(Jl.
Dinoyo 19b, lantai 3)
Rabu,
16 April 2008, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(7064-1331 /
6050-1331)
11)
‘seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh
anak-anaknya’ (ay 4).
KJV: ‘One that ruleth well his own
house, having his children in subjection with all gravity;’ (= Seseorang
yang memerintah rumah / keluarganya dengan baik, yang anak-anaknya tunduk dengan
semua kesungguhan / keseriusan).
RSV: ‘He must manage his own household
well, keeping his children submissive and respectful in every way;’ (= Ia
harus mengatur rumah tangganya dengan baik, menjaga anak-anaknya tunduk dan
hormat dalam setiap cara / jalan).
NIV: ‘He must manage his own family well and see that
his children obey him with proper respect’ (= Ia harus mengatur keluarganya sendiri dengan baik dan mengusahakan
supaya anak-anaknya mentaatinya dengan hormat yang seharusnya).
NASB: ‘He must be one who manages his own household
well, keeping his children under control with all dignity’ (= Ia haruslah seseorang yang mengatur rumah
tangganya dengan baik, menjaga anak-anaknya di bawah kontrol dengan semua
kewibawaan).
Lenski
mengatakan (hal 586) bahwa ini tidak berarti bahwa seorang penatua harus
mempunyai anak, tetapi kalau ia mempunyai anak, maka anak-anaknya harus tunduk
kepadanya.
Alasan
dari persyaratan ini diberikan dalam ay 5nya: ‘Jikalau seorang tidak
tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat mengurus Jemaat
Allah?’.
Catatan: kata ‘jemaat’ seharusnya adalah ‘gereja’.
Matthew
Henry: “He
must be one who keeps his family in good order: That rules well his own house,
that he may set a good example to other masters of families to do so too, and
that he may thereby give a proof of his ability to take care of the church of
God: For, if a man know not how to rule his own house, how shall he take care of
the church of God. Observe, The families of ministers ought to be examples of
good to all others families. Ministers must have their children in subjection;
then it is the duty of ministers’ children to submit to the instructions that
are given them. - ‘With all gravity.’ The best way to keep inferiors in
subjection, is to be grave with them. Not having his children in subjection with
all austerity, but with all gravity” [= Ia haruslah seseorang yang menjaga
/ memelihara keluarganya dalam tata tertib yang baik: Yang memerintah keluarga /
rumahnya sendiri dengan baik, sehingga ia bisa memberikan teladan yang baik
kepada kepala keluarga yang lain untuk juga berbuat seperti itu, dan supaya
dengan itu ia bisa memberi bukti tentang kemampuannya untuk mengurus gereja
Allah: Karena, jika seseorang tidak tahu bagaimana memerintah rumah /
keluarganya sendiri, bagaimana ia akan mengurus gereja Allah. Perhatikan,
Keluarga dari pendeta / pelayan harus menjadi teladan kebaikan bagi semua
keluarga-keluarga yang lain. Pendeta / pelayan harus mempunyai anak-anak yang
tunduk kepadanya; dan karena itu maka merupakan kewajiban dari anak-anak pendeta
/ pelayan untuk tunduk pada instruksi-instruksi yang diberikan kepada mereka. -
‘dengan semua kesungguhan / keseriusan’ (KJV). Cara terbaik untuk
menjaga orang-orang yang lebih rendah untuk tunduk adalah dengan bersikap
sungguh-sungguh / serius terhadap mereka. Bukan membuat anak-anaknya tunduk
dengan semua kekerasan, tetapi dengan semua kesungguhan / keseriusan].
Catatan:
a)
Ini tak berarti bahwa seorang pendeta / penatua tidak boleh bergurau
dengan anak-anaknya dan harus selalu bersikap serius. Dalam keadaan normal tentu
boleh saja bergurau dengan anak-anak. Tetapi pada waktu mereka berbuat sesuatu
yang salah, dan kita sebagai orang tua menegur / memarahi mereka, kita harus
bersikap sungguh-sungguh / serius. Jangan menegur sambil tertawa / tersenyum,
tak peduli kesalahan mereka itu kelihatan lucu!
b)
Ini juga tidak berarti bahwa sikap keras sama sekali tidak boleh ada.
Bandingkan dengan:
·
Amsal 13:24
- “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa
mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya”.
·
Amsal 23:13-14
- “(13) Jangan menolak didikan dari anakmu ia tidak akan mati kalau engkau
memukulnya dengan rotan. (14) Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau
menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati”.
·
Amsal 29:15
- “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan
mempermalukan ibunya”.
Dalam
Kitab Suci kita melihat banyak tokoh yang betul-betul gagal dengan keluarga /
anak-anaknya. Misalnya Eli dan anak-anaknya (1Sam 2:12-17,22-25), dan
demikian juga Samuel dan anak-anaknya (1Sam 8:1-5). Sekalipun Eli dan
Samuel bukanlah penatua, tetapi jelas mereka adalah pemimpin gereja dalam
Perjanjian Lama, dan karena itu, hal seperti itu tak seharusnya terjadi dalam
diri mereka.
Juga
Daud, orang yang begitu saleh, mempunyai banyak anak yang brengsek. Amnon (anak
sulungnya) memperkosa adiknya tirinya sendiri, yaitu Tamar, lalu Absalom
membunuh Amnon, dan Absalom memberontak terhadap Daud / bapaknya sendiri, dan
melakukan hubungan sex dengan gundik-gundik Daud di depan seluruh Israel (2Sam
13-18).
Juga
Yakub, mempunyai banyak anak yang brengsek, seperti Yehuda (bdk Kej 38),
dan juga Simeon dan Lewi yang melakukan pembunuhan massal (bdk. Kej 34),
dan juga Ruben yang melakukan incest dengan Bilha / ibu tirinya (Kej 35:22).
Saya
percaya bahwa Eli, Samuel, Yakub, dan Daud mempunyai anak-anak yang brengsek
karena kesalahan mereka sendiri. Ada yang karena tak bisa mendidik anak-anaknya,
dan ada yang karena mereka melakukan polygamy.
Tetapi
bisa saja seseorang mempunyai keluarga yang brengsek bukan karena kesalahan
mereka. Sebagai contoh adalah Nuh, yang mempunyai anak yang brengsek, yaitu Ham
(Kej 9:21-27). Juga Ayub, yang istrinya brengsek (Ayub 2:9-10). Dan demikian
juga dengan Hosea, yang istrinya lari darinya dan melacur (Hos 1-3).
Lalu
bagaimana dengan Paulus sendiri? Banyak orang menganggap Paulus tidak pernah
menikah, dan karena itu tidak pernah mempunyai anak-anak / keluarga. Tetapi
benarkah itu? Perhatikan komentar-komentar di bawah ini:
Barclay
(tentang 1Kor 7:3-7):
“We may be as fairly certain that at some time Paul had been married.
(i) We may be certain of that on general grounds. He was a Rabbi and it was his
own claim that he had failed in none of the duties which Jewish law and
tradition laid down. Now orthodox Jewish belief laid down the obligation of
marriage. If a man did not marry and have children, he was said to have ‘slain
his posterity,’ ‘to have lessened the image of God in the world.’ Seven
were said to be excommunicated from heaven, and the list began, ‘A Jew who has
no wife; or who has a wife but no children.’ God had said, ‘Be fruitful and
multiply,’ and, therefore, not to marry and not to have children was to be
guilty of breaking a positive commandment of God. The age of marriage was
considered to be eighteen; and therefore it is in the highest degree unlikely
that so devout and orthodox a Jew as Paul once was would remained unmarried.
(ii) On particular grounds there is also evidence that Paul was married. He must
have been a member of the Sanhedrin for he says that he gave his vote against
the Christians. (Acts 26:10). It was a regulation that members of the
Sanhedrin must be married men, because it was held that married men were more
merciful. It may be that Paul’s wife died; it is even more likely that she
left him and broke up his home when he became a Christian” [= Kita
bisa hampir pasti bahwa ada saat dimana Paulus menikah. (i) Kita bisa pasti
tentang hal itu berdasarkan beberapa hal. Ia adalah seorang rabi, dan merupakan
claimnya sendiri bahwa ia tidak gagal dalam kewajiban apapun yang diberikan oleh
hukum dan tradisi Yahudi. Kepercayaan orthodox Yahudi memberikan kewajiban untuk
menikah. Jika seseorang tidak menikah dan mempunyai anak-anak, ia dikatakan
telah ‘membunuh keturunannya’, ‘mengurangi gambar Allah dalam dunia’.
Ada 7 orang yang dikucilkan dari surga, dan daftar itu dimulai dengan ‘Seorang
Yahudi yang tak mempunyai istri; atau mempunyai istri tetapi tidak mempunyai
anak-anak’. Allah telah berfirman, ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak’,
dan karena itu, tidak menikah dan tidak mempunyai anak-anak merupakan suatu
kesalahan yang melanggar perintah yang positif dari Allah. Usia dimana seseorang
menikah adalah 18 tahun; dan karena itu sangat kecil kemungkinannya bahwa
seorang Yahudi yang begitu berbakti dan orthodox seperti Paulus tidak pernah
menikah. (ii) Berdasarkan hal-hal khusus / tertentu juga ada bukti bahwa Paulus
pernah menikah. Ia pasti dulunya merupakan anggota dari Sanhedrin karena ia
berkata bahwa ia memberikan suaranya menentang orang-orang kristen (Kis 26:10). Merupakan
suatu peraturan bahwa anggota-anggota dari Sanhedrin harus adalah orang
laki-laki yang menikah, karena dipercaya bahwa orang yang menikah itu lebih
berbelas kasihan. Mungkin saja istri Paulus meninggal; lebih mungkin lagi bahwa
ia meninggalkan Paulus dan menceraikan keluarganya pada waktu Paulus menjadi
orang Kristen] - hal 60-61.
Kis 26:10
- “Hal itu kulakukan juga di Yerusalem. Aku bukan saja telah memasukkan
banyak orang kudus ke dalam penjara, setelah aku memperoleh kuasa dari imam-imam
kepala, tetapi aku juga setuju, jika mereka dihukum mati”.
Kata-kata ‘aku juga setuju’ yang saya garis bawahi itu
diterjemahkan secara agak berbeda dalam Kitab Suci bahasa Inggris.
KJV: ‘I gave my voice against them’ (= Aku memberikan suaraku
menentang mereka).
RSV/NIV/NASB: ‘I cast my vote against them’ (= Aku memberikan
suaraku menentang mereka).
Catatan: anehnya, kalau demikian Paulus seharusnya bukan
hanya mempunyai istri tetapi juga harus mempunyai anak. Mengapa ia tak pernah
cerita tentang hal itu?
F.
F. Bruce: “granted
that he was not married during his apostolic activity, had he ever been married?
It may be pointed out that marriage was normal and, indeed, expected in pious
Jews when they came of age. True, Jesus had spoken of certain exceptions - those
who, as he said, had ‘made themselves eunuchs for the sake of the kingdom of
heaven’ (Matthew 19:12) - among whom he may be included John the Baptist and
himself. But Paul was not presumable influenced by considerations of this kind
in his pre-Christian days. What then? Was he a widower? Perhaps he was: the
question has received a positive answer from Joachim Jeremias, for example.
Rather more probable is the view that his wife left him when he became a
Christian: that when he ‘suffered the loss of all things’ for the sake of
Christ he lost his wife too. This cannot be proved, of course, but if something
like this did happen it might explain Paul’s specially sympathetic
understanding of the domestic situation in which the unconverted partner walks
out on the husband or wife who has become a Christian: ‘in such case the
brother or sister is not bound’ (1Corinthians 7:15)” [= Diakui bahwa ia
tidak menikah / tidak mempunyai istri selama aktivitas rasulinya, tetapi apakah
ia pernah menikah sebelumnya? Perlu ditunjukkan bahwa pernikahan merupakan
sesuatu yang normal dan memang diharapkan dalam diri seorang Yahudi yang saleh
pada waktu mereka mencapai usia pernikahan. Memang, Yesus telah berbicara
tentang perkecualian-perkecualian tertentu - mereka yang, seperti Ia katakan,
telah membuat diri mereka sendiri orang kebiri / tak menikah demi kerajaan surga
(Matius 19:12) - di antara siapa Ia mungkin mencakup Yohanes Pembaptis dan
diriNya sendiri. Tetapi Paulus tidak bisa dianggap dipengaruhi oleh pertimbangan
seperti ini pada masa sebelum ia menjadi orang Kristen. Jadi bagaimana? Apakah
ia seorang duda? Mungkin ia memang seorang duda: pertanyaan ini telah
mendapatkan jawaban positif, misalnya dari Joachim Jeremias. Tetapi lebih
mungkin adalah pandangan bahwa istrinya meninggalkan dia pada saat ia menjadi
orang Kristen: sehingga pada waktu ia ‘menderita kerugian / kehilangan segala
sesuatu’ demi Kristus, ia kehilangan istrinya juga. Tentu saja ini tidak bisa
dibuktikan, tetapi jika sesuatu seperti ini memang terjadi, itu bisa menjelaskan
pengertian yang bersifat sipatik secara khusus dari Paulus tentang situasi rumah
tangga dimana pasangan yang tidak beriman meninggalkan suami atau istri yang
telah menjadi orang Kristen: ‘dalam hal yang demikian saudara atau saudari
tidak terikat’ (1Kor 7:15)] - ‘Paul Apostle of the Heart Set Free’,
hal 269-270.
1Kor 7:13-15
- “(13) Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman
dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan
laki-laki itu. (14) Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh
isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata
tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka
adalah anak-anak kudus. (15) Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau
bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari
tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai
sejahtera”.
Sekarang
mari kita perhatikan 1Kor 7:7, tetapi akan kita baca mulai 1Kor 7:1,
supaya terlihat seluruh kontextnya.
1Kor 7:1-7
- “(1) Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah
baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, (2) tetapi mengingat bahaya
percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap
perempuan mempunyai suaminya sendiri. (3) Hendaklah suami memenuhi
kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya. (4)
Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula
suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. (5) Janganlah kamu
saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu,
supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali
hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan
bertarak. (6) Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai
perintah. (7) Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku;
tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang
karunia ini, yang lain karunia itu”.
A. T. Robertson (tentang 1Kor 7:7): “‘Even
as I myself.’ ... This clearly means that Paul was not then married and it is
confirmed by 1 Cor. 9:5. Whether he had been married and was now a widower turns
on the interpretation of Acts 26:10 ‘I cast my vote.’ If this is taken
literally (the obvious way to take it) as a member of the Sanhedrin, Paul was
married at that time. There is no way to decide” [= ‘seperti aku’. ...
Ini secara jelas berarti bahwa pada saat itu Paulus tidak menikah / tidak
mempunyai istri, dan itu diteguhkan oleh 1Kor 9:5. Apakah ia dulunya pernah
menikah dan sekarang adalah seorang duda tergantung pada penafsiran dari Kis
26:10 ‘aku memberikan suaraku’. Jika ini diartikan secara hurufiah (cara
yang paling wajar untuk mengartikannya) sebagai seorang anggota Sanhedrin,
Paulus menikah pada saat itu. Tidak ada cara untuk memutuskan].
1Kor
9:5 - “Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen,
dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan
saudara-saudara Tuhan dan Kefas?”.
Vincent
(tentang 1Kor 7:7):
“‘As I myself.’ Not unmarried, but continent. It is not necessary to
assume that Paul had never been married. Marriage was regarded as a duty among
the Jews, so that a man was considered to have sinned if he had reached the age
of twenty without marrying. The Mishna fixed the age of marriage at seventeen or
eighteen, and the Babylonish Jews as early as fourteen. A rabbinical precept
declared that a Jew who has no wife is not a man. It is not certain, but most
probable, that Saul was a member of the Sanhedrim (Acts 26:10). If so, he must
have been married, as marriage was a condition of membership. From 1 Cor. 7:8
it is plausibly inferred that he classed himself among widowers” [=
‘seperti aku’. Bukannya tidak menikah, tetapi menahan diri / bertarak /
tidak menikah lagi. Tidak perlu diasumsikan bahwa Paulus tidak pernah menikah.
Pernikahan dianggap sebagai suatu kewajiban di antara orang-orang Yahudi,
sehingga seseorang dianggap telah berdosa jika ia telah mencapai usia pernikahan
tanpa menikah. Mishna menentukan usia pernikahan pada 17 atau 18 tahun, dan
orang-orang Yahudi Babilonia pada usia sedini 14 tahun. Suatu peraturan rabi
menyatakan bahwa seorang Yahudi yang tidak mempunyai istri bukanlah seorang
laki-laki. Memang tidak pasti, tetapi sangat mungkin, bahwa Saulus adalah
seorang anggota dari Sanhedrin (Kis 26:10). Jika demikian, ia pasti pernah
menikah, karena pernikahan merupakan suatu persyaratan keanggotaan. Dari 1Kor
7:8 bisa disimpulkan secara masuk akal bahwa ia menggolongkan dirinya sendiri di
antara duda-duda].
1Kor 7:8
- “Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku
anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku”.
Kalau
Paulus memang pernah menikah, mengapa ia tidak pernah bercerita tentang
istrinya? Ini membuat saya lebih condong bahwa istrinya bukannya mati (karena
kalau demikian, tak perlu ada keseganan untuk bercerita tentang istrinya),
tetapi menceraikannya pada waktu ia menjadi orang Kristen (dalam hal ini ia
tidak mau bercerita tentang istrinya karena tidak mau menjelekkan istrinya).
Sekarang
mari kita bandingkan 1Tim 3:4 ini dengan Tit 1:6, yang juga merupakan
persyaratan penatua.
Tit 1:6
- “yakni orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang
anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh
atau hidup tidak tertib”.
Kalau
dalam 1Tim 3:4 hanya ditekankan supaya anak-anak itu tunduk dan hormat /
taat kepada orang tuanya, maka di sini ditekankan anak-anak itu harus beriman
dan tidak hidup secara brengsek.
Taylor
(tentang Tit 1:6):
“But is it in the power of any minister or man to have faithful
children? May not a good man, even a minister, have most graceless children?
Every man must endeavour that his children may have the grace of faith, though
it is outside of his power; but every good man has within his power to instruct
his children in the doctrine of faith, and also in outward order to make them
conformable, in some measure, to that profession, as long as they abide under
his roof. And if the Lord afterwards (for some secret and unknown reason) shows
by leaving them that he has no delight in them, such a father may comfort his
conscience in that he has used the best means for their good” [= Tetapi
apakah itu ada dalam kuasa dari pendeta manapun untuk mempunyai anak-anak yang
setia / beriman? Tidak bisakah seorang yang baik / saleh, bahkan seorang
pendeta, mempunyai anak-anak yang brengsek? Setiap orang harus berusaha supaya
anak-anaknya mempunyai kasih karunia dari iman, sekalipun itu berada di luar
kekuasaannya, tetapi setiap orang yang baik / saleh bisa mengajar anak-anaknya
dalam ajaran iman, dan juga dalam keteraturan lahiriah untuk membuat mereka
sesuai, dalam ukuran tertentu, dengan pengakuan itu, selama mereka tinggal di
rumanya. Dan jika Tuhan setelah itu (karena alasan yang rahasia dan tak
diketahui) menunjukkan bahwa Ia tidak berkenan kepada mereka dengan meninggalkan
mereka, maka bapa seperti itu bisa menghibur hati nuraninya dalam hal dimana ia
telah menggunakan cara-cara yang terbaik untuk kebaikan anak-anaknya] - ‘Exposition
of Titus’, hal 97-98.
Saya
berpendapat bahwa kata-kata di atas ini harus sangat dipertimbangkan. Di satu
sisi memang kita melihat adanya orang tua yang sama sekali tidak bisa mendidik
anak secara kristen. Yang seperti itu memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi
penatua. Tetapi di sisi lain, sebagai orang-orang Reformed yang mempercayai
doktrin tentang predestinasi, kita tahu bahwa anak-anak kita bisa beriman atau
tidak, bukan tergantung kita ataupun anak-anak itu sendiri, tetapi tergantung
Tuhan. Bandingkan dengan Ishak (dan Ribka), yang sementara anak-anak kembarnya
masih ada dalam kandungan, sudah mendapatkan Firman Tuhan bahwa anak yang satu,
yaitu Esau, ditolak oleh Tuhan (bdk. Ro 9:10-13). Tidak peduli Ishak dan Ribka
menjadi orang tua sebaik apa, tidak peduli bagaimana tekunnya mereka menginjili
dan mendoakan Esau, semua itu tidak akan mengubah ketetapan Allah itu. Memang
tak ada penatua yang bisa tahu anak-anak mereka termasuk orang-orang pilihan
atau tidak. Tetapi kalau ternyata anak-anak mereka bukanlah orang-orang pilihan
Allah, maka bagaimanapun baiknya mereka melakukan pendidikan kristen terhadap
anak-anak mereka, termasuk mendoakan dan memberikan teladan yang baik kepada
anak-anak itu, anak-anak itu tetap tidak akan menjadi orang percaya yang
sungguh-sungguh.
Sebaliknya,
ada kemungkinan ada orang tua yang sebetulnya tidak terlalu nggenah dalam
mendidik anak-anaknya, tetapi karena anak-anak itu adalah orang-orang pilihan
Allah, maka anak-anak itu menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh. Ini
terlihat dari misalnya raja Abiam yang jahat bisa mempunyai anak raja Asa yang
saleh (1Raja 15:1-15).
Kalau
kita harus memilih antara 2 orang tua ini, yang seperti Ishak / Ribka, atau yang
terakhir (yang seperti Abiam), untuk menjadi tua-tua, kita memilih yang mana?
Jadi,
menurut saya, yang lebih penting adalah apakah orang tua itu sudah melakukan
yang terbaik untuk menjadikan anak-anak mereka orang Kristen yang baik atau
tidak.
Penerapan: Persyaratan ini harus diperhatikan bukan hanya di
rumah atau pada saat bepergian, tetapi juga harus diperhatikan dalam gereja /
kebaktian / acara gereja apapun. Semua jemaat, tetapi khususnya penatua /
penginjil / pendeta, harus bisa mengendalikan anak-anaknya supaya tidak ribut
dalam gereja / kebaktian / acara gereja tersebut!
12)
‘Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan ia menjadi
sombong dan kena hukuman Iblis’ (ay 6).
a)
Ia tak boleh adalah orang baru, karena hal itu bisa menyebabkan dia
menjadi sombong.
Homer
A. Kent Jr.:
“The overseer must not be a new convert. Maturity in the faith is
essential. The Ephesian church at this time had been in existence at least twelve
years, and spiritually mature men could be found. In the case of Crete, such a
qualification was not given Titus (Titus 1) because it was apparently a new work
and the ideal could not be insisted upon. Today, there is scarcely any
excuse for placing a novice in situations of such responsibility, inasmuch as
Christianity has spread to an extent that qualified men are more readily
available” [= Penilik jemaat tidak boleh orang yang baru bertobat.
Kematangan dalam iman merupakan sesuatu yang hakiki. Gereja Efesus pada saat ini telah ada selama sedikitnya 12 tahun, dan
orang-orang yang matang secara rohani bisa didapatkan. Dalam kasus dari Kreta,
persyaratan seperti itu tidak diberikan kepada Titus (Titus 1) karena itu jelas
merupakan suatu pekerjaan yang baru dan keadaan ideal tidak bisa dipaksakan.
Jaman sekarang, hampir tidak ada alasan untuk menempatkan orang baru dalam
situasi dari tanggung jawab seperti itu, karena kekristenan telah tersebar
sampai pada tingkat dimana orang-orang yang memenuhi syarat tersedia dengan
lebih mudah] - ‘The Pastoral Epistles’, hal 130.
Catatan:
·
Saya tak terlalu yakin dengan bagian yang saya beri
garis bawah tunggal! Jaman sekarang mayoritas gereja-gereja tidak mempunyai
Injil yang benar, sehingga jangankan mencari ‘orang Kristen yang dewasa dalam
iman’, mencari yang ‘asal kristen yang sungguh-sungguh’ saja sudah sukar
sekali!
·
Tetapi yang ingin saya tekankan dari kutipan ini
adalah bagian yang saya beri garis bawah ganda. Kalau kata-kata Kent ini memang
benar, itu berarti syarat-syarat dari penatua ini memang tidak mutlak, karena
dalam kasus Kreta, dimana Titus melayani, karena gereja itu masih baru, maka
persyaratan yang diberikan kepada Timotius ini ditiadakan.
Matthew
Henry: “He
must not be a novice, not one newly brought to the Christian religion, or not
one who is but meanly instructed in it, who knows no more of religion than the
surface of it, for such a one is apt to be lifted up with pride: the more
ignorant men are the more proud they are: ‘Lest, being lifted up with pride,
he fall into the condemnation of the devil.’ The devils fell through pride,
which is a good reason why we should take heed of pride, because it is a sin
that turned angels into devils” (= Ia tidak boleh adalah seorang baru,
bukan seseorang yang baru dibawa pada agama Kristen, atau bukanlah seseorang
yang hanya diajar secara buruk dalam agama Kristen, yang mengetahui tentang
agama tidak lebih dari permukaannya saja, karena orang seperti itu adalah
orang yang condong untuk diangkat dengan kesombongan: makin orang-orang tidak
tahu apa-apa, makin sombong mereka: ‘agar jangan ia menjadi sombong dan kena
hukuman Iblis’. Iblis jatuh melalui kesombongan, yang merupakan alasan yang
baik mengapa kita harus berhati-hati dengan kesombongan, karena itu adalah dosa
yang mengubah malaikat-malaikat menjadi setan-setan).
Saya
setuju dengan kata-kata Matthew Henry ini, yang bukan hanya menekankan bahwa
orang itu bukan orang yang baru bertobat, tetapi juga menekankan bahwa orang itu
harus tahu banyak tentang kekristenan / Firman Tuhan.
Wycliffe
Bible Commentary: “Pride. Puffed up by too rapid advancement” (=
Sombong. menjadi bengkak / gembung / sombong oleh kemajuan yang terlalu cepat).
Banyak
gereja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan persyaratan ini, seperti:
1.
Mengangkat orang yang baru bertobat atau bahkan belum bertobat untuk
menjadi tua-tua, KARENA IA ADALAH ORANG KAYA / berkedudukan tinggi. Ini adalah
gereja yang tidak peduli pada Alkitab dan hanya peduli dengan uang!
2.
Kalau ada seorang kyai bertobat, misalnya seperti Jusuf Rony, maka orang
itu langsung dijadikan pengkhotbah / pendeta, sekalipun ia baru bertobat!
Perlu
diingat bahwa kyai itu, sekalipun mengerti banyak tentang Islam, tetapi tidak
mengerti apa-apa tentang kekristenan. Jadi, ia harus belajar dulu sebelum
diangkat menjadi tua-tua, apalagi pengkhotbah / pendeta! Ini sama seperti
seorang dokter yang pindah ke bagian hukum, tentu tidak bisa dijadikan pengacara
tanpa sekolah hukum.
3.
Juga kalau ada seorang paranormal yang terkenal, atau seorang penyanyi
terkenal, atau bintang film terkenal, yang bertobat, lalu terjadi hal yang sama.
Ingat bahwa ketenaran seseorang tak ada hubungannya dengan dunia Kristen,
khususnya dalam pelayanan dan pemberitaan Firman Tuhan! Kalau orang itu hanya
diminta untuk mensharingkan pertobatannya, maka itu tentu saja tidak
apa-apa. Tetapi kalau ia dijadikan seorang pemberita Firman, maka itu merupakan
suatu kegilaan!
b) ‘dan kena hukuman Iblis’.
1. Kata
‘Iblis’ berasal dari kata Yunani DIABOLOS.
Barclay:
“The word DIABOLOS has two meanings. It means ‘devil,’ and that is
the way in which the Revised Standard Version has taken it here; but it also
means ‘slanderer.’ It is in fact the word used for ‘slanderer’ in verse
11, where the women are forbidden to be slanderers” (= Kata DIABOLOS
mempunyai dua arti. Itu berarti ‘Iblis’, dan itu adalah arti yang diambil
oleh Revised Standard Version di sini; tetapi kata itu juga berarti
‘pemfitnah’. Dalam faktanya, itu merupakan kata yang digunakan untuk
‘pemfitnah’ dalam ay 11, dimana perempuan-perempuan dilarang untuk
menjadi pemfitnah) - hal 74.
Merupakan
sesuatu yang menarik bahwa kata DIABOLOS bisa diterjemahkan sebagai ‘Iblis’
maupun ‘pemfitnah’. Ini perlu diperhatikan oleh orang-orang yang
suka memfitnah, dan juga oleh orang-orang yang suka mendengarkan fitnahan!
Orang-orang yang suka memfitnah tak berbeda dengan Iblis sendiri, dan
orang-orang yang suka mendengarkan fitnahan adalah sama dengan orang-orang
yang suka mendengarkan Iblis!
Adanya
kemungkinan untuk menterjemahkan kata DIABOLOS sebagai ‘pemfitnah’
menyebabkan ada kemungkinan untuk tidak menterjemahkan ‘kena hukuman
Iblis’ tetapi ‘kena hukuman pemfitnah’. Dan lalu muncul
penafsiran sebagai berikut:
Barclay:
“So then this phrase may mean that the recent convert, who has been
appointed to office, and has acquired, as we say, a swelled head, gives
opportunity to the slanderers. His unworthy conduct is ammunition for those who
are ill-disposed to the Church” (= Maka ungkapan ini bisa berarti bahwa
petobat baru itu, yang telah ditetapkan pada jabatan, dan telah mendapatkan,
seperti kita katakan, kepala yang membengkak, memberikan kesempatan pada
pemfitnah-pemfitnah. Tingkah lakunya yang tidak layak merupakan amunisi bagi
mereka yang mempunyai kecondongan buruk / jahat kepada Gereja) - hal 74.
Tetapi
jarang, kalau ada, penafsir lain yang menganggap bahwa di sini kata DIABOLOS
harus diterjemahkan ‘pemfitnah’. Boleh dikatakan semua mengambil terjemahan
‘Iblis’. Kalau demikian, maka ini merupakan salah satu dari sangat sedikit
ayat yang berbicara tentang kejatuhan setan / Iblis.
Adam
Clarke: “From
these words of the apostle we are led to infer that pride or self-conceit was
the cause of the Devil’s downfall” (= Dari kata-kata sang rasul ini kita
dibimbing untuk menyimpulkan bahwa kesombongan atau kecongkakan adalah penyebab
kejatuhan Iblis).
Memang
Yes 14 dan Yeh 28 sering dianggap membicarakan kejatuhan Iblis, tetapi
sebetulnya kedua text itu sama sekali tidak berurusan dengan kejatuhan Iblis
tersebut! Yes 14 membicarakan raja Babel, sedangkan Yeh 28
membicarakan raja Tirus!
2.
Kata-kata ‘hukuman Iblis’ menunjuk pada ‘hukuman dari
Iblis’, atau ‘hukuman Allah kepada Iblis’?
Pulpit
Commentary (hal 52) mengambil pandangan pertama, dan ia menafsirkan bahwa ‘hukuman
Iblis’ berarti ‘the condemnation or accusation of the devil’
(= penghukuman atau tuduhan dari Iblis).
Tetapi
Lenski (hal 588-589) mengambil pandangan kedua, karena ia berkata bahwa
penghukuman / penghakiman tidak pernah diberikan kepada Iblis. Allahlah yang
menghakimi / menghukum! Saya setuju dengan Lenski.
Penerapan: Bandingkan ini dengan kesaksian banyak orang Kristen
yang pergi ke neraka dan mengatakan bahwa di sana mereka melihat setan menyiksa
orang-orang yang masuk ke neraka! Ini jelas bertentangan dengan Kitab Suci, dan
karena itu atau ini merupakan bualan murahan, atau ini adalah penglihatan dari
setan!
3. Arti
kata-kata ini.
Lenski:
“The devil’s judgment is specific: God’s judgment on his pride. Into
that very judgment which has long ago been pronounced upon the devil the
conceited novice might easily fall in his pride” (= Penghukuman Iblis itu
spesifik: penghukuman Allah terhadap kesombongannya. Ke dalam penghukuman yang
telah diumumkan pada jaman dulu kepada Iblis itulah orang baru itu bisa dengan
mudah jatuh dalam kesombongannya) - hal 589.
13)
‘Hendaklah ia juga mempunyai nama baik di luar jemaat, agar jangan
ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis’ (ay 7).
Kalau ia mempunyai nama buruk, maka Iblis
pasti akan menggunakan hal itu sebagai jerat / bahan untuk menyerang orang itu
dan gerejanya, dan bahkan seluruh kekristenan.
Ada penafsir-penafsir, seperti Adam Clarke,
dan Jamieson, Fausset & Brown, yang menganggap bahwa dalam kehidupan orang
itu sebelum ia menjadi Kristenpun tidak boleh ada skandal atau hal-hal buruk
yang memalukan. Kalau hal buruk itu pernah ada, bahkan sebelum ia menjadi
Kristen, maka sekalipun ia boleh melayani Tuhan, tetapi ia tidak boleh menjadi
tua-tua / pendeta.
Saya berpendapat ini adalah penafsiran yang
tolol. Kalau memang demikian, bagaimana dengan Paulus sendiri? Dia dulunya
adalah seorang penganiaya gereja, seorang penghujat dan sebagainya. Tetapi ia
bukan hanya menjadi penatua / pendeta, tetapi bahkan menjadi rasul.
Saya berpendapat bahwa orang yang dulunya
brengsek sekali, kalau ia menjadi Kristen dan bisa mempunyai kehidupan yang
sungguh-sungguh dikuduskan, akan merupakan seorang saksi yang baik sekali bagi
Tuhan!
Tetapi
kalau ada orang Kristen yang mempunyai nama buruk, harus diperiksa apakah orang
itu mempunyai nama buruk karena ia memang buruk, atau karena fitnahan. Paulus
juga mempunyai nama buruk sebagai seorang pengacau, tetapi itu terjadi karena
fitnahan.
Kis 16:19-21
- “(19) Ketika tuan-tuan perempuan itu melihat, bahwa harapan mereka akan
mendapat penghasilan lenyap, mereka menangkap Paulus dan Silas, lalu menyeret
mereka ke pasar untuk menghadap penguasa. (20) Setelah mereka membawa keduanya
menghadap pembesar-pembesar kota itu, berkatalah mereka, katanya: ‘Orang-orang
ini mengacau kota kita ini, karena mereka orang Yahudi, (21) dan mereka
mengajarkan adat istiadat, yang kita sebagai orang Rum tidak boleh menerimanya
atau menurutinya.’”.
Kis 17:5-7
- “(5) Tetapi orang-orang Yahudi menjadi iri hati dan dengan dibantu oleh
beberapa penjahat dari antara petualang-petualang di pasar, mereka mengadakan
keributan dan mengacau kota itu. Mereka menyerbu rumah Yason dengan maksud untuk
menghadapkan Paulus dan Silas kepada sidang rakyat. (6) Tetapi ketika mereka
tidak menemukan keduanya, mereka menyeret Yason dan beberapa saudara ke hadapan
pembesar-pembesar kota, sambil berteriak, katanya: ‘Orang-orang yang
mengacaukan seluruh dunia telah datang juga ke mari, (7) dan Yason menerima
mereka menumpang di rumahnya. Mereka semua bertindak melawan ketetapan-ketetapan
Kaisar dengan mengatakan, bahwa ada seorang raja lain, yaitu Yesus.’”.
Juga
nama buruk bisa terjadi, justru karena orang Kristen itu tidak mau berkompromi
dengan dunia, atau karena orang Kristen itu memberitakan Injil, dan sebagainya.
Ini bisa menyebabkan ia dianggap sebagai fanatik, picik, dan sebagainya.
Catatan: tidak
ada persyaratan kaya, tetapi ini merupakan persyaratan yang disenangi banyak
gereja / pendeta dalam memilih tua-tua! Juga banyak gereja memilih tua-tua dari
antara jemaat yang tidak aktif, dengan tujuan supaya setelah dipilih, mereka
menjadi aktif. Semua ini jelas salah dan sangat tidak Alkitabiah.
Sesuatu yang perlu dibedakan adalah: gereja
yang dengan terpaksa memilih orang-orang yang tak terlalu memenuhi syarat
untuk menjadi tua-tua, karena memang tak ada yang memenuhi syarat yang bisa
dipilih, dan karenanya gereja itu berusaha memilih orang-orang yang sedekat
mungkin dengan yang memenuhi persyaratan ini. Kasus ini harus dibedakan dengan
gereja yang dalam memilih tua-tua, betul-betul tak mempedulikan
persyaratan-persyaratan ini!
-o0o-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali