(Rungkut Megah Raya Blok D No 16)
Rabu, tgl 3 Juli 2019, pk 19.00
Pdt.
Budi Asali, M. Div.
V) Kristus: 1 person /
pribadi dengan 2 natures / hakekat.
A) Istilah
‘Person’
dan ‘Nature’.
1)
Mengapa digunakan istilah-istilah seperti ‘person’
[= pribadi] dan ‘nature’
[= hakekat], padahal istilah-istilah tersebut tidak ada dalam Kitab
Suci?
Calvin
(pada waktu ia berbicara tentang Allah Tritunggal
dalam Yoh 1:1-2) menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:
“And
yet the ancient writers of the Church were excusable, when, finding that they
could not in any other way maintain sound and pure doctrine in opposition to the
perplexed and ambiguous phraseology of the heretics, they were compelled to
invent some words, which after all had no other meaning than what is taught in
the Scriptures. They said that there are three Hypostases, or Subsistences, or
Persons, in the one and simple essence of God.” [= Dan /
tetapi penulis-penulis kuno dari gereja bisa dibenarkan, karena pada waktu
mereka melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk
mempertahankan doktrin yang sehat dan murni untuk menentang penyusunan kata yang
membingungkan dan berarti dua dari orang-orang sesat, maka mereka
terpaksa menciptakan beberapa kata-kata, yang sebetulnya
tidak mempunyai arti lain dari pada apa yang diajarkan dalam Kitab Suci.
Mereka berkata bahwa ada tiga pribadi dalam hakekat
Allah yang satu dan sederhana.].
Herman
Bavinck mengatakan sebagai berikut:
“It
is of course self-evident that this confession of Nicea and Chalcedon may not
lay claim to infallibility. The terms of which the church and its theology make
use, such as person, nature, unity of substance, and the like, are not found in
Scripture, but are the product of reflection which Christianity gradually had to
devote to this mystery of salvation. The church was compelled to do this
reflecting by the heresies which loomed up on all sides, both within the church
and outside of it. All those expressions and statements which are employed in
the confession of the church and in the language of theology are not designed to
explain the mystery which in this matter confronts it, but rather to maintain it
pure and unviolated over against those who would weaken or deny it.”
[= Jelaslah bahwa pengakuan iman Nicea dan Chalcedon tidak bisa dianggap infallible
/ tak bisa salah. Istilah-istilah yang digunakan oleh gereja dan theologinya,
seperti pribadi, hakekat, kesatuan hakekat / zat,
dan sebagainya, tidak ditemukan dalam Kitab Suci,
tetapi merupakan hasil pemikiran yang secara bertahap / perlahan-lahan harus
diberikan oleh kekristenan kepada misteri tentang keselamatan ini. Gereja
dipaksa untuk melakukan pemikiran ini oleh bidat-bidat yang muncul dan mengancam
dari semua sisi, baik di dalam maupun di luar gereja. Semua
istilah dan pernyataan yang digunakan dalam pengakuan iman gereja dan dalam
bahasa theologia, tidak
dimaksudkan untuk menjelaskan misteri yang dihadapi, tetapi
untuk menjaganya supaya tetap murni dan tak terganggu dari mereka yang ingin
melemahkan atau menyangkalnya.] - ‘Our
Reasonable Faith’, hal 321-322.
Bavinck
melanjutkan lagi:
“There
have been many, and there still are many, who look down upon the doctrine of the
two natures from a lofty vantage point, and try to supplant it by other words
and phrases. What differences does it really make, they begin by saying,
whether we agree with this doctrine or not? What matters is that we ourselves
possess the person of Christ, He who stands high and exalted above this awkward
confession. But before long these same persons begin introducing words and
terms themselves in order to describe the person of Christ whom they accept.
... And then history has taught that the terms of the attackers of the
Doctrine of the Two Natures are far poorer in worth and force, and that they
often, indeed, involve doing injustice to the incarnation as Scripture explains
it to us.” [= Pernah ada banyak orang, dan sampai
sekarang masih ada banyak orang, yang dari tempat yang tinggi dan menguntungkan,
meremehkan / memandang rendah doktrin tentang 2 hakekat ini, dan mencoba
untuk menggantinya dengan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang lain.
Mereka memulainya dengan berkata: apa bedanya apakah kami menyetujui doktrin ini
atau tidak? Yang penting adalah bahwa kami memiliki pribadi Kristus, yang
berdiri jauh di atas pengakuan yang aneh ini. Tetapi sebentar
lagi, orang-orang ini sendiri mulai memperkenalkan kata-kata dan istilah-istilah
untuk menggambarkan pribadi Kristus yang mereka terima. ... Dan sejarah
telah mengajar bahwa istilah-istilah dari para penyerang doktrin
tentang 2 hakekat ini, jauh lebih jelek dalam nilainya dan kekuatannya,
dan bahwa mereka bahkan sering terlibat dalam perlakuan yang tidak benar
terhadap inkarnasi seperti yang dijelaskan oleh Kitab Suci kepada kita.]
- ‘Our Reasonable Faith’,
hal 322.
Apa
yang dikatakan oleh Bavinck ini terbukti dalam buku sesat dari Pdt. Yohanes
Bambang, yang berjudul ‘Tuhan, Ajarlah Aku’.
Dalam hal 131, ia berkata sebagai berikut: “Jadi karena hakikat Alkitab
berfungsi sebagai pewartaan iman maka dalam kesaksiannya tidak pernah
berspekulasi juga mengenai masalah sebagaimana yang dikemukakan oleh
Tertullianus. Alkitab tidak pernah membuat hipotesa
tentang Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus dengan kategori-kategori ‘UNA
SUBSTANTIA, TRES PERSONAE’ (satu zat yang memiliki tiga pribadi).
Cara berpikir Tertullianus adalah cara berpikir yang filsafati ketimbang cara
berpikir teologis-alkitabiah. Bila demikian, identitas Roh Kudus bukan dalam
pengertian ZAT ILAHI yang memiliki kepribadian sendiri. Alkitab
tidak pernah mengenal atau mempergunakan istilah dan pengertian ZAT ILAHI”.
Jadi terlihat bahwa ia menolak ajaran Tertullian
ini dengan alasan bahwa istilah ‘zat ilahi’ itu tidak ada dalam Kitab Suci.
Tetapi anehnya dalam bagian lain dari bukunya ia berkata:
a)
“Secara
matematis memang berjumlah tiga. Tetapi dari penghayatan iman dan materi
Allah: ketigaNya adalah YANG TUNGGAL” (hal 109).
b)
“Jadi
Allah dan Yesus adalah satu, tapi bukan satu dalam arti matematis, juga bukan
dalam arti satu zat. Allah dan Yesus adalah satu dalam ciri
hakiki ilahi dan karya (pekerjaan)Nya” (hal 110).
c)
“...
sehingga dalam diri Yesus Kristus nampak seluruh ciri
hakiki Allah sendiri”
(hal 135).
Perhatikan bahwa sekarang ia menggunakan
istilah-istilah ‘materi Allah’, ‘ciri
hakiki ilahi’, dan ‘ciri hakiki Allah’.
Bukankah istilah-istilah itu juga tidak ada dalam Kitab
Suci? Jadi terlihat kebenaran kata-kata Bavinck di atas. Orang
ini baru saja mencela penggunaan istilah ‘zat ilahi’, tetapi lalu
menciptakan istilahnya sendiri, yang juga tidak ada dalam Kitab Suci, dan jelas
lebih jelek nilainya dari istilah ‘zat ilahi’ yang ia cela.
2)
Arti dari person dan nature.
Pada
waktu LOGOS / Anak Allah berinkarnasi, Ia tidak mengambil pribadi
manusia, tetapi hakekat manusia (yang
lalu mendapatkan kepribadiannya dari LOGOS).
Kalau
demikian, bisakah kita berkata bahwa Yesus tidak mengambil seluruh
manusia, karena yang Ia ambil adalah manusia tanpa kepribadian?
Kalau memang LOGOS tidak mengambil seluruh manusia,
bukankah itu berarti bahwa Ia tidak menebus seluruh manusia? Kalau Ia tidak
mengambil kepribadian manusia, bukankah itu berarti bahwa kepribadian kita
tidak ditebus?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu mengerti tentang arti
/ definisi dari istilah ‘person /
pribadi’ dan ‘nature / hekekat’.
a)
Human nature adalah substance
/ essence [= hakekat] dari manusia. Tidak ada
perbedaan antara human nature yang
satu dengan human nature yang lain.
Semua manusia mempunyai human nature
yang sama.
b)
Human nature sudah merupakan
seluruh manusia, tidak ada sedikitpun yang kurang.
c)
Human person [= pribadi
manusia] adalah human nature yang
sudah dipribadikan. Karena itu, human person
yang satu berbeda dengan human person
yang lain.
Beberapa
kutipan kata-kata William G. T. Shedd:
1. “Personality
is not an integral and essential part of a nature, but is, as it were, the
terminus to which it tends”
[= Kepribadian bukanlah merupakan bagian yang perlu untuk melengkapi dan bukan
bagian yang pokok / hakiki dari suatu hakekat, tetapi merupakan terminal /
tujuan yang dituju oleh hakekat itu]
- ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol II, hal 287.
2. “When
we speak of a human nature, a real
substance having physical, rational, moral and spiritual properties is meant.
This human nature is capable of becoming a human person but as yet is not one.
It requires to be personalized, in order to be a self-conscious individual man.
A human person is a fractional part of a specific human nature or substance
which has been separated from the common mass, and formed into a distinct and
separate individual, by the process of generation. Prior to this separation and
formation, this fractional portion of the common human nature has all the
qualities of the common mass of which it is a part, but it is not yet individualized.
It is potentially, not actually personal. It has all the properties that
subsequently appear in the particular individual formed of it,”
[= Pada waktu kita berbicara tentang suatu hakekat manusia, maka yang dimaksud
adalah suatu zat yang nyata yang memiliki sifat-sifat fisik, ratio, moral dan
rohani. Hakekat manusia ini bisa menjadi pribadi manusia
tetapi belum / bukan merupakan pribadi manusia. Hakekat
manusia itu perlu dipribadikan supaya menjadi seorang manusia tersendiri yang
sadar. Seorang pribadi manusia adalah sebagian
kecil dari hakekat atau zat manusia tertentu yang telah dipisahkan dari seluruh
massa, dan dibentuk menjadi pribadi tersendiri yang berbeda dan terpisah, oleh
proses kelahiran. Sebelum pemisahan dan
pembentukan ini, bagian kecil dari seluruh hakekat manusia itu, mempunyai semua
sifat-sifat dari seluruh massa dari mana ia merupakan bagian, tetapi ia belum
dipribadikan. Ia berpotensi untuk menjadi pribadi, tetapi ia tidak / belum
sungguh-sungguh merupakan pribadi.
Ia mempunyai semua sifat-sifat dasar yang sesudah itu muncul dalam pribadi
tertentu yang dibentuk darinya,] - ‘Shedd’s Dogmatic
Theology’, vol II, hal 289-290.
3. “A
lump of clay has all the properties of matter that belong to the vessel of honor
and dishonor. But it has not as yet the individual form of the vessel. An act of
the potter must intervene, whereby a piece of clay is separated from the lump
and moulded into a particular vase having its own peculiar shape and figure. In
like manner, human nature as an entire whole existing in Adam possessed all the
elementary properties that are requisite to personality, though it was not yet
personalized.”
[= Segumpal tanah liat mempunyai semua sifat-sifat
dasar dari bahan / zat yang dimiliki oleh bejana yang terhormat dan tak
terhormat. Tetapi gumpalan tanah liat itu belum
mempunyai bentuk dari bejana itu. Suatu tindakan dari penjunan harus ikut
campur, dengan mana segumpal tanah liat itu dipisahkan dari seluruh gumpalan dan
dibentuk menjadi suatu jambangan tertentu yang mempunyai bentuknya yang khas.
Demikian juga, hakekat manusia sebagai suatu
keseluruhan yang ada di dalam Adam mempunyai semua sifat-sifat dasar yang
diperlukan untuk kepribadian, sekalipun hakekat manusia itu belum dipribadikan.]
- ‘Shedd’s Dogmatic Theology’,
vol II, hal 290-291.
4. “The
difference, then, between nature and person is virtually that between substance
and form.”
[= Jadi, perbedaan sebenarnya antara hakekat dan pribadi adalah perbedaan antara
zat dan bentuk.] - ‘Shedd’s
Dogmatic Theology’, vol II, hal 291.
5. “Still
another point of difference between a ‘nature’ and a ‘person’ is the
fact that a nature can not be distinguished from another nature, but a person
can be from another person.”
[= Perbedaan lain lagi antara ‘hakekat’ dan ‘pribadi’ adalah fakta bahwa
suatu hakekat tidak bisa dibedakan dari hakekat yang
lain, sedangkan
suatu pribadi bisa dibedakan dari pribadi yang lain.]
- ‘Shedd’s Dogmatic Theology’,
vol II, hal 294.
Catatan: ini hanya ilustrasi untuk menjelaskan. Perlu
dicamkan, bahwa dalam realitanya hakekat
manusia yang belum dibentuk itu TIDAK PERNAH ADA sendirian / terpisah dari
hakekat / pribadi ilahi!
Kesimpulan
dari semua ini:
Karena person
/ pribadi adalah nature / hakekat
yang sudah dibentuk / dipribadikan, maka sebetulnya person
/ pribadi tidak memiliki kelebihan zat dibandingkan dengan nature / hakekat. Ingat bahwa ‘pembentukan’ bukanlah
penambahan zat!
Sama seperti segumpal
tanah liat, yang sudah dibentuk menjadi jambangan / gelas, tidak mempunyai
kelebihan zat dibandingkan dengan saat gumpalan tanah liat itu belum
dibentuk, demikian juga person
/ pribadi tidak mempunyai kelebihan zat dibandingkan dengan nature / hakekat.
Illustrasi:
tanah liat
Common
Mass
Nature / Hakekat
Person / Pribadi
Dari
illustrasi gambar ini terlihat dengan jelas bahwa perbedaan antara nature dan person, tidak
terletak pada perbedaan zat / hakekat, tetapi pada pembentukan (nature
/ hakekat - belum dibentuk; person
/ pribadi - sudah dibentuk).
Dengan
demikian, pada waktu Yesus mengambil human
nature / hakekat manusia, Ia sebetulnya sudah mengambil seluruh manusia,
tanpa ada yang kurang sedikitpun.
B) Hypostatical
/ personal Union [= persatuan pribadi].
1)
Yesus Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia.
Tetapi Ia hanya merupakan 1 pribadi.
Dasar
dari pandangan ini: dalam Kitab Suci sering ditunjukkan akan adanya lebih dari 1 pribadi
dalam diri Allah. Misalnya:
a)
Penggunaan kata ganti orang bentuk jamak.
Kej 1:26
- “Berfirmanlah
Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia
menurut gambar dan rupa Kita, supaya
mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di
bumi.’”.
b)
Pembicaraan antara satu pribadi dengan pribadi yang lain.
Maz 2:7
- “Aku mau
menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata
kepadaku: ‘AnakKu engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari
ini.”.
c)
Adanya saling kasih-mengasihi antara pribadi-pribadi itu.
Mat 3:17
- “lalu
terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: ‘Inilah
AnakKu yang Kukasihi, kepadaNyalah Aku berkenan.’”.
d)
Pribadi yang satu mengutus pribadi yang lain.
Bapa
mengutus Anak, dan Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus.
Yoh
17:3 - “Inilah
hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah
yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah
Engkau utus.”.
Yoh
14:26 - “tetapi
Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh
Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu
kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”.
Yoh
15:26 - “Jikalau Penghibur
yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar
dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.”.
Tetapi
hal-hal tersebut tidak pernah terjadi pada waktu Kitab Suci menggambarkan
Yesus Kristus. Jadi jelaslah bahwa berbeda dengan Allah Tritunggal yang
memiliki lebih dari 1 pribadi (dalam hal ini 3 pribadi), Yesus Kristus hanya
memiliki 1 pribadi saja!
2)
Sebelum inkarnasi, Yesus adalah Allah Anak yang jelas merupakan
‘seseorang’ yang berpribadi.
Jadi
pada saat itu Ia adalah 1 pribadi dengan 1 hakekat, yaitu hakekat ilahi.
Pada
saat Ia berinkarnasi, Ia tidak mengambil ‘pribadi manusia’ karena ini akan
menimbulkan adanya 2 pribadi seperti yang diajarkan oleh Nestorianisme.
Yang
diambil olehNya adalah hakekat manusia.
Hakekat
manusia dan hakekat ilahi bersatu dalam pribadi Anak Allah sehingga setelah
inkarnasi, Yesus adalah 1 pribadi dengan 2 hakekat (ilahi dan manusia).
Ada
yang beranggapan bahwa yang diambil oleh Logos
bukanlah ‘hakekat manusia’ tetapi ‘pribadi manusia’, karena yang
diambil itu terdiri dari tubuh dan jiwa / roh, yang mencakup pikiran, perasaan,
dan kehendak, dan ketiga hal ini merupakan ciri-ciri dari seorang pribadi.
Tetapi
ini tidak benar, karena sekalipun Logos
itu mengambil tubuh manusia dan jiwa / roh manusia, yang mempunyai pikiran,
perasaan dan kehendak, tetapi semua itu belum
dipribadikan, sehingga sifatnya belum / tidak specific [= tertentu].
Jadi,
pikirannya belum tertentu (pandai atau bodoh / berapa tinggi IQnya), perasaannya
belum tertentu (halus atau kasar), kehendaknya belum tertentu (keras atau
tidak). Bahkan tubuhnyapun belum tertentu (tinggi atau pendek, berkulit putih
atau kuning atau hitam, bermata biru atau coklat, berambut pirang atau hitam,
dsb).
Dengan
demikian ini bukan pribadi manusia, tetapi hakekat manusia.
Tetapi
pada saat pertama Logos mengambil
hakekat manusia itu, maka hakekat manusia itu mendapat kepribadiannya dari Logos,
sehingga menjadi manusia tertentu.
3)
Hakekat manusia itu tidak pernah ada terpisah
dari pribadi Allah Anak.
Hakekat
manusia itu mendapat kepribadiannya dari pribadi Allah Anak dan selalu
ada di dalam pribadi Allah Anak itu.
Bahkan
antara kematian dan kebangkitan Yesuspun, hakekat manusia itu tak terpisah
dengan LOGOS / Allah Anak, karena sekalipun
hakekat manusia itu terpecah (roh terpisah dari tubuh), tetapi LOGOS /
Allah Anak yang maha ada itu tetap bersatu baik dengan tubuh (yang ada di
kuburan) maupun dengan roh (yang ada di surga).
4)
Dalam Personal Union [=
persatuan pribadi] ini terjadi suatu persatuan, bukan suatu percampuran (mixture
/ confusion), antara hakekat manusia dan hakekat ilahi.
Hakekat
manusia dan hakekat ilahi tidak bercampur dan
lalu membentuk satu hakekat yang baru.
Juga
hakekat manusia tidak berubah menjadi hakekat
ilahi, dan hakekat ilahi tidak berubah menjadi
hakekat manusia.
Jadi, baik hakekat manusia maupun hakekat ilahi tetap
mempunyai / mempertahankan sifat-sifatnya sendiri-sendiri.
Mereka
berbeda, tetapi bersatu dalam diri Yesus Kristus.
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube: