oleh:
Pdt. Budi Asali MDiv.
1) Ay 1 menunjukkan keluarga orang percaya yang
terlibat hutang.
Berkenaan dengan ini saya akan membahas pertanyaan: Bolehkah orang
kristen berhutang?
Dalam Ro 13:8 dikatakan: “Janganlah
kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling
mengasihi. Sebab barangsiapa mengasihi sesamanya manusia, ia sudah memenuhi
hukum Taurat”.
Perhatikan beberapa tafsiran tentang ayat ini di bawah ini:
· Pulpit
Commentary: “The
command, ‘Owe no man anything,’ if obeyed, would hinder many a bankruptcy
and prevent many a business scandal” (=
Perintah ‘janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga’, jika
ditaati, akan menghindarkan banyak kebangkrutan dan mencegah banyak skandal
bisnis) - ‘The
Epistle of Paul to the Romans’, hal 401.
· William
Hendriksen: “‘Owe
no man anything ...’ This rendering would create the impression that Paul
calls all borrowing wrong, a position that is clearly contrary to Scripture. See
Exod. 22:25; Ps. 37:26; Matt. 5:42; Luke 6:35. ... ‘Let no debt remain
outstanding, except the continuing debt to love one another ... ,’ ... I can
find no fault whatever with this excellent rendering. It is completely true to
the original. ... this is a condemnation of the practice of some, who are ever
ready to borrow but very slow to repay the borrowed sum. In this connection see
Ps. 37:21, ‘The wicked person borrows but does not repay ...’”
(= ‘Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga ...’. Terjemahan
ini menciptakan kesan bahwa Paulus menyebut semua peminjaman salah, suatu posisi
yang jelas bertentangan dengan Kitab Suci. Lihat Kel 22:25; Maz 37:26; Mat 5:42;
Luk 6:35. ... ‘Jangan biarkan ada hutang yang tetap tidak diselesaikan,
kecuali hutang yang terus menerus untuk saling mengasihi ...’, ... Saya tidak
bisa mendapatkan kesalahan apapun dalam terjemahan yang sangat baik ini. Ini
sepenuhnya sesuai dengan bahasa aslinya. ... ini merupakan kecaman terhadap
praktek dari beberapa orang, yang selalu siap untuk meminjam tetapi lambat dalam
mengembalikan pinjaman itu. Sehubungan dengan ini lihat Maz 37:21: ‘Orang
fasik meminjam dan tidak membayar kembali ...’)
- ‘Romans’, hal 438-439.
Jadi Hendriksen menganggap orang kristen boleh meminjam, asal
membayarnya tenpa berlambat-lambat.
· John
Murray: “In
accord with the analogy of Scripture this cannot be taken to mean that we may
never incur financial obligations, that we may not borrow from others in case of
need (cf. Exod. 22:25; Psalm 37:26; Matt. 5:42; Luke 6:35). But it does condemn
the looseness with which we contract debts and particularly the indifference so
often displayed in the discharging of them. ‘The wicked borroweth, and payeth
not again’ (Psalm 37:21). Few things bring greater reproach upon the Christian
profession than the accumulation of debts and refusal to pay them”
[= Sesuai dengan analogi Kitab Suci ini tidak bisa diartikan bahwa kita tidak
pernah boleh mengadakan kewajiban keuangan, bahwa kita tidak boleh meminjam dari
orang lain pada saat membutuhkan (bdk. Kel 22:25; Maz 37:26; Mat 5:42; Luk
6:35). Tetapi itu memang mengecam orang yang terlalu gampang berhutang dan
khususnya sikap acuh tak acuh yang begitu sering ditunjukkan dalam pembayaran
hutang itu. ‘Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali ...’ (Maz
37:21). Hanya sedikit hal yang menyebabkan celaan lebih besar pada kekristenan
dari pada penumpukan hutang dan penolakan pembayarannya]
- ‘The Epistle to the Romans’ (NICNT), hal 159.
Jadi, sama dengan Hendriksen, Murray juga berpendapat bahwa orang
kristen boleh berhutang. Tetapi ia menyalahkan orang yang terlalu gampang
berhutang, dan orang yang berhutang tetapi lalai dalam membayarnya.
Sekarang mari kita perhatikan apakah ayat-ayat yang digunakan oleh
William Hendriksen maupun John Murray di atas itu betul-betul bertentangan
dengan pandangan bahwa hutang itu sama sekali dilarang.
¨ Kel 22:25 - “Jika
engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umatKu, orang yang miskin
di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang
terhadap dia; janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya”.
¨ Maz 37:25-26 - “Dahulu
aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar
ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti; tiap hari ia menaruh
belas kasihan dan memberi pinjaman, dan anak cucunya menjadi berkat”.
¨ Mat 5:42 - “Berilah
kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau
meminjam dari padamu”.
¨ Luk 6:35 - “Tetapi
kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan
dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan
menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang
tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat”.
Saya sendiri tidak melihat bahwa ayat-ayat ini bertentangan dengan
pandangan yang melarang orang untuk berhutang. Ayat-ayat ini menyuruh untuk mau
meminjamkan uang sebagai tanda kasih, memberikan peraturan dalam meminjamkan
(untuk orang miskin tak boleh pakai bunga), tetapi sama sekali tidak memberi
ijin untuk berhutang.
Bandingkan ini dengan:
· adanya
hukum yang mengatur perceraian (Ul 24:1-4), atau hukum yang mengatur orang
yang beristri dua (Ul 21:15-17) dsb, yang jelas bukan merupakan ijin untuk
bercerai ataupun beristri dua. Sebaliknya Tuhan melarang perceraian maupun istri
dua, tetapi karena Ia tahu bahwa hal itu toh akan terjadi, maka Ia memberikan
peraturan dalam kasus seperti itu.
· Luk 6:30
- “Berilah kepada setiap orang yang
meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil
kepunyaanmu”. Ini tentu
tak bisa diartikan bahwa orang kristen boleh meminta / mengambil barang orang
lain. Demikian juga kalau orang kristen disuruh meminjami sebagai tanda kasih,
itu tak berarti bahwa orang kristen boleh meminjam.
Jadi, saya berpendapat bahwa Ro 13:8 bisa dipakai sebagai
dasar untuk melarang orang kristen berhutang. Pandangan atau penafsiran ini
tidak bertentangan dengan ayat manapun. Mengapa Tuhan melarang orang kristen
berhutang? Menurut saya, karena itu dianggap sebagai sesuatu yang memalukan
Tuhan / Bapa kita. Apakah Tuhan / Bapa kita, yang katanya adalah pencipta dan
penguasa seluruh langit dan bumi beserta segala isinya, tidak sanggup mencukupi
kebutuhan kita, sehingga kita harus berhutang?
Ada hutang yang tidak memalukan, dan menurut saya ini boleh
dilakukan. Misalnya:
¨ mengambil kredit dari bank untuk bekerja, atau kredit mobil /
rumah. Ini dilakukan bukan oleh orang yang hidupnya kekurangan, dan karena itu
saya menganggap ini tidak memalukan Tuhan dan boleh dilakukan. Tetapi ini tetap
tidak boleh dilakukan secara ngawur. Krismon baru-baru ini sudah menunjukkan apa
yang bisa terjadi dengan orang yang berhutang, apalagi dalam dollar.
¨ pada waktu pergi dengan teman, saudara tidak membawa uang
(tetapi punya uang di rumah), dan saudara lalu meminjam kepada teman itu, dan
lalu dibayar di rumah atau beberapa hari setelahnya. Ini lagi-lagi tidak
menunjukkan saudara kekurangan, dan karenanya tidak memalukan Tuhan.
Tetapi ‘tutup lubang gali lubang’ atau ‘berhutang setiap
pertengahan bulan dan membayarnya pada awal bulan’, merupakan hal yang
memalukan Tuhan. Kalau saudara sering melakukan hal ini, bertobatlah!
Sebagai tambahan dalam persoalan ini, ada beberapa ayat dalam Kitab
Suci yang menunjukkan bahwa kalau seseorang hidup benar, maka ia sebetulnya
tidak perlu berhutang, karena Tuhan pasti mencukupi kebutuhan hidupnya (Ul 28:12
Ul 15:6 Maz 37:25-26 Mat 6:33).
· Dalam
Ul 28, salah satu janji berkat kalau Israel taat adalah “Tuhan
akan ... memberkati segala pekerjaanmu, sehingga engkau memberi pinjaman
kepada banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak meminta pinjaman”
(Ul 28:12).
· Ul 15:6b
- “engkau akan memberi pinjaman kepada
banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak akan meminta pinjaman”.
Dalam tafsirannya tentang Ul 15:6 ini Calvin berkata:
“whence
it follows, that if there were any in want among them, it would arise from the
wickedness and depravity of the people themselves”
(= akibatnya / konsekwensinya adalah bahwa jika ada siapapun kekurangan di
antara mereka, itu ditimbulkan dari kejahatan dan kebejatan dari bangsa itu
sendiri) - hal 157.
· Maz 37:25-26
- “Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi
tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya
meminta-minta roti; tiap hari ia menaruh belas kasihan dan memberi pinjaman,
dan anak cucunya menjadi berkat”.
· Mat 6:33
- “Tetapi carilah dahulu Kerajaan
Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”.
Jadi, kalau seseorang terpaksa berhutang untuk kebutuhan hidupnya,
maka itu berarti ada sesuatu yang salah dalam hidupnya. Apakah ini termasuk
‘menghakimi’ orang yang menderita / miskin? Apa bedanya dengan mengatakan
seseorang berdosa kalau ia sakit? Bedanya adalah dalam soal ini ada janji Tuhan.
Dalam soal sakit tidak ada janji Tuhan yang menjamin bahwa kita tidak akan sakit
(setidaknya dalam PB).
2) Ay 1 ini menunjukkan bahwa hutang menyebabkan
problem bagi keluarga ini.
Pulpit Commentary: “This incident, and
there are many like it happening every day, shows us the folly and danger of
getting into debt. One of the worst features of it is that so often the innocent
- the wife or children who perhaps know nothing at all of the debt - have to
suffer for the folly or the dishonesty of others. We need to have a more
awakened conscience on this subject of using money which really is not our
own” (= Peristiwa ini, dan ada banyak
peristiwa lain seperti ini terjadi setiap hari, menunjukkan kepada kita
kebodohan dan bahaya dari hutang. Satu segi terburuk darinya adalah begitu
sering orang yang tak bersalah - istri atau anak-anak yang mungkin sama sekali
tidak tahu apa-apa tentang hutang itu - harus menderita untuk kebodohan atau
ketidakjujuran dari orang lain. Kita harus memiliki hati nurani yang lebih peka
dalam persoalan penggunaan uang yang sebetulnya bukan milik kita ini)
- hal 73.
Catatan:
Kadang-kadang yang hutang adalah istri atau anak, dan suami / ayah yang harus
membayar.
3)
Ay 1 ini juga menunjukkan bahwa keluarga nabi ini berantakan keuangannya,
setelah sang nabi mati.
Gereja harus memikirkan hal ini, supaya tidak menimpa keluarga
pendeta pada saat pendetanya mati.
Pulpit Commentary: “provision should be
made for the widows of ministers. The incomes of very many ministers in England
to-day are not sufficient to enable them to make provision for their wives and
children in case of their death. Churches which have committees for sending out
missionaries, for distributing Bibles (which are cheap enough now), and for
distributing tracts, ... ought certainly to see that provision is made for the
future of their ministers’ families” [=
harus dibuat persediaan untuk janda-janda dari pendeta-pendeta. Penghasilan dari
sangat banyak pendeta di Inggris saat ini tidak cukup untuk memungkinkan mereka
membuat persediaan untuk istri dan anak-anak mereka jika mereka mati.
Gereja-gereja yang mempunyai panitia-panitia untuk mengirimkan misionaris, untuk
membagikan Alkitab (yang cukup murah sekarang ini), dan untuk membagikan
traktat, ... jelas harus mengusahakan supaya persediaan dibuat untuk masa depan
dari keluarga pendeta mereka] - hal 80.
Catatan:
Perlu diingat bahwa pendeta mendapat ‘biaya hidup’, sehingga tidak
memungkinkan mereka menabung!
4) Kekejaman penagih hutang (ay 1).
Diperkirakan nabi itu terlibat hutang pada saat masih hidup. Pada
saat ia mati, keluarganya yang ditagih. Karena tidak bisa membayar, maka kedua
anaknya akan diambil untuk dijadikan budak.
Pada saat itu sering terjadi peristiwa dimana orang tua terpaksa
menjual anaknya sebagai budak untuk membayar hutangnya. Ini menyebabkan
munculnya ayat-ayat seperti:
· Yes 50:1b
- “Atau kepada siapakah di antara penagih
hutangKu Aku pernah menjual engkau?”.
Maksud ayat ini adalah untuk menunjukkan kasih Tuhan, yang tidak
pernah ‘menjual anakNya’ kepada penagih hutang.
· Mat 18:25
- “Tetapi karena orang itu tidak mampu
melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak
istrinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya”.
Apakah memperbudak anak sebagai pembayaran hutang diijinkan oleh
hukum Musa? Dalam persoalan ini saya tidak mengerti mengapa hampir semua
penafsir mengatakan bahwa hukum Musa mengijinkan hal ini, berdasarkan Im 25:39-43.
Saya berpendapat bahwa Im 25:39-43 itu justru melarang memperbudak orang
dalam keadaan seperti ini!
Im 25:39-43 - “Apabila
saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga menyerahkan dirinya kepadamu, maka
janganlah memperbudak dia. Sebagai orang upahan dan sebagai pendatang ia harus
tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia harus bekerja padamu. Kemudian
ia harus diizinkan keluar dari padamu, ia bersama-sama anak-anaknya, lalu pulang
kembali kepada kaumnya dan ia boleh pulang ke tanah milik nenek moyangnya.
Karena mereka itu hamba-hambaKu yang Kubawa keluar dari tanah Mesir, janganlah
mereka itu dijual, secara orang menjual budak. Janganlah engkau memerintah dia
dengan kejam, melainkan engkau harus takut akan Allahmu”.
Orang-orang itu memang diharuskan bekerja kepada orang kepada siapa
mereka berhutang, tetapi bukan sebagai budak. Dan lalu mereka harus dibebaskan
pada tahun Yobel.
Tetapi penagih hutang dalam 2Raja 4:1 ini kelihatannya tidak
mempedulikan hukum Musa di atas, dan ia ingin mengambil kedua anak janda itu
untuk betul-betul dijadikan budak. Andaikata ia melakukan ini terhadap keluarga
biasa itu sudah sangat jahat, lebih-lebih lagi karena ia melakukan hal ini
terhadap keluarga nabi yang semasa hidupnya takut kepada Tuhan. Tetapi ini tidak
mengherankan, karena pada jaman penyembahan berhala seperti itu, siapa mau
mempedulikan hukum Musa atau nabi yang takut kepada Yahweh?
Penerapan:
Kalau ada orang berhutang kepada saudara, memang saudara boleh
menagihnya, tetapi janganlah menagihnya secara tak berperasaan. Kita mesti
melihat bagaimana keadaan keuangan orang itu.
5) Janda ini datang kepada Elisa dan menceritakan
persoalannya (ay 1).
Sesuatu yang baik dari janda itu adalah bahwa ia bukannya pergi
kepada orang kaya untuk minta pinjaman. Ini nanti jadi tutup lubang gali lubang.
Ia pergi kepada Elisa / Tuhan.
Sesuatu yang salah dari keluarga ini adalah: seharusnya dari dulu
mereka sudah datang kepada Tuhan / Elisa, yaitu pada waktu mereka mau hutang.
Memang banyak orang pada waktu mendapat problem, berusaha menangani
sendiri problemnya. Setelah semua jadi kacau, barulah ia membawa problem itu
kepada Tuhan. Marilah kita belajar untuk membawa problem kita sedini mungkin
kepada Tuhan.
1) Ada alasan yang kuat bagi Elisa untuk menolong janda
ini:
a)
Ia adalah seorang janda dan hukum Musa mengharuskan memperhatikan janda dan anak
yatim (Kel 22:22-24 Ul 14:29 24:17,19 26:12 27:19).
b)
Dulu suaminya adalah seorang nabi yang takut kepada Tuhan (ay 1b).
2)
Setelah mengetahui bahwa janda itu mempunyai sedikit minyak (ada yang mengatakan
bahwa minyak di sini adalah minyak yang digunakan untuk melakukan pengurapan),
maka Elisa menyuruh janda itu untuk meminta kepada tetangga-tetangganya banyak
bejana-bejana yang kosong. Lalu Elisa menyuruh menutup pintu dan menuangkan
minyak dalam buli-buli itu untuk mengisi bejana-bejana kosong itu (ay 2-4).
3)
Maunya janda itu untuk menuruti perintah Elisa yang sebetulnya tidak masuk akal
ini (ay 5), menunjukkan imannya.
4)
Terjadi suatu mujijat, dimana minyak dalam buli-buli itu terus mengalir sehingga
memenuhi semua bejana yang ada (ay 5-6). Setelah semua bejana penuh,
barulah minyak itu berhenti mengalir (ay 6b).
Adam Clarke:
“This is a good emblem of the grace of
God. While there is an empty, longing heart, there is a continual overflowing
fountain of salvation. If we find in any place or at any time that the oil
ceases to flow, it is because there are no empty vessels there, no souls
hungering and thirsting for righteousness”
(= Ini merupakan lambang yang bagus dari kasih karunia Allah. Sementara di sana
ada hati yang merindukan dan kosong, maka di sana ada aliran mata air
keselamatan yang terus menerus. Jika kita mendapatkan di sembarang tempat atau
di sembarang waktu bahwa minyak itu berhenti mengalir, itu disebabkan karena
tidak ada lagi tempat kosong di sana, tidak ada jiwa yang lapar dan haus akan
kebenaran) - hal 491.
Sekalipun ajarannya bagus, tetapi ini pengalegorian yang sangat
meragukan.
5)
Elisa lalu menyuruh janda itu menjual minyak itu untuk membayar hutangnya dan
membiayai kehidupan mereka (ay 7).
Dengan demikian kehidupan keluarga nabi yang takut akan Tuhan ini
tercukupi. Ini sesuai dengan Maz 37:25 yang berbunyi: “Dahulu
aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar
ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti”.
Kalau saudara
mempunyai problem / kebutuhan, khususnya problem / kebutuhan keuangan, jangan
menguatirkannya. Bawalah semua itu kepada Tuhan dalam doa. Ia bisa dan mau
menolong saudara.
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali