10 hukum Tuhan:

hukum KETUJUH

  Pdt. Budi Asali, M.Div.

 

 

Ay 14: “Jangan berzinah”.

 

1)         Contoh pelanggaran terhadap hukum ini:

 

a)   Melakukan hubungan sex di luar pernikahan (pelacuran, dsb).

Dalam Ul 25:11-12 ada hukum yang kelihatannya aneh, yang bunyinya adalah sebagai berikut: “(11) ‘Apabila dua orang berkelahi dan isteri yang seorang datang mendekat untuk menolong suaminya dari tangan orang yang memukulnya, dan perempuan itu mengulurkan tangannya dan menangkap kemaluan orang itu, (12) maka haruslah kaupotong tangan perempuan itu; janganlah engkau merasa sayang kepadanya.’.

Perempuan itu melihat suaminya berkelahi, lalu bermaksud menolong suaminya dengan menangkap kemaluan lawan suaminya itu. Hukum Taurat ini mengatakan bahwa tangan perempuan itu harus dipotong. Hukum ini menunjukkan betapa keramatnya alat kelamin di hadapan Allah. Kalau perempuan yang memegang alat kelamin lelaki lain dalam sikon seperti itu (bukan karena nafsu!) harus dihukum dengan dipotong tangannya, apalagi kalau ia melakukannya dalam suatu perselingkuhan / perzinahan (dengan berahi / nafsu)! Dan jelas ini bukan hanya berlaku bagi perempuan saja, tetapi juga bagi laki-laki!

 

Satu hal yang perlu dicamkan tentang hukum ini adalah bahwa tidak ada orang yang kebal terhadap perzinahan! Kalau Daud, yang begitu rohani, bisa jatuh ke dalam perzinahan, maka semua orang juga bisa. Jadi, jangan pernah meremehkan dosa ini!

 

b)   Melakukan hubungan sex sebelum pernikahan (dengan pacar / tunangan).

1.   Hubungan sex sebelum pernikahan tetap adalah dosa, sekalipun pernikahan sudah kurang 1 hari!

2.   Kitab Suci tidak memberikan batasan orang pacaran, selain dari dilarangnya hubungan sex. Jadi, sukar untuk berbicara tentang hal ini secara mutlak. Mungkin sekali Ul 25:11-12 yang sudah saya jelaskan di atas bisa menjadi dasar untuk melarang memegang alat kelamin pacarnya. Ada juga yang berdasarkan Mat 5:28 bahkan melarang orang berciuman. Tetapi saya berpendapat ini terlalu extrim.

 

c)   Poligami atau poliandri / beristri atau bersuami lebih dari satu.

 

1.         Seseorang hanya boleh menikah lagi, kalau pasangannya sudah mati.

Dari fakta bahwa Allah menciptakan 1 Adam dan 1 Hawa (bukan 2 Hawa, 3 Hawa, dst), jelas bahwa Allah tidak menghendaki poligami maupun poliandri.

Juga perhatikan Kej 2:24 - “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”.

Perhatikan bahwa ayat ini menggunakan kata ‘keduanya’, bukan ‘ketiganya’, ‘keempatnya’ dst!

 

Jadi, seseorang hanya boleh menikah lagi, kalau pasangannya sudah meninggal dunia.

 

Ro 7:2-3 - “(2) Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. (3) Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain”.

 

1Kor 7:39-40a - “(39) Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya. (40a) Tetapi menurut pendapatku, ia lebih berbahagia, kalau ia tetap tinggal dalam keadaannya”.

Catatan:

·        Ay 40a memang kelihatannya menunjukkan bahwa Paulus beranggapan bahwa orang yang kematian pasangannya lebih baik tidak menikah lagi, tetapi ay 40a ditambahkan bukan sebagai peraturan umum, tetapi hanya dalam keadaan darurat pada saat itu. Dalam 1Kor 7:17-40 kata-kata Paulus memang berhubungan dengan masa darurat itu, dan karena itu tidak berlaku umum.

Bdk. 1Kor 7:26 - “Aku berpendapat, bahwa, mengingat waktu darurat sekarang, adalah baik bagi manusia untuk tetap dalam keadaannya”.

·        Tetapi ay 39nya jelas memang merupakan suatu hukum yang berlaku umum. Dan hukum ini menunjukkan bahwa seseorang boleh menikah lagi kalau pasangannya telah meninggal dunia.

 

a.   Jadi, dalam hal ini Kristen memang sangat berbeda dengan Islam, yang mengijinkan seorang laki-laki mempunyai sampai 4 istri, sekalipun diberi syarat, harus bisa berlaku adil (bandingkan dengan A. A. Gym). Dalam Kristen, selama pasangannya masih hidup seseorang dilarang menikah lagi, dengan alasan apapun, seperti pasangannya sakit / lumpuh, tidak bisa punya anak, tidak cocok, pasangannya dingin sex / impoten, dan sebagainya.

 

b.   Dalam Kristen, seseorang memang boleh menikah lagi kalau pasangannya telah meninggal dunia. Jadi, jangan mempunyai pandangan negatif sedikitpun tentang orang yang menikah lagi setelah pasangannya meninggal dunia!

 

2.   Keberatan-keberatan dan jawabannya.

 

a.   Kalau poligami dilarang, mengapa dalam Perjanjian Lama begitu banyak anak-anak Tuhan yang melakukannya, dan kelihatannya dibiarkan, atau bahkan direstui oleh Tuhan? Contoh: Abraham, Daud, Salomo, dan sebagainya.

 

Jawab:

·        Tuhan biasanya lebih bertoleransi terhadap dosa-dosa yang sangat membudaya, dan pada jaman itu poligami dan perbudakan merupakan dosa yang sangat membudaya. Tetapi itu tidak berarti Tuhan merestui dosa tersebut.

·        Sekalipun tidak pernah ada kecaman terhadap anak-anak Tuhan yang melakukan poligami, tetapi tak berarti mereka tak dihukum / dihajar. Boleh dikatakan semua anak Tuhan dalam Perjanjian Lama yang melakukan poligami menderita karena hal itu. Abraham, Yakub, Elkana, Daud, Salomo, dan sebagainya.

 

b.   Daud kelihatannya diberkati karena poligaminya, karena dari Batsyeba ia mendapatkan anak Salomo.

 

Jawab:

Demikian juga dengan Yakub, karena dari 4 istrinya ia mendapatkan 12 anak laki-laki yang menurunkan 12 suku Israel. Memang Tuhan bisa mendatangkan sesuatu yang baik dari suatu dosa. Tetapi itu tidak membenarkan tindakan berdosa itu.

 

c.   Kelihatannya 2Sam 12:8 menunjukkan bahwa Tuhan menyetujui poligami, bahkan Tuhan mengatur terjadinya poligami.

2Sam 12:7-9 - (7) Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: ‘Engkaulah orang itu! Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Akulah yang mengurapi engkau menjadi raja atas Israel dan Akulah yang melepaskan engkau dari tangan Saul. (8) Telah Kuberikan isi rumah tuanmu kepadamu, dan isteri-isteri tuanmu ke dalam pangkuanmu. Aku telah memberikan kepadamu kaum Israel dan Yehuda; dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu. (9) Mengapa engkau menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mataNya? Uria, orang Het itu, kaubiarkan ditewaskan dengan pedang; isterinya kauambil menjadi isterimu, dan dia sendiri telah kaubiarkan dibunuh oleh pedang bani Amon.

 

Jawab:

 

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

·        Saul hanya mempunyai 1 istri dan 1 gundik (1Sam 14:50  2Sam 3:7  2Sam 21:8), dan Daud tidak pernah dikatakan mengawini istri / gundik Saul yang manapun.

·        Jadi, kata-kata itu dianggap diucapkan bukan berdasarkan fakta, tetapi berdasarkan kebiasaan saat itu, dimana seorang raja yang menggantikan raja yang lama mendapatkan semua yang dimiliki raja yang lama itu termasuk istri-istri dan gundik-gundiknya (bdk. 1Raja 2:13-25  2Sam 16:21-22).

·        Kata-kata ‘dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu’ (ay 8b) diartikan sebagai janji pengabulan permintaan yang masuk akal, bukan yang bertentangan dengan Firman Tuhan.

 

3.   Apa yang harus dilakukan oleh orang yang sudah terlanjur mempunyai banyak istri, yang lalu bertobat dan menjadi orang Kristen?

Kalau ada orang yang sudah terlanjur mempunyai lebih dari satu istri, dan ia lalu menjadi kristen, maka saya berpendapat bahwa ia harus menceraikan istri ke 2 dstnya, tetapi harus tetap membiayai hidup mereka. Mengapa? Karena hanya pernikahan pertama yang sah di hadapan Allah, sedangkan pernikahan kedua dstnya adalah perzinahan. Karena itu, pada waktu ia bertobat / menjadi orang kristen, ia harus membuang semua perzinahan itu.

Tetapi kalau memang harus demikian mengapa dalam jaman Perjanjian Lama Tuhan tidak memerintahkan anak-anakNya yang melakukan poligami untuk menceraikan istri-istri ke 2 dst? Karena, seperti sudah saya katakan di atas, pada jaman Perjanjian Lama itu adalah salah satu dosa yang sangat membudaya, sehingga lebih ditoleransi oleh Tuhan.

 

d)   Bercerai, kecuali kalau terjadi perzinahan.

 

1.         Kitab Suci jelas melarang perceraian.

Mal 2:14b-16 - “(14b) Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. (15) Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. (16) Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel - juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!”.

Mat 19:3-8 - “(3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (5) Dan firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (6) Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian”.

1Kor 7:10-11 - “(10) Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. (11) Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya.

 

Bahkan kalau salah satu dari sepasang suami istri yang tadinya kedua-duanya kafir lalu bertobat / menjadi kristen, pihak yang menjadi kristen ini tidak boleh menceraikan pasangan kafirnya itu.

1Kor 7:12-16 - “(12) Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. (13) Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. (14) Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. (15) Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. (16) Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?”.

Catatan: jadi, ini bukan kasus dimana orang Kristen menikah dengan orang non kristen! Ini adalah orang kafir yang menikah dengan orang kafir, tetapi setelah itu salah satu bertobat, sehingga terjadi pasangan kristen - non Kristen.

 

Tetapi bagaimana dengan kasus dalam Ezra 9-10?

 

Ezra 9:1-15 - “(1) Sesudah semuanya itu terlaksana datanglah para pemuka mendekati aku dan berkata: ‘Orang-orang Israel awam, para imam dan orang-orang Lewi tidak memisahkan diri dari penduduk negeri dengan segala kekejiannya, yakni dari orang Kanaan, orang Het, orang Feris, orang Yebus, orang Amon, orang Moab, orang Mesir dan orang Amori. (2) Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan perbuatan tidak setia itu.’ (3) Ketika aku mendengar perkataan itu, maka aku mengoyakkan pakaianku dan jubahku dan aku mencabut rambut kepalaku dan janggutku dan duduklah aku tertegun. (4) Lalu berkumpullah kepadaku semua orang yang gemetar karena firman Allah Israel, oleh sebab perbuatan tidak setia orang-orang buangan itu, tetapi aku tetap duduk tertegun sampai korban petang. (5) Pada waktu korban petang bangkitlah aku dan berhenti menyiksa diriku, lalu aku berlutut dengan pakaianku dan jubahku yang koyak-koyak sambil menadahkan tanganku kepada TUHAN, Allahku, (6) dan kataku: ‘Ya Allahku, aku malu dan mendapat cela, sehingga tidak berani menengadahkan mukaku kepadaMu, ya Allahku, karena dosa kami telah menumpuk mengatasi kepala kami dan kesalahan kami telah membubung ke langit. (7) Dari zaman nenek moyang kami sampai hari ini kesalahan kami besar, dan oleh karena dosa kami maka kami sekalian dengan raja-raja dan imam-imam kami diserahkan ke dalam tangan raja-raja negeri, ke dalam kuasa pedang, ke dalam penawanan dan penjarahan, dan penghinaan di depan umum, seperti yang terjadi sekarang ini. (8) Dan sekarang, baru saja kami alami kasih karunia dari pada TUHAN, Allah kami yang meninggalkan pada kami orang-orang yang terluput, dan memberi kami tempat menetap di tempatNya yang kudus, sehingga Allah kami membuat mata kami bercahaya dan memberi kami sedikit kelegaan di dalam perbudakan kami. (9) Karena sungguhpun kami menjadi budak, tetapi di dalam perbudakan itu kami tidak ditinggalkan Allah kami. Ia membuat kami disayangi oleh raja-raja negeri Persia, sehingga kami mendapat kelegaan untuk membangun rumah Allah kami dan menegakkan kembali reruntuhannya, dan diberi tembok pelindung di Yehuda dan di Yerusalem. (10) Tetapi sekarang, ya Allah kami, apa yang akan kami katakan sesudah semuanya itu? Karena kami telah meninggalkan perintahMu, (11) yang Kauperintahkan dengan perantaraan hamba-hambaMu, para nabi itu, dengan berfirman: Negeri yang kamu masuki untuk diduduki adalah negeri yang cemar oleh karena kecemaran penduduk negeri, yakni oleh karena kekejian yang mereka lakukan dengan segala kenajisan mereka di segenap negeri itu dari ujung ke ujung. (12) Jadi sekarang janganlah kamu memberikan anak-anak perempuanmu kepada anak lelaki mereka, ataupun mengambil anak-anak perempuan mereka untuk anak-anak lelakimu. Janganlah kamu mengikhtiarkan kesejahteraan dan kebahagiaan mereka untuk selama-lamanya, supaya kamu menjadi kuat, mengecap hasil tanah yang baik, dan mewariskan tanah itu kepada anak-anakmu untuk selama-lamanya. (13) Sesudah semua yang kami alami oleh sebab perbuatan kami yang jahat, dan oleh sebab kesalahan kami yang besar, sedangkan Engkau, ya Allah kami, tidak menghukum setimpal dengan dosa kami, dan masih mengaruniakan kepada kami orang-orang yang terluput sebanyak ini, (14) masakan kami kembali melanggar perintahMu dan kawin-mengawin dengan bangsa-bangsa yang keji ini? Tidakkah Engkau akan murka kepada kami sampai kami habis binasa, sehingga tidak ada yang tinggal hidup atau terluput? (15) Ya TUHAN, Allah Israel, Engkau maha benar, sebab kami masih dibiarkan tinggal sebagai orang-orang yang terluput, seperti yang terjadi sekarang ini. Lihatlah, kami menghadap hadiratMu dengan kesalahan kami. Bahwasanya, dalam keadaan demikian tidak mungkin orang tahan berdiri di hadapanMu.’”.

 

Ezra 10:1-44 - “(1) Sementara Ezra berdoa dan mengaku dosa, sambil menangis dengan bersujud di depan rumah Allah, berhimpunlah kepadanya jemaah orang Israel yang sangat besar jumlahnya, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Orang-orang itu menangis keras-keras. (2) Maka berbicaralah Sekhanya bin Yehiel, dari bani Elam, katanya kepada Ezra: ‘Kami telah melakukan perbuatan tidak setia terhadap Allah kita, oleh karena kami telah memperisteri perempuan asing dari antara penduduk negeri. Namun demikian sekarang juga masih ada harapan bagi Israel. (3) Marilah kita sekarang mengikat perjanjian dengan Allah kita, bahwa kita akan mengusir semua perempuan itu dengan anak-anak yang dilahirkan mereka, menurut nasihat tuan dan orang-orang yang gemetar karena perintah Allah kita. Dan biarlah orang bertindak menurut hukum Taurat. (4) Bangkitlah, karena hal itu adalah tugasmu. Kami akan mendampingi engkau. Kuatkanlah hatimu, dan bertindaklah!’ (5) Kemudian bangkitlah Ezra dan menyuruh para pemuka imam dan orang-orang Lewi dan segenap orang Israel bersumpah, bahwa mereka akan berbuat menurut perkataan itu, maka bersumpahlah mereka. (6) Sesudah itu Ezra pergi dari depan rumah Allah menuju bilik Yohanan bin Elyasib, dan di sana ia bermalam dengan tidak makan roti dan minum air, sebab ia berkabung karena orang-orang buangan itu telah melakukan perbuatan tidak setia. (7) Lalu disiarkanlah pengumuman di Yehuda dan di Yerusalem kepada semua orang yang pulang dari pembuangan untuk berhimpun di Yerusalem. (8) Barangsiapa dalam tiga hari tidak datang, maka menurut keputusan para pemimpin dan tua-tua segala hartanya akan disita dan ia akan dikucilkan dari jemaah yang pulang dari pembuangan. (9) Lalu berhimpunlah semua orang laki-laki Yehuda dan Benyamin di Yerusalem dalam tiga hari itu, yakni dalam bulan kesembilan pada tanggal dua puluh bulan itu. Seluruh rakyat duduk di halaman rumah Allah, sambil menggigil karena perkara itu dan karena hujan lebat. (10) Maka bangkitlah imam Ezra, lalu berkata kepada mereka: ‘Kamu telah melakukan perbuatan tidak setia, karena kamu memperisteri perempuan asing dan dengan demikian menambah kesalahan orang Israel. (11) Tetapi sekarang mengakulah di hadapan TUHAN, Allah nenek moyangmu, dan lakukanlah apa yang berkenan kepadaNya dan pisahkanlah dirimu dari penduduk negeri dan perempuan-perempuan asing itu!’ (12) Lalu seluruh jemaah menjawab dan berseru dengan suara nyaring: ‘Sesungguhnya, adalah kewajiban kami melakukan seperti katamu itu. (13) Tetapi orang-orang ini besar jumlahnya dan sekarang musim hujan, sehingga orang tidak sanggup lagi berdiri di luar. Lagipula pekerjaan itu bukan perkara sehari dua hari, karena dalam hal itu kami telah banyak melakukan pelanggaran. (14) Biarlah pemimpin-pemimpin kami bertindak mewakili jemaah seluruhnya, maka setiap orang di kota-kota kami yang memperisteri perempuan asing harus datang menghadap pada waktu-waktu tertentu, dan bersama-sama mereka para tua-tua dan para hakim di tiap-tiap kota, sampai murka Allah kami yang bernyala-nyala karena perkara ini dijauhkan dari kami.’ (15) Hanya Yonatan bin Asael, dan Yahzeya bin Tikwa, berdiri menentang perkara itu, disokong oleh Mesulam dan Sabetai, orang Lewi itu. (16) Tetapi mereka yang pulang dari pembuangan melakukannya. Maka imam Ezra memilih beberapa orang, kepala-kepala kaum keluarga, masing-masing untuk kaum keluarganya, semuanya dengan namanya disebut. Pada hari pertama bulan kesepuluh mereka bersidang untuk menyelidiki perkara itu, (17) dan mereka menyelesaikan segala urusan mengenai orang yang memperisteri perempuan asing itu pada hari pertama bulan pertama. (18) Di antara kaum imam yang memperisteri perempuan asing terdapat: dari bani Yesua bin Yozadak, dengan saudara-saudaranya: Maaseya, Eliezer, Yarib dan Gedalya. (19) Dengan memegang tangan, mereka itu berjanji akan mengusir isteri mereka. Dan mereka mempersembahkan seekor domba jantan dari kawanan kambing domba sebagai korban penebus salah karena kesalahan mereka. (20) Dari bani Imer: Hanani dan Zebaja; (21) dari bani Harim: Maaseya, Elia, Semaya, Yehiel dan Uzia; (22) dan dari bani Pasyhur: Elyoenai, Maaseya, Ismael, Netaneel, Yozabad dan Elasa. (23) Dari orang-orang Lewi: Yozabad, Simei, Kelaya (yakni Kelita), Petahya, Yuda dan Eliezer. (24) Dari para penyanyi: Elyasib. Dari para penunggu pintu gerbang: Salum, Telem dan Uri. (25) Dari orang-orang Israel yang lain: dari bani Paros: Ramya, Yezia, Malkia, Miyamin, Eleazar, Malkia dan Benaya. (26) Dari bani Elam: Matanya, Zakharia, Yehiel, Abdi, Yeremot dan Elia. (27) Dari bani Zatu: Elyoenai, Elyasib, Matanya, Yeremot, Zabad dan Aziza. (28) Dari bani Bebai: Yohanan, Hananya, Zabai dan Altai. (29) Dari bani Bani: Mesulam, Malukh, Adaya, Yasub, Seal dan Yeramot. (30) Dari bani Pahat-Moab: Adna dan Kelal, Benaya, Maaseya, Matania, Bezaleel, Binui dan Manasye. (31) Dari bani Harim: Eliezer, Yisia, Malkia, Semaya, Simeon, (32) Benyamin, Malukh, dan Semarya. (33) Dari bani Hasum: Matnai, Matata, Zabad, Elifelet, Yeremai, Manasye dan Simei. (34) Dari bani Bani: Maadai, Amram, Uel, (35) Benaya, Bedeya, Keluhu, (36) Wanya, Meremot, Elyasib, (37) Matanya, Matnai, Yaasai. (38) Dari bani Binui: Simei, (39) Selemya, Natan, Adaya, (40) Makhnadbai, Sasai, Sarai, (41) Azareel, Selemya, Semarya, (42) Salum, Amarya dan Yusuf. (43) Dari bani Nebo: Yeiel, Matica, Zabad, Zebina, Yadai, Yoel dan Benaya. (44) Mereka sekalian mengambil sebagai isteri perempuan asing; maka mereka menyuruh pergi isteri-isteri itu dengan anak-anaknya”.

 

Dalam kasus Ezra ini mungkin harus dianggap bahwa itu merupakan kasus khusus. Mengapa? Karena mereka dalam jumlah kecil pulang dari pembuangan. Dalam keadaan seperti itu kawin campur ini bisa menyebabkan kemusnahan dari bangsa Yahudi, dan kalau demikian, akan menghancurkan rencana Allah tentang kedatangan Mesias melalui mereka. Karena itu dalam kasus itu Ezra mengambil tindakan seperti itu, dimana mereka yang melakukan kawin campur itu harus menceraikan istrinya.

 

Matthew Henry (tentang Ezra 10): “He advises that a speedy and effectual course should be taken for the divorcing of the strange wives. The case is plain; what has been done amiss must be undone again as far as possible; nothing less than this is true repentance. Let us put away all the wives, and such as are born of them, v. 3. Ezra, though he knew this was the only way of redressing the grievance, yet perhaps did not think it feasible, and despaired of ever bringing the people to it, which put him into that confusion in which we left him in the foregoing chapter; but Shechaniah, who conversed more with the people than he did, assured him the thing was practicable if they went wisely to work. As to us now, it is certain that sin must be put away, a bill of divorce must be given it, with a resolution never to have any thing more to do with it, though it be dear as the wife of thy bosom, nay, as a right eye or a right hand, otherwise there is no pardon, no peace. What has been unjustly got cannot be justly kept, but must be restored; but, as to the case of being unequally yoked with unbelievers, Shechaniah’s counsel, which he was then so clear in, will not hold now; such marriages, it is certain, are sinful, and ought not to be made, but they are not null. Quod fieri non debuit, factum valet - That which ought not to have been done must, when done, abide. Our rule, under the gospel, is, If a brother has a wife that believeth not, and she be pleased to dwell with him, let him not put her away, 1 Cor. 7:12-13 (= ).

 

2.         Perceraian hanya diijinkan pada saat salah satu pihak berzinah secara fisik.

 

a.   Perceraian tidak dilarang secara mutlak.

Ada satu, dan hanya satu, alasan yang menyebabkan seseorang boleh menceraikan pasangannya tanpa berbuat dosa / melanggar hukum ketujuh ini. Alasan itu adalah perzinahan yang dilakukan oleh pasangannya.

Mat 5:32 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.

Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

Perzinahan ini harus adalah perzinahan fisik, bukan hanya dalam hati / pikiran, karena kalau tidak, maka semua perempuan boleh menceraikan suaminya! Perzinahan fisik merupakan satu-satunya alasan yang sah untuk bercerai. Kalau terjadi perzinahan, pihak yang tidak bersalah berhak menceraikan pasangannya yang berzinah itu, dan lalu kawin lagi. Dalam hal seperti itu perceraian diijinkan, bukan diharus­kan.

 

b.   Bdk. Yer 3:1-8 - “(1) FirmanNya: ‘Jika seseorang menceraikan isterinya, lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri orang lain, akan kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan itu? Bukankah negeri itu sudah tetap cemar? Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih, dan mau kembali kepadaKu? demikianlah firman TUHAN. (2) Layangkanlah matamu ke bukit-bukit gundul dan lihatlah! Di manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir jalan-jalan engkau duduk menantikan kekasih, seperti seorang Arab di padang gurun. Engkau telah mencemarkan negeri dengan zinahmu dan dengan kejahatanmu. (3) Sebab itu dirus hujan tertahan dan hujan pada akhir musim tidak datang. Tetapi dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu. (4) Bukankah baru saja engkau memanggil Aku: Bapaku! Engkaulah kawanku sejak kecil! (5) Untuk selama-lamanyakah Ia akan murka atau menaruh dendam untuk seterusnya? Demikianlah katamu, namun engkau sedapat-dapatnya melakukan kejahatan.’ (6) TUHAN berfirman kepadaku dalam zaman raja Yosia: ‘Sudahkah engkau melihat apa yang dilakukan Israel, perempuan murtad itu, bagaimana dia naik ke atas setiap bukit yang menjulang dan pergi ke bawah setiap pohon yang rimbun untuk bersundal di sana? (7) PikirKu: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali kepadaKu, tetapi ia tidak kembali. Hal itu telah dilihat oleh Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia. (8) Dilihatnya, bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.

 

Memang kasus dalam Yer 3:8 ini adalah perzinahan rohani, dalam arti bangsa Israel menyembah berhala. Tetapi prinsip yang berlaku adalah sama. Tuhan menceraikan Israel, karena Israel melakukan perzinahan! Ini jelas merupakan dukungan kuat bagi penafsiran tentang Mat 19:9 yang mengatakan bahwa kalau terjadi perzinahan, maka pihak yang tidak bersalah itu boleh menceraikan pasangannya.

 

c.   Dasar lain dari ajaran ini adalah 1Kor 6:16 - “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: ‘Keduanya akan menjadi satu daging.’”.

Orang yang berzinah menjadi satu tubuh dengan orang dengan siapa ia berzinah, dan ini secara otomatis menghancurkan kesatuannya dengan istri / suaminya. Karena itulah maka perceraian diijinkan.

 

d.   Menceraikan pasangan yang berzinah berbeda dengan tidak mengampuni!

Ada orang-orang yang beranggapan bahwa karena orang Kristen harus mengampuni maka orang Kristen tidak boleh menceraikan pasangannya sekalipun pasanganya itu berzinah. Ini bukan hanya melarang secara tidak Alkitabiah, tetapi juga memberikan alasan yang salah. Orang Kristen memang harus mengampuni pasangannya yang berzinah, tetapi itu berbeda dengan harus tetap menerimanya sebagai pasangan hidup.

Illustrasi: kalau saudara adalah seorang boss dan saudara mempunyai seorang pegawai yang berulang kali mencuri. Salahkah kalau saudara memecat dia? Kalau saudara memecatnya, apakah itu salah karena itu menunjukkan bahwa saudara tidak mengampuni dia? Saudara memang harus mengampuni dia, tetapi itu tidak berarti saudara harus tetap menjadikan orang itu pegawai saudara!

 

e.   Tetapi kalau tidak terjadi perzinahan, maka perceraian, dan tindakan kawin lagi, merupakan perzinahan!

 

3.   Bolehkah menceraikan istri yang ternyata didapati tidak perawan pada malam pertama pernikahan?

Saya tidak tahu dengan pasti, karena dalam Perjanjian Lama (Ul 22:13-21) istri seperti itu dijatuhi hukuman mati. Adalah memungkinkan bahwa dalam jaman Perjanjian Baru diijinkan untuk menceraikan istri seperti itu, tetapi saya belum mendapatkan konfirmasi tentang hal ini dari penafsir manapun.

Ada 3 hal yang ingin saya tekankan di sini:

a.   Pada waktu pacaran / mau menikah, harus ada pengakuan tentang hal seperti ini (perawan atau tidak). Kalau pernikahan batal, itu masih lebih baik dari pada ribut setelah persoalannya terbongkar pada malam pertama pernikahan.

b.   Tidak ada tanda keperawanan kadang-kadang bisa terjadi bukan karena si gadis sudah pernah melakukan hubungan sex, tetapi karena sebab lain.

c.   Sebaliknya, adanya tanda keperawanan belum tentu menunjukkan si gadis memang masih perawan, karena sobeknya selaput dara bisa dijahit kembali oleh dokter, sehingga yang sebetulnya sudah tidak perawan menjadi ‘perawan’ lagi!

 

Bdk. Ul 22:13-21 - “(13) ‘Apabila seseorang mengambil isteri dan setelah menghampiri perempuan itu, menjadi benci kepadanya, (14) menuduhkan kepadanya perbuatan yang kurang senonoh dan membusukkan namanya dengan berkata: Perempuan ini kuambil menjadi isteriku, tetapi ketika ia kuhampiri, tidak ada kudapati padanya tanda-tanda keperawanan - (15) maka haruslah ayah dan ibu gadis itu memperlihatkan tanda-tanda keperawanan gadis itu kepada para tua-tua kota di pintu gerbang. (16) Dan ayah si gadis haruslah berkata kepada para tua-tua itu: Aku telah memberikan anakku kepada laki-laki ini menjadi isterinya, lalu ia menjadi benci kepadanya, (17) dan ketahuilah, ia menuduhkan perbuatan yang kurang senonoh dengan berkata: Tidak ada kudapati tanda-tanda keperawanan pada anakmu. Tetapi inilah tanda-tanda keperawanan anakku itu. Lalu haruslah mereka membentangkan kain itu di depan para tua-tua kota. (18) Maka haruslah para tua-tua kota itu mengambil laki-laki itu, menghajar dia, (19) mendenda dia seratus syikal perak dan memberikan perak itu kepada ayah si gadis - karena laki-laki itu telah membusukkan nama seorang perawan Israel. Perempuan itu haruslah tetap menjadi isterinya; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi. (20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati - sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu”.

 

Matthew Henry: “What the meaning of that evidence is by which the husband’s accusation was to be proved false the learned are not agreed, nor is it at all necessary to enquire - those for whom this law was intended, no doubt, understood it” (= ).

 

Wycliffe Bible Commentary: “In societies where such evidence was legally decisive, it was customary after the consummation of the marriage to keep the tokens of the bride’s virginity (v. 17)” (= ).

 

Matthew Henry: “If a man, lusting after another woman, to get rid of his wife slander her and falsely accuse her, as not having the virginity she pretended to when he married her, upon the disproof of his slander he must be punished, v. 13-19. ... this wicked husband, who had thus endeavoured to ruin the reputation of his own wife, was to be scourged, and fined, and bound out from ever divorcing the wife he had thus abused, v. 18, 19. ... Observe, ..  The nearer any are in relation to us the greater sin it is to belie them and blemish their reputation. It is spoken of as a crime of the highest nature to slander thy own mother’s son (Ps. 50:20), who is next to thyself, much more to slander thy own wife, or thy own husband, that is thyself: it is an ill bird indeed that defiles its own nest” (= ).

Maz 50:20 - “Engkau duduk, dan mengata-ngatai saudaramu, memfitnah anak ibumu”.

 

Matthew Henry: “If the woman that was married as a virgin was not found to be one she was to be stoned to death at her father’s door, v. 20, 21. If the uncleanness had been committed before she was betrothed it would not have been punished as a capital crime; but she must die for the abuse she put upon him whom she married, being conscious to herself of being defiled, while she made him believe her to be a chaste and modest woman. But some think that her uncleanness was punished with death only in case it was committed after she was betrothed, supposing there were few come to maturity but what were betrothed, though not yet married. ... This gave a powerful caution to young women to flee fornication, since, however concealed before, so as not to mar their marriage, it would very likely be discovered afterwards, to their perpetual infamy and utter ruin” (= ).

 

Matthew Henry: “It is intimated to parents that they must by all means possible preserve their children’s chastity, by giving them good advice and admonition, setting them good examples, keeping them from bad company, praying for them, and laying them under needful restraints, because, if the children committed lewdness, the parents must have the grief and shame of the execution at their own door” (= ).

 

Barnes’ Notes: “The fact that the penalties attached to bearing false witness against a wife are fixed and comparatively light indicates the low estimation and position of the woman at that time” (= ).

 

Lihat tentang ayat ini dalam buku-buku tafsiran

 

 

e)   Pernikahan dengan orang yang bercerai, kecuali kalau perceraian itu adalah perceraian yang sah (terjadi karena ada perzinahan).

 

1.   Menikahi orang yang bercerai secara sah (cerai karena pasangannya melakukan perzinahan) bukan dosa!

Jadi, kalau mendengar ada orang kawin dengan janda / duda, jangan terlalu cepat mempunyai pikiran yang negatif tentang orang itu. Lihat dulu, janda / duda itu menjadi janda / duda karena apa? Kalau karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang berzinah, maka tidak salah menikah dengan janda / duda seperti itu!

 

2.   Tetapi menikah dengan orang yang bercerai secara tidak sah, jelas merupakan dosa!

Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

1Kor 7:10-11 - “(10) Kepada orang-orang yang telah kawin aku - tidak, bukan aku, tetapi Tuhan - perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. (11) Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya”.

 

3.   Bagaimana dengan orang yang sudah menceraikan istrinya, dan lalu menikah lagi dengan perempuan lain? Jangan menasehatinya untuk menceraikan istri kedua dan lalu kembali kepada istri pertama. Kitab Suci justru melarang orang itu kembali dengan istri pertamanya (rujuk) dalam kasus seperti itu.

Ul 24:1-4 - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”.

 

Jadi, yang harus ia lakukan hanya mengaku dosa kepada Tuhan.

 

f)    Pikiran-pikiran cabul, menginginkan / membayangkan hubungan sex dengan orang yang bukan suami / istrinya.

Mat 5:28 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

 

1.         Masturbasi / onani termasuk di sini.

Menurut pendapat saya, sebetulnya bukannya masturbasi itu sendiri yang salah, tetapi fantasi sex yang boleh dikatakan selalu menyertai masturbasi. Ini jelas bertentangan dengan Mat 5:28 itu. Tetapi ada kemungkinan bahwa seseorang melakukan masturbasi, tetapi tidak bersalah, yaitu:

a.   Kalau ia bisa melakukannya tanpa fantasi sex. Ini rasanya tidak masuk akal, tetapi saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang mengatakan bahwa ia bisa melakukan masturbasi tanpa membayangkan apa-apa. Kalau ini memang bisa dilakukan, saya berpendapat tidak ada dasar apapun untuk menentang masturbasi seperti ini.

b.   Kalau ia melakukan masturbasi itu dengan membayangkan istri / suaminya sendiri, mungkin pada saat ia terpisah jauh dari pasangannya. Dengan istri atau suaminya sendiri, melakukan hubungan sexpun tidak apa-apa, apalagi hanya membayangkan hubungan sex dengan dia.

 

2.   ‘Wet dream’ (= mimpi basah) bukanlah dosa, karena ini bukan pikiran dalam keadaan sadar, tetapi dalam mimpi. Memang Im 15:1-18 menganggap lelehan yang keluar itu menajiskan orang itu, tetapi ini adalah ceremonial law (= hukum yang berhubungan dengan upacara agama), yang tidak lagi berlaku saat ini (bdk. Ef 2:15).

 

3.   Supaya tidak membangkitkan pikiran cabul dalam diri lawan jenis / laki-laki, seorang perempuan tidak seharusnya berpakaian sedemikian rupa sehingga merangsang orang lain, karena dengan demikian, ia menjatuhkan orang lain ke dalam dosa ini. Memang merupakan sesuatu yang wajar kalau seorang perempuan ingin tampil menarik. Tetapi perlu diingat bahwa ‘menarik’ berbeda dengan ‘menggoda’ / ‘merangsang’! Tetapi yang memusingkan adalah: apa yang dianggap merangsang, berbeda di suatu tempat dan di tempat lain. Di Indonesia tentu berbeda dengan di Eropa / Amerika.

Seorang perempuan bukan hanya harus memperhatikan pakaiannya, tetapi juga posisi tubuhnya (posisi kaki yang terbuka pada waktu duduk, menunjukkan buah dada pada waktu membungkuk, dsb), supaya jangan mempertontonkan bagian-bagian tubuhnya yang merangsang laki-laki.

 

g)   Membaca buku-buku cabul, nonton Blue Film, mempercakapkan hal-hal yang cabul.

1Kor 6:18 - Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri”.

KJV: ‘Flee fornication’ (= Larilah dari percabulan).

Ef 4:29 - Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia”.

Ef 5:3-4 - “(3) Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. (4) Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono - karena hal-hal ini tidak pantas - tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur”.

 

Renungkan: berapa kali saudara mengucapkan kata-kata kotor, menceritakan cerita-cerita cabul, lelucon-lelucon yang bersifat porno, dsb?

 

h)   Perkosaan.

Ul 22:23-27 - “(23) Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, (24) maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (25) Tetapi jikalau di padang laki-laki itu bertemu dengan gadis yang telah bertunangan itu, memaksa gadis itu tidur dengan dia, maka hanyalah laki-laki yang tidur dengan gadis itu yang harus mati, (26) tetapi gadis itu janganlah kauapa-apakan. Gadis itu tidak ada dosanya yang sepadan dengan hukuman mati, sebab perkara ini sama dengan perkara seseorang yang menyerang sesamanya manusia dan membunuhnya. (27) Sebab laki-laki itu bertemu dengan dia di padang; walaupun gadis yang bertunangan itu berteriak-teriak, tetapi tidak ada yang datang menolongnya”.

Catatan: jangan menekankan kata-kata yang saya garis bawahi (‘di kota’ dan ‘di padang’). Yang ditekankan adalah: apakah memungkinkan bagi gadis itu untuk berteriak minta tolong atau tidak. Kata ya, ia bersalah karena tidak berteriak. Kalau tidak, ia tidak bersalah.

 

i)    Incest / perzinahan dalam keluarga.

Im 18:6-18 - “(6) Siapapun di antaramu janganlah menghampiri seorang kerabatnya yang terdekat untuk menyingkapkan auratnya; Akulah TUHAN. (7) Janganlah kausingkapkan aurat isteri ayahmu, karena ia hak ayahmu; dia ibumu, jadi janganlah singkapkan auratnya. (8) Janganlah kausingkapkan aurat seorang isteri ayahmu, karena ia hak ayahmu. (9) Mengenai aurat saudaramu perempuan, anak ayahmu atau anak ibumu, baik yang lahir di rumah ayahmu maupun yang lahir di luar, janganlah kausingkapkan auratnya. (10) Mengenai aurat anak perempuan dari anakmu laki-laki atau anakmu perempuan, janganlah kausingkapkan auratnya, karena dengan begitu engkau menodai keturunanmu. (11) Mengenai aurat anak perempuan dari seorang isteri ayahmu, yang lahir pada ayahmu sendiri, janganlah kausingkapkan auratnya, karena ia saudaramu perempuan. (12) Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ayahmu, karena ia kerabat ayahmu. (13) Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ibumu, karena ia kerabat ibumu. (14) Janganlah kausingkapkan aurat isteri saudara laki-laki ayahmu, janganlah kauhampiri isterinya, karena ia isteri saudara ayahmu. (15) Janganlah kausingkapkan aurat menantumu perempuan, karena ia isteri anakmu laki-laki, maka janganlah kausingkapkan auratnya. (16) Janganlah kausingkapkan aurat isteri saudaramu laki-laki, karena itu hak saudaramu laki-laki. (17) Janganlah kausingkapkan aurat seorang perempuan dan anaknya perempuan. Janganlah kauambil anak perempuan dari anaknya laki-laki atau dari anaknya perempuan untuk menyingkapkan auratnya, karena mereka adalah kerabatmu; itulah perbuatan mesum. (18) Janganlah kauambil seorang perempuan sebagai madu kakaknya untuk menyingkapkan auratnya di samping kakaknya selama kakaknya itu masih hidup”.

Im 20:11-12,17,19-21 - “(11) Bila seorang laki-laki tidur dengan seorang isteri ayahnya, jadi ia melanggar hak ayahnya, pastilah keduanya dihukum mati, dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. (12) Bila seorang laki-laki tidur dengan menantunya perempuan, pastilah keduanya dihukum mati; mereka telah melakukan suatu perbuatan keji, maka darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. ... (17) Bila seorang laki-laki mengambil saudaranya perempuan, anak ayahnya atau anak ibunya, dan mereka bersetubuh, maka itu suatu perbuatan sumbang, dan mereka harus dilenyapkan di depan orang-orang sebangsanya; orang itu telah menyingkapkan aurat saudaranya perempuan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri. ... (19) Janganlah kausingkapkan aurat saudara perempuan ibumu atau saudara perempuan ayahmu, karena aurat seorang kerabatnya sendirilah yang dibuka, dan mereka harus menanggung kesalahannya sendiri. (20) Bila seorang laki-laki tidur dengan isteri saudara ayahnya, jadi ia melanggar hak saudara ayahnya, mereka mendatangkan dosa kepada dirinya, dan mereka akan mati dengan tidak beranak. (21) Bila seorang laki-laki mengambil isteri saudaranya, itu suatu kecemaran, karena ia melanggar hak saudaranya laki-laki, dan mereka akan tidak beranak”.

1Kor 5:1 - “Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya”.

 

Dalam jaman Adam, dan juga pada jaman Nuh, pernikahan dengan saudara / keluarga sendiri ini memang harus dilakukan, karena tidak ada orang dengan siapa seseorang bisa menikah kecuali saudara / keluarganya sendiri. Tetapi ingat juga bahwa pada jaman itu, hukum yang melarang pernikahan dalam keluarga ini juga belum ada.

 

j)    Penyimpangan-penyimpangan sex (sexual deviation), seperti:

 

1.         Homosex.

Im 18:22 - “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian”.

Im 20:13 - “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.

Ro 1:26-27 - “(26) Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. (27) Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka”.

 

Ada yang merasa kasihan dengan orang-orang yang homosex, dan menganggap bahwa mereka menjadi seperti itu bukan karena kesalahan mereka. Sampai-sampai di Barat sekarang ada gereja-gereja yang mau memberkati pernikahan antara 2 orang homosex! Ini jelas merupakan kegilaan dan juga merupakan penginjak-injakan Kitab Suci, karena Kitab Suci jelas-jelas mengecam homosex! Memang mungkin sukar, atau bahkan mustahil, untuk membuat seseorang yang homosex untuk menyukai lawan jenisnya. Tetapi yang jelas ia tidak boleh menuruti dorongan sexnya terhadap sesama jenisnya!

 

2.         Bestiality / Zoophilia / hubungan sex dengan binatang.

Kel 22:19 - “Siapapun yang tidur dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati”.

Im 18:23 - “Janganlah engkau berkelamin dengan binatang apapun, sehingga engkau menjadi najis dengan binatang itu. Seorang perempuan janganlah berdiri di depan seekor binatang untuk berkelamin, karena itu suatu perbuatan keji”.

Im 20:15-16 - “(15) Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga. (16) Bila seorang perempuan menghampiri binatang apapun untuk berkelamin, haruslah kaubunuh perempuan dan binatang itu; mereka pasti dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.

 

Tetapi oral sex, sekalipun dianggap berdosa oleh banyak orang, tidak pernah dikecam / dilarang oleh Kitab Suci, tentu saja selama hal itu dilakukan oleh pasangan suami istri. Kalau saudara menganggap ini sesuatu yang tidak wajar, maka perlu dipertanyakan: tidak wajar menurut siapa? Saya pernah membaca suatu majalah yang mengadakan angket tentang hal ini dan ternyata lebih banyak pasangan yang melakukan oral sex dari pada yang tidak!

Jadi, kalau saya ditanya apakah boleh melakukan oral sex, maka saya akan menjawab: ‘Boleh, asal dlakukan oleh sepasang suami istri, dan kedua pihak sama-sama tidak keberatan’. Kalau ada satu pihak yang keberatan (biasanya karena merasa jijik), maka pihak satunya tidak boleh memaksakan kehendaknya.

 

Renungkan: berapa kali saudara melanggar hukum ketujuh ini?

 

2)         Hukuman terhadap pelanggaran hukum ke 7 ini.

 

a)   Pada jaman Perjanjian Lama hukuman mati dijatuhkan terhadap:

 

1.         Orang yang melakukan perzinahan (Im 20:10).

Im 20:10 - “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu”.

Ul 22:22 - “Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel”.

 

Kelihatannya yang ditekankan adalah perzinahan dengan perempuan yang sudah menikah / bertunangan.

 

Adam Clarke: “the word ‘adultery’ comes from the Latin adulterium, which is compounded of ad, ‘to’ or ‘with,’ and alter, ‘another,’ or, according to Minshieu, of ad alterius forum, ‘he that approaches to another man’s bed.’” (= ).

 

2.         Untuk anak perempuan imam yang berzinah, ini lebih ditekankan lagi.

Im 21:9 - “Apabila anak perempuan seorang imam membiarkan kehormatannya dilanggar dengan bersundal, maka ia melanggar kekudusan ayahnya, dan ia harus dibakar dengan api”.

 

Pada umumnya para penafsir menganggap ini bukan hukuman mati dengan cara dibakar dengan api, tetapi orang dihukum mati dengan cara dirajam, lalu setelah ia mati barulah mayanya dibakar, seperti dalam kasus Akhan dalam Yos 7:15,25.

Yos 7:15,25 - “(15) Dan siapa yang didapati menyimpan barang-barang yang dikhususkan itu, akan dibakar dengan api, ia dan segala sesuatu yang ada padanya, sebab ia telah melanggar perjanjian TUHAN dan berbuat noda di antara orang Israel.’ ... (25) Berkatalah Yosua: ‘Seperti engkau mencelakakan kami, maka TUHAN pun mencelakakan engkau pada hari ini.’ Lalu seluruh Israel melontari dia dengan batu, semuanya itu dibakar dengan api dan dilempari dengan batu.

 

Keil & Delitzsch (tentang Im 20): “The punishment of death, which was to be inflicted in all these cases upon both the criminals, and also upon the beast that had been abused (vv. 15, 16), was to be by stoning, according to vv. 2, 27, and Deut. 22:21ff.; and by the burning (v. 14) we are not to understand death by fire, or burning alive, but, as we may clearly see from Josh. 7:15 and 25, burning the corpse after death. This was also the case in Lev 21:9 and Gen. 38:24” (= ).

Jamieson, Fausset & Brown (tentang Im 20:7-20): “It is to be understood that whenever mention is made that the offender was ‘to be put to death,’ without describing the mode, stoning is meant. The only instance of another form of capital punishment occurs in Lev. 20:14, that of being burnt with fire; and yet it is probable that even here death was first inflicted by stoning, and the body, of the criminal afterward consumed by five (Josh. 7:15)” (= ).

Wycliffe Bible Commentary (tentang Im 20:14): “14. Burnt with fire. Likely, as in Josh 7:15,25, death was not by burning, but destruction of the remains of the executed individual was accomplished by fire” (= ).

 

3.         Orang yang melakukan incest / perzinahan dalam keluarga.

Im 20:11,12,14,17 - “ (11) Bila seorang laki-laki tidur dengan seorang isteri ayahnya, jadi ia melanggar hak ayahnya, pastilah keduanya dihukum mati, dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. (12) Bila seorang laki-laki tidur dengan menantunya perempuan, pastilah keduanya dihukum mati; mereka telah melakukan suatu perbuatan keji, maka darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri. ... (14) Bila seorang laki-laki mengambil seorang perempuan dan ibunya, itu suatu perbuatan mesum; ia dan kedua perempuan itu harus dibakar, supaya jangan ada perbuatan mesum di tengah-tengah kamu. ... (17) Bila seorang laki-laki mengambil saudaranya perempuan, anak ayahnya atau anak ibunya, dan mereka bersetubuh, maka itu suatu perbuatan sumbang, dan mereka harus dilenyapkan di depan orang-orang sebangsanya; orang itu telah menyingkapkan aurat saudaranya perempuan, maka ia harus menanggung kesalahannya sendiri”.

 

4.         Orang yang melakukan tindakan Homosex / Lesbian (Im 20:13  Im 18:22).

Im 20:13 - “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.

Im 18:22,29 - “(22) Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian. ... (29) Karena setiap orang yang melakukan sesuatupun dari segala kekejian itu, orang itu harus dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya.

 

5.         Orang yang melakukan bestiality / hubungan sex dengan binatang.

Kel 22:19 - “‘Siapapun yang tidur dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati.

Im 18:23,29 - “(23) Janganlah engkau berkelamin dengan binatang apapun, sehingga engkau menjadi najis dengan binatang itu. Seorang perempuan janganlah berdiri di depan seekor binatang untuk berkelamin, karena itu suatu perbuatan keji. ... (29) Karena setiap orang yang melakukan sesuatupun dari segala kekejian itu, orang itu harus dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya.

Im 20:15-16 - “(15) Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga. (16) Bila seorang perempuan menghampiri binatang apapun untuk berkelamin, haruslah kaubunuh perempuan dan binatang itu; mereka pasti dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.

 

Bahwa binatangnya juga dihukum mati (Im 20:15b,16b), mungkin tujuannya hanya untuk menunjukkan kebencian Allah terhadap dosa itu.

 

Matthew Henry: “Even the beast that was thus abused was to be killed with the sinner, who was thereby openly put to the greater shame: and the villany was thus represented as in the highest degree execrable and abominable, all occasions of the remembrance or mention of it being to be taken away” (= ).

 

6.         Pemerkosa seorang perempuan yang sudah bersuami / bertunangan.

Ul 22:23-27 - “(23) Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan - jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, (24) maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (25) Tetapi jikalau di padang laki-laki itu bertemu dengan gadis yang telah bertunangan itu, memaksa gadis itu tidur dengan dia, maka hanyalah laki-laki yang tidur dengan gadis itu yang harus mati, (26) tetapi gadis itu janganlah kauapa-apakan. Gadis itu tidak ada dosanya yang sepadan dengan hukuman mati, sebab perkara ini sama dengan perkara seseorang yang menyerang sesamanya manusia dan membunuhnya. (27) Sebab laki-laki itu bertemu dengan dia di padang; walaupun gadis yang bertunangan itu berteriak-teriak, tetapi tidak ada yang datang menolongnya”.

 

7.   Orang yang berhubungan sex dengan seorang perempuan yang sedang datang bulan.

Im 20:18 - “Bila seorang laki-laki tidur dengan seorang perempuan yang bercemar kain, jadi ia menyingkapkan aurat perempuan itu dan membuka tutup lelerannya sedang perempuan itupun membiarkan tutup leleran darahnya itu disingkapkan, keduanya harus dilenyapkan dari tengah-tengah bangsanya”.

Tetapi yang terakhir ini saya kira merupakan ceremonial law yang tidak lagi berlaku saat ini. Di bawah ceremonial law maka perempuan yang datang bulan dianggap najis (Im 15:19-23), dan karena itu yang berhubungan sex dengannya dijatuhi hukuman mati.

Keil & Delitzsch dalam tafsirannya tentang Im 20:9-18 menyebutkan ‘lying with a menstruous woman’ (= tidur / melakukan hubungan sex dengan seorang perempuan yang sedang datang bulan) sebagai salah satu dosa yang harus dihukum mati.

 

Tetapi anehnya, dalam Im 15:24 hukumannya bukan hukuman mati.

Im 15:19-24 - “(19) Apabila seorang perempuan mengeluarkan lelehan, dan lelehannya itu adalah darah dari auratnya, ia harus tujuh hari lamanya dalam cemar kainnya, dan setiap orang yang kena kepadanya, menjadi najis sampai matahari terbenam. (20) Segala sesuatu yang ditidurinya selama ia cemar kain menjadi najis. Dan segala sesuatu yang didudukinya menjadi najis juga. (21) Setiap orang yang kena kepada tempat tidur perempuan itu haruslah mencuci pakaiannya, membasuh tubuhnya dengan air dan ia menjadi najis sampai matahari terbenam. (22) Setiap orang yang kena kepada sesuatu barang yang diduduki perempuan itu haruslah mencuci pakaiannya, membasuh diri dengan air dan ia menjadi najis sampai matahari terbenam. (23) Juga pada waktu ia kena kepada sesuatu yang ada di tempat tidur atau di atas barang yang diduduki perempuan itu, ia menjadi najis sampai matahari terbenam. (24) Jikalau seorang laki-laki tidur dengan perempuan itu, dan ia kena cemar kain perempuan itu, maka ia menjadi najis selama tujuh hari, dan setiap tempat tidur yang ditidurinya menjadi najis juga”.

 

Apakah kedua text ini saling bertentangan / kontradiksi?

Pengharmonisan: Boleh dikatakan semua penafsir mengatakan bahwa kalau mereka secara sengaja melakukan hubungan sex dengan sadar bahwa perempuan itu sedang datang bulan, maka berlaku hukuman mati dalam Im 20:18. Tetapi kalau mereka sedang melakukan hubungan sex, dan tahu-tahu perempuan itu mengalami datang bulan, maka itu tidak disengaja, dan berlaku Im 15:24.

Penafsiran / pengharmonisan ini kelihatannya didukung oleh text di bawah ini.

Im 5:3 - “Atau apabila ia kena kepada kenajisan berasal dari manusia, dengan kenajisan apapun juga ia menjadi najis, tanpa menyadari hal itu, tetapi kemudian ia mengetahuinya, maka ia bersalah”.

 

Adam Clarke (tentang Im 15:24): “In Lev. 20:18, persons guilty of this are condemned to death, here only to a seven days’ separation; because, in the former case, Moses speaks of the act when both the man and woman were acquainted with the situation: in the latter, he speaks of a case where the circumstance was not known till afterward; at least, so it appears these two places should be understood, so as to be reconciled” (= ).

 

Barnes’ Notes (tentang Im 15:24): “This must refer to an unexpected occurrence. Intercourse during the acknowledged period was a heavy crime, and was to be punished by ‘cutting off’ (Lev. 18:19; 20:18; Ezek. 18:6)” (= ).

 

Keil & Delitzsch (tentang Im 15:24): “It cannot be adduced as an objection to this explanation, which is the only admissible one, that according to Lev 18:19 and 20:18 intercourse with a woman during her menses was an accursed crime, to be punished by extermination. For the law in Lev 20:18 refers partly to conjugal intercourse during the hemorrhage of a woman after child-birth, ... and to the case of a man attempting cohabitation with a woman during her menstruation. The verse before us, on the contrary, refers simply to the possibility of menstruation commencing during the act of conjugal intercourse, when the man would be involuntarily defiled through the unexpected uncleanness of the woman” (= ).

 

Anehnya, pemerkosa seorang perempuan / gadis yang belum bertunangan / bersuami tidak dihukum mati, tetapi bahkan disuruh menikahi gadis itu, dan tidak pernah boleh menceraikannya.

Ul 22:28-29 - “(28) Apabila seseorang bertemu dengan seorang gadis, yang masih perawan dan belum bertunangan, memaksa gadis itu tidur dengan dia, dan keduanya kedapatan - (29) maka haruslah laki-laki yang sudah tidur dengan gadis itu memberikan lima puluh syikal perak kepada ayah gadis itu, dan gadis itu haruslah menjadi isterinya, sebab laki-laki itu telah memperkosa dia; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi”.

KJV: ‘(28) If a man find a damsel that is a virgin, which is not betrothed, and lay hold on her, and lie with her, and they be found; (29) Then the man that lay with her shall give unto the damsel's father fifty shekels of silver, and she shall be his wife; because he hath humbled her, he may not put her away all his days’ (= ).

RSV: ‘(28) ‘If a man meets a virgin who is not betrothed, and seizes her and lies with her, and they are found, (29) then the man who lay with her shall give to the father of the young woman fifty shekels of silver, and she shall be his wife, because he has violated her; he may not put her away all his days’ (= ).

NIV: ‘(28) If a man happens to meet a virgin who is not pledged to be married and rapes her and they are discovered, (29) he shall pay the girl’s father fifty shekels of silver. He must marry the girl, for he has violated her. He can never divorce her as long as he lives (= ).

NASB: ‘(28) If a man finds a girl who is a virgin, who is not engaged, and seizes her and lies with her and they are discovered, (29) then the man who lay with her shall give to the girl's father fifty shekels of silver, and she shall become his wife because he has violated her; he cannot divorce her all his days (= ).

 

Tetapi Kel 22:16-17 menunjukkan bahwa ayah gadis itu berhak menolak untuk menyerahkan anak gadisnya untuk menjadi istri laki-laki itu. Dalam kasus itu laki-laki itu tetap diharuskan membayar mas kawin.

Kel 22:16-17 - “(16) Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin. (17) Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya kepadanya, maka ia harus juga membayar perak itu sepenuhnya, sebanyak mas kawin anak perawan.’”.

 

Kelihatannya ada perbedaan antara pemerkosaan (Ul 22:28) dan tindakan membujuk (Kel 22:16), tetapi tak ada perbedaan dalam hukuman. Ini rasanya sangat tidak masuk akal. Juga kok enak sekali, memperkosa lalu disuruh mengawini. Kalau demikian semua laki-laki yang cintanya ditolak oleh seorang gadis sebaiknya memperkosa si gadis, supaya bisa menikah dengannya.

 

A. D. H. Mayes (tentang Ul 22:28): “The law of vv. 28f. is probably concerned with seduction rather than rape. This is made explicit in Exod. 22:16f. Here it is implied in the use of the phrase ‘they are found.’ Moreover, the verb translated ‘seizes’ is not the same verb as that found in v. 25. Here it is the verb TAPAS, which had the general sense of ‘hold’ or ‘handle’; ... On ‘violated’ in the next verse see the use of the term in connection with the consenting woman in v. 24” [= Hukum dalam ay 28-dst mungkin lebih berkenaan dengan pembujukan dari pada pemerkosaan. Ini dibuat explicit dalam Kel 22:16-dst. Di sini secara tidak langsung hal itu ditunjukkan oleh kata-kata ‘keduanya kedapatan’. Lebih lagi, kata kerja yang diterjemahkan ‘memaksa’ bukanlah kata kerja yang sama seperti yang didapati dalam ay 25. Di sini kata kerjanya adalah TAPAS, yang mempunyai arti umum ‘memegang’ atau ‘menangani’; ... Tentang kata ‘memperkosa’ dalam ayat selanjutnya (Ul 22:29) lihat penggunaan dari istilah itu berkenaan dengan perempuan yang menyetujui (untuk diperkosa) dalam ay 24] - ‘The New Century Bible Commentary’, ‘Deuteronomy’, hal 312.

 

Jadi, sebetulnya text dari Ul 22:28-29 tidak menunjukkan secara jelas bahwa ini merupakan kasus pemerkosaan, tetapi perempuan / gadis itu dibujuk sehingga mau melakukan hubungan sex. Jadi, kasusnya sama dengan Kel 22:16-17. Alasannya:

·        pada akhir Ul 22:28 ada kata-kata ‘they are found’ (= mereka didapati) dalam RSV; Kitab Suci Indonesia menterjemahkan ‘keduanya kedapatan’. Kata-kata ini rasanya menunjukkan bahwa keduanya bersalah, sehingga tidak mungkin menunjuk pada pemerkosaan.

·        kata ‘seizes’ (RSV) dalam Ul 22:28, yang oleh Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘memaksa’ bukanlah kata kerja yang sama seperti yang digunakan dalam Ul 22:25, yang jelas-jelas merupakan pemerkosaan. Dalam Ul 22:28 kata kerja yang digunakan adalah TAPAS, yang artinya hanyalah ‘hold’ (= memegang), atau ‘handle’ (= menangani).

·        Tentang kata ‘violated’ (RSV) / ‘memperkosa’ dalam Ul 22:29, kata Ibraninya juga digunakan dalam Ul 22:24, yang bukan menunjukkan pemerkosaan yang sungguh-sungguh, karena perempuan itu tidak berteriak minta tolong, dan dengan demikian dianggap ‘menyetujui’ pemerkosaan terhadap dirinya itu.

Kesimpulan saya: Ul 22:28-29 tidak membicarakan pemerkosaan murni. Mungkin hanya ‘pembujukan’ atau mungkin ada unsur paksaan, tetapi yang lalu disetujui oleh si gadis (seperti dalam Ul 22:24).

 

Matthew Poole menambahkan (hal 379) bahwa si laki-laki itu harus orang yang belum menikah, karena kalau sudah menikah, ia tidak mungkin disuruh mengawini si gadis. Dan kalau laki-laki itu sudah menikah, maka ini menjadi kasus perzinahan, sehingga harus dihukum mati.

 

Dalam NICOT, Tyndale, AGES, Calvin, Pulpit Commentary, PC Study Bible tak ada penafsir tentang ayat-ayat ini yang memberikan penjelasan yang memuaskan bagi saya.

 

  

Juga seorang laki-laki yang bersetubuh dengan budaknya tidak dihukum mati.

Im 19:20-22 - “(20) Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang perempuan, yakni seorang budak perempuan yang ada di bawah kuasa laki-laki lain, tetapi yang tidak pernah ditebus dan tidak juga diberi surat tanda merdeka, maka perbuatan itu haruslah dihukum; tetapi janganlah keduanya dihukum mati, karena perempuan itu belum dimerdekakan. (21) Laki-laki itu harus membawa tebusan salahnya kepada TUHAN ke pintu Kemah Pertemuan, yakni seekor domba jantan sebagai korban penebus salah. (22) Imam harus mengadakan pendamaian bagi orang itu dengan domba jantan korban penebus salah di hadapan TUHAN, karena dosa yang telah diperbuatnya, sehingga ia beroleh pengampunan dari dosanya itu”.

KJV: ‘(20) And whosoever lieth carnally with a woman, that is a bondmaid, betrothed to an husband, and not at all redeemed, nor freedom given her; she shall be scourged; they shall not be put to death, because she was not free.(21) And he shall bring his trespass offering unto the LORD, unto the door of the tabernacle of the congregation, [even] a ram for a trespass offering. (22) And the priest shall make an atonement for him with the ram of the trespass offering before the LORD for his sin which he hath done: and the sin which he hath done shall be forgiven him’ (= ).

RSV: ‘(20) "If a man lies carnally with a woman who is a slave, betrothed to another man and not yet ransomed or given her freedom, an inquiry shall be held. They shall not be put to death, because she was not free; (21) but he shall bring a guilt offering for himself to the LORD, to the door of the tent of meeting, a ram for a guilt offering. (22) And the priest shall make atonement for him with the ram of the guilt offering before the LORD for his sin which he has committed; and the sin which he has committed shall be forgiven him’ (= ).

NIV: ‘(20) If a man sleeps with a woman who is a slave girl promised to another man but who has not been ransomed or given her freedom, there must be due punishment. Yet they are not to be put to death, because she had not been freed. (21) The man, however, must bring a ram to the entrance to the Tent of Meeting for a guilt offering to the LORD. (22) With the ram of the guilt offering the priest is to make atonement for him before the LORD for the sin he has committed, and his sin will be forgiven (= ).

NASB: ‘(20) Now if a man lies carnally with a woman who is a slave acquired for another man, but who has in no way been redeemed, nor given her freedom, there shall be punishment; they shall not, however, be put to death, because she was not free. (21) `And he shall bring his guilt offering to the LORD to the doorway of the tent of meeting, a ram for a guilt offering. (22) `The priest shall also make atonement for him with the ram of the guilt offering before the LORD for his sin which he has committed, and the sin which he has committed shall be forgiven him (= ).

Matthew Henry: “A law for punishing adultery committed with one that was a bondmaid that was espoused, v. 20-22. If she had not been espoused, the law appointed no punishment at all; being espoused, if she had not been a bondmaid, the punishment had been no less than death: but, being as yet a bondmaid (though before the completing of her espousals she must have been made free), the capital punishment is remitted, and they shall both be scourged; or, as some think, the woman only, and the man was to bring a sacrifice. It was for the honour of marriage, though but begun by betrothing, that the crime should be punished; but it was for the honour of freedom that it should not be punished as the debauching of a free woman was, so great was the difference then made between bond and free (Gal. 4:30); but the gospel of Christ knows no such distinction, Col. 3:11.” (= ).

Catatan: mungkin kata-kata yang saya garis-bawahi itu didasarkan pada Ul 21:10-14.

Adam Clarke: “‘A woman that is a bondmaid.’ Had she been free, the law required that she should be put to death (see Deut. 22:24); but as she was a slave, she is supposed to have less self-command, and therefore less guilty, but since it is taken for granted, she did not make resistance or did consent, she is to be scourged, and the man is to bring a ram for a trespass-offering” (= ).

Jamieson, Fausset & Brown: “‘Whosoever lieth carnally with a ... bondmaid.’ Female slaves having, in a political point of view, no status, possessed no rights nor privileges. In the case supposed, no matrimonial nor pecuniary reparation was enjoined; and the only penalty for the offence was a trespass offering” (= ).

John Wesley: Not put to death - Which they should have been, had she been free, Deuteronomy 22:23, 24. The reason of this difference is not from any respect which God gives to persons, for bond and free are alike to him, but because bond-women were scarce wives, and their marriages were scarce true-marriages, being neither made by their choice, but their masters authority, nor continued beyond the year of release, but at her master’s or husband’s pleasure (= ).

Calvin: “Albeit in God’s sight there is no difference between bond and free, yet their condition is diverse as regards courts of justice; nor do the same evil consequences ensue from adultery with a bond-maid, (as with a free woman.) Notwithstanding, therefore, that the crime is worthy of death, still, in consideration of the people’s infirmity, the punishment is mitigated, so that, if a person shall have corrupted a betrothed bond-maid, both shall be scourged. ” (= ) - hal 79-80.

Editor dari Calvin’s Commentary: “Calvin’s Latin version and Commentary agree here with the margin of A. V. rather than the text, ‘she shall be scourged;’ margin, ‘there shall be a scourging.’” (= ) - hal 80 (footnote).

Pulpit Commentary: “The wordes, ‘she shall be scourged,’ should be translated, ‘there shall be investigation,’” (= ) - hal 289.

Pulpit Commentary: “No mention is made of damages to be paid to the man to whom the slave-girl was betrothed, probably because he was himself a slave, and had not juridical rights against a freeman” (= ) - hal 289.

G. J. Wenham (NICOT): “In addition ‘damages must be paid’ (v 20). ... This is most problematic phrase in this law: literally, ‘there will be a BIQQORET.’ The word BIQQORET occurs only here in the OT and its meaning is therefore quite uncertain. In the translation I have tentatively adopted Speiser’s interpretation of the term. ... Speiser supposes that ‘assigned to another man’ does not indicate betrothal, hence the injured party who receives the damages is her owner. In the light of remarks about the death penalty in v. 20, it seems more probable that the girl was reckoned to be betrothed, and therefore that the damages went to her fiancé, who had already paid over the bride-money to her owner. ... Other rendering of BIQQORET have less to commend them. ‘An inquiry shall be held’ (RSV; cf. NEB) is vacuous; ever legal dispute would have involved inquiry. ‘She shall be scourged’ (AV) goes back to an old Jewish interpretation, probably based on the dubious derivation from BAQAR, ‘ox,’ i.e. an oxhide scourge” (= ) - hal 270-271.

Matthew Poole: “‘Betrothed to an husband;’ or ‘reproached’ or ‘despised,’ and therefore forsaken, ‘of her husband.’” (= ) - hal 239.

 

NICOT, Bonar (geneva), Tyndale, Pulpit Commentary, Calvin, AGES, PC Study Bible selesai tentang Im 19:20-22 ini.

 

Cari tafsiran lain tentang ayat ini!

 

b)   1Kor 6:18 - “Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri”.

KJV: ‘Flee fornication’ (= Larilah dari percabulan).

 

Matthew Henry: “Other vices may be conquered in fight, this only by flight; so speak many of the fathers” (= ).

 

Matthew Henry: “A fourth argument is that it is a sin against our own bodies. Every sin that a man does is without the body; he that committeth fornication sinneth against his own body (v. 18); every sin, that is, every other sin, every external act of sin besides, is without the body. It is not so much an abuse of the body as of somewhat else, as of wine by the drunkard, food by the glutton, etc. Nor does it give the power of the body to another person. Nor does it so much tend to the reproach of the body and render it vile. This sin is in a peculiar manner styled uncleanness, pollution, because no sin has so much external turpitude in it, especially in a Christian. He sins against his own body; he defiles it, he degrades it, making it one with the body of that vile creature with whom he sins. He casts vile reproach on what he Redeemer has dignifies to the last degree by taking it into union with himself. Note, We should not make our present vile bodies more vile by sinning against them” (= ).

 

Adam Clarke: “‘Sinneth against his own body.’ Though sin of every species has a tendency to destroy life, yet none are so mortal as those to which the apostle refers; they strike immediately at the basis of the constitution. By the just judgment of God, all these irregular and sinful connections are married to death. Neither prostitutes, whoremongers, nor unclean persons of any description, can live out half their days. It would be easy to show, and prove also, how the end of these things, even with respect to the body, is death; but I forbear, and shall finish the subject with the words of the prophet: ‘The show of their countenance doth witness against them, and they declare their sin as Sodom, they hide it not; we unto their soul, for they have rewarded evil unto themselves.’” (= ).

Catatan: kutipan ayat dari Yes 3:9.

 

Jamieson, Fausset & Brown: “Every other sin - even gluttony, drunkenness, and self-murder - are comparatively external to the body (Mark 7:18; Prov. 6:30-32). This sinner injures, but does not alienate the body: he rather sins against the body’s temporary organization, and against the soul, than against the body’s permanent essence, designed ‘for the Lord.’ ‘But’ the fornicator alienates that body which is the Lord’s, and makes it one with a harlot’s body, and so ‘sinneth (commits sacrilege, 1 Cor. 6:19) against his own body.’” (= ).

 

Barnes’ Notes: “‘Flee fornication.’ A solemn command of God ... There is force and emphasis in the word ‘flee’ ... Man should ESCAPE from it; he should not stay to REASON about it; to debate the matter; or even to CONTEND with his propensities, and to try the strength of his virtue. There are some sins which a man can RESIST; some about which he can reason without danger of pollution. But this is a sin where a man is SAFE only when he flies; free from pollution only when he refuses to entertain a thought of it; secure when he seeks a victory by flight, and a conquest by retreat. Let a man turn away from it without reflection on it and he is safe. Let him think, and reason, and he may be ruined.” (= ).

 

Barnes’ Notes: “‘Every sin ...’. This is to be taken COMPARATIVELY. Sins in general; the common sins which people commit do not IMMEDIATELY and directly affect the BODY, or waste its energies, and destroy life. Such is the case with falsehood, theft, malice, dishonesty, pride, ambition, etc. They do not immediately and directly impair the constitution amid waste its energies. ... ‘Is without the body.’ Does not immediately and directly affect the body. The more immediate effect is on the mind; but the sin under consideration produces an immediate and direct effect on the body itself. ‘Sinneth against his own body’ This is the FOURTH argument against indulgence in this vice; and it is more striking and forcible. The sense is, ‘It wastes the bodily energies; produces feebleness, weakness, and disease; it impairs the strength, enervates the man, and shortens life.’ Were it proper, this might be PROVED to the satisfaction of every man by an examination of the effects of licentious indulgence. Those who wish to see the effects stated may find them in Dr. Rush on the Diseases of the Mind. Perhaps no single sin has done so much to produce the most painful and dreadful diseases, to weaken the constitution, and to shorten life as this. Other vices, as gluttony and drunkenness, do this also, and all sin has SOME effect in destroying the body, but it is true of this sin in an eminent degree” (= ).

 

Wycliffe Bible Commentary: “‘Flee.’ (present tense for habitual action). The positive command. Morris suggests, ‘Make it your habit to flee’ ... Someone has said, ‘While it is often claimed that there is safety in numbers, there are times when there is more safety in exodus!’ Joseph’s experience comes to mind (cf. Gen 39:1-12)” (= ).

 

Wycliffe Bible Commentary: “The final phrases, without the body and against the body, are difficult. Perhaps the meaning is that other sins, such as drunkenness, have effects on the body, but fornication is a sin wrought within the body and involves a monstrous denial of union with Christ by union with the harlot” (= ).

 

A. T. Robertson: “‘Without the body.’ ... Even gluttony and drunkenness and the use of dope are sins wrought on the body, not ‘within the body’ ... in the same sense as fornication. Perhaps the dominant idea of Paul is that fornication, as already shown, breaks the mystic bond between the body and Christ and hence the fornicator sins against his own body in a sense not true of other dreadful sins. The fornicator takes his body which belongs to Christ and unites it with a harlot. In fornication the body is the instrument of sin and becomes the subject of the damage wrought” (= ).

 

Charles Hodge: This does not teach that fornication is greater than any other sin; but it does teach that it is altogether peculiar in its effects upon the body; not so much in its physical as in its moral and spiritual effects. The idea runs through the Bible that there is something mysterious in the commerce of the sexes, and in the effects which flow from it. Every other sin, however degrading and ruinous to the health, even drunkenness, is external to the body, that is, external to its life. But fornication, involving as it does a community of life, is a sin against the body itself, because incompatible, as the Apostle had just taught, with the design of its creation, and with its immortal destiny (= ).

 

Lenski: “Paul again states undeniable facts in comparing sinful acts in general with that of fornication in particular. Also this is only a necessary preliminary statement that paves the way for the following. It really states the major premise of a syllogism: Fornication, as doe no other sin, violates the body. he minor premise will follow: The Christian’s body is the Spirit’s sanctuary. And then the conclusion of this syllogism is plain: Fornication, as does no other sin, desecrates the very sanctuary of God” (= ) - hal 267-268.

 

Lenski: “Sexual sins bear a vicious character all their own. They are peculiarly unsavory and hence entail shame and disgrace in a peculiar manner. They rot the body, fill the mind with rottenness, and rapidly eliminate the sinner from this life. ... We err also when we question or challenge Paul’s statement regarding the exceptional character of fornication by referring to a sin like suicide or others that damage the body like drunkenness, gluttony, addiction to drugs, etc. Paul is far more profound: no sinful act desecrates the body like fornication and sexual abuse. In this sense fornication has a deadly eminence. A sanctuary is desecrated by befouling it within; so this sin desecrates the sanctuary of the body. All other sins besmirch the sanctuary on the outside only” (= ) - hal 268.

 

Geoffrey B. Wilson menambah komentar dari Lenski dengan Amsal 6:30-32  Amsal 7:6-27.

 

Amsal 6:23-35 - “(23) Karena perintah itu pelita, dan ajaran itu cahaya, dan teguran yang mendidik itu jalan kehidupan, (24) yang melindungi engkau terhadap perempuan jahat, terhadap kelicikan lidah perempuan asing. (25) Janganlah menginginkan kecantikannya dalam hatimu, janganlah terpikat oleh bulu matanya. (26) Karena bagi seorang sundal sepotong rotilah yang penting, tetapi isteri orang lain memburu nyawa yang berharga. (27) Dapatkah orang membawa api dalam gelumbung baju dengan tidak terbakar pakaiannya? (28) Atau dapatkah orang berjalan di atas bara, dengan tidak hangus kakinya? (29) Demikian juga orang yang menghampiri isteri sesamanya; tiada seorangpun, yang menjamahnya, luput dari hukuman. (30) Apakah seorang pencuri tidak akan dihina, apabila ia mencuri untuk memuaskan nafsunya karena lapar? (31) Dan kalau ia tertangkap, haruslah ia membayar kembali tujuh kali lipat, segenap harta isi rumahnya harus diserahkan. (32) Siapa melakukan zinah tidak berakal budi; orang yang berbuat demikian merusak diri. (33) Siksa dan cemooh diperolehnya, malunya tidak terhapuskan. (34) Karena cemburu adalah geram seorang laki-laki, ia tidak kenal belas kasihan pada hari pembalasan dendam; (35) ia tidak akan mau menerima tebusan suatupun, dan ia akan tetap bersikeras, betapa banyakpun pemberianmu”.

 

Amsal 7:6-27 - “(6) Karena ketika suatu waktu aku melihat-lihat, dari kisi-kisiku, dari jendela rumahku, (7) kulihat di antara yang tak berpengalaman, kudapati di antara anak-anak muda seorang teruna yang tidak berakal budi, (8) yang menyeberang dekat sudut jalan, lalu melangkah menuju rumah perempuan semacam itu, (9) pada waktu senja, pada petang hari, di malam yang gelap. (10) Maka datanglah menyongsong dia seorang perempuan, berpakaian sundal dengan hati licik; (11) cerewet dan liat perempuan ini, kakinya tak dapat tenang di rumah, (12) sebentar ia di jalan dan sebentar di lapangan, dekat setiap tikungan ia menghadang. (13) Lalu dipegangnyalah orang teruna itu dan diciumnya, dengan muka tanpa malu berkatalah ia kepadanya: (14) "Aku harus mempersembahkan korban keselamatan, dan pada hari ini telah kubayar nazarku itu. (15) Itulah sebabnya aku keluar menyongsong engkau, untuk mencari engkau dan sekarang kudapatkan engkau. (16) Telah kubentangkan permadani di atas tempat tidurku, kain lenan beraneka warna dari Mesir. (17) Pembaringanku telah kutaburi dengan mur, gaharu dan kayu manis. (18) Marilah kita memuaskan berahi hingga pagi hari, dan bersama-sama menikmati asmara. (19) Karena suamiku tidak di rumah, ia sedang dalam perjalanan jauh, (20) sekantong uang dibawanya, ia baru pulang menjelang bulan purnama." (21) Ia merayu orang muda itu dengan berbagai-bagai bujukan, dengan kelicinan bibir ia menggodanya. (22) Maka tiba-tiba orang muda itu mengikuti dia seperti lembu yang dibawa ke pejagalan, dan seperti orang bodoh yang terbelenggu untuk dihukum, (23) sampai anak panah menembus hatinya; seperti burung dengan cepat menuju perangkap, dengan tidak sadar, bahwa hidupnya terancam. (24) Oleh sebab itu, hai anak-anak, dengarkanlah aku, perhatikanlah perkataan mulutku. (25) Janganlah hatimu membelok ke jalan-jalan perempuan itu, dan janganlah menyesatkan dirimu di jalan-jalannya. (26) Karena banyaklah orang yang gugur ditewaskannya, sangat besarlah jumlah orang yang dibunuhnya. (27) Rumahnya adalah jalan ke dunia orang mati, yang menurun ke ruangan-ruangan maut”.

 

Calvin: “he now shows how much we ought to abhor ‘fornication,’ setting before us the enormity of its wickedness and baseness. Now he shows its greatness by comparison - that this sin alone, of all sins, puts a brand of disgrace upon the body. The body, it is true, is defiled also by theft, and murder, and drunkenness, in accordance with those statements - ‘Your hands are defiled with blood.’ (Isaiah 1:15.) ‘You have yielded your members instruments of iniquity into sin,’ (Rom. 6:19,) and the like. Hence some, in order to avoid this inconsistency, understand the words rendered ‘against his own body,’ as meaning ‘against us, as being connected with Christ;’ but this appears to me to be more ingenious than solid. Besides, they do not escape even in this way, because that same thing, too, might be affirmed of idolatry equally with fornication. For he who prostrates himself before an idol, sins against connection with Christ. Hence I explain it in this way, that he does not altogether deny that there are other vices, in like manner, by which our body is dishonoured and disgraced, but that his meaning is simply this - that defilement does not attach itself to our body from other vices in the same way as it does from fornication. My hand, it is true, is defiled by theft or murder, my tongue by evil speaking, or perjury, and the whole body by drunkenness; but fornication leaves a stain impressed upon the body, such as is not impressed upon it from other sins. According to this comparison, or, in other words, in the sense of less and more, other sins are said to be ‘without the body’ - not however, as though they do not at all affect the body, viewing each one by itself” (= ) - hal 219-220.

 

Mungkin tafsiran Calvin sejauh ini yang paling memuaskan. Poole kira-kira sama dengan Calvin.

 

Matthew Poole: “other sins are ‘without the body,’ that is, the body hath not such a blemish and note or mark of infamy laid upon it by any other sin as by this: ... So as though by other sins men may sin against their own bodies, yet by no sin so eminently as by this sin” (= ) - hal 557.

 

Gordon H. Clark: “while drunkenness and drug addiction are sins against the body, they are the result of a man’s using external objects to harm his body. In fornication, the man uses his body itself. The harm, the sin against his body, is not quite as physical as in the other cases. Aside from venereal disease, fornication has no particular bodily effects. The effects are psychological, spiritual, and theological. The sin unites in one body the two persons involved, and this union is incompatible both with the union of a lawful marriage and union with Christ in one spiritual or ‘mystical’ body” (= ) - ‘First Corinthians’, hal 93-94.

 

Gordon Clark, Barclay, Pulpit Commentary, Poole, Tyndale, Calvin, AGES, PC Study Bible, Lenski, G. B. Wilson,

 

e-mail us at [email protected]