Pemahaman Alkitab

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

(Jl. Dinoyo 19b, lantai 3)  

Rabu, 9 April 2008, pk 19.00

Pdt. Budi Asali, M. Div.

(7064-1331 / 6050-1331)

 

I Timotius 3:1-7(3)

 

6)         ‘suka memberi tumpangan’ (ay 2b).

KJV: ‘given to hospitality’ (= suka memberi tumpangan).

 

Matthew Henry: “He must be given to hospitality, open-handed to strangers, and ready to entertain them according to his ability (= Ia harus suka memberi tumpangan, terbuka bagi orang-orang asing, dan siap untuk menjamu mereka sesuai dengan kemampuannya).

 

Adam Clarke: “He must be given to hospitality; philoxenon, literally, a lover of strangers; one who is ready to receive into his house and relieve every necessitous stranger” (= Ia harus suka memberi tumpangan; PHILOXENON, secara hurufiah, ‘pecinta orang asing’; seseorang yang siap untuk menerima dalam rumahnya dan meringankan beban dari setiap orang asing yang membutuhkan).

 

Lenski: “It does not mean to entertain and to feast friends or even the poor but to take in Christian strangers or acquaintances when these are traveling, or when they are fleeing from persecutions and often are without means of any kind. ... There was much travel everywhere in the empire, which helped the spread of the gospel immensely. Christian travelers would want to lodge with Christians and to receive their trustworthy aid in whatever business they had. Christian hospitality was a great blessing to them. Persecution made fugitives who were often in great need. Then other cases such as poverty, sickness, the need of some widow and some orphan would afford opportunity for hospitality” [= Itu tidak berarti menjamu dan memestakan teman-teman atau bahkan orang-orang miskin, tetapi menerima orang-orang Kristen baik orang asing atau kenalan, pada waktu mereka sedang menempuh perjalanan, atau pada waktu mereka sedang lari dari penganiayaan dan sering tanpa harta apapun. ... Ada banyak perjalanan dimana-mana dalam kekaisaran (Romawi), yang sangat membantu penyebaran injil. Orang Kristen yang menempuh perjalanan menginginkan tempat penginapan bersama orang-orang kristen dan menerima bantuan yang dapat dipercaya dalam kesibukan / pekerjaan apapun yang mereka punyai. Pemberian tumpangan Kristen merupakan berkat yang besar bagi mereka. Penganiayaan membuat pelarian-pelarian sering berada dalam kebutuhan yang besar. Lalu kasus-kasus lain seperti kemiskinan, kesakitan, kebutuhan dari sebagian janda dan anak-anak yatim juga membuka kesempatan bagi pemberian tumpangan] - hal 583.

 

Memberi tumpangan memang merupakan sesuatu yang diperintahkan dan dipuji dalam banyak ayat Kitab Suci seperti:

 

Juga tak boleh dilupakan kata-kata / nubuat dari Kristus dalam Mat 25:35,38,40,43-45 - “(35) Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ... (38) Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? ... (40) Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. ... (43) ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku. (44) Lalu merekapun akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau? (45) Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.

 

Catatan: dalam jaman dimana banyak penjahat menyamar sebagai orang miskin atau bahkan sebagai orang Kristen yang membutuhkan bantuan, harus membuat kita SANGAT waspada / berhati-hati dalam menjalankan perintah ini. Jangan mempercayai seadanya orang, bahkan yang mengaku Kristen, atau mengaku sebagai orang yang diusir oleh keluarga gara-gara menjadi orang Kristen dsb! Sudah ada sangat banyak penipuan seperti itu! Jangan membiarkan kasih / keinginan kita untuk membantu orang lain dimanfaatkan orang-orang jahat yang ingin menipu. Kasih tidak harus bodoh atau membiarkan dirinya dimanfaatkan orang / ditipu orang!

 

7)         ‘cakap mengajar orang’ (ay 2).

KJV: ‘apt to teach’ (= cocok / suka untuk mengajar).

RSV: ‘an apt teacher’ (= seorang pengajar yang tepat / tangkas / cocok).

NIV/NASB: ‘able to teach’ (= bisa mengajar).

Bdk. 2Tim 2:24 - “sedangkan seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar”.

Catatan: kata Yunani yang digunakan dalam 2Tim 2:24 sama persis dengan yang digunakan dalam 1Tim 3:2 ini, yaitu DIDAKTIKON.

 

Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa kata Yunani di sini seharusnya diterjemahkan ‘teachable’ (= bisa diajar), dan dengan demikian menunjukkan kerendahan hati yang harus ada dalam diri seorang penatua. Tetapi kebanyakan penafsir menganggap bahwa arti / terjemahan yang benar bukanlah ‘teachable’ (= bisa diajar), tetapi ‘able to teach’ (= bisa mengajar) seperti dalam terjemahan NIV/NASB. Tetapi perlu juga diingat bahwa kalau ia bukan seorang yang bisa diajar maka saya yakin ia juga tidak akan bisa mengajar, karena untuk bisa mengajar seseorang harus mau belajar. Apalagi untuk seorang pendeta, ia harus terus belajar kalau ia memang mau terus mengajar! Karena itu seorang pendeta / pengkhotbah / pengajar firman harus membatasi pelayanannya, supaya ia tetap mempunyai waktu yang cukup untuk belajar!

 

Pulpit Commentary: “The pastor must have the capacity to impart Christian knowledge, the ability to interpret Scripture, to explain its doctrine, to enforce its precepts, and to defend it against errorists of every class” (= Pendeta / gembala harus mempunyai kapasitas / kecakapan untuk memberikan pengetahuan Kristen, kemampuan untuk menafsirkan Kitab Suci, menjelaskan doktrin-doktrin / ajaran-ajarannya, memberi argumentasi untuk menguatkan peraturan-peraturan / perintah-perintah / ajaran-ajarannya, dan mempertahankannya terhadap orang-orang salah dari setiap golongan) - hal 58.

Catatan: bandingkan kata-kata ini dengan pendeta yang mengajar jemaatnya untuk tidak berdebat! Bdk. 1Pet 3:15 - “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”.

 

Matthew Henry: “Apt to teach. Therefore this is a preaching bishop whom Paul describes, one who is both able and willing to communicate to others the knowledge which God has given him, one who is fit to teach and ready to take all opportunities of giving instructions, who is himself well instructed in the things of the kingdom of heaven, and is communicative of what he knows to others” (= ‘cocok / suka untuk mengajar’. Karena itu ini adalah seorang uskup yang berkhotbah yang digambarkan oleh Paulus, seseorang yang mampu dan mau untuk menyampaikan kepada orang-orang lain pengetahuan yang telah Allah berikan kepadanya, seseorang yang cocok untuk mengajar dan siap untuk mengambil semua kesempatan untuk memberikan instruksi / pengajaran, yang dirinya sendiri telah diajar dengan baik dalam hal-hal dari kerajaan surga, dan yang suka membicarakan apa yang ia ketahui kepada orang-orang lain).

 

Adam Clarke: “He should be apt to teach; didaktikon, one capable of teaching; not only wise himself, but ready to communicate his wisdom to others. One whose delight is, to instruct the ignorant and those who are out of the way. He must be a preacher; an able, zealous, fervent, and assiduous preacher. He is no Bishop who has health and strength, and yet seldom or never preaches; i. e. if he can preach - if he have the necessary gifts for the office” [= Ia harus orang yang cocok / suka untuk mengajar; DIDAKTIKON, seseorang yang mampu untuk mengajar; bukan hanya dirinya sendiri yang berhikmat, tetapi siap untuk menyampaikan hikmatnya kepada orang-orang lain. Seseorang yang kesenangannya adalah, untuk mengajar orang-orang yang tidak tahu dan mereka yang ada di luar jalan (kekristenan). Ia harus merupakan seorang pengkhotbah; seorang pengkhotbah yang mampu, bersemangat, bersungguh-sungguh dan rajin / tekun. Ia bukanlah seorang Uskup kalau ia hanya mempunyai kekayaan dan kekuatan tetapi jarang atau tidak pernah berkhotbah; yaitu jika ia bisa berkhotbah - jika ia mempunyai karunia-karunia yang dibutuhkan untuk tugas / jabatan itu].

 

Barnes’ Notes: “‘Apt to teach.’ ... that is, capable of instructing, or qualified for the office of a teacher of religion. As the principal business of a preacher of the gospel is to teach, or to communicate to his fellow-men the knowledge of the truth, the necessity of this qualification is obvious. No one should be allowed to enter the ministry who is not qualified to impart instruction to others on the doctrines and duties of religion; and no one should feel that he ought to continue in the ministry, who has not industry, and self-denial, and the love of study enough to lead him constantly to endeavor to increase in knowledge, that he may be qualified to teach others. A man who would teach a people, must himself keep in ADVANCE of them on the subjects on which he would instruct them” (= ‘Cocok / suka untuk mengajar’. ... yaitu mampu untuk mengajar, atau memenuhi syarat bagi tugas / jabatan dari seorang guru / pengajar agama. Karena kesibukan utama dari seorang pengkhotbah injil adalah mengajar, atau menyampaikan kepada sesamanya pengetahuan tentang kebenaran, perlunya persyaratan ini merupakan sesuatu yang jelas. Tak seorangpun boleh diijinkan masuk ke dalam pelayanan kalau ia tidak memenuhi syarat untuk memberikan pengajaran kepada orang-orang lain tentang doktrin-doktrin / ajaran-ajaran dan kewajiban-kewajiban dari agama; dan tak seorangpun boleh merasakan bahwa ia harus terus ada dalam pelayanan, kalau ia tidak mempunyai kerajinan, dan penyangkalan diri, dan kecintaan belajar yang cukup untuk membimbing dia secara terus menerus untuk berusaha meningkatkan pengetahuannya, sehingga ia bisa memenuhi syarat untuk mengajar orang-orang lain. Seseorang yang mau mengajar orang-orang, harus menjaga agar dirinya sendiri lebih maju dari mereka dalam hal tentang mana ia mau mengajar mereka).

 

Karena itu saya menganggap bahwa syarat tua-tua / penatua adalah rajin belajar Firman Tuhan / rajin ikut Pemahaman Alkitab. Perlu juga diingat bahwa tugasnya adalah membimbing jemaat, berarti mendorong jemaat untuk rajin belajar Firman Tuhan. Bagaimana ia bisa mendorong jemaat untuk rajin belajar Firman Tuhan, kalau ia sendiri tidak datang dalam Pemahaman Alkitab?

 

William Hendriksen: “though all the overseers must have this ability in a certain degree, so that they can counsel those who seek their advice, some have received greater or different talents than others. Hence, even in Paul’s day the work of the elders was divided, so that, while all took part in ruling the church, some were entrusted with the responsibility of laboring in the word and in teaching (1Tim 5:17). Accordingly the distinction arose between those overseers who today are generally called ‘ministers’ and those who are simply called ‘elders.’” [= sekalipun semua penilik jemaat harus mempunyai kemampuan ini dalam tingkat tertentu, sehingga mereka bisa membimbing orang-orang yang mencari nasehat dari mereka, sebagian telah menerima talenta-talenta yang lebih besar atau berbeda dari yang lain. Karena itu, bahkan pada jaman Paulus pekerjaan dari tua-tua dibagi, sehingga sementara semua ambil bagian dalam pemerintahan gereja, bebarapa dipercayai dengan tanggung jawab untuk berjerih payah dalam firman dan pengajaran (1Tim 5:17). Sesuai dengan hal itu muncul perbedaan antara penilik-penilik jemaat yang pada jaman sekarang biasanya disebut ‘pendeta-pendeta’ dan mereka yang hanya disebut ‘tua-tua’.] - hal 124.

 

1Tim 5:17 - “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar.

 

8)         ‘bukan peminum’ (ay 3).

KJV: ‘Not given to wine’ (= Tidak suka / cenderung pada anggur).

RSV: ‘no drunkard’ (= bukan pemabuk).

NIV: not given to drunkenness (= tidak suka mabuk).

NASB: not addicted to wine (= tidak mencandu pada anggur).

 

Yang dilarang bukan sekedar minum anggur. Itu tak pernah dilarang dalam Kitab Suci. Yang dilarang adalah minum berlebihan sehingga mabuk!

 

Barnes’ Notes: “It cannot be inferred, from the use of the word here, that wine was absolutely and entirely prohibited; for the word does not properly express that idea. It means that one who is in the HABIT of drinking wine, or who is accustomed to sit with those who indulge in it, should not be admitted to the ministry” (= Dari penggunaan kata di sini tidak bisa disimpulkan bahwa anggur dilarang secara mutlak dan sepenuhnya; karena kata itu tidak menyatakan gagasan itu. Itu hanya berarti bahwa seseorang yang mempunyai kebiasaan minum anggur, atau yang terbiasa untuk duduk dengan mereka yang menuruti keinginannya dalam hal itu, tidak seharusnya diterima dalam pelayanan).

 

Catatan: ini tentu bukan hanya berlaku untuk anggur tetapi seadanya minuman yang memabukkan / menghilangkan kesadaran / penguasaan diri. Dan saya setuju kalau ini juga diterapkan pada narkotika.

 

9)         ‘bukan pemarah melainkan peramah, pendamai’ (ay 3).

RSV/NIV: ‘not violent but gentle, not quarrelsome’ (= tidak suka bertindak kasar tetapi lemah lembut, tidak suka bertengkar).

NASB: or pugnacious, but gentle, uncontentious (= atau suka berkelahi, tetapi lemah lembut, suka bertengkar).

KJV: ‘no striker, not greedy of filthy lucre; but patient, not a brawler’ (= bukan seorang yang suka memukul, bukan seorang yang tamak pada uang yang kotor; tetapi sabar, bukan seorang yang suka bercekcok).

Catatan: Bagian yang saya garis-bawahi dalam KJV seharusnya tidak ada, dan kebanyakan penafsir menganggap kata-kata ini tidak asli. Clarke menduga bahwa ini diambil dari 1Tim 3:8 (yang merupakan persyaratan diaken). Mungkin mereka menganggap bahwa kalau diaken saja diberi persyaratan seperti ini, maka tua-tua tentu juga harus. Tetapi menambahi seperti ini sama sekali tidak perlu, karena dalam persyaratan berikutnya (ay 3 akhir) ada ‘bukan hamba uang’ dan itu tak terlalu berbeda dengan apa yang ditambahkan di sini dalam KJV. Dengan ditambahkan seperti dalam KJV, justru terjadi penumpukan 2 yang tidak perlu karena kedua persyaratan itu sebetulnya sama.

 

Ada 3 kata yang dipersoalkan dalam bagian ini. Kata yang pertama menunjuk pada gegeran secara fisik / berkelahi, sedangkan kata ketiga menunjuk pada gegeran dengan mulut. Kata yang kedua menunjukkan sifat yang seharusnya ada dalam diri penatua.

Ketiga hal di atas ini sudah jelas artinya, dan karena itu tak perlu diuraikan / dibahas lebih lanjut. Saya lebih ingin membahas hal yang berkebalikan, supaya hal-hal ini jangan ditekankan secara extrim. Perlu ditekankan bahwa ‘tak suka bertengkar’ tidak berarti orang Kristen / penatua / pendeta tidak boleh gegeran / marah sama sekali! Kalau ada orang-orang yang mengatakan bahwa orang Kristen / penatua / pendeta secara mutlak tak boleh bertengkar / gegeran, maka mereka harus memperhatikan fakta-fakta ini:

 

a)   Yesus sendiri pernah marah, seperti:

·         dalam kasus penyucian Bait Allah (Yoh 2:13-dst  Mat 21:12-13).

·         dalam kasus Ia ‘menyerang’ ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dengan kata-kata yang sangat keras dalam Mat 23.

·         dalam Mark 3:5 - “Ia berdukacita karena kedegilan mereka dan dengan marah Ia memandang sekelilingNya kepada mereka lalu Ia berkata kepada orang itu: ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan ia mengulurkannya, maka sembuhlah tangannya itu”.

·         dan sebagainya.

 

b)   Dalam kasus tertentu ‘tidak marah’ justru dikecam, dan ‘marah’ justru dipuji.

Wah 2:2 - “Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta”.

2Kor 11:4 - “Sebab kamu sabar saja, jika ada seorang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang telah kami beritakan, atau memberikan kepada kamu roh yang lain dari pada yang telah kamu terima atau Injil yang lain dari pada yang telah kamu terima”.

 

c)      Kebenaran harus diutamakan dari pada ‘damai’!

Yak 3:17 - “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik”.

Mari kita memperhatikan hanya 2 hal yang pertama saja.

1.            Murni.

Murni berarti tidak ada campuran / kotoran. Campuran / kotoran itu bisa merupakan motivasi yang salah, atau keti­dakbenaran.

Dalam Yak 3:17 itu dikatakan pertama-tama murni’, dan ini menunjukkan bahwa tanpa kemurnian, hal-hal yang lain di bawahnya tidak akan terjadi.

2.            Pendamai.

Ini menunjuk pada orang yang:

·         tak senang mencari gara-gara / permusuhan.

·         tak senang membalas kejahatan dengan kejahatan.

·         tak senang mengadu domba, tetapi sebaliknya senang menda­maikan.

Tetapi perlu diingat bahwa ‘pendamai’ ini bukannya orang yang lebih senang kompromi dari pada gegeran, pada saat dimana gegeran itu sebetulnya dibutuhkan. Misalnya pada saat kita melihat ada korupsi atau pengajaran sesat dalam gereja. Ingat bahwa yang dinomer-satukan adalah ‘murni’, dan karena itu, dalam mempertahankan kemurnian itu bisa saja kita terpaksa harus mengorbankan perdamaian!

Pada waktu Martin Luther melihat adanya begitu banyak ajaran dan praktek yang salah dari gereja Roma Katolik pada saat itu, apakah ia tetap memelihara perdamaian? Tidak, tetapi sebaliknya ia memakukan 95 thesisnya di pintu gereja Witten­berg, dan ini akhirnya menimbulkan perpecahan dalam gereja! Beranikah saudara menyalahkan Martin Luther dan menganggap­nya sebagai orang yang tidak cinta damai?

 

Thomas Manton: “If the chiefest care must be for purity, then peace may be broken in truth’s quarrel. It is a zealous speech of Luther that rather heaven and earth should be blended together in confusion than one jot of truth perish” (= Jika perhatian yang paling utama adalah untuk kemurnian, maka damai boleh dihancurkan dalam pertengkaran kebenaran. Merupakan suatu ucapan yang bersemangat dari Luther bahwa lebih baik langit dan bumi bercampur aduk menjadi satu dari pada satu titik kebenaran binasa).

 

Calvin (tentang Ef 5:11): “But rather than the truth of God shall not remain unshaken, let a hundred worlds perish” (= Tetapi dari pada kebenaran Allah tergoncangkan, lebih baik seratus dunia binasa).

 

10)       ‘bukan hamba uang’ (ay 3).

KJV: ‘not covetous;’ (= tidak tamak).

RSV: ‘no lover of money’ (= bukan pecinta uang).

NIV: not a lover of money (= bukan seorang pecinta uang).

NASB: free from the love of money (= bebas dari cinta uang).

 

Calvin: All covetous persons are wickedly desirous of gain; for, wherever covetousness is, there will also be that baseness of which the apostle speaks. “He who wishes to become rich wishes also to become rich soon.” The consequence is, that all covetous persons, even though this is not openly manifest, apply their minds to dishonest and unlawful gains (= Semua orang tamak menginginkan keuntungan dengan jahat; karena dimanapun ada ketamakan, di sana juga ada kejelekan yang dibicarakan oleh sang rasul. ‘Ia yang ingin untuk menjadi kaya juga ingin untuk menjadi kaya dengan cepat’. Konsekwensinya adalah bahwa semua orang tamak, sekalipun ini tidak dinyatakan secara terbuka, menggunakan pikiran mereka pada keuntungan yang tidak jujur dan tidah sah).

 

Matthew Henry: “Not covetous. Covetousness is bad in any, but it is worst in a minister, whose calling leads him to converse so much with another world” (= ‘Tidak tamak’. Ketamakan itu buruk dalam diri siapapun, tetapi itu paling buruk dalam diri seorang pendeta, yang panggilannya membimbingnya untuk hidup begitu banyak dengan dunia yang lain).

 

Adam Clarke: “He must not be covetous; aphilarguron, not a lover of money; not desiring the office for the sake of its emoluments. He who loves money will stick at nothing in order to get it. Fair and foul methods are to him alike, provided they may be equally productive. For the sake of reputation he may wish to get all honourably; but if that cannot be, he will not scruple to adopt other methods. A brother pagan gives him this counsel: ‘Get money if thou canst by fair means; if not, get it by hook and by crook.’” (= Ia tidak boleh tamak; aphilarguron, bukan seorang pecinta uang; tidak menginginkan jabatan itu demi honorariumnya. Ia yang mencintai uang tidak akan terpancang pada apapun demi mendapatkan uang itu. Metode yang jujur / adil dan kotor baginya adalah sama, asal keduanya sama-sama menghasilkan. Demi reputasi / nama baik ia bisa berharap untuk mendapatkan semua itu dengan cara terhormat; tetapi jika itu tidak bisa, ia tidak akan keberatan untuk mengadopi metode-metode yang lain. Seorang kafir memberinya nasehat ini: ‘Dapatkanlah uang dengan cara yang jujur jika engkau bisa; jika tidak, dapatkanlah itu dengan cara yang bengkak-bengkok’).

 

Barnes’ Notes: “there is nothing that more certainly paralyzes the usefulness of a minister of the gospel than the love of money. There is an instinctive feeling in the human bosom that such a man ought to be actuated by a nobler and a purer principle. As avarice, moreover, is the great sin of the world - the sin that sways more hearts, and does more to hinder the progress of the gospel, than all others combined - it is important in the highest degree that the minister of religion should be an example of what men should be, and that he, by his whole life, should set his face against that which is the main obstruction to the progress of that gospel which he is appointed to preach” (= tidak ada apapun yang secara pasti lebih melumpuhkan kegunaan dari seorang pelayan injil dari cinta uang. Ada suatu perasaan yang bersifat naluri dalam dada manusia bahwa orang seperti itu seharusnya digerakkan oleh suatu prinsip yang lebih mulia dan lebih murni. Tetapi lebih lagi, karena ketamakan adalah dosa yang besar dari dunia - dosa yang mempengaruhi lebih banyak hati, dan lebih menghalangi kemajuan injil, dari semua dosa-dosa lain digabungkan - adalah hal yang terpenting bahwa seorang pelayan / pendeta dari agama harus menjadi seorang teladan tentang bagaimana manusia itu seharusnya, dan bahwa ia, oleh seluruh hidupnya, harus mengarahkan wajahnya menentang apa yang merupakan halangan utama bagi kemajuan injil yang ditetapkan baginya untuk dikhotbahkan).

 

Cinta uang ini bisa membawa ke dalam bermacam-macam dosa, dan bahkan bisa menyebabkan penatua / pendeta mengkomersialkan pelayanannya.

 

Bandingkan dengan 1Tim 6:6-10 - “(6) Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. (7) Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. (8) Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. (9) Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. (10) Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.

 

Syarat ini bertentangan dengan ciri-ciri dari nabi-nabi palsu yang cinta uang. Tetapi jangan lupa bahwa nabi asli juga adalah manusia berdosa. Jadi bisa saja nabi asli juga mata duitan. Tetapi bagaimanapun, nabi asli tetap punya tujuan untuk memuliakan Tuhan. Tetapi kalau nabi palsu, ia betul-betul hanya peduli uang, dan tak peduli kemuliaan Tuhan sama sekali. Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

 

Contohnya banyak terdapat dalam diri pendeta-pendeta yang memang menggunakan gereja menjadi bisnis! Ada pendeta-pendeta yang mematok tarif pada waktu mereka diundang, minta sekian juta dan sebagainya, masih ditambahi minta tidur di hotel bintang lima, minta dijemput dengan Mercy, dan sebagainya.

Contoh lain: pendeta yang bersikap baik (seperti mau berjerih payah memberikan counseling, mau mengunjungi dsb) kepada jemaat yang kaya, tetapi tidak kepada jemaat yang miskin! Memang sikap mata duitan ini biasanya menyebabkan ia punya ciri yang satu ini: ia baik / ramah kepada orang yang menguntungkannya secara materi, tetapi tidak kepada orang-orang yang tidak menguntungkannya.

 

Bdk. Mikha 3:5 - “Beginilah firman TUHAN terhadap para nabi, yang menyesatkan bangsaku, yang apabila mereka mendapat sesuatu untuk dikunyah, maka mereka menyerukan damai, tetapi terhadap orang yang tidak memberi sesuatu ke dalam mulut mereka, maka mereka menyatakan perang.

 

-bersambung-

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ

Channel Live Streaming Youtube :  bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali