Eksposisi
Kisah Para Rasul
oleh:
Pdt. Budi Asali MDiv.
KISAH
RASUL 10:1-48
I) Kornelius.
1)
Ia adalah seorang perwira Italia, dan itu berarti bahwa ia bukan orang Yahudi.
2)
Ia adalah seorang yang ‘hebat’, dan ini terlihat dari:
· ia
dikatakan sebagai saleh (ay 2).
· ia
takut kepada Allah (ay 2).
Memang
orang saleh pasti adalah orang yang takut kepada Allah, dan sebaliknya.
· ia
memberi sedekah kepada orang Yahudi (ay 2).
Ini menunjukkan bahwa ia mempunyai kasih kepada sesama. Ini juga
menunjukkan bahwa sedikitnya ia adalah seorang simpatisan agama Yahudi.
· ia
senantiasa berdoa kepada Allah (ay 2).
· ia
selalu berusaha membawa orang lain kepada Tuhan.
Ini terlihat dari:
* ay 2:
seisi rumahnya juga takut kepada Allah. Ini jelas terjadi karena pengaruh
Kornelius.
* ay 7:
prajurit yang saleh. Ini juga karena pengaruh Kornelius.
* ay 24:
ia memanggil sanak saudaranya dan sahabat-sahabatnya untuk mendengar pesan Tuhan
/ Firman Tuhan.
Penerapan:
Apakah saudara juga mempunyai beban untuk membawa orang kepada
Tuhan?
II) Petrus.
1)
Petrus adalah orang Yahudi, yang mempunyai kepercayaan Yahudi, yaitu:
· Orang
Yahudi tidak boleh bergaul dengan orang non Yahudi, dan bahkan tidak boleh masuk
ke rumah orang non Yahudi (ay 28). Kepercayaan ini didasarkan pada Ul 7:1-5
(tetapi sebetulnya Ul 7:1-5 ini hanya ditujukan kepada orang Kanaan).
· Hanya
orang Yahudi yang bisa selamat, sedangkan orang non Yahudi diciptakan sebagai
bahan bakar di neraka (ay 34-35,45). Karena itu tidak heran banyak orang Yahudi
Kristen yang hanya memberitakan Injil kepada sesama orang Yahudi (bdk. Kis
11:19).
Kepercayaan seperti ini membuat Petrus belum siap untuk dipakai
oleh Tuhan untuk memberitakan Injil kepada Kornelius. Ia harus diajar lebih
dulu, supaya ia bisa membuang kepercayaannya yang salah ini.
2) Petrus diajar oleh Tuhan.
a)
Melalui penglihatan (ay 9-16).
· Ay
9: Pada saat itu Petrus mau berdoa, dan karena itu ia naik ke atas rumah.
Mengapa naik ke atas rumah? Karena berdoa membutuhkan kesunyian sehingga bisa
lebih berkonsentrasi (bdk. Mark 1:35). Memang kalau perlu kita bisa berdoa di
tengah-tengah keramaian, tetapi kalau dimungkinkan, kita harus mencari tempat
yang sunyi. Ini bertentangan dengan banyak cara doa yang se-dang ngetrend
jaman ini, seperti:
* orang
yang berteriak ‘Amin’, atau ‘Haleluya’, atau ‘Glory’ dsb dengan
suara keras di tengah-tengah suatu persekutuan doa.
* doa
yang diiringi musik.
* sebagian
jemaat berdoa, sebagian lain menyanyi.
* ‘doa
bersuara’, yaitu
sekelompok orang yang berdoa dimana setiap orang berdoa dengan membuka suara
dengan keras (Awas, saya tidak memaksudkan orang yang berdoa secara pribadi,
sambil mengeluarkan suara. Yang ini tentu tidak apa-apa). Saya berpendapat bahwa
ini adalah sesuatu yang salah karena:
Þ Seharusnya suasana doa adalah sunyi / tenang. Tetapi kalau kita
melakukan ‘doa bersuara’ ini, maka kita sengaja membuat ribut. Ini
menyebabkan banyak orang tidak bisa berdoa dalam suasana seperti itu. Kalau
saudara sendiri bisa berdoa dalam suasana seperti itu, jangan beranggapan bahwa
semua orang juga harus bisa berdoa dalam suasana seperti itu!
Þ Ini adalah perwujudan dari egoisme, karena orang yang melakukan
‘doa bersuara’ itu tidak mempedulikan orang-orang lain yang tidak bisa
berdoa dalam suasana seperti itu. Bandingkan dengan Fil 2:4 - “janganlah
tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan
orang lain juga”.
Þ Itu sebetulnya bukanlah suatu persekutuan doa, karena
sekalipun semua orang berdoa untuk topik yang sama, tetapi doanya bisa
berbeda. Misalnya: kalau semua berdoa tentang hamba Tuhan, maka bisa saja
yang satu berdoa untuk kesehatannya, sedangkan yang lain berdoa untuk
kerohaniannya. Lebih dari itu doa dari orang-orang itu bahkan bisa
bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya hamba Tuhan itu punya anak yang
nakal, maka bisa saja orang yang satu berdoa supaya hamba Tuhan itu diberi
kesabaran menghadapi anaknya itu, tetapi orang yang lain berdoa supaya hamba
Tuhan itu diberi ketegasan untuk mendisiplin anak itu. Atau pada waktu mendoakan
jemaat yang sakit, yang seorang berdoa supaya orang yang sakit itu disembuhkan,
tetapi orang yang lain, yang menganggap bahwa penyakit itu merupakan hukuman /
hajaran Tuhan, berdoa supaya Tuhan tidak menyembuhkan tetapi mempertobatkan
orang itu. Dengan demikian terlihat bahwa sebetulnya mereka hanya berdoa
bersama-sama, bukan melakukan persekutuan doa!
Þ Itu bertentangan dengan tradisi persekutuan doa yang diajarkan oleh
Kitab Suci.
1Kor 14:16 berbunyi: “Sebab,
jika engkau mengucap syukur dengan rohmu saja, bagaimanakah orang biasa yang
hadir sebagai pendengar dapat mengatakan ‘amin’ atas pengucapan syukurmu?
Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan?”
Ayat ini memang bukan mempersoalkan ‘doa bersuara’, tetapi
‘doa dengan menggunakan bahasa roh’. Tetapi dari ayat ini kita bisa
mempelajari tradisi persekutuan doa dalam Kitab Suci. Mengapa doa dengan bahasa
roh tidak boleh dilakukan dalam suatu persekutuan? Karena dengan demikian orang
yang hadir tidak bisa mengaminkannya. Jadi dari sini terlihat bahwa tradisi
Kitab Suci dalam melakukan persekutuan doa adalah: satu orang yang memimpin doa
dengan suara keras, sedangkan yang lain mengaminkannya. Supaya saudara tidak
menganggap bahwa saya memutar-balikkkan Kitab Suci, dan menafsirkannya semau
saya sendiri, maka saya memberikan komentar Calvin tentang 1Kor 14:16 ini.
Calvin: “Paul’s
expression, however, intimates, that some one of the ministers uttered or
pronounced prayers in a distinct voice, and that the whole assembly followed in
their minds the words of that one person, until he had come to a close, and they
all said Amen - to intimate, that the prayer offered up by that one person was
that of all of them in common” (=
ungkapan Paulus menunjukkan bahwa salah seorang pendeta menaikkan doa dengan
suara yang jelas dan seluruh jemaat mengikuti dalam pikiran mereka kata-kata
dari orang itu, sampai ia selesai, dan mereka semua berkata Amin - untuk
menunjukkan bahwa doa yang dinaikkan oleh satu orang itu adalah doa mereka
semua).
Bandingkan juga dengan: 1Taw 16:36 (nyanyi diakhiri dengan
kata ‘amin’ oleh seluruh jemaat), Maz 106:48 (doa diakhiri dengan kata
‘amin’ oleh seluruh umat), dan Ul 27:15-26 (pembacaan Firman Tuhan diakhiri
dengan kata ‘amin’ oleh seluruh bangsa).
Tetapi
ada orang yang mengatakan bahwa ada orang yang tidak bisa berkonsentrasi dalam
doa kalau hanya ada 1 orang yang berdoa dan ia hanya mengaminkan. Saya menjawab:
memang harus diakui kalau pemimpin doa berdoa tidak karuan / berbelit-belit,
maka kita akan sukar berkonsentrasi. Karena itu harus dipilih pemimpin doa yang
baik. Kalau dengan pemimpin doa yang baik tetap ada orang yang tidak bisa
berkonsentrasi, maka saya berpendapat tentu ada sesuatu yang tidak beres dengan
orang itu. Doa seperti ini adalah yang diajarkan oleh Kitab Suci. Kalau ia tidak
bisa berdoa dengan cara yang diajarkan oleh Kitab Suci, maka pasti dia yang
salah.
Þ Itu menimbulkan kekacauan / ketidaktertiban yang jelas tidak
dikehendaki oleh Tuhan dalam suatu kebaktian.
1Kor 14:27,30-31 mengatakan bahwa dalam suatu pertemuan
jemaat, kalau orang yang berbahasa roh ataupun bernubuat harus satu per satu.
Mengapa? Karena Allah menghendaki ketertiban dan keteraturan dalam ibadah /
kebaktian (1Kor 14:33,40). Aneh kalau ada orang yang mau menggunakan
ayat-ayat ini untuk menyerang orang Pentakosta / Kharismatik yang berbahasa roh
secara bersama-sama, tetapi tidak menggunakan ayat-ayat ini untuk melarang
‘doa bersuara’. Padahal kekacauan yang ditimbulkan adalah sama.
Ada orang yang keberatan dengan apa yang saya katakan ini, karena
menurut mereka dalam Kis 4:24 dilakukan doa bersuara seperti itu.
Kis 4:24 - “Ketika
teman-teman mereka mendengar hal itu, berserulah mereka bersama-sama
kepada Allah, katanya: ‘Ya Tuhan, ...”.
Tetapi ini salah, karena kata Yunani yang diterjemahkan
‘bersama-sama’ itu adalah HOMOTHUMADON, yang berarti ‘dengan satu hati /
pikiran’. Jadi, yang ditunjukkan oleh Kis 4:24 ini adalah kesatuan hati mereka
dalam berdoa, bukan ‘doa bersuara’ (Jika ingin tahu lebih jelas tentang
penafsiran ayat ini, lihat ‘Kisah Rasul’ jilid 1).
· Ay
10 (NIV): ‘he fell into a trance’ (= ia mengalami trance).
Ada orang yang menggunakan bagian ini sebagai dasar dari Toronto
Blessing. Mereka mengatakan bahwa dalam mengalami Toronto Blessing,
orang-orang itu mengalami trance seperti Petrus di sini.
Untuk menjawab
ini kita perlu tahu apa arti dari kata trance ini?
* Kata
‘trance’ itu kalau dilihat dalam kamus Inggris - Indonesia oleh
John M. Echols dan Hassan Shadily, diartikan sebagai ‘keadaan tak sadarkan
diri’, ‘lupa daratan’, atau ‘kerasukan’.
* Sedangkan
Webster’s New World Dictionary menambahkan arti “a
state resembling sleep, in which consciousness may remain although voluntary
movement is lost, as in catalepsy or hypnosis” (= suatu keadaan menyerupai
tidur, dimana kesadaran bisa tetap ada tetapi tidak ada gerakan yang disadari /
disengaja, seperti dalam hal orang yang terkena ayan atau hipnotis).
* Selanjutnya
perlu diketahui bahwa kata bahasa Inggris ‘trance’ dalam ayat-ayat
itu diterjemahkan dari kata bahasa Yunani EKSTASIS. Dari kata Yunani ini
diturunkan kata bahasa Inggris ecstasy, yang artinya adalah
‘kegembiraan yang meluap-luap’.
Tetapi Petrus tidak berada dalam keadaan tidak sadar, ataupun
kegembiraan yang meluap-luap. Ia mengalami hal itu pada saat ia sedang berdoa.
Dan pada saat ia mengalami hal itupun ia tidak lalu rebah, pingsan,
bergerak-gerak tak terkendali seperti orang sakit ayan, bergulung-gulung di
lantai, tertawa terbahak-bahak, dsb. Singkatnya, Petrus sama sekali tidak mirip
dengan orang yang terkena Toronto Blessing! Sebaliknya ia tetap bisa
berkomunikasi secara sadar dan wajar dengan Tuhan!
Karena itu saya tidak menerima ketiga arti di atas, dan saya
menerima arti yang diberikan oleh W. E. Vine dalam ‘An Expository
Dictionary of New Testament Words’ dimana ia mengartikan ‘EKSTASIS’ /
‘trance’ sebagai berikut: “a
condition in which ordinary consciousness and the perception of natural
circumstances were withheld, and the soul was susceptible only to the vision
imparted by God” (= suatu kondisi /
keadaan dimana kesadaran dan penglihatan / daya memahami yang normal terhadap
keadaan alamiah ditahan / disembunyikan, dan jiwa orang itu hanya terbuka / bisa
menerima penglihatan yang diberikan oleh Allah).
Jadi trance / EKSTASIS hanya merupakan suatu keadaan dimana
Allah menutup kesadaran seseorang terhadap hal-hal lain, supaya orang itu
bisa berkonsentrasi secara khusus hanya terhadap diri Allah dan apa yang akan
Allah berikan kepadanya (firman, penglihatan, dsb).
Ini tentu tidak sama dengan apa yang terjadi dalam Toronto
Blessing, dimana orang mengalami trance tanpa ada tujuan apa-apa dari
Allah, dan bahkan menyebabkan mereka itu justru mengabaikan khotbah / firman
Tuhan secara total!
· Ay
11-13 - ia menerima penglihatan. Ini jelas adalah mujijat.
· Ay
14: Petrus menolak.
* Sikap
ini ada bagusnya! Mengapa? Karena Petrus tahu ada Firman Tuhan (Im 11 & Ul
14:3-20) yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan dalam penglihatan itu.
Bandingkan sikap Petrus ini dengan sikap orang-orang yang menerima ‘seadanya
wahyu / ajaran’ tanpa mempedulikan apakah ‘wahyu’ itu bertentangan dengan
Kitab Suci / Firman Tuhan atau tidak! bdk. Gal 1:6-9 2Kor 11:14.
Tetapi
Petrus tidak mengerti bahwa Im 11 & Ul 14:3-20 adalah ceremonial
law (= hukum yang berhubungan dengan upacara keagamaan) yang sudah
dihapuskan setelah kematian / kebangkitan Kristus (bdk. Ef 2:15a - “sebab
dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan
segala perintah dan ketentuannya”).
Catatan: Mat 5:17-19 menunjukkan bahwa hukum Taurat berlaku
selama-lamanya, tetapi ini berlaku untuk moral law (= hukum moral),
seperti jangan berzinah, jangan membunuh dsb. Sedangkan ceremonial law
dihapus berdasarkan Ef 2:15a di atas.
Karena itu, hati-hatilah dengan ajaran yang tetap memberlakukan ceremonial
law! Misalnya banyak hamba Tuhan / orang kristen saat ini yang percaya pada
ajaran tentang ‘lembu merah’ yang katanya akan dipakai untuk
menyucikan Israel / bangsa Yahudi. Sekalipun ajaran tentang ‘lembu merah’
itu mempunyai dasar Kitab Suci, yaitu dalam Bil 19, tetapi itu termasuk
dalam ceremonial law yang jelas sudah tidak berlaku lagi setelah Yesus
mati / bangkit.
Di atas telah saya berikan dasar penghapusan ceremonial law,
yaitu Ef 2:15. Kalau ini masih kurang, bacalah Ibr 10:1-18, yang
membandingkan korban binatang dalam Perjanjian Lama, dan korban Kristus dalam
Perjanjian Baru. Lalu perhatikan secara khusus:
Þ Ibr 10:9b yang berbunyi: “Yang
pertama Ia hapuskan, supaya menegakkan yang kedua”.
‘Yang
pertama’ jelas menunjuk pada korban binatang dalam Perjanjian Lama, sedangkan
‘yang kedua’ jelas menunjuk pada korban Kristus.
Þ Ibr 10:18 yang berbunyi: “Jadi
apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan
korban karena dosa”.
Kalau
saudara masih juga belum puas, bacalah Ibr 8-9, dan perhatikan khususnya:
Þ Ibr 8:7 - “Sebab,
sekiranya perjanjian yang pertama itu tidak bercacat, tidak akan dicari lagi
tempat untuk yang kedua”.
Þ Ibr 8:13 - “Oleh karena
Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama
sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan
usang, telah dekat kepada kemusnahannya”.
Þ Ibr 9:9-10 - “Itu adalah
kiasan masa sekarang. Sesuai dengan itu dipersembahkan korban dan persembahan
yang tidak dapat menyempurnakan mereka yang mempersembahkannya menurut hati
nurani mereka, karena semuanya itu, di samping makanan dan minuman dan pelbagai
macam persembahan, hanyalah peraturan-peraturan untuk hidup insani, yang
hanya berlaku sampai tibanya waktu pembaharuan”.
Semua
ini jelas menunjukkan bahwa ceremonial law, termasuk korban dan penyucian
Perjanjian Lama sudah tidak berlaku lagi pada jaman Perjanjian Baru sekarang
ini.
Karena itu, kalau pada jaman sekarang (jaman Perjanjian Baru) orang
melakukan kembali ceremonial law seperti itu, maka itu merupakan
penghinaan terhadap pengorbanan Kristus. Kalau hal ini dilakukan oleh bangsa
Yahudi yang non kristen, maka sekalipun ini tetap salah, tetapi ini tidak
mengherankan, karena mereka memang hidup dalam jaman Perjanjian Lama dan tidak
mengakui Perjanjian Baru. Tetapi kalau ada orang kristen, lebih-lebih pendeta
kristen, yang menyetujui hal itu, ini betul-betul kegilaan dan kesesatan! Tidak
ada orang / bangsa manapun dalam jaman Perjanjian Baru ini yang bisa disucikan
dengan apapun (termasuk dengan ‘lembu merah’) selain dengan darah Kristus.
Dengan kata lain, supaya seseorang atau suatu bangsa (termasuk bangsa Israel /
Yahudi) bisa disucikan, maka ia / mereka harus percaya kepada Yesus sebagai
Juruselamat dan Tuhan!
Mungkin
ada orang yang menggunakan Bil 19:10, yang menunjukkan bahwa itu adalah ‘ketetapan
kekal’, untuk menentang apa yang saya ajarkan di sini. Maka saya ingin
mengingatkan bahwa dalam Kel 17:11,13 sunat juga disebut sebagai
‘perjanjian kekal’! Apakah saudara mau mengatakan bahwa jaman
sekarang kita juga harus disunat? Bdk. Gal 5:2-6 Gal 6:12-15. Calvin
menganggap bahwa yang kekal bukan pelaksanaan sunat itu, tetapi artinya. Juga
sunat merupakan TYPE / gambaran / bayangan dari baptisan, dan karenanya waktu
baptisan tiba maka sunat harus disingkirkan. Demikian juga dengan perayaan
Paskah Perjanjian Lama (Passover), yang dalam Kel 12:14 disebutkan
sebagai ‘ketetapan untuk selamanya’. Ini merupakan TYPE / gambaran /
bayangan dari Kristus (1Kor 5:7 - “Sebab
anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus”),
dan karena itu pada waktu Kristusnya datang, mati dan bangkit, maka hal ini
harus disingkirkan.
Jadi, sekalipun sunat dan Paskah disebut perjanjian / ketetapan
‘kekal’, itu tidak berarti pelaksanaan sunat dan Paskah itu kekal. Maka
demikian juga dengan persoalan lembu merah!
* Bagaimanapun,
karena pada saat itu Petrus tahu bahwa penglihatan itu datang dari Tuhan
(perhatikan sebutan ‘Tuhan’ dalam ay 14, yang menunjukkan bahwa ia tahu
penglihatan itu datang dari Tuhan), maka seharusnya ia taat (bandingkan dengan
ketaatan Abraham dalam mempersembahkan Ishak, padahal Abraham disuruh membunuh
Ishak! - Kej 22).
· Ay
15: jawaban Tuhan atas penolakan Petrus.
· Ay
16: hal ini terulang sampai 3 x untuk meyakinkan Petrus.
Awas! Ini tidak berarti kalau ada penglihatan / mimpi yang
terjadi sampai 3 x itu pasti datang dari Tuhan!
Apa sebetulnya arti dari penglihatan itu? Ay 9-16 memang bisa
dijadikan dasar untuk berkata bahwa Im 11 & Ul 14:3-20 dibatalkan,
dan dengan demikian orang kristen boleh makan daging binatang apapun (bandingkan
ini dengan kepercayaan Advent yang tetap memegang teguh larangan dalam Im 11
& Ul 14:3-20 itu). Tetapi arti yang terutama dari penglihatan itu
adalah: jangan menganggap orang non Yahudi sebagai orang najis, orang yang tidak
bisa diselamatkan, orang yang tidak perlu diinjili, dsb.
Petrus masih tidak mengerti arti penglihatan itu. Tetapi bagusnya:
ia ingin mengerti (ay 17,19).
Penerapan:
Kalau saudara berhadapan dengan Firman Tuhan yang sukar, apakah
saudara ingin / berusaha mengerti?
b)
Melalui utusan Kornelius, suara Roh Kudus dan cerita Kornelius.
· Ay 17b-18:
utusan Kornelius tiba.
· Ay 20:
Roh Kudus menyuruh Petrus pergi dengan mereka.
· Ay 22:
dikatakan kepada Petrus bahwa Kornelius adalah ‘seorang perwira’, dan ini
menunjukkan bahwa ia bukan orang Yahudi. Ini menyebabkan Petrus mulai mengerti
arti dari penglihatan tadi, sehingga ia mau pergi dengan mereka dan ia
mengucapkan ay 28b-29.
· Petrus
mendengar cerita Kornelius (ay 30-33) sehingga ia makin yakin akan
pengertiannya (ay 34-35).
Kalau kita melihat dan mengerti kontexnya, maka tentu kita tidak
akan menafsirkan bahwa kata-kata Petrus dalam ay 34-35 itu bertentangan
dengan doktrin Predestinasi, seperti yang dikatakan oleh Pdt. dr. Yusuf B. S.!
Kalau ay 34 ini mengatakan bahwa Allah ‘tidak membedakan orang’, maka ini
tidak berarti bahwa ‘Allah tidak melakukan predestinasi / pemilihan’, tetapi
bahwa ‘Allah tidak membedakan Yahudi dan non Yahudi’.
3) Petrus memberitakan Injil kepada orang-orang non
Yahudi itu (ay 36-43).
Penekanan penginjilannya adalah:
· ay
36: damai oleh Yesus.
· ay
36: Yesus adalah Tuhan semua orang.
· ay
38: Yesus memang hamba Allah yang pelayananNya disertai dan diberkati Allah.
· ay
39: kematian Yesus.
· ay
40: kebangkitan Yesus.
· ay
42: Yesus adalah Hakim.
· ay
43: pengampunan dosa hanya karena iman kepada Yesus.
Perhatikan betapa ‘penuh dengan Yesusnya’ khotbah Paulus.
Memang khotbah yang injili harus penuh dengan Yesus, karena tujuannya adalah
membawa orang kepada Yesus.
4) Petrus menyuruh mereka untuk dibaptis (ay 48).
a)
Mula-mula dikatakan bahwa Roh Kudus turun ke atas mereka (ay 44).
Mengapa mereka menerima Roh Kudus? Jelas karena pemberitaan Injil
yang dilakukan oleh Petrus, mereka menjadi percaya kepada Yesus (bdk. Kis 2:38
Gal 3:2).
b)
Lalu mereka menerima karunia bahasa roh (ay 45-46).
Bahasa roh yang asli memang merupakan karunia dari Tuhan.
Orang yang tidak beriman tidak mungkin bisa menerimanya. Kalau mereka telah
menerima karunia bahasa roh yang asli maka itu memang membuktikan bahwa
mereka sudah beriman. Tetapi awas, ini tidak boleh dibalik. Jadi jangan
mengatakan bahwa orang yang beriman kepada Yesus pasti menerima karunia bahasa
roh. Bandingkan dengan Paulus sendiri yang pada waktu menerima Roh Kudus tidak
berbahasa roh (Kis 9:17-19).
c)
Petrus menyuruh mereka dibaptis (ay 47-48).
Adalah sesuatu yang menarik bahwa Petrus sendiri tidak membaptis
mereka. Ia menyuruh orang lain untuk membaptis (pasti salah satu dari ke 6 orang
yang menyertai dia - bdk. ay 23 Kis 11:12).
Penutup:
Dengan demikian
Kornelius, yang adalah orang non Yahudi, menerima Injil, diselamatkan dan masuk
ke dalam gereja. Tidak ada orang yang tidak berhak mendengar Injil. Karena itu,
maukah saudara memberitakan Injil kepada semua orang? Jangan ada golongan /
bangsa yang saudara anak emaskan atau anak tirikan dalam pemberitaan Injil!
Beritakanlah Injil kepada semua orang!
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali