Pemahaman
Alkitab
(Jl. Dinoyo
19b, lantai 3)
Jumat, tanggal
29 Januari 2010, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(7064-1331 /
6050-1331)
2Pet 1:5-9 - “(5) Justru karena itu kamu harus dengan
sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada
kebajikan pengetahuan, (6) dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada
penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, (7) dan kepada
kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara
kasih akan semua orang. (8) Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan
berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam
pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita. (9) Tetapi barangsiapa tidak
memiliki semuanya itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa
dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan”.
c)
Sekarang kita membahas kebaikan / sifat baik yang ‘didaftarkan’ dalam
ay 5b-7 itu satu per satu.
1.
“untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan”.
KJV/RSV/ASV/NJKV:
‘virtue’ (= kebaikan / sifat baik).
NIV:
‘goodness’ (= kebaikan).
NASB:
‘moral excellence’ (= keunggulan moral).
Barnes’ Notes: “The word here rendered
‘virtue’ is the same which is used in 2 Pet. 1:3; and there is included in
it, probably, the same general idea which was noticed there. All the things
which the apostle specifies, unless ‘knowledge’ be an exception, are
‘virtues’ in the sense in which that word is commonly used; and it can
hardly be supposed that the apostle here meant to use a GENERAL term which would
include all of the others. The probability is, therefore, that by the word
here he has reference to the common meaning of the Greek word, as referring to
manliness, courage, vigor, energy; and the sense is, that he wished them to
evince whatever firmness or courage might be necessary in maintaining the
principles of their religion, and in enduring the trials to which their faith
might be subjected. True ‘virtue’ is not a tame and passive thing. It
requires great energy and boldness, for its very essence is firmness, manliness,
and independence” (= Kata yang di sini diterjemahkan
‘kebajikan’ adalah kata yang sama yang digunakan dalam 2Pet 1:3; dan mungkin
tercakup di dalamnya suatu gagasan umum yang sama yang diperhatikan di sana.
Semua hal-hal yang ditetapkan oleh sang rasul, kecuali ‘pengetahuan’
merupakan suatu perkecualian, adalah ‘kebajikan’ dalam arti yang umum
digunakan untuk kata itu; dan tidak bisa dianggap bahwa sang rasul di sini
memaksudkan untuk menggunakan suatu istilah UMUM yang mencakup semua yang lain. Karena
itu, kemungkinannya adalah bahwa dengan kata ini di sini ia menunjuk pada arti yang
umum dari kata Yunaninya, sebagai menunjuk pada kejantanan, keberanian,
kekuatan, tenaga; dan artinya adalah bahwa ia ingin mereka menunjukkan dengan
jelas keteguhan atau keberanian apapun yang bisa diperlukan dalam mempertahankan
prinsip-prinsip dari agama mereka, dan dalam menahan pencobaan-pencobaan yang
menyerang iman mereka. ‘Kebajikan’ yang sejati bukanlah sesuatu yang jinak dan pasif. Itu
membutuhkan tenaga dan keberanian yang besar, karena hakekatnya adalah
keteguhan, kejantanan, dan ketidak-tergantungan).
Catatan:
dalam 2Pet 1:3 secara salah kata Yunani itu diterjemahkan ‘ajaib’
dalam Kitab Suci Indonesia; tetapi KJV menterjemahkan ‘virtue’
(= kebaikan / sifat baik).
Matthew
Henry: “He must get virtue, by
which some understand justice; ... by virtue here we may understand strength
and courage, without which the believer cannot stand up for good works, ...
The righteous must be bold as a lion (Prov. 28:1); a cowardly Christian, who
is afraid to profess the doctrines or practise the duties of the gospel, must
expect that Christ will be ashamed of him another day” [=
Ia harus mendapatkan kebajikan, yang oleh sebagian orang dimengerti sebagai
keadilan; ... dengan kebajikan di sini kita bisa mengertinya sebagai kekuatan
dan keberanian, tanpa mana orang percaya tidak bisa berdiri untuk perbuatan baik,
... Orang benar harus berani seperti seekor singa (Amsal 28:1); seorang
Kristen yang pengecut, yang takut untuk mengakui ajaran-ajaran atau
mempraktekkan kewajiban-kewajiban injil, harus mengharapkan bahwa pada suatu
hari Kristus akan malu tentang dia].
Amsal
28:1 - “Orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya, tetapi orang
benar merasa aman seperti singa muda”.
Adam
Clarke: “‘Virtue.’ Areteen.
Courage or fortitude, to enable you to profess the faith before men, in these
times of persecution” (= ‘Kebajikan’.
ARETEEN. Keberanian atau ketabahan / keuletan, untuk memampukanmu untuk mengakui
iman di hadapan manusia pada masa-masa penganiayaan).
Barclay:
“To faith must be added what the Revised Standard Version calls
‘virtue’ and we have called ‘courage.’ The word is ARETE; it is very
rare in the New Testament but it is the supreme Greek word for virtue in every
sense of the term. It means ‘excellence.’ ... ARETE is that virtue which
makes a man a good citizen and friend; it is that virtue which makes him an
expert in the technique of living well. ... ARETE often means ‘courage.’
Plutarch says that God is a hope of ARETE, not an excuse for cowardice. In 2
Maccabees we read of how Eleazar died rather than be false to the laws of God
and his fathers; and the story ends by saying that he left his death for an
example of noble courage (ARETE) and a memorial of virtue, not only to young
men, but also to all the nation (2 Maccabees 6:31)” [= Pada
iman harus ditambahkan apa yang RSV sebut ‘kebaikan / sifat baik’ dan kami
menyebutnya ‘keberanian’. Kata yang digunakan adalah ARETE, kata itu sangat
jarang dalam Perjanjian Baru, tetapi itu adalah kata Yunani yang tertinggi untuk
‘kebaikan / sifat baik’ dalam setiap arti dari istilah itu. Kata itu berarti
‘keunggulan / mutu yang sangat baik’. ... ARETE adalah kebaikan / sifat baik
yang membuat seseorang menjadi seorang warga negara dan teman yang baik; itu
adalah kebaikan / sifat baik yang membuat dia seorang ahli dalam tehnik untuk
hidup dengan baik. ... ARETE sering berarti ‘keberanian’. Plutarch
berkata bahwa Allah adalah suatu pengharapan dari ARETE, bukan suatu alasan
untuk suatu sifat / sikap pengecut. Dalam 2Makabe kita membaca bagaimana
Eleazar mati dari pada menjadi tidak benar / menyalahi hukum (Taurat) Allah dan
nenek moyangnya; dan ceritanya berakhir dengan mengatakan bahwa ia meninggalkan
kematiannya sebagai suatu contoh / teladan dari keberanian yang mulia (ARETE)
dan suatu peringatan dari kebaikan / sifat baik, bukan hanya bagi orang-orang
muda, tetapi juga bagi seluruh bangsa (2Makabe 6:31)] - hal
301-302.
Saya
berpendapat bahwa sangat sering terjadi bahwa untuk bisa menjadi baik, kita
harus mempunyai keberanian. Mengapa? Karena dunia yang jahat tidak menyenangi
kebaikan itu dan pasti akan menentang kebaikan itu dan juga orang yang melakukan
kebaikan itu. Kalau kita tidak berani menghadapi serangan dari dunia terhadap
kebaikan yang sedang / akan kita lakukan, maka kita akan berhenti / batal
melakukan kebaikan itu.
Bdk.
Ef 6:18b-20 - “(18b) Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan
berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya
untuk segala orang Kudus, (19) juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka
mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku
memberitakan rahasia Injil, (20) yang kulayani sebagai utusan yang dipenjarakan.
Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana
seharusnya aku berbicara”.
Bdk.
2Tim 1:7 - “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan,
melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban”.
2.
“dan kepada kebajikan pengetahuan”.
Keberanian,
semangat dsb, tak ada gunanya, bahkan menjadi sesuatu yang negatif kalau tidak
ada pengetahuan, apalagi kalau pengetahuannya salah / sesat.
Amsal
19:2 - “Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa
akan salah langkah”.
Ro
10:1-3 - “(1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan
ialah, supaya mereka diselamatkan. (2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang
mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian
yang benar. (3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan
oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka
mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah”.
Adam
Clarke: “‘Knowledge.’ True
wisdom, by which your faith will be increased, and your courage directed, and
preserved from degenerating into rashness” (=
‘Pengetahuan’. Hikmat yang sejati, dengan mana iman akan ditingkatkan, dan
keberanianmu diarahkan, dan dijaga / dilindungi dari kemerosotan ke dalam
tindakan terburu-buru / gegabah).
Barnes’ Notes: “It is the duty of every
Christian to make the highest possible attainments in ‘knowledge.’” (= Merupakan kewajiban dari setiap orang Kristen untuk membuat pencapaian
setinggi mungkin dalam ‘pengetahuan’).
Barclay:
“To courage must be added ‘knowledge.’ The word is GNOSIS. In
ethical Greek language there are two words which have a similar meaning with a
very significant difference. SOPHIA is wisdom, in the sense of ‘knowledge of
things both human and divine, and of their causes.’ It is knowledge of first
causes and of deep and ultimate things. GNOSIS is ‘practical knowledge;’
it is the ability to apply to particular situations the ultimate knowledge
which SOPHIA gives. GNOSIS is that knowledge which enables a man to decide
rightly and to act honourably and efficiently in the day to day circumstances
of life. So, then, to faith must be added courage and effectiveness; to
courage and effectiveness must be added the practical wisdom to deal with
life” (= Pada keberanian harus ditambahkan
‘pengetahuan’. Kata yang digunakan adalah GNOSIS. Dalam bahasa Yunani yang
bersifat etika / moral, ada dua kata yang mempunyai arti yang mirip tetapi
dengan perbedaan yang sangat penting / berarti. SOPHIA adalah hikmat, dalam
arti ‘pengetahuan tentang hal-hal baik yang manusiawi dan ilahi, dan tentang
penyebab-penyebab mereka’. Itu adalah pengetahuan tentang penyebab-penyebab
pertama dan tentang hal-hal yang dalam dan pokok / akhir. GNOSIS adalah
‘pengetahuan praktis’; itu adalah kemampuan untuk menerapkan pada keadaan
tertentu pengetahuan pokok / akhir yang diberikan oleh SOPHIA. GNOSIS adalah
pengetahuan yang memampukan seorang manusia untuk memutuskan dengan benar dan
bertindak dengan terhormat dan dengan efisien dalam keadaan kehidupan hari
demi hari. Maka, pada iman harus ditambahkan keberanian dan keefektifan; pada
keberanian dan keefektifan harus ditambahkan hikmat praktis untuk menangani
kehidupan) - hal 302.
3.
“dan kepada pengetahuan penguasaan diri”.
Barclay:
“To this practical knowledge must be added ‘self-control,’ or
‘self-mastery.’ The word is EGKRATEIA, and it means literally ‘the ability
to take a grip of oneself.’ This is a virtue of which the great Greeks spoke
and wrote and thought much. In regard to a man and his passions Aristotle
distinguishes four states in life. There is SOPHROSUNE, in which passion has
been entirely subjugated to reason; we might call it ‘perfect temperance.’
There is AKOLASIA, which is the precise opposite; it is the state in which
reason is entirely subjugated to passion; we might call it ‘unbridled lust.’
In between these two states there is AKRASIA, in which reason fights but passion
prevails; we might call it ‘incontinence.’ There is EGKRATEIA, in which
reason fights against passion and prevails; we call it ‘self-control,’ or
‘self-mastery.’” (= Pada pengetahuan praktis
ini harus ditambahkan ‘penguasaan diri /
kontrol terhadap diri sendiri’. Kata yang digunakan adalah EGKRATEIA,
dan kata itu secara hurufiah berarti ‘kemampuan untuk untuk menguasai diri
sendiri’. Ini merupakan suatu kebaikan / sifat baik tentang mana orang-orang
Yunani yang agung banyak berbicara dan menulis dan berpikir. Berkenaan dengan
seorang manusia dan nafsu-nafsunya Aristotle membedakan empat keadaan dalam
kehidupan. Ada SOPHROSUNE, dimana nafsu telah sepenuhnya ditaklukkan /
ditundukkan pada akal; kita bisa menyebutnya ‘penguasaan diri yang
sempurna’. Ada AKOLASIA, yang adalah persis sebaliknya; itu adalah keadaan
dimana akal sepenuhnya ditaklukkan / ditundukkan pada nafsu; kita bisa
menyebutnya ‘nafsu yang tidak dikekang’. Di antara kedua keadaan itu ada
AKRASIA, dimana akal melawan tetapi nafsu menang; kita bisa menyebutnya
‘ketidakmampuan menguasai diri’. Lalu ada EGKRATEIA, dimana akal melawan
nafsu dan menang) - hal
302-303.
Barclay:
“EGKRATEIA is one of the great Christian virtues; ... That ethic does
not contemplate a situation in which a man is emasculated of all passion; it
envisages a situation in which his passions remain, but are under perfect
control and so become his servants, not his tyrants” (= EGKRATEIA merupakan salah satu dari
kebaikan / sifat baik Kristen yang agung; ... Etika
itu tidak memikirkan suatu keadaan dimana seseorang dikebiri dari semua nafsu;
itu menggambarkan suatu keadaan dimana nafsu-nafsunya tetap ada, tetapi
ada dalam kendali yang sempurna dan dengan demikian menjadi pelayan-pelayannya,
bukan tiran-tirannya / tuan-tuannya yang kejam) - hal
303.
Bandingkan
ini (khususnya bagian yang saya garis-bawahi) dengan banyak orang yang
memberikan kesaksian yang mengatakan bahwa setelah ia bertobat, ia sama sekali
tidak menyenangi / menginginkan perempuan lain selain istrinya. Bodohlah orang
yang percaya pada dusta / bualan seperti ini! Kalau nafsu jahat itu hilang sama
sekali, maka tidak lagi diperlukan penguasaan diri!
Barnes’ Notes: “‘And to knowledge
temperance.’ ... The word here refers to the mastery over all our evil
inclinations and appetites. We are to allow none of them to obtain control over
us. ... This would include, of course, abstinence from intoxicating drinks; but
it would also embrace all evil passions and propensities. Everything is to be
confined within proper limits, and to no propensity of our nature are we to give
indulgence beyond the limits which the law of God allows” (= ‘Dan pada pengetahuan penguasaan diri’. ... Kata itu di sini
menunjuk pada penguasaan atas semua kecenderungan dan nafsu / keinginan. Kita
tidak boleh mengijinkan yang manapun dari mereka untuk mendapatkan kendali atas
diri kita. ... Tentu saja ini mencakup pertarakan / penahanan nafsu dari minuman
yang memabukkan; tetapi itu juga mencakup semua nafsu dan kecenderungan yang
jahat. Segala sesuatu harus dibatasi dalam batasan yang tepat / benar, dan tidak
ada kecenderungan dari sifat kita pada mana kita boleh memberikan pemuasaan
melebihi batasan yang diijinkan oleh hukum Allah).
Matthew
Henry: “We must add temperance
to our knowledge. We must be sober and moderate in our love to, and use of, the
good things of this life; and, if we have a right understanding and knowledge of
outward comforts, we shall see that their worth and usefulness are vastly
inferior to those of spiritual mercies. Bodily exercises and bodily privileges
profit but little, and therefore are to be esteemed and used accordingly; ... We
must be moderate in desiring and using the good things of natural life, such as
meat, drink, clothes, sleep, recreations, and credit; an inordinate desire after
these is inconsistent with an earnest desire after God and Christ; and those who
take more of these than is due can render to neither God nor man what is due to
them” [= Kita harus menambahkan penguasaan diri
pada pengetahuan kita. Kita harus waras dan moderat dalam kasih / kecintaan kita
pada, dan penggunaan dari, hal-hal yang baik dari kehidupan ini; dan, jika kita
mempunyai suatu pengertian dan pengetahuan yang baik tentang
kesenangan-kesenangan lahiriah, kita akan melihat bahwa nilai dan kegunaan
mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan belas kasihan rohani. Latihan
jasmani (olah raga) dan kelebihan jasmani hanya memberi sedikit keuntungan, dan
karena itu harus dihargai dan digunakan secara sesuai; ... Kita harus bersikap
moderat dalam mengingini dan menggunakan hal-hal yang baik dari kehidupan
alamiah, seperti makanan, minuman, pakaian, tidur, rekreasi, dan uang tabungan;
suatu keinginan yang sangat banyak terhadap hal-hal ini tidaklah konsisten
dengan suatu keinginan yang sungguh-sungguh terhadap Allah dan Kristus; dan
mereka yang mengambil hal-hal ini lebih banyak dari yang seharusnya, tidak bisa
memberikan apa yang seharusnya kepada Allah maupun manusia].
1Tim
4:8 - “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah
(kesalehan) itu berguna dalam
segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup
yang akan datang”.
KJV:
‘For bodily exercise profiteth little’ (= Karena olah raga jasmani memberikan keuntungan
sedikit).
NIV: ‘For
physical training is of some value’ (= Karena latihan jasmani sedikit nilainya).
4.
“kepada penguasaan diri ketekunan”.
KJV:
‘patience’ (=
kesabaran).
RSV:
‘steadfastness’ (=
kesetiaan / keteguhan).
NIV/NASB:
‘perseverance’
(= ketekunan).
The
Bible
Exposition Commentary: New Testament: “Patience
is the ability to endure when circumstances are difficult. Self-control has to
do with handling the pleasures of life, while patience relates primarily to the
pressures and problem of life. ... Often, the person who ‘gives in!’ to
pleasures is not disciplined enough to handle pressures either, so he ‘gives
up.’ Patience is not something that develops automatically, we must work at
it. James 1:2-8 gives us the right approach. We must expect trials to come,
because without trials we could never learn patience. We must, by faith, let our
trials work for us and not against us, because we know that God is at work in
our trials” (= Kesabaran adalah
kemampuan untuk bertahan pada waktu keadaan sukar. Penguasaan diri berurusan
dengan penanganan kesenangan-kesenangan dari kehidupan, sementara kesabaran
terutama berhubungan dengan tekanan dan problem dari kehidupan. ... Seringkali,
orang yang menyerah pada kesenangan-kesenangan juga tidak cukup mempunyai
disiplin untuk menangani tekanan sehingga ia menyerah. Kesabaran bukanlah
sesuatu yang berkembang secara otomatis, kita harus mengerjakannya. Yak 1:2-8
memberi kita pendekatan yang benar. Kita harus mengharapkan pencobaan-pencobaan
untuk datang, karena tanpa pencobaan-pencobaan kita tidak pernah bisa
mempelajari kesabaran. Kita harus, dengan iman, membiarkan pencobaan-pencobaan
kita bekerja untuk kita dan bukan menentang kita, karena kita tahu bahwa Allah
bekerja dalam pencobaan-pencobaan kita).
Barclay:
“The word is HUPOMONE. ... HUPOMONE does not simply accept and endure;
there is always a forward look in it. It is said of Jesus, by the writer to the
Hebrews, that for the joy that was set before him, he ‘endured’ the Cross,
despising the shame (Hebrews 12:2). That is HUPOMONE, Christian stedfastness. It
is the courageous acceptance of everything that life can do to us and the
transmuting of even the worst event into another step on the upward way”
[= Kata yang digunakan adalah HUPOMONE. ... HUPOMONE tidak hanya menerima dan
menahan; tetapi selalu ada pandangan ke depan di dalamnya. Dikatakan tentang
Yesus oleh penulis surat Ibrani, bahwa untuk / sebagai ganti sukacita yang
diletakkan di hadapanNya, Ia ‘menahan’ Salib, meremehkan rasa malu (Ibr
12:2). Itulah HUPOMONE, kesetiaan / keteguhan Kristen. Itu adalah penerimaan
yang berani dari segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh kehidupan kepada kita,
dan pengubahan bahkan peristiwa yang terburuk menjadi langkah lain yang menuju
ke atas] - hal 303.
Matthew
Henry: “Add to temperance
patience, which must have its perfect work, or we cannot be perfect and entire,
wanting nothing (James 1:4), for we are born to trouble, and must through many
tribulations enter into the kingdom of heaven; and it is this tribulation (Rom.
5:3) which worketh patience, that is, requires the exercise and occasions the
increase of this grace, whereby we bear all calamities and crosses with silence
and submission, without murmuring against God or complaining of him, but
justifying him who lays all affliction upon us, owning that our sufferings are
less than our sins deserve, and believing they are no more than we ourselves
need” [= Tambahkan pada penguasaan diri
kesabaran, yang harus mempunyai pekerjaannya yang sempurna, atau kita tidak bisa
sempurna dan utuh, tak kekurangan apapun (Yak 1:4), karena kita dilahirkan pada
kesukaran / problem, dan harus melalui banyak kesengsaraan untuk masuk ke dalam
kerajaan surga; dan kesengsaran inilah (Ro 5:3) yang mengerjakan kesabaran,
artinya, membutuhkan latihan dan menyebabkan peningkatan dari kasih karunia ini,
dengan mana kita menanggung semua bencana dan salib dengan diam / tenang dan
ketundukan, tanpa bersungut-sungut terhadap Allah atau mengeluh tentang Dia,
tetapi membenarkan Dia yang meletakkan semua penderitaan pada kita, sambil
mengakui bahwa penderitaan kita lebih sedikit / kecil dari pada yang layak
didapatkan oleh dosa-dosa kita, dan dengan percaya bahwa penderitaan itu
tidaklah lebih dari yang kita butuhkan].
5.
“dan kepada ketekunan kesalehan”.
Barclay:
“To this steadfastness must be added ‘piety.’ The word is EUSEBEIA
and is quite untranslatable. ... The great characteristic of EUSEBEIA is that it
looks in two directions. The man who has EUSEBEIA always correctly worships God
and gives him his due; but he always correctly serves his fellow-men and gives
them their due. The man who is EUSEBES (the corresponding adjective) is in a
right relationship both with God and his fellow-men. EUSEBEIA is piety but in
its most practical aspect. ... EUSEBEIA is the nearest Greek word for
‘religion;’ and, when we begin to define it, we see the intensely practical
character of the Christian religion. When a man becomes a Christian, he
acknowledges a double duty, to God and to his fellow-men” [= Pada
kesetiaan / keteguhan ini harus ditambahkan ‘kesalehan’. Kata yang digunakan
adalah EUSEBEIA dan kata ini tidak bisa diterjemahkan. ... Karakteristik yang
besar dari EUSEBEIA adalah bahwa itu melihat pada dua arah. Orang yang mempunyai
EUSEBEIA selalu menyembah Allah dengan benar dan memberikan apa yang adalah
hakNya; tetapi ia selalu melayani secara benar sesama manusianya dan memberikan
kepada mereka apa yang adalah hak mereka. Orang yang EUSEBES (kata sifatnya yang
bersesuaian) ada dalam hubungan yang benar, baik dengan Allah maupun dengan
sesama manusianya. EUSEBEIA adalah kesalehan tetapi dalam aspeknya yang paling
praktis. ... EUSEBEIA adalah kata Yunani yang paling dekat untuk ‘agama’;
dan, pada waktu kita mulai mendefinisikannya, kita melihat karakter yang sangat
praktis dari agama Kristen. Pada waktu seseorang menjadi orang Kristen, ia
mengakui suatu kewajiban ganda, kepada Allah dan kepada sesama manusianya]
- hal 303-304.
The
Bible
Exposition Commentary: New Testament:
“‘Godliness’
simply means ‘God-likeness.’ ... It described the man who was right in his
relationship with God and with his fellowman. ... He seeks to do the will of God
and, as he does, he seeks the welfare of others. We must never get the idea that
godliness is an impractical thing, because it is intensely practical. The godly
person makes the kinds of decisions that are right and noble. He does not take
an easy path simply to avoid either pain or trial. He does what is right because
it is right and because it is the will of God” (= ‘Kesalehan’
berarti ‘kemiripan dengan Allah’. ... Itu menggambarkan manusia yang benar
dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusianya. ... Ia berusaha
untuk melakukan kehendak Allah dan pada waktu ia melakukannya ia mengusahakan
kesejahteraan dari orang-orang lain. Kita tidak pernah boleh mendapatkan
pengertian bahwa kesalehan adalah suatu hal yang tidak praktis, karena itu
sangat praktis. Orang yang saleh membuat jenis-jenis keputusan yang benar dan
mulia. Ia tidak mengambil jalan yang mudah hanya untuk menghindari rasa sakit
atau pencobaan. Ia melakukan apa yang benar karena itu adalah benar, dan karena
itu adalah kehendak Allah).
6.
“dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara”.
Barclay:
“The word is PHILADELPHIA, which literally means love of the brethren.
The point is this - there is a kind of religious devotion which separates a man
from his fellow-men. The claims of his fellow-men become an intrusion on his
prayers, his study of God’s word and his meditation. The ordinary demands of
human relationships become a nuisance. ... What Peter is saying is that there is
something wrong with the religion which finds the claims of personal
relationships a nuisance” (= Kata yang digunakan
adalah PHILADELPHIA, yang secara hurufiah berarti ‘kasih akan
saudara-saudara’. Pointnya adalah ini - ada sejenis pembaktian agamawi yang
memisahkan seorang manusia dari sesama manusianya. Claim dari sesama manusianya
menjadi gangguan pada doa-doanya, pelajarannya akan Firman Allah dan
meditasinya. Tuntutan biasa dari hubungan-hubungan manusia menjadi gangguan. ...
Apa yang dikatakan oleh Petrus adalah bahwa di sana ada sesuatu yang salah
dengan agama yang mendapati claim dari hubungan-hubungan pribadi suatu gangguan)
- hal 304-305.
The
Bible
Exposition Commentary: New Testament: “‘Brotherly
kindness’ (Philadelphia
in the Greek) is a virtue that Peter must have acquired the hard way, for
the disciples of our Lord often debated and disagreed with one another. If we
love Jesus Christ, we must also love the brethren. We should practice an
‘unfeigned [sincere] love of the brethren’ (1 Peter 1:22) and not just
pretend that we love them. ‘Let brotherly love continue’ (Heb 13:1). ‘Be
kindly affectioned one to another with brotherly love’ (Rom 12:10). The fact
that we love our brothers and sisters in Christ is one evidence that we have
been born of God (1 John 5:1-2)” [= ‘Kebaikan
persaudaraan’ (PHILADELPHIA
dalam bahasa Yunani) adalah suatu kebaikan / sifat baik yang harus didapatkan
oleh Petrus dengan cara yang keras, karena murid-murid dari Tuhan kita sering
berdebat dan tidak setuju satu dengan yang lain. Jika kita mengasihi Yesus
Kristus, kita juga harus mengasihi saudara-saudara kita. Kita harus
mempraktekkan suatu ‘kasih yang tidak pura-pura (tulus / sungguh-sungguh) akan
saudara-saudara’ (1Pet 1:22) dan bukan hanya berpura-pura bahwa kita mengasihi
mereka. ‘Hendaklah kasih persaudaraan berlanjut’ (Ibr 13:1). ‘Kasihilah
dengan baik satu sama lain dengan kasih persaudaraan’ (Ro 12:10). Fakta bahwa
kita mengasihi saudara-saudara dan saudari-saudari dalam Kristus adalah suatu
bukti bahwa kita telah dilahirkan dari Allah (1Yoh 5:1-2)].
1Pet
1:22 - “Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran,
sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas,
hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu”.
Ibr
13:1 - “Peliharalah kasih persaudaraan!”.
KJV:
‘Let brotherly love continue’ (= Hendaklah kasih persaudaraan
berlanjut).
Ro
12:10a - “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara”.
KJV:
‘Be kindly affectioned one to another with brotherly love’ (=
Kasihilah dengan baik satu sama lain dengan kasih persaudaraan).
1Yoh
5:1-2 - “(1) Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir
dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga
Dia yang lahir dari padaNya. (2) Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak
Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan
perintah-perintahNya”.
7.
“dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang”.
Kata-kata
‘akan semua orang’ sebetulnya tidak ada.
KJV:
‘and to brotherly kindness charity’ (= dan pada kebaikan persaudaraan
kasih).
RSV:
‘and brotherly affection with love’ (= dan kasih persaudaraan dengan
kasih).
NIV:
‘and
to brotherly kindness, love’ (= dan pada kebaikan persaudaraan, kasih).
NASB:
‘and
in your brotherly kindness, love’ (= dan dalam kebaikan persaudaraanmu,
kasih).
Tetapi
boleh dikatakan semua penafsir menafsirkan seperti terjemahan Kitab Suci
Indonesia.
Calvin:
“‘Brotherly-kindness,’
filadelfi>a, is mutual affection among the children of God. Love extends
wider, because it embraces all mankind”
[= ‘Kebaikan persaudaraan’, filadelfi>a (PHILADELPHIA), adalah saling mengasihi di antara anak-anak Allah. Kasih menjangkau
lebih luas, karena kasih mencakup seluruh umat manusia].
Barnes’ Notes: “‘And to brotherly kindness
charity.’ Love to all mankind. There is to be a special affection for
Christians as of the same family; there is to be a true and warm love, however, for
all the race” (= ‘Dan pada
kebaikan persaudaraan kasih’. Kasih pada seluruh umat manusia. Di sana harus
ada kasih yang khusus untuk orang-orang Kristen sebagai dari keluarga yang sama;
tetapi di sana harus ada suatu kasih yang sungguh-sungguh dan hangat untuk
seluruh umat manusia).
Bdk.
Gal 6:10 - “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah
kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita
seiman”.
Barclay:
“The ladder of Christian virtue must end in Christian love. Not even
affection for the brethren is enough; the Christian must end with a love which
is as wide as that love of God which causes his sun to rise on the just and on
the unjust, and sends his rain on the evil and the good. The Christian must show
to all men the love which God has shown to him” (= Tangga
dari kebaikan / sifat baik Kristen harus berakhir dalam kasih Kristen. Bahkan
kasih untuk saudara-saudara tidaklah cukup; orang Kristen harus berakhir dengan
suatu kasih yang sama lebarnya / luasnya dengan kasih Allah yang menyebabkan
matahariNya muncul pada orang benar dan pada orang yang tidak benar, dan
mengirimkan hujan pada orang jahat dan orang baik. Orang Kristen harus
menunjukkan kepada semua manusia kasih yang Allah telah tunjukkan kepada dia)
- hal 305.
Bdk.
Mat 5:43-48 - “(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia
dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan
berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (45) Karena dengan demikianlah kamu
menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang
yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan
orang yang tidak benar. (46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu,
apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila
kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari
pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat
demikian? (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di
sorga adalah sempurna.’”.
Adam
Clarke: “‘Charity.’ Agapeen.
Love to the whole human race, even to your persecutors: love to God and the
brethren they had; love to all mankind they must also have. True religion is
neither selfish nor insulated; where the love of God is, bigotry cannot
exist. Narrow, selfish people, and people of a party, who scarcely have any
hope of the salvation of those who do not believe as they believe, and who
do not follow with them, have scarcely any religion, though in their own
apprehension none is so truly orthodox or religious as themselves” (= ‘Kasih’.
AGAPEEN. Kasih kepada seluruh umat manusia, bahkan kepada
penganiaya-penganiayamu: kasih kepada Allah dan saudara-saudara mereka miliki;
kasih kepada seluruh umat manusia juga harus mereka miliki. Agama yang benar
tidaklah egois ataupun terisolasi; dimana kasih Allah ada, kefanatikan
tidak bisa ada. Orang-orang yang sempit / picik, egois, dan orang-orang dari
suatu kelompok / golongan, yang hampir tidak mempunyai pengharapan apapun
tentang keselamatan dari mereka yang tidak percaya seperti mereka percaya,
dan yang tidak mengikuti bersama mereka, hampir tidak mempunyai agama, sekalipun
dalam pengertian mereka sendiri tidak ada yang begitu sungguh-sungguh ortodox
atau religius seperti diri mereka sendiri).
Catatan:
bagian yang saya garis bawahi itu membahayakan! Apakah kita harus percaya bahwa
orang agama lain juga selamat? Tetapi saya yakin bukan itu yang dimaksudkan oleh
Clarke, karena ia jelas mempercayai Yesus sebagai satu-satunya jalan ke surga.
Mungkin maksudnya, orang-orang itu tidak memberitakan Injil kepada orang-orang
non Kristen, karena menganggap orang-orang itu toh tak ada harapan untuk
diselamatkan.
Bahwa
Adam Clarke memang mempercayai Yesus sebagai satu-satunya jalan ke surga
terlihat dari komentarnya tentang Kis 4:12 - “Dan keselamatan tidak ada di
dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak
ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat
diselamatkan.’”.
Adam
Clarke (tentang Kis 4:12): “Not
only no other person, but no name except that divinely appointed one, Matt 1:21,
by which salvation from sin can be expected - none given under heaven - no other
means ever devised by God himself for the salvation of a lost world. All
other means were only subordinate, and referred to him, and had their efficacy
from him alone. He was the Lamb slain from the foundation of the world; and
no man ever came, or can come, to the Father but by him” (=
Bukan hanya tidak ada pribadi yang lain, tetapi tidak ada nama kecuali yang
ditetapkan secara ilahi, Mat 1:21, oleh mana keselamatan dari dosa bisa
diharapkan - tidak ada yang diberikan di bawah kolong langit - tidak ada jalan /
cara yang pernah dipikirkan / direncanakan oleh Allah sendiri untuk keselamatan
dari dunia yang terhilang. Semua cara / jalan yang lain hanya lebih rendah,
dan menunjuk kepada Dia, dan mempunyai kemujaraban mereka dari Dia saja. Ia
adalah Anak Domba yang disembelih sejak penciptaan dunia; dan tidak
pernah ada orang yang datang, atau bisa datang, kepada Bapa kecuali oleh Dia).
Catatan:
bagian yang saya garis-bawahi mungkin menunjuk pada keselamatan dalam Perjanjian
Lama, dimana mereka kelihatannya diselamatkan oleh korban-korban binatang dsb,
padahal semua itu menunjuk kepada Yesus Kristus, dan mendapatkan kemujaraban
dari Dia saja.
The
Bible
Exposition Commentary: New Testament: “But
there is more to Christian growth than brotherly love; we must also have the
sacrificial love that our Lord displayed when He went to the cross. The kind of
love (‘charity’) spoken of in 2 Peter 1:7 is agape love, the kind of love
that God shows toward lost sinners. This is the love that is described in 1 Cor
13, the love that the Holy Spirit produces in our hearts as we walk in the
Spirit (Rom 5:5; Gal 5:22). When we have brotherly love, we love because of our
likenesses to others; but with agape love, we love in spite of the differences
we have” [= Tetapi di sana ada
lebih banyak pertumbuhan Kristen dari kasih persaudaraan; kita juga harus
mempunyai kasih yang berkorban yang Tuhan kita tunjukkan pada waktu Ia pergi ke
salib. Jenis kasih yang dibicarakan dalam 2Pet 1:7 adalah kasih AGAPE, jenis
kasih yang Allah tunjukkan kepada orang-orang berdosa yang terhilang. Ini adalah
kasih yang digambarkan dalam 1Kor 13, kasih yang Roh Kudus hasilkan dalam hati
kita pada waktu kita berjalan dalam Roh (Ro 5:5; Gal 5:22). Pada waktu kita
mempunyai kasih persaudaraan, kita mengasihi karena kemiripan kita dengan
orang-orang lain; tetapi dengan kasih AGAPE, kita mengasihi sekalipun kita
mempunyai perbedaan-perbedaan].
d)
Menjadi serupa dengan Kristus tak berarti kehilangan keunikan /
kepribadian kita.
The
Bible
Exposition Commentary: New Testament: “God
wants us to be ‘conformed to the image of His Son’
(Rom 8:29). ... And the amazing thing is this: as the image of Christ is
reproduced in us, the process does not destroy our own personalities. We
still remain uniquely ourselves! One of the dangers in the church today is
imitation. People have a tendency to become like their pastor, or like a church
leader, or perhaps like some ‘famous Christian.’ As they do this, they
destroy their own uniqueness while failing to become like Jesus Christ. They
lose both ways! just as each child in a family resembles his parents and yet
is different, so each child in God’s family comes more and more to resemble
Jesus Christ and yet is different. Parents don’t duplicate themselves, they
reproduce themselves; and wise parents permit their children to be themselves” [= Allah menghendaki kita untuk menjadi ‘serupa dengan gambar AnakNya’
(Ro 8:29). ... Dan hal yang mengherankan adalah ini: pada waktu gambar Kristus
direproduksi dalam diri kita, proses itu tidak menghancurkan kepribadian kita
sendiri. Kita tetap unik! Salah satu dari bahaya-bahaya dalam gereja
jaman sekarang adalah peniruan. Orang-orang mempunyai kecenderungan untuk
menjadi seperti pendeta mereka, atau seperti seorang pemimpin gereja, atau
mungkin seperti beberapa ‘orang Kristen yang termasyhur’. Pada waktu mereka
melakukan hal ini mereka menghancurkan keunikan mereka sendiri sementara mereka
gagal untuk menjadi seperti Yesus Kristus. Mereka kehilangan kedua-duanya!
sama seperti setiap anak dalam suatu keluarga menyerupai orang tuanya tetapi
tetap berbeda (satu dengan yang
lain), demikian juga setiap anak dalam
keluarga Allah makin lama makin menyerupai Yesus Kristus tetapi tetap berbeda (satu
dengan yang lain). Orang tua tidak
menggandakan / menduplikat diri mereka sendiri, mereka mereproduksi diri mereka
sendiri; dan orang tua yang bijaksana mengijinkan anak-anak mereka untuk menjadi
diri mereka sendiri].
Ro 8:29 - “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga
ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya, supaya
Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara”.
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali