. Penggunaan kata ‘firman’ menunjukkan bahwa itu merupakan kata-kata Allah / Perjanjian Lama, dan ini salah.

Kalau Yesus mengutip Perjanjian Lama, maka istilah yang biasa digunakan adalah:

·        ‘Ada tertulis’ (It is written / It has been written), seperti dalam Mat 4:4,7,10.

·        ‘Tidakkah kamu baca’, seperti dalam Mat 12:3,5  Mat 19:4  Mat 22:31.

Sebetulnya terjemahannya adalah ‘it was said’ (= dikatakan), seperti dalam Kitab Suci bahasa Inggris, dan ini tidak menunjuk pada kata-kata Allah, tetapi pada kata-kata / ajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Hal yang sama terjadi pada ay 27,31,33,38,43.

2)   Dalam ay 21-48 Yesus memberikan exposisi / penafsiranNya tentang hukum Taurat, dan mengkontraskannya dengan penafsiran / ajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Perbedaan utama adalah bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi selalu memberikan penafsiran hurufiah, dan hanya memperhatikan tindakan lahiriah, sedangkan Yesus memberikan arti sebenarnya dan menekankan juga hati, pikiran, motivasi dan keinginan seseorang. Tetapi ada juga bagian dimana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu menggunakan tradisi mereka yang sama sekali tidak ada dalam Kitab Suci (seperti dalam ay 43), atau memberikan penerapan yang salah tentang Perjanjian Lama (seperti dalam ay 31,33,38).

II) Yesus membahas hukum ke 6: jangan membunuh.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menafsirkan hukum ke 6, sebagai larangan terhadap pembunuhan secara fisik / lahiriah saja, tetapi dalam ay 21-26 ini Yesus menerapkannya pada hal-hal lain, yaitu:

1)   Marah (ay 22a).

a)   Tidak semua kemarahan adalah dosa.

Ay 22a (KJV): ‘But I say unto you, That whosoever is angry with his brother without a cause shall be in danger of the judgment’ (= Tetapi Aku berkata kepadamu: Bahwa siapapun yang marah kepada saudaranya tanpa alasan akan ada dalam bahaya penghakiman).

Kata-kata ‘without a cause’ (= tanpa alasan) hanya ada dalam manuscripts tertentu.

Stott mengatakan (hal 83) bahwa sekalipun kata-kata ‘without a cause’ itu mungkin sekali tidak orisinil, tetapi kata-kata itu memberikan penafsiran yang benar tentang apa yang Yesus maksudkan, karena jelas bahwa tidak semua kemarahan merupakan dosa. Terlepas dari asli atau tidaknya, atau benar atau tidaknya, kata-kata ‘without a cause’ itu dalam terjemahan KJV ini, Kitab Suci jelas tidak menganggap semua kemarahan sebagai dosa. Ini terlihat dari:

·        Yesus berulangkali marah (Mark 3:5  Yoh 2:13-17), tetapi dikatakan tidak berdosa (Ibr 4:15).

·        kemarahan jemaat Efesus terhadap rasul-rasul palsu dipuji (Wah 2:2), dan sebaliknya ke‘sabar’an jemaat Korintus terhadap rasul-rasul palsu justru dikecam (2Kor 11:4).

·        Ef 4:26 yang berbunyi: ‘Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu’, jelas menunjukkan bahwa ‘marah’ tidak selalu identik dengan ‘dosa’, dan bahwa kita bisa marah tetapi tidak berdosa.

Kemarahan yang benar biasanya adalah kemarahan yang dilandasi oleh kasih, dan ditujukan terhadap dosa, ketidak-adilan, penindasan, dan kesesatan.

Contoh:

¨      orang tua yang marah kepada anak yang nakal.

¨      orang kristen yang marah karena adanya ajaran sesat atau karena adanya korupsi dalam gereja.

¨      kita marah karena adanya terorisme.

¨      kita marah mendengar orang yang bersalah dibebaskan / orang yang tidak bersalah dihukum oleh pengadilan.

Perlu dicamkan bahwa sekalipun kemarahan seperti ini merupakan kemarahan yang benar, tetapi kalau perwujudannya kelewat batas maka itu menjadi salah / dosa. Misalnya kalau kemarahan terhadap anak diwujudkan dengan memaki anak atau memukul sehingga mencederai anak tersebut.

b)   Tetapi jelas ada banyak kemarahan yang memang merupakan dosa, dan mungkin sebagian besar kemarahan kita, tidak bisa disebut sebagai ‘holy anger’ (= kemarahan yang suci), dan memang merupakan dosa. Dan ini dihubungkan oleh Yesus dengan hukum ke 6 (ay 21). Jadi, kemarahan seperti itu merupakan pembunuhan dalam hati / pikiran.

c)   Kata ‘saudara’ dalam ay 22 kelihatannya harus diartikan bukan sebagai ‘saudara seiman’, tetapi sebagai ‘sesama manusia’, atau ‘siapapun yang mempunyai hubungan dengan kita’.

2)   Mencaci-maki / mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghina (ay 22b,c).

a)   Mengatakan ‘kafir’ (ay 22b).

1.   Arti kata ini sebenarnya.

RSV: ‘whoever insults his brother’ (= siapapun menghina saudaranya).

KJV/NIV/NASB tidak menterjemahkan kata ini, tetapi hanya mentransliterasikan (mengganti huruf-huruf Yunaninya dengan huruf Latin) sebagai ‘Raca’.

D. Martyn Lloyd-Jones: “‘Raca’ means ‘worthless fellow’” (= ‘Raca’ berarti ‘orang yang tidak berharga’) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 224.

John Stott mengatakan (hal 84) bahwa kata ‘Raca’ itu mungkin sama dengan kata Aram yang berarti ‘empty’ (= kosong).

Tasker (Tyndale) mengatakan bahwa kata ‘Raca’ tidak terlalu berbeda dengan MORE (yang digunakan dalam ay 22c) yang artinya ‘bodoh / tolol’ (dalam Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘jahil’).

Barclay: “Raca is an almost untranslatable word, because it describes a tone of voice more than anything else. Its whole accent is the accent of contempt. To call a man Raca was to call him a brainless idiot, a silly fool, an empty-headed blunderer. It is the word of one who despises another with an arrogant contempt” (= Raca hampir tidak bisa diterjemahkan, karena kata itu lebih menggambarkan nada suara dari pada apapun yang lain. Seluruh penekanannya merupakan penekanan penghinaan / kejijikan. Menyebut seseorang sebagai Raca berarti menyebutnya sebagai seorang idiot yang tidak mempunyai otak, seorang tolol, seorang pembuat kesalahan yang kepalanya kosong) - hal 139.

2.   Orang yang mengatakan Raca lebih bersalah dari pada orang yang marah (point no 1 di atas).

Sama seperti kemarahan, mengatakan Raca juga dinyatakan oleh Yesus sebagai pelanggaran terhadap hukum ke 6. Tetapi kalau ay 22a mengatakan bahwa orang yang marah ‘harus dihukum’ [NASB: ‘liable to the court’ (= bisa dihadapkan ke pengadilan)], maka ay 22b mengatakan bahwa orang yang mengatakan ‘Raca’ harus ‘dihadapkan ke Mahkamah Agama (Sanhedrin). Saya setuju dengan William Barclay yang mengatakan (hal 140) bahwa ini tidak boleh diartikan secara hurufiah. Artinya hanyalah bahwa tindakan yang kedua ini (ay 22b) merupakan dosa yang lebih besar dari pada tindakan pertama (ay 22a).

Penerapan:

Sekalipun pada waktu saudara marah secara salah saudara sudah berdosa, tetapi kalau bisa tetap tahanlah mulut saudara supaya tidak mengeluarkan kata-kata hinaan, karena ini akan membuat saudara jatuh ke dalam dosa yang lebih besar.

b)   Mengatakan ‘jahil’ (ay 22c).

1.   Kata ‘jahil’ ini jelas merupakan terjemahan yang salah.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘fool’ (= bodoh / tolol).

Kata Yunani yang dipakai adalah MORE, dan Adam Clarke mengatakan (hal 71) bahwa mungkin itu berasal dari kata bahasa Ibrani MARAH, yang berarti ‘memberontak’ atau ‘murtad’. Jadi mungkin bisa diartikan sebagai ‘sesat’. Tetapi Clarke mengatakan bahwa ini hanya bersalah, kalau si penuduh / pemaki itu tidak bisa membuktikan tuduhan / makiannya tersebut.

Barclay mengatakan (hal 140) bahwa sekalipun kata Yunaninya bisa diartikan ‘bodoh’ / ‘tolol’, tetapi kalau kita menyebut seseorang dengan kata ini, maka artinya adalah bahwa orang itu ‘bodoh secara moral’. Ini berarti kita mencap orang tersebut sebagai orang yang tidak bermoral, dan dengan demikian merusak reputasi orang tersebut.

2.   Mengatakan seseorang sebagai bodoh / tolol, tidak selalu merupakan dosa.

Dalam Mat 23:17 Yesus sendiri berkata kepada / tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dengan kata-kata sebagai berikut: “Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu?”.

Kata Yunani yang digunakan dalam Mat 23:17 ini sama dengan yang digunakan dalam Mat 5:22, hanya saja dalam Mat 23:17 ini digunakan bentuk jamak.

Bandingkan juga dengan Luk 11:40  24:25  Ro 1:22  1Kor 15:36  2Kor 11:19  Gal 3:1  1Pet 2:15 dimana Yesus / rasul-rasul juga mengatakan seseorang sebagai ‘bodoh’. Tetapi dalam semua ayat-ayat ini, kata bahasa Yunaninya berbeda dengan yang digunakan dalam Mat 5:22 dan Mat 23:17.

Dari semua ini harus disimpulkan bahwa sama seperti marah, maka mengatakan ‘bodoh’ / ‘tolol’ hanya salah, kalau hal itu dilandasi kebencian atau emosi yang tidak terkendali.

3.   Tindakan ini lebih berat lagi dosanya dari pada tindakan pertama (marah) dan kedua (mengatakan Raca), dan itu ditunjukkan oleh kata-kata ‘harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala’ (ay 22c).

Lagi-lagi saya setuju dengan Barclay yang mengatakan (hal 141) bahwa ini tidak boleh ditafsirkan secara hurufiah. Ini hanya menunjukkan bahwa tindakan mengatakan ‘bodoh’ ini merupakan dosa yang lebih besar dari pada mengatakan ‘Raca’.

Barclay: “Long-lasting anger is bad; contemptuous speaking is worse, and the careless or the malicious talk which destroys a man’s good name is worst of all” (= Kemarahan yang bertahan lama merupakan sesuatu yang buruk; mengucapkan sesuatu yang menghina merupakan sesuatu yang lebih buruk, dan kata-kata yang sembrono atau jahat yang menghancurkan nama baik seseorang adalah yang terburuk dari semua) - hal 141.

3)   Adanya ‘ganjelan’ yang belum dibereskan dalam hati saudara kita terhadap kita (ay 23-24).

a)   Apa yang dimaksud dengan ‘ganjelan’ itu?

William Hendriksen beranggapan (hal 300) bahwa ‘ganjelan’ itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang remeh / kecil, karena kalau demikian, alangkah sedikitnya orang yang bisa berbakti kepada Allah. Jadi ia beranggapan bahwa ‘ganjelan’ itu haruslah sesuatu yang cukup  penting / besar. Tetapi saya berpendapat bahwa kata-kata ini sukar dipraktekkan, karena besar atau kecil merupakan sesuatu yang relatif.

Selanjutnya Hendriksen membahas apakah orang yang mempunyai ganjelan terhadap kita itu harus benar, baru kita wajib melakukan ay 23-24 ini? Atau apakah sekalipun ia tidak benar, tetapi ia menyangka bahwa ia benar, kita tetap wajib melakukan ay 23-24 ini?

Hendriksen mengatakan bahwa Lenski berpendapat bahwa orang yang mempunyai ganjelan itu harus benar. Matthew Poole juga mengatakan (hal 23) bahwa orang itu harus mempunyai ‘just reason’ (= alasan yang benar).

Tetapi Hendriksen sendiri beranggapan bahwa kalaupun saudara kita itu salah, tetapi kalau ia mengira dirinya benar, sehingga ia mempunyai ganjelan terhadap kita, maka kita tetap harus mengusahakan perdamaian dengan dia (bukan minta maaf, tetapi menjelaskan / memberi pengertian kepadanya). Dan kelihatannya Pulpit Commentary mempunyai pandangan yang sama dengan Hendriksen.

Pulpit Commentary: “It is noteworthy that our Lord in this verse does not define on whose side the cause of the quarrel lies” (= Perlu diperhatikan bahwa Tuhan kita dalam ayat ini tidak mendefinisikan pada sisi siapa penyebab pertengkaran ini terletak) - hal 162.

Satu hal lain yang ingin saya tambahkan adalah: kalau kita disuruh berinisiatif untuk membereskan suatu ‘ganjelan’ yang ada dalam diri saudara kita, apalagi kalau ‘ganjelan’ itu ada dalam diri kita sendiri! Adakah saudara seiman / orang di sekitar saudara terhadap siapa saudara mempunyai ‘ganjelan’? Bawa itu kepada Tuhan, dan bereskan! Bahkan mungkin sekali untuk membereskan hal itu, saudara harus datang kepada orang tersebut, dan membicarakannya!

b)   Mengapa hal seperti ini dihubungkan oleh Yesus dengan hukum ke 6?

D. Martyn Lloyd-Jones: “the commandment not to kill really means we should take positive steps to put ourselves right with our brother” (= perintah untuk tidak membunuh berarti bahwa kita harus mengambil langkah-langkah yang positif untuk meluruskan / memperbaiki hubungan kita dengan saudara kita) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 227.

c)   Kata ‘persembahan’ / ‘memberikan persembahan’ (ay 23,24).

Calvin beranggapan (hal 287) bahwa kata ‘persembahan’ merupakan suatu synecdoche (= gaya bahasa dimana ‘sebagian’ mewakili ‘seluruhnya’), dan menunjuk pada ibadah / kebaktian yang kita lakukan terhadap Allah.

Matthew Poole: “It is a text usually applied with reference to communion with God in the Lord’s supper, but equally extensive to any other part of worship, hearing the word, James 1:21, and prayer, 1Tim 2:8” (= Ini merupakan text yang biasanya diterapkan berkenaan dengan persekutuan dengan Allah dalam Perjamuan Kudus, tetapi juga mencakup lebih luas pada bagian lain dari ibadah / kebaktian, mendengar firman, Yak 1:21, dan doa, 1Tim 2:8) - hal 23.

Yak 1:19-21 - “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu”.

1Tim 2:8 - “Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan”.

Bandingkan juga dengan ayat-ayat di bawah ini:

·        Yes 1:15 - “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan mukaKu, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah”.

·        Yes 58:3-4 - “‘Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?’ Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi”.

D. Martyn Lloyd-Jones: “In the sight of God there is no value whatsoever in an act of worship if we harbour a known sin. ... If I, in the presence of God, and while trying to worship God actively, know there is sin in my heart which I have not dealt with and confessed, my worship is useless. There is no value in it at all” (= Dalam pandangan Allah ibadah itu tidak mempunyai nilai apapun jika kita mempunyai / menyembunyikan dosa yang diketahui. ... Jika saya, di hadapan Allah, sedang berusaha untuk menyembah / berbakti kepada Allah secara aktif, tahu bahwa ada dosa dalam hati saya yang belum saya tangani dan akui, ibadah saya tidak berguna. Itu sama sekali tidak mempunyai nilai) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228.

D. Martyn Lloyd-Jones: “If you are in a state of conscious enmity against another, if you are not speaking to another person, or if you are harbouring these unkind thoughts and are a hindrance and an obstacle to that other, God’s Word assures you that there is no value in your attempted act of worship” (= Jika engkau ada dalam keadaan permusuhan yang disadari terhadap orang lain, jika engkau tidak mau berbicara dengan seorang yang lain, atau jika engkau mempunyai / menyembunyikan pikiran-pikiran yang tidak baik ini dan hal itu merupakan suatu halangan dan rintangan terhadap orang lain itu, Firman Allah meyakinkanmu bahwa tidak ada nilai dalam usahamu untuk beribadah / berbakti) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228.

D. Martyn Lloyd-Jones: “There is no value or purpose in praying to God if you know in your own heart that you are not right with your brother. It is impossible for God to have any dealings with sin and iniquity. He is of such a pure countenance that He cannot even look upon it. According to our Lord the matter is so vital that you must even interrupt your prayer, you must, as it were even keep God waiting. Go and put it right, He says; you cannot be right with God until you put yourself right with man” (= Tidak ada nilai atau kegunaan dalam berdoa kepada Allah jika engkau tahu dalam hatimu sendiri bahwa engkau tidak benar / beres dengan saudaramu. Adalah mustahil bagi Allah untuk mempunyai hubungan / urusan dengan dosa dan kejahatan. Ia mempunyai wajah yang begitu murni sehingga Ia bahkan tidak bisa memandangnya. Menurut Tuhan kita persoalan itu begitu penting sehingga engkau harus menginterupsi doamu, bahkan engkau seakan-akan harus membiarkan Allah menunggu. Pergilah dan bereskanlah, kataNya; engkau tidak bisa beres dengan Allah kecuali engkau membereskan dirimu sendiri dengan manusia) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228-229.

Calvin: “But if the worship, which men render to God, is polluted and corrupted by their resentments, this enables us to conclude, in what estimation he holds mutual agreement among ourselves” (= Tetapi jika ibadah / kebaktian, yang dilakukan manusia kepada Allah, dikotori dan dirusak oleh kebencian / kemarahan / kesebalan / ketidak-senangan, ini menyebabkan kita bisa menyimpulkan bagaimana Ia menilai persetujuan / persesuaian satu sama lain di antara kita sendiri) - hal 286.

d)   Ini tidak berarti bahwa hubungan dengan manusia lebih penting dari pada hubungan dengan Allah.

Knox Chamblin: “The point is not that human relationships are more important than the worship of God, but that these two are inextricably bound together (the one inevitably affects the other)” [= Maksudnya bukan bahwa hubungan dengan manusia lebih penting dari pada ibadah / kebaktian kepada Allah, tetapi bahwa kedua hal ini terikat menjadi satu secara tak terpisahkan (yang satu secara tak terhindarkan mempengaruhi yang lain)] - hal 41.

e)   Inisiatif untuk membereskan ganjelan ini jelas bukan hal yang gampang. Ini membutuhkan kerendahan hati dan penyangkalan diri!

f)    Bagaimana kalau kita sudah mengusahakan perdamaian secara benar, tetapi orang tersebut tidak mau berdamai?

Pulpit Commentary: “The Christian can never excuse himself by saying, ‘My brother will not be reconciled to me.’ He must be; and the Christian must not rest until he is. The burden of right relations rests on him (= Orang kristen tidak pernah bisa beralasan dengan berkata: ‘Saudaraku tidak mau diperdamaikan dengan aku’. Ia harus; dan orang kristen itu tidak boleh berhenti sampai ia mau. Beban dari hubungan yang benar ada pada orang kristen itu) - hal 225.

Saya berpendapat bahwa kata-kata ini salah. Clarke mengatakan (hal 72) bahwa kalau kita sudah berusaha untuk berdamai, tetapi orang itu tidak mau, maka itu tidak akan menghalangi ibadah kita kepada Allah. Bdk. Ro 12:18 - “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”.

Calvin: “so long as a difference with our neighbour is kept up by our fault, we have no access to God” (= selama suatu perbedaan dengan sesama kita dipelihara / dipertahankan oleh kesalahan kita, kita tidak mempunyai akses kepada Allah) - hal 286.

4)   Ada hutang yang belum dibayar (ay 25-26).

a)   Gambaran yang mustahil?

Mungkin orang-orang yang suka mencari-cari kesalahan  Kitab Suci untuk menyerang Kitab Suci, akan menyerang bagian ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Mana ada 2 orang yang mau ‘bertempur’ dalam pengadilan lalu berjalan ke pengadilan bersama-sama? Memang ini kelihatannya tidak masuk akal untuk kita pada jaman ini, tetapi pada jaman itu di sana, hal itu merupakan sesuatu yang bisa terjadi.

Barclay: “The picture of two opponents on the way to court together seems to us very strange, and indeed rather improbable. But in the ancient world it often happened. Under Greek law there was a process of arrest called APAGOGE, which means ‘summary arrest’. In it the plaintiff himself arrested the defendant. He caught him by his robe at the throat, and held the robe in such a way that, if the man struggled, he would strangle himself” (= Gambaran tentang dua lawan dalam perjalanan ke pengadilan bersama-sama kelihatan sangat aneh bagi kita, dan bahkan mustahil. Tetapi dalam dunia kuno itu sering terjadi. Di bawah hukum Yunani ada suatu proses penangkapan yang disebut APAGOGE, yang berarti ‘penangkapan cepat’. Dalam penangkapan ini sang penuntut sendiri menangkap terdakwa. Ia menangkapnya di bagian leher dari jubahnya, dan memegang jubah itu sedemikian rupa sehingga jika orang itu berontak, ia akan mencekik dirinya sendiri) - hal 144.

Bdk. Mat 18:28-30 - “Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya”.

b)   Penafsiran rohani atau hurufiah?

Calvin mengatakan bahwa bagian ini sering ditafsirkan secara rohani, dimana ‘hakim’ diartikan menunjuk kepada ‘Allah’.

Calvin juga mengatakan (hal 288-289) bahwa Gereja Roma Katolik menafsirkan ‘penjara’ sebagai ‘api penyucian’, dan orang tak akan keluar dari penjara / api penyucian sampai ia membayar lunas dosa-dosanya. Yang dimaksud dengan ‘lawan’ adalah ‘setan’, dan Calvin lalu mengatakan bahwa kalau bagian ini mau ditafsirkan demikian, maka karena ayat ini menyuruh kita berdamai dengan lawan kita, maka itu harus diartikan bahwa kita harus berdamai dan menjadi teman dengan setan.

Calvin sendiri tidak setuju dengan penafsiran yang merohanikan seperti itu, dan mengatakan bahwa bagian ini harus ditafsirkan secara hurufiah, dan jelas bahwa pandangan Calvin ini benar.

c)   Kontras dan persamaan.

Ada kontras antara ay 22-24 dengan ay 25-26. Yang pertama berurusan dengan ‘saudaranya’ (ay 22) / ‘saudaramu’ (ay 23), dan yang kedua berurusan dengan ‘lawanmu’ (ay 25).

Tetapi juga ada persamaan antara ay 23-24 dengan ay 25-26, yaitu ada ganjelan dalam diri orang tersebut terhadap kita, dan ini harus dibereskan. Persamaan yang lain adalah bahwa dalam kedua kasus, persoalannya harus dibereskan dengan secepatnya.

Barclay: “When personal relations go wrong, in nine cases out of ten immediate action will mend them; but if that immediate action is not taken, they will continue to deteriorate, and the bitterness will spread in an ever-widening circle” (= Pada waktu hubungan pribadi rusak, dalam 9 dari 10 kasus, tindakan langsung / segera akan memperbaikinya; tetapi jika tindakan langsung / segera itu tidak dilakukan, hubungan itu akan terus memburuk, dan kepahitan akan menyebar makin lama makin luas) - hal 145.

d)   Hutang yang tidak dibayar jelas akan merupakan suatu ganjelan dalam diri orang yang memberi hutang, dan karena itu orang kristen harus secepatnya membereskan hutangnya.

Sebetulnya berhutang saja sudah merupakan sesuatu yang memalukan, apalagi kalau berhutang dan tidak membayar hutangnya. Kitab Suci menggambarkan orang yang berhutang dan tidak membayar kembali sebagai orang fasik.

Maz 37:21a - “Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali”.

e)   Jangan menggunakan text ini sebagai dasar untuk membolehkan orang kristen membereskan perkara pidana di luar sidang.

Ingat bahwa yang dipersoalkan dalam ay 25-26 adalah persoalan hutang, yang jelas merupakan suatu persoalan perdata. Jadi, yang boleh / harus dibereskan di luar sidang / sebelum sidang ini hanyalah perkara perdata. Perkara pidana tidak boleh didamaikan seperti itu.

Kesimpulan / penutup.

Tuhan menghendaki kita mempunyai hubungan yang baik dengan sesama, dan juga pemberesan semua ganjelan. Memang ini tidak mudah, tetapi akan menjadi lebih mudah jika semua pihak mau berusaha melaksanakan kehendak Tuhan ini. Maukah saudara? Tuhan memberkati saudara.

-AMIN-


Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ

Channel Live Streaming Youtube :  bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali