oleh : Pdt. Budi Asali MDiv.
VIII.
KUTIPAN-KUTIPAN PENDUKUNG
Bahwa
apa yang saya ajarkan di atas memang adalah ajaran Calvinism / Reformed yang
sejati, dan bukannya ajaran Hyper-Calvinism, saya buktikan di bawah ini dengan
mengutip dari tulisan-tulisan John Calvin, dari Westminster Confession of
Faith (Pengakuan Iman dari gereja-gereja Presbyterian / Reformed di
Amerika), dan dari tulisan-tulisan para ahli Theologia Reformed.
Memang
dalam penjelasan / pelajaran di depan saya sudah banyak mengutip, tetapi itu
hanya sebagian kecil, dan di sini saya memberi kutipan-kutipan jauh lebih
banyak. Perlu saya tekankan sekali lagi bahwa tujuan saya memberikan
kutipan-kutipan yang banyak di bawah ini, bukanlah untuk membuktikan kebenaran
dari doktrin Providence of God ini. Bukti dan dasar Kitab Suci dari
doktrin Providence of God telah saya berikan di depan.
Saya
tidak memberikan kutipan-kutipan ini secara sistimatis, karena tujuan saya
memberikan kutipan-kutipan ini hanyalah untuk membuktikan bahwa doktrin Providence
of God yang saya ajarkan ini memang merupakan ajaran Refomed yang dipercaya
dan diajarkan oleh John Calvin dan ahli-ahli theologia Reformed yang lain, dan
bukannya merupakan Hyper-Calvinisme. Khususnya untuk orang-orang yang menganggap
saya sebagai Hyper-Calvinist atau menganggap ajaran saya sebagai
Hyper-Calvinisme, saya berharap saudara mau membaca kutipan-kutipan di bawah
ini.
John
Calvin, ‘Institutes of the Christian Religion’:
"God’s
providence, as it is taught in Scripture, is opposed to fortune and fortuitous
happenings" (= Providensia Allah, seperti yang diajarkan oleh Kitab Suci,
bertentangan dengan nasib baik dan kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan)
- Book I, Chapter XVI, no 2.
"But anyone
who has been taught by Christ’s lips that all the hairs of his head are
numbered (Matt 10:30) will look farther afield for a cause, and will consider
that all events are governed by God’s secret plan" [= Tetapi
setiap orang yang telah diajar oleh bibir Kristus bahwa semua rambut kepalanya
terhitung (Mat 10:30) akan melihat lebih jauh untuk suatu penyebab, dan akan
menganggap bahwa semua kejadian / peristiwa diatur oleh rencana rahasia Allah]
- Book I, Chapter XVI, no 2.
"For he is
deemed omnipotent, not because he can indeed act, yet sometimes ceases and sits
in idleness, or continues by a general impulse that order of nature which he
previously appointed; but because, governing heaven and earth by his providence,
he so regulates all things that nothing takes place without his deliberation"
(= Karena Ia dianggap mahakuasa, bukan karena Ia bisa sungguh-sungguh bertindak,
tetapi kadang-kadang berhenti dan duduk bermalas-malasan / tak berbuat apa-apa,
atau bertindak terus oleh suatu dorongan umum yang memerintah alam yang telah
lebih dulu Ia tetapkan; tetapi karena Ia memerintah langit dan bumi oleh
providensiaNya, dan Ia mengatur segala sesuatu sedemikian rupa sehingga tidak
ada suatu apapun yang terjadi tanpa pertimbanganNya) - Book I, Chapter XVI, no 3.
"...
providence means not that by which God idly observes from heaven what takes
place on earth, but that by which, as keeper of the keys, he governs all
events" (= ... providensia tidak berarti sesuatu dengan mana Allah dengan
bermalas-malasan / tak berbuat apa-apa mengawasi dari surga apa yang terjadi di
bumi, tetapi sesuatu dengan mana, seperti seorang penjaga kunci, Ia memerintah
segala kejadian / peristiwa) - Book I, Chapter XVI, no 4.
"... it is
certain that not one drop of rain falls without God’s sure command" (=
... adalah pasti bahwa tidak satu titik hujanpun yang jatuh tanpa perintah yang
pasti dari Allah) -
Book I, Chapter XVI, no 5.
"... nothing
at all in the world is undertaken without his determination, shows that things
seemingly most fortuitous are subject to him" (= ... sama sekali tidak ada
sesuatupun dalam dunia yang dilakukan / dijalankan tanpa penentuanNya,
menunjukkan bahwa hal-hal yang kelihatannya bersifat kebetulan tunduk kepadaNya)
- Book I, Chapter XVI, no 5.
"... we make
God the ruler and governor of all things, who in accordance with his wisdom has
from the farthest limit of eternity decreed what he was going to do, and now by
his might carries out what he has decreed. From this we declare that not only
heaven and earth and the inanimate creatures, but also the plans and intentions
of men, are so governed by his providence that they are borne by it straight to
their appointed end" (= ... kami membuat Allah pengatur dan pemerintah
segala sesuatu, yang sesuai dengan kebijaksanaanNya telah menetapkan sejak batas
terjauh dari kekekalan apa yang akan Ia lakukan, dan sekarang dengan kuasaNya
melaksanakan apa yang telah Ia tetapkan. Dari sini kami menyatakan bahwa bukan
hanya surga dan bumi dan makhluk tak bernyawa, tetapi juga rencana dan maksud
manusia begitu diperintah / diatur oleh providensiaNya sehingga mereka
dilahirkan olehnya langsung menuju tujuan yang ditetapkan bagi mereka)
- Book I, Chapter XVI, no 8.
"Does nothing
happen by chance, nothing by contingency? I reply: Basil the Great has truly
said that ‘fortune’ and ‘chance’ are pagan terms, with whose
significance the minds of the godly ought not to be occupied. For if every
success is God’s blessing, and calamity and adversity his curse, no place now
remains in human affairs for fortune or chance" (= Apakah tidak ada yang
terjadi secara kebetulan? Saya menjawab: Basil yang Agung secara benar telah
berkata bahwa ‘nasib baik’ dan ‘kebetulan’ adalah istilah kafir, dan
pikiran orang benar tidak seharusnya diisi dengan istilah itu. Karena jika
setiap sukses adalah berkat Allah, dan malapetaka dan kemalangan adalah
kutukanNya, tidak ada tempat tertinggal dalam hidup manusia untuk nasib baik
atau kebetulan) -
Book I, Chapter XVI, no 8.
"... thieves
and murderers and other evildoers are the instruments of divine providence, and
the Lord himself uses these to carry out the judgments that he has determined
with himself. Yet I deny that they can derive from this any excuse for their
evil deeds" (= ... pencuri dan perampok dan pembuat kejahatan yang lain
adalah alat dari providensia ilahi, dan Tuhan sendiri menggunakan mereka untuk
melaksanakan keputusan-keputusan yang telah Ia tentukan dengan diriNya sendiri.
Tetapi saya menyangkal bahwa mereka bisa mendapatkan dari sini alasan untuk
tindakan-tindakan mereka yang jahat) - Book I, Chapter XVII, no 5.
"God wills
that the false king Ahab be deceived; the devil offers his services to this end;
he is sent, with a definite command, to be a lying spirit in the mouth of all
the prophets (1Kings 22:20,22). If the blinding and insanity of Ahab be God’s
judgment, the figment of bare permission vanishes: because it would be
ridiculous for the Judge only to permit what he wills to be done, and not also
to decree it and to command its execution by his ministers" [= Allah
menghendaki bahwa raja Ahab yang tidak benar ditipu; setan menawarkan
pelayanannya untuk tujuan ini; ia dikirim, dengan perintah yang pasti, untuk
menjadi roh dusta dalam mulut semua nabi (1Raja 22:20,22). Jika pembutaan dan
kegilaan Ahab adalah penghakiman Allah, isapan jempol tentang ‘sekedar ijin’
hilang: karena adalah menggelikan bagi sang Hakim untuk hanya mengijinkan apa
yang Ia kehendaki untuk dilakukan, dan tidak juga menetapkannya dan
memerintahkan pelaksanaannya oleh pelayan-pelayanNya] - Book I, Chapter XVIII, no 1.
"Now the mode
of accommodation is for him to represent himself to us not as he is in himself,
but as he seems to us. Although he is beyond all disturbance of mind, yet he
testifies that he is angry toward sinners. Therefore whenever we hear that God
is angered, we ought not to imagine any emotion in him, but rather to consider
that this expression has been taken from our human experience; because God,
whenever he is exercising judgment, exhibits the appearance of one kindled and
angered. So we ought not to understand anything else under the word
‘repentance’ than change of action, ..." (= Cara penyesuaian adalah
dengan menyatakan diriNya sendiri kepada kita bukan sebagaimana adanya Ia dalam
diriNya sendiri, tetapi seperti Ia terlihat oleh kita. Sekalipun Ia ada di atas
segala gangguan pikiran, tetapi Ia menyaksikan bahwa Ia marah kepada orang-orang
berdosa. Karena itu setiap saat kita mendengar bahwa Allah marah, kita tidak
boleh membayangkan adanya emosi apapun dalam Dia, tetapi menganggap bahwa
pernyataan ini diambil dari pengalaman manusia; karena Allah, pada waktu Ia
melakukan penghakiman, menunjukkan diri seperti seseorang yang marah. Demikian
juga kita tidak boleh mengartikan apapun yang lain terhadap kata
‘penyesalan’ selain perubahan tindakan, ...)
- Book I, Chapter XVII, no 13.
"... neither
God’s plan nor his will is reversed, nor his volition altered; but what he had
from eternity foreseen, approved, and decreed, he pursues in uninterrupted
tenor, however sudden the variation may appear in men’s eyes" (= ... baik
rencana Allah maupun kehendakNya tidak berbalik, juga kemauanNya tidak berubah;
tetapi apa yang dari kekekalan telah Ia lihat lebih dulu, setujui / restui, dan
tetapkan, Ia ikuti / kejar dengan arah yang tak terganggu, betapapun mendadaknya
perubahan terlihat dalam pandangan manusia)
- Book I, Chapter XVII, no 13.
"Those who
are moderately versed in the Scriptures see that for the sake of brevity I have
put forward only a few of many testimonies. Yet from these it is more than
evident that they babble and talk absurdly who, in place of God’s providence,
substitute bare permission - as if God sat in a watchtower awaiting chance
events, and his judgments thus depended upon human will"(= Mereka yang
betul-betul mengetahui Kitab Suci melihat bahwa untuk singkatnya saya hanya
memberikan sedikit dari banyak kesaksian. Tetapi dari kesaksian-kesaksian ini
adalah lebih dari jelas bahwa mereka mengoceh dan berbicara secara menggelikan
yang, menggantikan providensia Allah dengan ‘sekedar ijin’ - seakan-akan
Allah duduk di menara pengawal menunggu kejadian-kejadian yang terjadi secara
kebetulan, dan dengan demikian penghakimanNya tergantung pada kehendak manusia)
- Book I, Chapter XVIII, no 1.
"Likewise in
Isaiah, He declares that he will send the Assyrians against the deceitful nation
and will command them ‘to take spoil and seize plunder’ (Isa 10:6) - not
because he would teach impious and obstinate men to obey him willingly, but
because he will bend them to execute his judgments, as if they bore his
commandments graven upon their hearts; from this it appears that they had been
impelled by God’s sure determination. I confess, indeed, that it is often by
means of Satan’s intervention that God acts in the wicked, but in such a way
that Satan performs his part by God’s impulsion and advances as far as he is
allowed" [= Demikian juga dalam Yesaya, Ia menyatakan bahwa Ia akan
mengirim orang Asyur terhadap bangsa yang berdusta dan akan memerintahkan mereka
‘untuk melakukan perampasan dan penjarahan’ (Yes 10:6) - bukan karena Ia
akan mengajar orang-orang jahat dan keras kepala untuk mentaatiNya secara
sukarela, tetapi karena Ia akan membengkokkan mereka untuk melaksanakan
penghakimanNya; seakan-akan mereka mempunyai perintahNya tertulis dalam hati
mereka; dari sini terlihat bahwa mereka dipaksa oleh penentuan yang pasti dari
Allah. Saya mengakui bahwa seringkali Allah bertindak dalam diri orang jahat
dengan menggunakan intervensi Setan, tetapi dengan cara sedemikian rupa sehingga
Setan melakukan bagiannya oleh dorongan Allah dan bergerak maju sejauh ia
diijinkan] - Book I,
Chapter XVIII, no 2.
"To sum up,
since God’s will is said to be the cause of all things, I have made his
providence the determination principle for all human plans and works, not only
in order to display its force in the elect, who are ruled by the Holy Spirit,
but also to compel the reprobate to obedience" (= Kesimpulannya, karena
kehendak Allah dikatakan sebagai penyebab dari segala sesuatu, saya telah
membuat providensiaNya suatu prinsip yang menentukan untuk semua rencana dan
pekerjaan manusia, bukan hanya untuk menunjukkan kekuatannya dalam diri orang
pilihan, yang dipimpin oleh Roh Kudus, tetapi juga untuk memaksa orang yang
ditetapkan binasa pada ketaatan) - Book I, Chapter XVIII, no 2.
"Yet God’s
will is not therefore at war with itself, nor does it change, nor does it
pretend not to will what he wills. But even though his will is one and simple in
him, it appears manifold to us because, on account of our mental incapacity, we
do not grasp how in divers ways it wills and does not will something to take
place. ... when we do not grasp how God wills to take place what he forbids to
be done, let us recall our mental incapacity, and at the same time consider that
the light in which God dwells is not without reason called unapproachable (1Tim
6:16), because it is overspread with darkness" [= Tetapi itu tidak
menyebabkan kehendak Allah berperang / bertentangan dengan dirinya sendiri, juga
tidak menyebabkan kehendak Allah itu berubah, atau hanya berpura-pura tidak
menghendaki apa yang Ia kehendaki. Tetapi sekalipun kehendakNya adalah satu dan
sederhana di dalam Dia, tetapi itu terlihat bermacam-macam bagi kita karena,
disebabkan oleh ketidakmampuan otak kita, kita tidak mengerti bagaimana dalam
cara yang berbeda kehendakNya menghendaki dan tidak menghendaki sesuatu untuk
terjadi. ... pada waktu kita tidak mengerti bagaimana Allah menghendaki terjadi
apa yang ia larang untuk dilakukan, biarlah kita mengingat ketidakmampuan otak
kita, dan pada saat yang sama memikirkan bahwa terang dimana Allah tinggal bukan
tanpa alasan disebut tak terhampiri (1Tim 6:16), karena itu dilingkupi dengan
kegelapan] - Book I, Chapter XVIII, no 3.
"... so that
in a wonderful and ineffable manner nothing is done without God’s will, not
even that which is against his will. For it would not be done if he did not
permit it, yet he does not unwillingly permit it, but willingly; nor would he,
being good, allow evil to be done, unless being also almighty he could make good
even out of evil" (= ... sehingga dalam cara yang indah dan tidak
terkatakan tidak ada sesuatupun yang terjadi tanpa kehendak Allah, bahkan apa
yang bertentangan dengan kehendakNya. Karena itu tidak akan terjadi jika Ia
tidak mengijinkannya, tetapi Ia tidak mengijinkannya dengan terpaksa, tetapi
dengan sukarela; dan Ia, karena Ia adalah baik, tidak akan mengijinkan kejahatan
terjadi, kecuali Ia, yang juga adalah mahakuasa, bisa membuat yang baik bahkan
dari hal yang jahat) - Book I, Chapter XVIII, no 3.
Catatan:
bagian ini dikutip oleh Calvin dari Agustinus.
‘Westminster Confession of Faith’:
Chapter
II, 1: "... God, ... working all
things according to the counsel of His own immutable and most righteous
will" (= ... Allah ... mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan rencana
dari kehendakNya sendiri yang tetap dan paling benar).
Chapter
III, 1: "God from all eternity, did,
by the most wise and holy counsel of His own will, freely, and unchangeably
ordain whatsoever comes to pass; yet so, as thereby neither is God the author of
sin, nor is violence offered to the will of the creatures; nor is the liberty or
contingency of second causes taken away, but rather established" (= Allah
dari sejak kekekalan, melakukan, oleh rencana dari kehendakNya sendiri yang
paling bijaksana dan suci, dengan bebas, dan dengan tidak berubah menetapkan
apapun yang akan terjadi; tetapi dengan demikian Allah bukan pencipta dosa, dan
tidak digunakan kekerasan / pemaksaan terhadap kehendak dari makhluk ciptaan;
juga kebebasan atau ketidakpastian / sifat tergantung dari penyebab kedua
tidaklah disingkirkan, tetapi sebaliknya diteguhkan).
Chapter
III, 2: "Although God knows
whatsoever may or can come to pass upon all supposed conditions, yet hath He not
decreed any thing because He foresaw it as future, or as that which would come
to pass upon such conditions" (= Sekalipun Allah mengetahui apapun yang
bisa terjadi dalam segala kondisi yang mungkin, tetapi Ia tidak menetapkan
sesuatupun karena Ia melihatnya lebih dulu sebagai masa depan, atau sebagai apa
yang akan terjadi dalam kondisi seperti itu).
Chapter
V, 1: "God the great Creator of all
things doth uphold, direct, dispose, and govern all creatures, actions, and
things, from the greatest even to the least, by His most wise and holy
providence, according to His infallible foreknowledge, and the free and
immutable counsel of His own will, to the praise of the glory of His wisdom,
power, justice, goodness, and mercy" (= Allah Pencipta yang besar dari
segala sesuatu menegakkan, mengarahkan, menentukan / mengatur, dan memerintah
semua makhluk ciptaan, tindakan dan benda-benda, dari yang terbesar bahkan
sampai kepada yang terkecil, oleh providensiaNya yang paling bijaksana dan
kudus, sesuai dengan pengetahuan-lebih-duluNya yang tidak bisa salah, dan
rencana kehendakNya sendiri yang bebas dan tetap / kekal, untuk memuji kemuliaan
dari hikmat, kuasa, keadilan, kebaikan, dan belas kasihanNya).
Chapter
V, 4: "The almighty power,
unsearchable wisdom, and infinite goodness of God so far manifest themselves in
His providence, that it extendeth itself even to the first fall, and all other
sins of angels and men; and that not by a bare permission, but such as hath
joined with it a most wise and powerful bounding, and otherwise ordering and
governing of them, in a manifold dispensation, to His own holy ends; yet so, as
the sinfulness thereof proceedeth only from the creature, and not from God, who,
being most holy and righteous, neither is nor can be the author or approver of
sin" (= Kemahakuasaan, hikmat yang tak terselami, dan kebaikan yang tak
terbatas dari Allah begitu jauh memanifestasikan dirinya dalam providensiaNya,
sehingga menjangkau bahkan kejatuhan pertama ke dalam dosa, dan semua dosa-dosa
lain dari malaikat dan manusia; dan itu bukan sekedar suatu ijin, tetapi
sedemikian rupa sehingga telah menggabungkan dengannya batasan yang paling
bijaksana dan kuat, dan selain itu menetapkan / mengatur dan menguasai mereka,
dalam berbagai-bagai pengaturan, untuk tujuanNya sendiri yang kudus; tetapi
dengan cara sedemikian rupa sehingga keberdosaan dari padanya keluar hanya dari
makhluk ciptaan, dan bukan dari Allah, yang karena keberadaanNya yang paling
kudus dan benar, bukanlah dan tidak bisa menjadi pencipta atau penyetuju /
perestu dosa).
Chapter
VI, 1: "Our first parents, being
seduced by the subtilty and temptation of Satan, sinned, in eating the forbidden
fruit. This their sin, God was pleased, according to His wise and holy counsel,
to permit, having purposed to order it to His own glory" (= Nenek moyang
kita yang pertama, setelah digoda oleh kelicinan / kelicikan dan pencobaan
Setan, berdosa dengan memakan buah terlarang. Dosa mereka ini, Allah berkenan,
menurut rencanaNya yang bijaksana dan kudus, mengijinkannya, setelah menetapkan
untuk menentukannya untuk kemuliaanNya sendiri).
‘The Larger Catechism’:
Question
12: "What are the decrees of
God?" (= Pertanyaan 12: Apakah ketetapan-ketetapan Allah itu?).
Answer:
"God’s decrees are the wise, free,
and holy acts of the counsel of His will, whereby, from all eternity, he hath,
for his own glory, unchangeably foreordained whatsoever comes to pass in time,
especially concerning angels and men" (= Jawab: Ketetapan-ketetapan Allah
adalah tindakan-tindakan dari rencana kehendakNya yang bijaksana, bebas dan
kudus, dengan mana dari sejak kekekalan, Ia telah, untuk kemuliaanNya sendiri,
menentukan secara tidak bisa berubah segala sesuatu yang akan terjadi dalam
waktu, khususnya berhubungan dengan malaikat dan manusia).
John Owen, ‘The Works of John Owen’, vol 10:
"Whatsoever
God hath determined, according to the counsel of his wisdom and good pleasure of
his will, to be accomplished, to the praise of his glory, standeth sure and
immutable" (= Apapun yang Allah telah tentukan, menurut rencana dari
hikmatNya dan kerelaan kehendakNya, untuk terjadi, untuk memuji kemuliaanNya,
berdiri teguh dan tetap / tak berubah) - hal 20.
"If God’s
determination concerning any thing should have a temporal original, it must
needs be either because he then perceived some goodness in it of which before he
was ignorant, or else because some accident did affix a real goodness to some
state of things which it had not from him; neither of which, without abominable
blasphemy, can be affirmed, seeing he knoweth the end from the beginning"
(= Jika penentuan Allah tentang sesuatu apapun mempunyai asal usul dalam waktu,
itu pasti disebabkan atau karena Ia pada saat itu melihat suatu kebaikan dalam
hal itu yang tidak diketahuiNya sebelumnya, atau karena ada suatu kecelakaan /
kebetulan yang melekatkan kebaikan sejati pada suatu keadaan yang tidak datang
dari Dia; yang manapun dari dua hal ini tidak bisa ditegaskan tanpa melakukan
suatu penghujatan yang menjijikkan, karena Ia mengetahui akhirnya dari semula) - hal 20.
"Out of this
large and boundless territory of things possible, God by his decree freely
determineth what shall come to pass, and makes them future which before were but
possible. After this decree, as they commonly speak, followeth, or together with
it, as others more exactly, taketh place, that prescience of God which they call
‘visionis,’ ‘of vision,’ whereby he infallibly seeth all things in their
proper causes, and how and when they shall some to pass" (= Dari daerah
yang besar dan tak terbatas dari hal-hal yang mungkin terjadi ini, Allah dengan
ketetapanNya secara bebas menentukan apa yang akan terjadi, dan membuat mereka
yang tadinya ‘mungkin terjadi’ menjadi ‘akan datang’. Pada umumnya orang
mengatakan bahwa setelah ketetapan ini, atau lebih tepat lagi, bersama-sama
dengan ketetapan itu, terjadilah ‘pengetahuan yang lebih dulu’ dari Allah
yang mereka sebut VISIONIS, ‘dari penglihatan’, dengan mana Ia, secara tidak
mungkin salah, melihat segala sesuatu dalam penyebabnya yang tepat, dan
bagaimana dan kapan mereka akan terjadi) - hal 23.
Louis
Berkhof, ‘Systematic Theology’:
"Reformed
Theology stresses the sovereignty of God in virtue of which He has sovereignly
determined from all eternity whatsoever will come to pass, and works His
sovereign will in His entire creation, both natural and spiritual, according to
His predetermined plan. It is in full agreement with Paul when he says that God
‘worketh all things after the counsel of His will’ (Eph 1:11)" [=
Theologia Reformed menekankan kedaulatan Allah atas dasar mana Ia secara
berdaulat telah menentukan dari sejak kekekalan apapun yang akan terjadi, dan
mengerjakan kehendakNya yang berdaulat dalam seluruh ciptaanNya, baik yang
bersifat jasmani maupun rohani, menurut rencanaNya yang sudah ditentukan
sebelumnya. Ini sesuai dengan Paulus pada waktu ia berkata bahwa Allah
‘mengerjakan segala sesuatu menurut keputusan kehendakNya’ (Ef 1:11)]
- hal 100.
"In the case
of some things God decided, not merely that they would come to pass, but that He
himself would bring them to pass, either immediately, as in the work of
creation, or through the mediation of secondary causes, which are continually
energized by His power. He himself assumes the responsibility for their coming
to pass. There are other things, however, which God included in His decree and
thereby rendered certain, but which He did not decide to effectuate Himself, as
the sinful acts of His rational creatures" (= Dalam kasus dari sebagian
hal, Allah memutuskan, bukan hanya bahwa mereka akan terjadi, tetapi bahwa Ia
sendiri akan menyebabkan mereka terjadi, baik secara langsung, seperti dalam
pekerjaan penciptaan, atau melalui perantaraan dari ‘penyebab kedua’, yang
secara terus menerus diberi kekuatan / diaktifkan oleh kuasaNya. Ia sendiri
bertanggung jawab atas terjadinya hal-hal itu. Tetapi ada hal-hal lain, yang
Allah masukkan dalam ketetapanNya dan dengan demikian dibuat jadi pasti, tetapi
yang Ia putuskan bahwa bukan Ia sendiri yang melaksanakannya, seperti
tindakan-tindakan berdosa dari makhluk-makhluk rasionilNya)
- hal 103.
"It is
customary to speak of the decree of God respecting moral evil as permissive. By
His decree God rendered the sinful actions of man infallibly certain without
deciding to effectuate them by acting immediately upon and in the finite will.
This means that God does not positively work in man ‘both to will and to
do’, when man goes contrary to His revealed will. It should be carefully
noted, however, that this permissive decree does not imply a passive permission
of something which is not under the control of the divine will. It is a decree
which renders the future sinful acts absolutely certain, but in which God
determines (a)not to hinder the sinful self-determination of the finite will;
and (b)to regulate and control the result of this sinful
self-determination" [= Merupakan kebiasaan untuk berbicara tentang
ketetapan Allah berkenaan dengan kejahatan moral sebagai bersifat mengijinkan.
Oleh ketetapanNya Allah membuat tindakan-tindakan berdosa dari manusia menjadi
pasti tanpa menetapkan untuk menyebabkan mereka terjadi dengan bertindak
langsung dan bertindak dalam kehendak terbatas (kehendak manusia) itu. Ini
berarti bahwa Allah tidak bekerja secara positif dalam manusia ‘baik untuk
menghendaki dan untuk melakukan’, pada waktu manusia berjalan bertentangan
dengan kehendakNya yang dinyatakan. Tetapi harus diperhatikan baik-baik bahwa
ketetapan yang bersifat mengijinkan tidak berarti suatu ijin pasif dari sesuatu
yang tidak ada di bawah kontrol dari kehendak ilahi. Itu merupakan suatu
ketetapan yang membuat tindakan berdosa yang akan datang itu pasti secara
mutlak, tetapi dalam mana Allah menentukan (a) tidak menghalangi keputusan yang
berdosa yang dilakukan sendiri oleh kehendak terbatas / kehendak manusia; dan
(b) mengatur dan mengontrol akibat / hasil dari keputusan berdosa ini]
- hal 105.
Robert
L. Dabney, ‘Lectures in Systematic Theology’:
"The decrees
of God are His eternal purpose according to the counsel of His will, whereby,
for His own glory, He hath foreordained whatsoever comes to pass" (=
Ketetapan-ketetapan Allah adalah rencana kekalNya menurut kehendakNya, dengan
mana, untuk kemuliaanNya sendiri, Ia telah menentukan lebih dulu apapun yang
akan terjadi) - hal
121.
"God’s
decree ‘foreordained whatsoever comes to pass’; there was no event in the
womb of the future, the futurition of which was not made certain to God by
it" [= Ketetapan Allah ‘menentukan lebih dulu apapun yang akan
terjadi’; tidak ada kejadian / peristiwa dalam kandungan masa yang akan
datang, yang terjadinya tidak dibuat pasti bagi Allah oleh ketetapan itu]
- hal 213.
"By calling
it permissive, we do not mean that their futurition is not certain to God; or
that He has not made it certain; we mean that they are such acts as He
efficiently brings about by simply leaving the spontaneity of other free agents,
as upheld by His providence, to work of itself, under incitements, occasions,
bounds and limitations, which His wisdom and power throw around. To this class
may be attributed all the acts of rational free agents, except such are evoked
by God’s own grace, and especially, all their sinful acts" (= Dengan
menyebutnya ‘mengijinkan’, kita tidak memaksudkan bahwa terjadinya hal-hal
itu tidak pasti bagi Allah; atau bahwa Ia belum membuatnya pasti; kita
memaksudkan bahwa mereka merupakan tindakan-tindakan yang Ia adakan / timbulkan
secara efisien dengan hanya membiarkan spontanitas dari agen-agen bebas lainnya,
seperti disokong oleh providensia-Nya, bekerja dari dirinya sendiri, di bawah
dorongan, kesempatan, ikatan dan pemba-tasan, yang disebarkan oleh hikmat dan
kuasaNya. Yang termasuk dalam golongan ini adalah semua tindakan dari agen bebas
berakal, kecuali tindakan yang ditimbulkan oleh kasih karunia Allah sendiri, dan
khususnya semua tindakan berdosa mereka) - hal
214.
B.
B. Warfield, ‘Biblical and Theological Studies’:
"Throughout
the Old Testament, behind the processes of nature, the march of history and the
fortunes of each individual life alike, there is steadily kept in view the
governing hand of God working out His preconceived plan - a plan broad enough to
embrace the whole universe of things, minute enough to concern itself with the
smallest details, and actualizing itself with inevitable certainty in every
event that comes to pass" (= Dalam sepanjang Perjanjian Lama, dibalik
proses alam, gerakan dari sejarah dan nasib dari setiap kehidupan, terus menerus
ditunjukkan tangan pemerintahan Allah yang melaksanakan rencana yang sudah
direncanakanNya lebih dulu - suatu rencana yang cukup luas untuk mencakup
seluruh alam semesta, cukup kecil / seksama untuk memperhatikan detail-detail
yang terkecil, dan mewujudkan dirinya sendiri dengan kepastian yang tidak dapat
dihindarkan / dielakkan dalam setiap peristiwa / kejadian yang terjadi)
- hal 276.
"an
all-inclusive plan embracing all that is to come to pass; in accordance with
which plan He now governs His universe, down to the least particular, so as to
subserve His perfect and unchanging purpose" (= suatu rencana yang mencakup
segala sesuatu yang akan terjadi; menurut rencana mana Ia sekarang memerintah
alam semesta, sampai pada hal tertentu yang terkecil, supaya mendukung rencana /
tujuanNya yang sempurna dan tak berubah)
- hal 278.
"According to
the Old Testament conception, God foreknows only because He has predetermined,
and it is therefore also that He brings it to pass; His foreknowledge, in other
words, is at bottom a knowledge of His own will, and His works of providence are
merely the execution of His all-embracing plan"
(= Menurut konsep Perjanjian Lama, Alah
mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena
itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini
pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri, dan pekerjaanNya
dalam providensia semata-mata merupakan pelaksanaan dari rencanaNya yang
mencakup segala sesuatu)
- hal 281.
"We are never
permitted to imagine, to be sure, that God is the author of sin, either in the
world at large or in any individual soul ... But neither is God’s relation to
the sinful acts of His creatures ever represented as purely passive ...
Nevertheless, it remains true that even the evil acts of the creature are so far
carried back to God that they too are affirmed to be included in His
all-embracing decree, and to be brought about, bounded and utilized in His
providential government. It is He that hardens the heart of the sinner that
persists in his sin (Ex. 4:21, 7:3, 10:1,27, 14:4,8, Deut 2:30, Jos 11:20, Isa
63:17); it is from Him that the evil spirits proceed that trouble sinners (1Sam.
16:14, Judg. 9:23, 1Kings 22, Job 1); it is of Him that the evil impulses that
rise in sinners’ hearts take this or that specific form (2Sam. 24:1)" [=
Tentu saja kita tidak pernah boleh membayangkan bahwa Allah adalah pencipta
dosa, baik dalam dunia secara umum atau dalam setiap jiwa individu manapun ...
Tetapi hubungan Allah dengan tindakan-tindakan berdosa dari makhluk-makhlukNya
tidak pernah digambarkan sebagai pasif secara murni ... Sekalipun demikian,
adalah benar bahwa bahkan tindakan-tindakan jahat dari makhluk ciptaan dibawa
kembali kepada Allah sedemikian rupa sehingga mereka juga disahkan untuk
termasuk dalam ketetapanNya yang mencakup segala sesuatu, dan ditimbulkan /
diadakan, dibatasi dan digunakan dalam pemerintahan providensiaNya. Adalah Ia
yang mengeraskan hati orang berdosa yang berkeras dalam dosanya (Kel 4:21, 7:3,
10:1,27, 14:4,8, Ul 2:30, Yos 11:20, Yes 63:17); dari Dialah roh-roh jahat
keluar / tampil dan mengganggu orang-orang berdosa (1Sam 16:14, Hak 9:23, 1Raja
22, Ayub 1); dari Dialah dorongan-dorongan jahat yang muncul dalam hati
orang-orang berdosa mendapat bentuk specifik yang ini atau yang itu (2Sam 24:1)] - hal 284.
"this God is
a Person who acts purposefully; there is nothing that is, and nothing that comes
to pass, that He has not first decreed and then brought to pass by His creation
or providence" (= Allah ini adalah seorang Pribadi yang bertindak dengan
mempunyai rencana / tujuan; tidak ada sesuatu yang ada atau yang akan terjadi,
yang tidak lebih dulu ditetapkanNya dan lalu dilaksanakanNya oleh penciptaan
atau providensiaNya) - hal 284.
"But, in the
infinite wisdom of the Lord of all the earth, each event falls with exact
precision into its proper place in the unfolding of His eternal plan; nothing,
however small, however strange, occurs without His ordering, or without its
peculiar fitness for its place in the working out of His purpose; and the end of
all shall be the manifestation of His glory, and the accumulation of His
praise" (= Tetapi, dalam hikmat yang tidak terbatas dari Tuhan dari seluruh
bumi, setiap peristiwa / kejadian jatuh dengan ketepatan yang tepat pada
tempatnya dalam pembukaan / penyingkapan dari rencana kekalNya; tidak ada
sesuatupun, betapapun kecilnya, betapapun anehnya, yang terjadi tanpa pengaturan
/ perintahNya, atau tanpa kecocokannya yang khusus untuk tempatnya dalam
pelaksanaan RencanaNya; dan akhir dari semua adalah akan diwujudkannya
kemuliaanNya, dan pengumpulan pujian bagiNya)
- hal 285.
"the minutest
occurrences are as directly controlled by Him as the greatest (Matt. 10:29-30,
Luke 12:7)" [= Peristiwa-peristiwa / kejadian-kejadian yang terkecil
dikontrol secara langsung oleh Dia sama seperti peristiwa-peristiwa /
kejadian-kejadian yang terbesar (Mat 10:29-30, Luk 12:7)]
- hal 296.
Charles
Hodge, ‘Systematic Theology’, vol I:
"By this is
meant that from the indefinite number of systems, or series of possible events,
present to the divine mind, God determined on the futurition or actual
occurrence of the existing order of things, with all its changes, minute as
well as great, from the beginning of time to all eternity. The reason,
therefore, why any event occurs, or, that it passes from the category of the
possible into that of the actual, is that God has so decreed" (= Dengan ini
dimaksudkan bahwa dari sejumlah sistim yang tidak tertentu jumlahnya, atau dari
seri-seri peristiwa yang mungkin terjadi, yang ada dalam pikiran ilahi, Allah
menentukan kejadian sungguh-sungguh dari urut-urutan hal-hal yang ada, dengan
semua perubahan-nya, kecil maupun besar, dari permulaan waktu sampai pada
kekekalan. Karena itu, alasan mengapa suatu peristiwa terjadi, atau, bahwa itu
berpindah dari kategori ‘mungkin’ menjadi ‘sungguh-sungguh’, adalah
karena Allah menetapkannya demikian) - hal 537.
"Change of
purpose arises either from the want of wisdom or from the want of power. As God
is infinite in wisdom and power, there can be with Him no unforeseen emergency
and no inadequacy of means, and nothing can resist the execution of his original
intention" (= Perubahan rencana timbul atau karena kekurangan hikmat atau
karena kekurangan kuasa. Karena Allah itu tidak terbatas dalam hikmat dan kuasa,
maka dengan Dia tidak bisa ada keadaan darurat yang tidak dilihat lebih dulu,
dan tidak ada kekurangan jalan / cara, dan tidak ada yang bisa menahan / menolak
pelaksanaan dari maksud / rencana yang semula) - hal
538-539.
"The decrees
of God are certainly efficacious, that is, they render certain the occurrence of
what He decrees. Whatever God foreordains, must certainly come to pass. ... All
events embraced in the purpose of God are equally certain, whether He has
determined to bring them to pass by his own power, or simply to permit their
occurrence through the agency of his creatures. ... Some things He purposes to
do, others He decrees to permit to be done. He effects good, He permits evil. He
is the author of the one, but not of the other" (= Ketetapan-ketetapan
Allah pasti menghasilkan apa yang diinginkan, artinya, ketetapan-ketetapan itu
membuat pasti kejadian yang Ia tetapkan. Apapun yang Allah tentukan lebih dulu,
pasti akan terjadi. ... Semua peristiwa yang tercakup dalam rencana Allah sama
pastinya, apakah Ia telah menetapkan untuk melaksanakan mereka dengan kuasaNya
sendiri, atau sekedar mengijinkan terjadinya mereka melalui makhluk-makhluk
ciptaanNya sebagai agen. ... Sebagian hal-hal Ia rencanakan untuk Ia lakukan,
yang lain Ia tetapkan untuk mengijinkan untuk terjadi. Ia mengadakan /
menjalankan kebaikan, Ia mengijinkan kejahatan. Ia adalah pencipta dari yang
satu, tetapi bukan dari yang lain) - hal 540-541.
"... the
unity of God’s plan. If that plan comprehends all events, all events stand in
mutual relation and dependence. If one part fails, the whole may fail or be
thrown into confusion" (= ... kesatuan rencana Allah. Jika rencana itu
mencakup semua peristiwa, maka semua peristiwa saling berhubungan dan saling
tergantung satu sama lain. Jika satu bagian gagal, seluruhnya bisa gagal atau
kacau) - hal 541.
"The doctrine
of the Bible is, that all events, whether necessary or contingent, good or
sinful, are included in the purpose of God, and that their futurition or
actual occurrence is rendered absolutely certain" (= Doktrin dari
Alkitab adalah, bahwa semua peristiwa, apakah mutlak perlu atau bersifat
tergantung / kebetulan, baik atau berdosa, tercakup dalam rencana Allah, dan
bahwa sungguh-sungguh terjadinya mereka digambarkan pasti secara mutlak)
- hal 542.
"The
crucifixion of Christ was beyond doubt foreordained of God. It was, however, the
greatest crime ever committed. It is therefore beyond all doubt the doctrine of
the Bible that sin is foreordained" (= Penyaliban Kristus tidak diragukan
lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal
terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu tidak perlu diragukan lagi bahwa dosa
ditentukan lebih dulu merupakan doktrin / ajaran dari Alkitab)
- hal 544.
"With regard
to the sinful acts of men, the Scriptures teach, (1) That they are so under the
control of God that they can occur only by His permission and in execution of
His purposes. He so guides them in the exercise of their wickedness that the
particular forms of its manifestation are determined by His will" [=
Berhubungan dengan tindakan-tindakan berdosa dari manusia, Kitab Suci mengajar,
(1) Bahwa mereka ada di bawah kontrol Allah sedemikian rupa sehingga mereka bisa
terjadi hanya oleh ijinNya dan dalam pelaksanaan rencana-rencanaNya. Ia begitu
mengarahkan mereka dalam melakukan kejahatan mereka sehingga bentuk khusus /
tertentu dari perwujudannya ditentukan oleh kehendakNya]
- hal 589.
Charles
Hodge, ‘Systematic Theology’, vol II:
"As God works
on a definite plan in the external world, it is fair to infer that the same is
true in reference to the moral and spiritual world. To the eye of an uneducated
man the heavens are a chaos of stars. The astronomer sees order and system in
this confusion; all those bright and distant luminaries have their appointed
places and fixed orbits; all are so arranged that no one interferes with any
other, but each is directed according to one comprehensive and magnificent
conception" (= Sebagaimana Allah mengerjakan rencana tertentu dalam dunia
lahiriah / jasmani, adalah wajar untuk mengambil kesimpulan bahwa hal itu juga
benar berkenaan dengan dunia moral dan rohani. Bagi mata seorang yang tidak
berpendidikan langit merupakan bintang-bintang yang kacau. Ahli perbintangan /
ilmu falak melihat keteraturan dan sistim dalam kekacauan ini; semua benda-benda
bersinar yang terang dan jauh itu mempunyai tempat dan orbit tetap yang
ditetapkan; semua begitu diatur sehingga tidak satupun mengganggu yang lain,
tetapi masing-masing diarahkan menurut suatu konsep yang luas dan besar / indah)
- hal 313.
"And as God
is absolutely sovereign and independent, all his purposes must be determined
from within or according to the counsel of his own will. They cannot be supposed
to be contingent or suspended on the action of his creatures, or upon anything
out of Himself" (= Dan karena Allah itu berdaulat dan tak tergantung secara
mutlak, semua rencanaNya harus ditentukan dari dalam atau menurut keputusan
kehendakNya sendiri. Mereka tidak bisa dianggap sebagai kebetulan atau
tergantung pada tindakan-tindakan dari makhluk-makhluk ciptaanNya, atau pada
apapun di luar diriNya sendiri) -
hal 320.
"If He
foreordains whatsoever comes to pass, then events correspond to his purposes;
and it is against reason and Scripture to suppose that there is any
contradiction or want of correspondence between what He intended and what
actually occurs" (= Jika Ia menentukan lebih dulu apapun yang akan terjadi,
maka peristiwa-peristiwa akan cocok / sama dengan rencanaNya; dan adalah
bertentangan dengan akal dan Kitab Suci untuk menganggap bahwa ada kontradiksi
atau ketidakcocokkan antara apa yang Ia maksudkan dan apa yang sungguh-sungguh
terjadi) - hal 323.
"Whatever
occurs, He for wise reasons permits to occur. He can prevent whatever He sees
fit to prevent. If, therefore, sin occurs, it was God’s design that it should
occur. If misery follows in the train of sin, such was God’s purpose. If some
men only are saved, while others perish, such must have entered into the all
comprehending purpose of God" (= Apapun yang terjadi, Ia mengijinkan hal
itu terjadi karena alasan yang bijaksana. Ia bisa mencegah apapun yang Ia anggap
layak untuk dicegah. Karena itu, jika dosa terjadi, adalah rencana Allah bahwa
itu terjadi. Jika kesengsaraan menyusul dalam rentetan dosa, maka demikianlah
rencana Allah. Jika sebagian orang saja yang diselamatkan, sementara yang lain
binasa, maka semua itu pasti telah masuk ke dalam rencana Allah yang meliputi
segala sesuatu) - hal 332.
"God can
control the free acts of rational creatures without destroying either their
liberty or their responsibility" (= Allah bisa mengontrol tindakan-tindakan
bebas dari makhluk-makhluk rasionil tanpa menghancurkan kebebasan ataupun
tanggung jawab mereka)
- hal 332.
William
G. T. Shedd, ‘Calvinism: Pure & Mixed’:
"When God
executes his decree that Saul of Tarsus shall be ‘a vessel of mercy’, he
works efficiently within him by his Holy Spirit ‘to will and to do’. When
God executes his decree that Judas Iscariot shall be ‘a vessel of wrath fitted
for destruction’, he does not work efficiently within him ‘to will and to
do’, but permissively in the way of allowing him to have his own wicked will.
He decides not to restrain him or to regenerate him, but to leave him to his own
obstinate and rebellious inclination and purpose; and accordingly ‘the Son of
man goeth, as it was determined, but woe unto that man by whom he is betrayed’
(Luke 22:22; Acts 2:23). The two Divine methods in the two cases are plainly
different, but the perdition of Judas was as much foreordained and free from
chance, as the conversion of Saul" [= Pada waktu Allah melaksanakan
ketetapanNya bahwa Saulus dari Tarsus akan menjadi ‘bejana / benda belas
kasihan’, Ia bekerja secara efisien di dalamnya dengan Roh KudusNya ‘untuk
mau / menghendaki dan untuk melakukan’. Pada waktu Allah melaksanakan
ketetapanNya bahwa Yudas Iskariot akan menjadi ‘bejana kemurkaan yang cocok
untuk kehancuran / benda kemurkaan yang telah dipersiapkan untuk kebinasaan’,
Ia tidak bekerja secara efisien dalam dirinya ‘untuk mau / menghendaki dan
untuk melakukan’, tetapi dengan cara mengijinkan dia mempunyai kehendak
jahatnya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak mengekang dia atau melahirbarukan
dia, tetapi membiarkan dia pada kecondongan dan rencananya sendiri yang keras
kepala dan bersifat memberontak; dan karena itu ‘Anak Manusia memang akan
pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya
Ia diserahkan’ (Luk 22:22; Kis 2:23). Kedua metode ilahi dalam kedua kasus ini
jelas berbeda, tetapi kebinasaan Yudas sudah ditentukan lebih dahulu dan bebas
dari kebetulan, sama seperti pertobatan Saulus]
- hal 31.
"Whatever
undecreed must be by hap-hazard and accident. If sin does not occur by the
Divine purpose and permission, it occurs by chance. And if sin occurs by chance,
the deity, as in the ancient pagan theologies, is limited and hampered by it. He
is not ‘God over all’. Dualism is introduced into the theory of the
universe. Evil is an independent and uncontrollable principle. God governs only
in part. Sin with all its effects is beyond his sway. This dualism God condemns
as error, in his words to Cyrus by Isaiah, ‘I make peace and create evil’;
and in the words of Proverbs 16:4, ‘The Lord hath made all things for himself;
yea, even the wicked for the day of evil’" (= Apapun yang tidak
ditetapkan pasti ada karena kebetulan. Jika dosa tidak terjadi karena rencana
dan ijin ilahi, maka itu terjadi karena kebetulan. Dan jika dosa terjadi karena
kebetulan, keilahian, seperti dalam teologi kafir kuno, dibatasi dan dirintangi
olehnya. Ia bukanlah ‘Allah atas segala sesuatu’. Dualisme dimasukkan ke
dalam teori alam semesta. Kejahatan merupakan suatu elemen hakiki yang tak
tergantung dan tak terkontrol. Allah memerintah hanya sebagian. Dosa dengan
semua akibatnya ada di luar kekuasaanNya. Dualisme seperti ini dikecam Allah
sebagai salah, dalam kata-kata Yesaya kepada Koresy, ‘Aku membuat damai dan
menciptakan malapetaka / kejahatan’; dan dalam kata-kata dari Amsal 16:4,
‘Tuhan telah membuat segala sesuatu untuk diriNya sendiri; ya, bahkan orang
jahat untuk hari malapetaka’) - hal
36.
Catatan:
kata-kata Yesaya kepada Koresy itu diambil dari Yes 45:7 versi KJV. Demikian
juga Amsal 16:4 diambil dan diterjemahkan dari KJV.
"Nothing
comes to pass contrary to his decree. Nothing happens by chance. Even moral
evil, which he abhors and forbids, occurs by ‘the determinate counsel and
foreknowledge of God’; and yet occurs through the agency of the unforced and
self-determining will of man as the efficient" (= Tidak ada yang terjadi
bertentangan dengan ketetapanNya. Tidak ada yang terjadi karena kebetulan.
Bahkan kejahatan moral, yang Ia benci dan larang, terjadi oleh ‘rencana yang
ditentukan dan pengetahuan lebih dulu dari Allah’; tetapi terjadi melalui
perantaraan dari kehendak manusia yang tidak dipaksa dan ditentukan sendiri
sebagai sesuatu yang efisien) - hal
37.
William
G. T. Shedd, ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I:
"God willeth
not one thing now, and another anon; but once, and at once, and always, he
willeth all things that he willeth; not again and again, nor now this, now that;
nor willeth afterwards, what before he willed not, nor willeth not, what before
he willed; because such a will is mutable; and no mutable thing is eternal"
(= Allah tidak menghendaki sesuatu hal sekarang, dan sebentar lagi menghendaki
yang lain; tetapi sekali, dan serentak, dan selalu, Ia menghendaki semua hal
yang ia kehendaki; bukannya lagi dan lagi, atau sebentar ini sebentar itu; atau
menghendaki setelahnya apa yang tadinya tidak Ia kehendaki, atau tidak
menghendaki apa yang tadinya Ia kehendaki; karena kehendak seperti itu bisa
berubah / tidak tetap; dan tidak ada hal yang bisa berubah / tidak tetap yang
kekal) - hal 395.
Catatan:
kata-kata di atas ini ia kutip dari kata-kata Augustine (dari buku ‘Confession’,
XII. xv.).
"The Divine
decree is formed in eternity, but executed in time. ... the Divine decree, in
reference to God, are one single act only" (= Ketetapan ilahi dibentuk
dalam kekekalan, tetapi dilaksanakan dalam waktu. ... ketetapan ilahi, dalam
hubungannya dengan Allah, adalah satu tindakan saja)
- hal 394.
"The Divine
decree is the necessary condition of the Divine foreknowledge. If God does not
first decide what shall come to pass, he cannot know what will come to pass. An
event must be made certain, before it can be known as a certain event. ... So
long as anything remains undecreed, it is contingent and fortuitous. It may or
may not happen. In this state of things, there cannot be knowledge of any
kind" (= Ketetapan ilahi adalah syarat yang perlu dari pengetahuan lebih
dulu dari Allah. Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi,
Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi. Suatu peristiwa / kejadian harus
dipastikan, sebelum peristiwa itu bisa diketahui sebagai peristiwa yang
tertentu. ... Selama sesuatu tidak ditetapkan, maka sesuatu itu bersifat
tergantung / mungkin dan kebetulan. Itu bisa terjadi atau tidak terjadi. Dalam
keadaan demikian, tidak bisa ada pengetahuan apapun tentang hal itu)
- hal 396-397.
"The Divine
decree is universal. It includes ‘whatsoever comes to pass,’ be it physical
or moral, good or evil" (= Ketetapan ilahi adalah universal. Itu mencakup
‘apapun yang akan terjadi’, apakah itu bersifat fisik atau moral, baik atau
jahat) - hal 400.
"The Divine
decree is immutable. There is no defect in God, in knowledge, power, and
veracity. His decree cannot therefore be changed because of ignorance, or of
inability to carry out his decree, or of unfaithfulness to his purpose"
(=Ketetapan ilahi itu tetap / tak berubah. Tidak ada cacat dalam Allah, dalam
pengetahuan, kuasa, dan kebenaran / ketelitian. Karena itu, ketetapanNya tidak
bisa diubah karena ketidaktahuan, atau ketidakmampuan untuk melaksanakan
ketetapanNya, atau ketidaksetiaan pada rencanaNya)
- hal 401.
"For the
Divine mind, there is, in reality, no future event, because all events are
simultaneous, owing to that peculiarity in the cognition of an eternal being
whereby there is no succession in it. All events thus being present to him are
of course all of them certain events" (= Untuk pikiran ilahi, dalam
kenyataannya tidak ada kejadian / peristiwa yang akan datang, karena semua
peristiwa / kejadian adalah serempak, berdasarkan kekhasan dalam pemikiran /
pengertian dari makhluk kekal untuk mana tidak ada urut-urutan di dalamnya.
Semua peristiwa ‘bersifat present / sekarang’ bagiNya dan karenanya tentu
saja semuanya merupakan peristiwa yang pasti) - hal 402.
Loraine
Boettner, ‘The Reformed Doctrine of Predestination’:
"Since the
universe had its origin in God and depends on Him for its continued existence it
must be, in all its parts and at all times, subject to His control so that
nothing can come to pass contrary to what He expressly decrees or permits. Thus
the eternal purpose is represented as an act of sovereign predestination or
foreordination, and unconditioned by any subsequent fact or change in time.
Hence it is represented as being the basis of the divine foreknowledge of all
future events, and not conditioned by that foreknowledge or by anything
originated by the events themselves" (= Karena alam semesta mempunyai asal
usulnya dalam Allah dan tergantung kepadaNya untuk keberadaan seterusnya, maka
alam semesta itu harus, dalam semua bagian-bagiannya dan pada setiap saat,
tunduk pada kontrolNya sedemikian rupa sehingga tidak ada apapun bisa terjadi
bertentangan dengan apa yang Ia secara jelas tetapkan atau ijinkan. Jadi rencana
kekal digambarkan sebagai suatu tindakan dari predestinasi atau penentuan lebih
dulu yang berdaulat, dan tidak disyaratkan oleh fakta atau perubahan apapun yang
terjadi berikutnya dalam waktu. Karena itu maka hal itu digambarkan sebagai
dasar dari pengetahuan lebih dulu dari Allah tentang semua peristiwa yang akan
datang, dan tidak disyaratkan oleh pengetahuan lebih dulu itu atau oleh apapun
yang ditimbulkan oleh peristiwa itu sendiri)
- hal 14.
"The Pelagian
denies that God has a plan; the Arminian says that God has a general plan but
not a specific plan; but the Calvinist says that God has a specific plan which
embraces all events in all ages" (= Orang yang menganut Pelagianisme
menyangkal bahwa Allah mempunyai rencana; orang Arminian berkata bahwa Allah
mempunyai rencana yang umum tetapi bukan rencana yang spesifik; tetapi orang
Calvinist mengatakan bahwa Allah mempunyai rencana yang spesifik yang mencakup
semua peristiwa / kejadian dalam semua jaman) - hal 22-23.
"His choice
of the plan, or His making certain that the creation should be on this order, we
call His foreordination or His predestination. Even the sinful acts of men are
included in this plan. They are foreseen, permitted, and have their exact place.
They are controlled and overruled for the divine glory" (= Pemilihan
rencanaNya, atau penetapanNya supaya penciptaan terjadi sesuai urut-urutan ini,
kami sebut penentuan lebih dulu atau predestinasi dari Allah. Bahkan
tindakan-tindakan berdosa dari manusia tercakup dalam rencana ini. Mereka itu
dilihat lebih dulu, diijinkan, dan mempunyai tempat mereka yang persis / tepat.
Mereka dikontrol dan dikuasai untuk kemuliaan ilahi)
- hal 24.
"Even the
sinful acts of men are included in the plan and are overruled for good" (=
Bahkan tindakan-tindakan berdosa manusia termasuk dalam rencana ini dan dikuasai
untuk kebaikan) - hal
29.
"Although the
sovereignty of God is universal and absolute, it is not the sovereignty of blind
power. It is coupled with infinite wisdom, holiness and love. And this doctrine,
when properly understood, is a most comforting and reassuring one. Who would not
prefer to have his affairs in the hands of a God of infinite power, wisdom,
holiness and love, rather than to have them left to fate, or chance, or
irrevocable natural law, or to short-sighted and perverted self? Those who
reject God’s sovereignty should consider what alternatives they have
left" (= Sekalipun kedaulatan Allah itu bersifat universal dan mutlak,
tetapi itu bukanlah kedaulatan dari kuasa yang buta. Itu digabungkan dengan
kebijaksanaan, kekudusan dan kasih yang tidak terbatas. Dan doktrin ini, jika
dimengerti dengan tepat, adalah doktrin yang paling menghibur dan menenteramkan.
Siapa yang tidak lebih menghendaki perkaranya ada dalam tangan Allah yang
mempunyai kuasa, kebijaksanaan, kekudusan dan kasih yang tidak terbatas, dari
pada menyerahkannya pada nasib / takdir, atau kebetulan, atau hukum alam yang
tidak bisa dibatalkan, atau pada diri sendiri yang cupet dan sesat? Mereka yang
menolak kedaulatan Allah harus mempertimbangkan alternatif-alternatif lain yang
ada) - hal 32.
"But while
the Bible repeatedly teaches that this providential control is universal,
powerful, wise, and holy, it nowhere attempts to inform us how it is to be
reconciled with man’s free agency. All that we need to know is that God does
govern His creatures and that His control over them is such that no violence is
done to their natures. Perhaps the relationship between divine sovereignty and
human freedom can best be summed up in these words: God so presents the outside
inducements that man acts in accordance with his own nature, yet does exactly
what God has planned for him to do" (= Tetapi sementara Alkitab
berulangkali mengajar bahwa penguasaan providensia ini bersifat universal,
berkuasa, bijaksana, dan suci, Alkitab tidak pernah berusaha untuk memberi
informasi kepada kita tentang bagaimana hal itu bisa diperdamaikan /
diharmoniskan dengan kebebasan manusia. Semua yang perlu kita ketahui adalah
bahwa Allah memang memerintah atas ciptaanNya dan bahwa penguasaan / kontrolNya
atas mereka adalah sedemikian rupa sehingga tidak ada pemaksaan terhadap mereka.
Mungkin hubungan antara kedaulatan ilahi dan kebebasan manusia bisa disimpulkan
dengan cara terbaik dengan kata-kata ini: Allah memberikan dorongan / bujukan
dari luar sedemikian rupa sehingga manusia bertindak sesuai dengan dirinya,
tetapi melakukan secara tepat apa yang Allah telah rencanakan baginya untuk
dilakukan) - hal 38.
"The Arminian
objection against foreordination bears with equal force against the
foreknowledge of God. What God foreknows must, in the very nature of the case,
be as fixed and certain as what is foreordained; and if one is inconsistent with
the free agency of man, the other is also. Foreordination renders the events
certain, while foreknowledge presupposes that they are certain" (=
Keberatan Arminian terhadap penentuan lebih dulu, mengandung / menghasilkan
kekuatan yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang Allah
ketahui lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang
ditentukan lebih dulu; dan jika yang satu tidak konsisten dengan kebebasan
manusia, yang lain juga demikian. Penentuan lebih dulu membuat
peristiwa-peristiwa pasti / tertentu, sedangkan pengetahuan lebih dulu
mensyaratkan bahwa mereka itu pasti / tertentu)
- hal 42.
"Common sense
tells us that no events can be foreknown unless by some means, either physical
or mental, it has been predetermined. Our choice as to what determines the
certainty of future events narrows down to two alternatives - the foreordination
of the wise and merciful heavenly Father, or the working of blind, physical
fate" (= Akal sehat memberitahu kita bahwa tidak ada peristiwa apapun yang
bisa diketahui lebih dulu kecuali hal itu telah ditentukan lebih dulu dengan
cara tertentu, baik secara fisik atau mental / pikiran. Pilihan kita berkenaan
dengan apa yang menentukan kepastian dari peristiwa-peristiwa yang akan datang
menyempit menjadi hanya dua pilihan / kemungkinan - penentuan lebih dulu dari
Bapa surgawi yang bijaksana dan penuh belas kasihan, atau pekerjaan dari nasib /
takdir fisik yang buta) - hal
42.
"Yet unless
Arminianism denies the foreknowledge of God, it stands defenseless before the
logical consistency of Calvinism; for foreknowledge implies certainty and
certainty implies foreordination" (= Kecuali Arminianisme menyangkal
pengetahuan lebih dulu dari Allah, ia tidak mempunyai pertahanan di depan
kekonsistenan yang logis dari Calvinisme; karena pengetahuan lebih dulu secara
tidak langsung menunjuk pada kepastian, dan kepastian secara tidak langsung
menunjuk pada penetapan lebih dulu) - hal 44.
"This fixity
or certainty could have had its ground in nothing outside of the divine Mind,
for in eternity nothing else existed" (= Ketertentuan atau kepastian ini
tidak bisa mempunyai dasar pada apapun di luar Pikiran ilahi, karena dalam
kekekalan tidak ada apapun yang lain yang ada)
- hal 45.
Herman
Hoeksema, ‘Reformed Dogmatics’:
"For this
same reason the Bible always emphasizes the fact that God ordained all things
and knew them from before the foundation of the world" (= Untuk alasan yang
sama Alkitab selalu menekankan fakta bahwa Allah menentukan segala sesuatu dan
mengetahui mereka sejak sebelum dunia dijadikan)
- hal 157.
"Nor must we,
in regard to the sinful deeds of men and devils, speak only of God’s
permission in distinction from His determination. Holy Scripture speaks a far
more positive language. We realize, of course, that the motive for speaking
God’s permission rather than of His predetermined will in regard to sin and
the evil deeds of men is that God may never be presented as the author of sin.
But this purpose is not reached by speaking of God’s permission or His
permissive will: for if the Almighty permits what He could just as well have
prevented, it is from an ethical viewpoint the same as if He had committed it
Himself. But in this way we lose God and His sovereignty: for permission
presupposes the idea that there is a power without God that can produce and do
something apart from Him, but which is simply permitted by God to act and
operate. This is dualism, and it annihilates the complete and absolute
sovereignty of God. And therefore we must maintain that also sin and all the
wicked deeds of men and angels have a place in the counsel of God, in the
counsel of His will. Thus it is taught by the Word of God. For it is certainly
according to the determinate counsel of God that Christ is nailed to the cross,
and that Pilate and Herod, with the Gentiles and Israel, are gathered together
against the holy child Jesus. It is therefore much better to say that the Lord
also in His counsel hates sin and determined that that which He hates should
come to pass in order to reveal His hatred and to serve the cause of God’s
covenant" (= Juga kita tidak boleh, berkenaan dengan tindakan-tindakan
berdosa dari manusia dan setan, berbicara hanya tentang ijin Allah dan
membedakannya dengan penentuan / penetapanNya. Kitab Suci berbicara dengan suatu
bahasa yang jauh lebih positif. Tentu saja kita menyadari bahwa motivasi untuk
menggunakan istilah ‘ijin Allah’ dari pada ‘kehendakNya yang sudah
ditetapkan lebih dulu’ berkenaan dengan dosa dan tindakan-tindakan jahat dari
manusia adalah supaya Allah tidak pernah dinyatakan sebagai pencipta dosa.
Tetapi tujuan ini tidak tercapai dengan menggunakan ‘ijin Allah’ atau
‘kehendak yang mengijinkan dari Allah’: karena jika Yang Maha Kuasa
mengijinkan apa yang bisa Ia cegah, dari sudut pandang etika itu adalah sama
seperti jika Ia melakukan hal itu sendiri. Tetapi dengan cara ini kita
kehilangan Allah dan kedaulatanNya: karena ijin mensyaratkan suatu gagasan bahwa
ada suatu kekuatan di luar Allah yang bisa menghasilkan dan melakukan sesuatu
terpisah dari Dia, tetapi yang diijinkan oleh Allah untuk bertindak dan
beroperasi. Ini merupakan dualisme, dan ini menghapuskan kedaulatan Allah yang
lengkap dan mutlak. Dan karena itu kita harus mempertahankan bahwa juga dosa dan
semua tindakan-tindakan jahat dari manusia dan malaikat mempunyai tempat dalam
rencana Allah, dalam keputusan kehendakNya. Demikianlah diajarkan oleh Firman
Allah. Karena adalah pasti bahwa sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan
dari Allah bahwa Kristus dipakukan di kayu salib, dan bahwa Pilatus dan Herodes,
dengan orang-orang non Yahudi dan Israel, berkumpul bersama-sama menentang anak
Yesus yang kudus. Karena itu lebih baik berkata bahwa Tuhan juga dalam
rencanaNya membenci dosa dan menentukan hal itu supaya apa yang Ia benci itu
terjadi sehingga Ia bisa menyatakan kebencianNya atas hal itu dan untuk melayani
penyebab dari perjanjian Allah) - hal
158.
Herman
Bavinck, ‘The Doctrine of God’:
"All events
are included in that counsel, even the sinful deeds of man" (= Semua
kejadian / peristiwa termasuk / tercakup dalam rencana itu, bahkan juga
tindakan-tindakan berdosa dari manusia) - hal
342.
"God’s
decree is his eternal purpose whereby he has foreordained whatsoever comes to
pass. Scripture everywhere affirms that whatsoever is and comes to pass is the
realization of God’s thought and will, and has its origin and idea in God’s
eternal counsel or decree, ..." (= Ketetapan Allah adalah rencana kekalNya
dengan mana Ia telah menentukan lebih dulu apapun yang akan terjadi. Kitab Suci
dimana-mana menegaskan bahwa apapun yang ada dan yang akan terjadi merupakan
realisasi dari pemikiran dan kehendak Allah, dan mempunyai asal mula dan
gagasannya dalam rencana atau ketetapan kekal)
- hal 369.
"Furthermore,
God’s thought, embodied in creation, cannot be conceived of as an uncertain
idea, doubtful of realization; it is not a ‘bare knowledge’ that receives
its contents from creation; it is not a plan, a project, or purpose whose
execution can be frustrated" (= Selanjutnya, pikiran Allah, diwujudkan
dalam ciptaan, tidak bisa dimengerti sebagai gagasan yang tidak pasti, realisasi
yang meragukan; itu bukan ‘sekedar suatu pengetahuan lebih dulu’ yang
menerima isinya dari ciptaan; itu bukanlah suatu rencana, suatu proyek, atau
suatu tujuan yang pelaksanaannya bisa bisa digagalkan / dihalangi)
- hal 370.
"God’s
counsel is no more an act that pertains to the past than is the generation of
the Son; it is eternal, divine act, eternally finished, yet continuing
forevermore, apart from and raised above time. Scaliger correctly observed that
God’s decree was not preceded by a long period of reflection and deliberation,
so that for a long time God would have been without purpose and without a will;
neither is it a plan once for all completed and finished and simply awaiting
execution. But God’s decree is the eternally active will of God: it is the
willing and purposing God himself; it is not something accidental to God, but
being God’s will in action, it is one with his essence. It is impossible to
conceive of God as a being without a purpose and without an active and operative
will. Nevertheless, all this does not conceal the fact that God’s decree is an
‘immanent work’ determined by nothing else than by God himself, and distinct
in character from God’s works in time, Acts 15:18; Eph 1:4" (= Rencana
Allah, sama seperti tindakan Bapa memperanakkan Anak, bukanlah suatu tindakan
yang berhubungan dengan waktu lampau; tetapi itu adalah suatu tindakan ilahi
yang kekal, sudah selesai dilakukan secara kekal, tetapi tetap berlangsung
selama-lamanya, terpisah dari dan diangkat di atas waktu. Scaliger secara benar
mengamati bahwa ketetapan Allah tidak didahului oleh suatu periode pemikiran dan
pertimbangan yang lama, sehingga untuk suatu waktu yang lama Allah ada tanpa
rencana dan tanpa kehendak; juga itu bukanlah suatu rencana yang sudah
dilengkapi dan diselesaikan sekali untuk selamanya dan hanya menunggu
pelaksanaan. Tetapi ketetapan Allah merupakan kehendak yang aktif secara kekal
dari Allah: itu adalah Allah yang menghendaki dan merencanakan sendiri; itu
bukan sesuatu yang tidak bersifat hakiki yang ditambahkan pada diri Allah,
tetapi merupakan kehendak Allah yang beraksi, itu adalah satu dengan hakekatNya.
Adalah mustahil untuk membayangkan Allah sebagai makhluk tanpa rencana dan tanpa
suatu kehendak yang aktif dan operatif. Sekalipun demikian, semua ini tidak
menyembunyikan fakta bahwa ketetapan Allah adalah suatu ‘pekerjaan yang tetap
ada’ yang ditetapkan bukan oleh sesuatu yang lain apapun selain Allah sendiri,
dan berbeda dalam sifatnya dengan pekerjaan Allah dalam waktu, Kis 15:18; Ef
1:4) - hal
370.
Catatan:
saya tidak pernah membaca tentang adanya ahli theologia Reformed lain yang
mempunyai pandangan seperti yang dikatakan Bavinck di awal kutipan ini.
Herman
Bavinck, ‘Our Reasonable Faith’:
"The fact
that things and events, including the sinful thoughts and deeds of men, have
been eternally known and fixed in that counsel of God does not rob them of their
own character but rather establishes and guarantees them all, each in its own
kind and nature and in its own context and circumstances. Included in that
counsel of God are sin and punishment, but also freedom and responsibility,
sense of duty and conscience, and law and justice. In that counsel of God
everything that happens is in the very same context it is in when it becomes
manifest before our eyes. The conditions are defined in it quite as well as the
consequences, the means quite as much as the ends, the ways as the results, the
prayers as the answers to prayer, the faith as the justification,
sanctification, and glorification" (= Fakta bahwa hal-hal dan
peristiwa-peristiwa, termasuk pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan berdosa dari
manusia, telah diketahui dan ditetapkan secara kekal dalam rencana Allah, tidak
menghapuskan karakter mereka sendiri tetapi sebaliknya meneguhkannya dan
menjamin semuanya, masing-masing dalam jenisnya dan sifatnya sendiri dan dalam
kontex dan keadaannya sendiri. Termasuk dalam rencana Allah itu dosa dan
penghukuman, tetapi juga kebebasan dan tanggung jawab, perasaan kewajiban dan
hati nurani, dan hukum dan keadilan. Dalam rencana Allah itu segala sesuatu yang
terjadi ada dalam kontex yang sama seperti pada waktu itu terwujud di depan mata
kita. Dalam rencana Allah itu syarat ditetapkan sama seperti akibat /
konsekwensi, caranya maupun tujuannya, jalannya maupun hasilnya, doanya maupun
jawaban doanya, imannya maupun pembenaran, pengudusan dan pemuliaannya)
- hal 163.
John
Murray, ‘Collected Writings of John Murray’, vol II:
"It is true
that all our choices and acts are foreordained, and only foreordained acts come
to pass" (= Adalah benar bahwa semua pilihan dan tindakan kita ditentukan
lebih dulu, dan hanya tindakan-tindakan yang ditentukan lebih dulu yang akan
terjadi) - hal 64.
"The
foreknowledge of God presupposes certainty of occurrence; his foreordination
renders all occurrence certain; by his providence what is foreordained is
unalterably put into effect" (=
Pengetahuan lebih dulu dari Allah mensyaratkan adanya kepastian dari
kejadian-kejadian / peristiwa-peristiwa; penentuan lebih dulu yang tersembunyi
membuat semua kejadian / peristiwa itu pasti; oleh providensiaNya apa yang
ditentukan lebih dulu itu dilaksanakan / diberlakukan secara tidak berubah) - hal
65-66.
"The question
here is that of the divine causality in connection with sin. ... There is divine
predetermination or foreordination in connection with sin. The fall was
foreordained by God and its certainty was therefore guaranteed. ... The first
sin, like all other sins, was committed within the realm of God’s
all-sustaining, directing and governing power. Outside the sphere of his
foreordination and providence the fall could not have occurred. The arch-crime
of history - the crucifixion of our Lord - was perpetrated in accordance with
the determinate counsel and foreknowledge of God (Acts 2:23). So, too, was the
fall" [= Yang dipertanyakan di sini
adalah tentang penyebab ilahi dalam hubungannya dengan dosa. ... Ada penetapan
lebih dulu atau penentuan lebih dulu dalam hubungannya dengan dosa. Kejatuhan
Adam ditentukan lebih dulu oleh Allah dan karena itu kepastiannya dijamin. ...
Dosa pertama, seperti semua dosa yang lain, dilakukan dalam batas-batas kuasa
Allah yang menopang segala sesuatu, mengarahkan dan memerintah. Di luar ruang
lingkup penentuan lebih dulu dan providensiaNya kejatuhan itu tidak akan bisa
terjadi. Kejahatan terbesar dalam sejarah - penyaliban Tuhan kita - dilakukan
sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan dan pengetahuan lebih dulu dari
Allah (Kis 2:23). Demikian juga dengan kejatuhan ke dalam dosa] - hal
72-73.
Gresham
Machen, ‘The Christian View of Man’:
"How much is
embraced in that eternal counsel of God? The true answer to that question is
very simple. The true answer is ‘Everything’. Everything that happens is
embraced in the eternal purpose of God; nothing at all happens outside of His
eternal plan" (= Berapa banyak yang dicakup dalam rencana kekal Allah itu?
Jawaban yang benar terhadap pertanyaan itu sangat sederhana. Jawaban yang benar
adalah ‘segala sesuatu’. Segala sesuatu yang terjadi tercakup dalam rencana
kekal Allah; tidak ada sedikitpun yang terjadi di luar rencana kekalNya)
- hal 35.
Arthur
Pink, ‘The Sovereignty of God’:
"To declare
that the Creator’s original plan has been frustrated by sin, is to dethrone
God. To suggest that God was taken by surprise in Eden and that He is now
attempting to remedy an unforeseen calamity, is to degrade the Most High to the
level of a finite, erring mortal" (= Menyatakan bahwa rencana orisinil dari
sang Pencipta telah digagalkan oleh dosa, sama dengan menurunkan Allah dari
tahta. Mengusulkan bahwa Allah dikejutkan di Eden dan bahwa Ia sekarang sedang
mencoba mengobati bencana yang tadinya tidak terlihat, sama dengan merendahkan
Yang Maha Tinggi sampai pada tingkat manusia yang terbatas dan bisa salah)
- hal 21-22.
Arthur
Pink, ‘The Seven Sayings of the Saviour on the Cross":
"It was no
accident that the Lord of Glory was crucified between two thieves. There are no
accidents in a world that is governed by God. Much less could there have been
any accident on that Day of all days, or in connection with that Event of all
events - a Day and an Event which lie at the very centre of the world’s
history. No; God was presiding over that scene. From all eternity He had decreed
when and where and how and with whom His Son should die. Nothing was left to
chance or the caprice of man. All that God had decreed came to pass exactly as
He had ordained, and nothing happened save as He had eternally purposed.
Whatsoever man did was simply that which God’s hand and counsel ‘determined
to be done’ (Acts 4:28). When Pilate gave orders that the Lord Jesus should be
crucified between the two malefactors, all unknown to himself, he was but
putting into execution the eternal decree of God and fulfilling His prophetic
word. Seven hundred years before this Roman officer gave command, God had
declared through Isaiah that His Son should be ‘numbered with the
transgressors’ (Isa 53:12). ...Not a single word of God can fall to the
ground. ‘Forever, O LORD, Thy word is settled in heaven’ (Ps 119:89). Just
as God had ordained, and just as He had announced, so it came to pass" [=
Bukanlah suatu kebetulan bahwa Tuhan Kemuliaan disalibkan di antara 2 pencuri.
Tidak ada kebetulan dalam dunia yang diperintah oleh Allah. Lebih-lebih lagi
tidak ada kebetulan pada Hari segala hari, atau dalam hubungannya dengan
Peristiwa di antara segala peristiwa - suatu Hari dan Peristiwa yang terletak di
pusat sejarah dunia. Tidak; Allah mengontrol adegan / peristiwa itu. Dari
kekekalan Allah telah menentukan kapan dan dimana dan bagaimana dan dengan siapa
AnakNya harus mati. Tidak ada yang terjadi karena kebetulan atau karena
perubahan pikiran manusia. Semua yang telah Allah tentukan terjadi persis
seperti yang Ia tentukan, dan tidak ada sesuatupun yang terjadi kecuali yang
sudah Ia rencanakan secara kekal. Apapun yang manusia lakukan hanyalah apa yang
kuasa / tangan dan rencana / kehendak Allah ‘tentukan untuk terjadi’ (Kis
4:28). Ketika Pilatus memberikan perintah supaya Tuhan Yesus disalibkan di
antara 2 kriminil, tanpa ia sendiri sadari, ia sedang melaksanakan ketetapan
kekal dari Allah dan menggenapi firman nubuatanNya. Tujuh ratus tahun sebelum
pejabat Romawi ini memberikan perintah, Allah telah menyatakan melalui nabi
Yesaya bahwa AnakNya harus ‘diperhitungkan sebagai pemberontak / pelanggar’
(Yes 53:12). ... Tidak satupun dari firman Allah bisa jatuh ke tanah / gagal.
‘Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firmanMu ditetapkan di surga’ (Maz 119:89 -
diterjemahkan dari KJV). Persis seperti yang Allah telah tentukan, dan persis
seperti yang Ia beritakan, begitulah hal itu terjadi] - hal 24-25.
J.
I. Packer, ‘Evangelism & The Sovereignty of God’:
"The prayer
of a Christian is not an attempt to force God’s hand, but a humble
acknowledgment of helplessness and dependence" (= Doa orang kristen
bukanlah suatu usaha untuk memaksa tangan Allah, tetapi suatu pengakuan yang
rendah hati tentang ketidakberdayaan dan ketergantungan)
- hal 11.
"For it is
not true that some Christians believe in divine sovereignty while others hold an
opposite view. What is true is that all Christians believe in divine
sovereignty, but some are not aware that they do, and mistakenly imagine and
insist that they reject it" (= Karena tidak benar bahwa sebagian orang
kristen percaya pada kedaulatan ilahi sedangkan yang lain memegang pandangan
yang sebaliknya. Yang benar adalah bahwa semua orang kristen percaya pada
kedaulatan ilahi, tetapi sebagian tidak menyadari hal itu, dan secara salah
membayangkan dan berkeras bahwa mereka menolaknya)
- hal 16.
"God’s
sovereignty and man’s responsibility are taught us side by side in the same
Bible; sometimes, indeed, in the same text. ... Man is a responsible moral
agent, though he is also divinely controlled; man is divinely controlled, though
he is also a responsible moral agent" (= Kedaulatan Allah dan tanggung
jawab manusia diajarkan bersama-sama dalam Alkitab yang sama; kadang-kadang
bahkan dalam text yang sama. ... Manusia adalah agen moral yang bertanggung
jawab, sekalipun ia juga dikontrol oleh Allah; manusia dikontrol oleh Allah,
sekalipun ia juga adalah agen moral yang bertanggung jawab)
- hal 22-23.
"In the
Bible, divine sovereignty and human responsibility are not enemies. They are not
uneasy neighbours; they are not in an endless state of cold war with each other.
They are friends, and they work together" (= Dalam Alkitab, kedaulatan
ilahi dan tanggung jawab manusia bukanlah musuh. Mereka bukanlah tetangga yang
tidak cocok; mereka tidak ada dalam keadaan perang dingin yang tidak ada
akhirnya satu dengan yang lain. Mereka adalah teman, dan mereka bekerja sama)
- hal 35-36.
Jerome
Zanchius, ‘The Doctrine of Absolute Predestination’:
"We assert
that God did from eternity decree to make man in His own image, and also decreed
to suffer him to fall from that image in which he should be created, and thereby
to forfeit the happiness with which he was invested, which decree and
consequences of it were not limited to Adam only, but included and extended to
all his natural posterity" (= Kami menegaskan bahwa Allah dari kekekalan
menetapkan untuk membuat manusia menurut gambarNya, dan juga menetapkan untuk
membiarkannya jatuh dari gambar itu di dalam mana ia diciptakan, dan dengan
demikian kehilangan kebahagiaan dengan mana ia dilingkupi / diperlengkapi, dan
ketetapan dan konsekwensi tentang hal itu tidak dibatasi pada Adam saja, tetapi
mencakup dan mencapai semua keturunan alamiah / jasmaninya)
- hal 87-88.
"That he fell
in consequence of the Divine decree we prove thus: God was either willing that
Adam should fall, or unwilling, or indifferent about it. If God was unwilling
that Adam should transgress, how came it to pass that he did? ... Surely, If God
had not willed the fall, He could, and no doubt would, have prevented it; but He
did not prevent it: ergo, He willed it. And if he willed it, He certainly
decreed it, for the decree of God is nothing else but the seal and ratification
of His will. He does nothing but what He decreed, and He decreed nothing which
He did not will, and both will and decree are absolutely eternal, though the
execution of both be in time. The only way to evade the force of this reasoning
is to say that ‘God was indifferent and unconcerned whether man stood or
fell’. But in what a shameful, unworthy light does this represent the Deity!
Is it possible for us to imagine that God could be an idle, careless spectator
of one of the most important events that ever came to pass? Are not ‘the very
hairs of our head are numbered’? Or does ‘a sparrow fall to the ground
without our heavenly Father’? If, then, things the most trivial and worthless
are subject to the appointment of His decree and the control of His providence,
how much more is man, the masterpiece of this lower creation?" (= Bahwa ia
jatuh sebagai akibat dari ketetapan ilahi kami buktikan demikian: Allah itu atau
menghendaki Adam jatuh, atau tidak menghendaki, atau acuh tak acuh / tak peduli
tentang hal itu. Jika Allah tidak menghendaki Adam melanggar, bagaimana mungkin
ia melanggar? ... Tentu saja, jika Allah tidak menghendaki kejatuhan itu, Ia
bisa, dan tidak diragukan Ia akan mencegahnya; tetapi Ia tidak mencegahnya:
jadi, Ia menghendakinya. Dan jika Ia menghendakinya, Ia pasti menetapkannya,
karena ketetapan Allah tidak lain adalah meterai dan pengesahan kehendakNya. Ia
tidak melakukan apapun kecuali apa yang telah Ia tetapkan, dan Ia tidak
menetapkan apapun yang tidak Ia kehendaki, dan baik kehendak maupun ketetapan
adalah kekal secara mutlak, sekalipun pelaksanaan keduanya ada dalam waktu.
Satu-satunya cara untuk menghindarkan kekuatan dari pemikiran ini adalah dengan
mengatakan bahwa ‘Allah bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli apakah manusia
itu jatuh atau tetap berdiri’. Tetapi alangkah memalukan dan tak berharganya
terang seperti ini dalam menggambarkan Allah! Mungkinkah bagi kita untuk
membayangkan bahwa Allah bisa menjadi penonton yang malas dan tak peduli
terhadap salah satu peristiwa yang terpenting yang akan terjadi? Bukankah
‘rambut kepala kita dihitung’? Atau apakah ‘seekor burung pipit jatuh ke
tanah tanpa Bapa surgawi kita’? Jika hal-hal yang paling remeh dan tak
berharga tunduk pada penentuan ketetapanNya dan pada kontrol dari
providensiaNya, betapa lebih lagi manusia, karya terbesar dari ciptaan yang
lebih rendah ini?) - hal 88-89.
Catatan:
Jerome Zanchius sebetulnya tidak bisa disebut sebagai seorang Calvinist /
Reformed, karena ia hidup sejaman dengan Calvin, yaitu tahun 1516-1590, tetapi
dalam persoalan ini jelas bahwa pandangannya adalah pandangan Calvinisme.
-AMIN-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali