Pemahaman Alkitab

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

(Jl. Dinoyo 19b, lantai 3)

 

Jum’at, tgl 19 Juni 2009, pk 19.00

 

Pdt. Budi Asali, M. Div.

(HP: 7064-1331 / 6050-1331)

[email protected]

 

Kejadian 3:14-15(1)

 

Kej 3:14-15 - “(14) Lalu berfirmanlah TUHAN Allah kepada ular itu: ‘Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu. (15) Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.’”.

 

I) Hukuman kepada ular.

 

Ay 14: “Lalu berfirmanlah TUHAN Allah kepada ular itu: ‘Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu”.

 

Ada beberapa hal yang perlu dibahas tentang ay 14 ini:

 

1)   Ada yang menafsirkan bahwa ay 14 ini hanya ditujukan kepada setan.

 

Jamieson, Fausset & Brown termasuk yang mempunyai pandangan ini. Jamieson, Fausset & Brown mengatakan bahwa pandangan biasanya tentang hasil kutukan ini adalah bahwa oleh suatu mujijat penampilan dan gaya / cara berjalan dari ular diubah dari bentuk / cara yang anggun menjadi merangkak dalam posisi tertelungkup di tanah, dan menjadi suatu type dari semua yang adalah menjijikkan, dan rendah, sehingga ular sekarang dicap sebagai suatu keburukan.

Jamieson, Fausset & Brown lalu melanjutkan dengan mengatakan bahwa penafsiran tradisionil kuno ini telah dibuktikan sebagai sama sekali tidak bisa diterima, oleh ilmu pengetahuan jaman modern, karena ilmu pengetahuan modern menyatakan bahwa gaya berjalan ular yang merangkak pada perutnya merupakan gaya berjalan yang alamiah bagi ular, dan bukan merupakan hukuman yang merendahkannya dari gaya berjalan yang tegak. Ia mengutip kata-kata Dr. Pye Smith yang mengatakan bahwa anatomi tubuh ular memang sesuai dengan cara berjalan merangkak seperti itu. Dan ia juga mengatakan bahwa orang yang mengatakan bahwa ular berubah cara berjalannya dari tegak, atau dengan menggunakan sayap, menjadi merangkak pada perutnya, adalah orang yang sama sekali tidak mengerti tentang anatomi tubuh ular.

Juga kalau dikatakan sebagai ‘makan debu’, itu tidak benar untuk ular, karena kalau ular mau memakan mangsanya, ia mengangkat kepalanya lebih dulu, dan karena itu tidak memakan debu.

Jamieson, Fausset & Brown menambahkan bahwa hal terakhir tentang ini adalah bahwa telah dipastikan oleh ahli-ahli geologia bahwa ular persis dalam bentuk dan kebiasaan dengan jenis binatang ini yang hidup di bumi pada jaman sebelum Adam! Untuk hal terakhir ini Jamieson, Fausset & Brown mendukung pandangannya dengan mengutip kata-kata Profesor Owen.

 

Jamieson, Fausset & Brown: ‘Upon thy belly shalt thou go, and dust shalt thou eat.’ The ordinary view of the effect of the curse is, that by a sudden and signal miracle the appearance and the gait of the serpent tribe were changed from what these were at first; that from originally walking erect, and being a model of grace and elegance in form, it was doomed to creep in a prostrate attitude on the ground, and become a type of all that is odious, repulsive, and low, so that it is now branded with infamy. This old traditionary interpretation, however, the science of modern times has shown to be utterly inadmissible; because ‘going upon the belly’ is the gait natural to serpents, and not a penal degradation from an erect posture. ‘Their progression,’ says Dr. Pye Smith, ‘is produced by the pushing of scales, shields, or rings against the ground, by muscular contractions and dilatations, by elastic springings, by vertical undulations, or by horizontal wrigglings; but the entire organization - skeleton, muscles, nerves, integuments - is adapted to the mode of progression belonging to the reptile tribe. That mode is sufficiently easy and rapid (often very rapid) for all the purposes of the animal’s life, and the amplitude of its enjoyment. To imagine this mode of motion to be, in any sense, a change from a prior attitude and habit of the erect kind, or being furnished with wings, indicates a total ignorance of the anatomy of serpents.’ Moreover, so far from its being the case that serpents were, by a judicial act of the Creator, thrust out of their primitive and allotted place into an anomalous and less favourable condition, they, as ophidia, occupy their proper natural place in the graduated scale of animal life, and are closely united in an intermediate position with other species of the same great reptile family, by such a beautiful progression that their existence and special configuration are necessary to supply an important link in the harmonious chain of nature. Further, they are carnivorous, ‘and their food,’ as the writer above referred to remarks, ‘according to the size and power of the species, is taken from the tribes of insects, worms, frogs, toads, and newts, birds, mice, and other small quadrupeds, until the scale ascends to the pythons and boas, which can master and swallow very large animals. They do not necessarily, from their wriggling motion, ‘eat the dust;’ for they habitually obtain their food among herbage or in water; they seize their prey with the mouth, often elevate the head, and are no more exposed to the necessity of swallowing adherent earth than are carnivorous birds or quadrupeds.’ Lastly, it has been clearly ascertained by geological researches that serpents exactly similar in form and habits to the existing species lived on the pre-Adamite earth. ‘It is,’ says Professor Owen, ‘a palaeontological fact, that the ophidian peculiarities and complexities of organization, in designed subserviency to a prone posture and a gliding progress on the belly were given, together with the poison apparatus, by the Creator, when, in the progressive preparation of the dry land, but few, and those only the lower organized species, now our contemporaries, had been called into existence - before any of the actual kinds of mammalia trod the earth, and long ages before the creation of man’ (Exeter Hall Lectures; also, ‘Transactions of the Geological Society of London’) (= ).

 

Tanggapan saya:

 

a)   Saya tak terkesan sama sekali dengan ‘penjelasan ilmiah’ ini, karena kalau Tuhan memang mengutuk dengan membuat ular yang tadinya berjalan tegak / atau punya kaki, menjadi ular yang kita kenal sekarang ini, maka Ia pasti mengubah anatomi ular menjadi seperti yang sekarang ini. Jadi, mungkin sekali dulunya anatomi ular tidak seperti sekarang ini.

 

Saya akan memberikan tafsiran Calvin tentang Kej 3:1, dimana dikatakan: “Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: ‘Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?’”.

Calvin lalu mengatakan bahwa sekarang ular bukan binatang yang paling cerdik, karena jelas ada banyak binatang yang lebih ‘pandai’ dari ular (seperti simpansee, anjing, dsb), tetapi Calvin menganggap itu sebagai efek / hasil / akibat dari kutuk kepada ular dalam Kej 3:14, yang lalu mencabut kecerdikannya yang paling tinggi tersebut.

Kalau kutuk itu bisa mengubah ular dalam hal kecerdikannya, saya yakin itu juga bisa mengubah ular dalam bentuk, anatomi, maupun gaya berjalannya.

Calvin (tentang Kej 3:1): there would be nothing absurd in saying, that the gift which had proved so destructive to the human race has been withdrawn from the serpent: just, as we shall hereafter see, other punishments were also inflicted upon it [= Tak ada apapun yang menggelikan untuk mengatakan bahwa karunia (kecerdikan) yang telah terbukti begitu menghancurkan bagi umat manusia telah ditarik dari ular: sama seperti, seperti yang akan kita lihat selanjutnya, hukuman-hukuman lain juga diberikan kepadanya].

 

Saya beranggapan bahwa ular tetap adalah binatang yang cerdik, karena kalau tidak, Tuhan Yesus tak akan mengatakan dalam Mat 10:16 - “‘Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”.

Tetapi, sekarang ia bukan lagi yang paling cerdik dari semua binatang darat.

 

Catatan: sekalipun saya percaya adanya binatang-binatang yang cerdik / pandai, tak berarti bahwa saya mempercayai bahwa binatang adalah makhluk berakal. Selain manusia yang adalah makhluk berakal karena manusia adalah gambar dan rupa Allah, maka hanya Allah sendiri dan malaikat / setan yang adalah makhluk berakal.

 

Adam Clarke bahkan menganggap bahwa dulu ular bisa bicara, dan karunia itu juga ditarik dari dia, sebagai hasil / akibat kutukan dalam Kej 3:14 ini. Tetapi saya ragu-ragu tentang hal ini. Apakah ular dulu memang bisa berbicara, atau setan yang berbicara melalui ular itu. Saya jauh lebih condong pada tafsiran yang kedua.

 

b)   Tentang adanya ular sebelum jamannya Adam, saya anggap ini cuma omong kosong dari ilmuwan. Dan saya betul-betul tidak mengerti bagaimana orang seperti Jamieson, Fausset & Brown bisa menerima pandangan seperti itu.

 

c)         Bandingkan dengan kata-kata Keil & Delitzsch di bawah ini.

Keil & Delitzsch: “If these words are not to be robbed of their entire meaning, they cannot be understood in any other way than as denoting that the form and movements of the serpent were altered, and that its present repulsive shape is the effect of the curse pronounced upon it, though we cannot form any accurate idea of its original appearance” (= Jika kata-kata ini tidak dirampok dari arti seluruhnya, kata-kata ini tidak bisa dimengerti dengan cara lain manapun sebagai menunjukkan bahwa bentuk dan pergerakan dari ular diubah, dan bahwa bentuk menjijikkan yang sekarang ini merupakan akibat / hasil dari kutuk yang diucapkan terhadapnya, sekalipun kita tidak bisa membentuk gagasan yang akurat tentang penampilan orisinilnya).

 

Keil & Delitzsch: Going upon the belly (= creeping, Lev 11:42) was a mark of the deepest degradation; also the eating of dust, which is not to be understood as meaning that dust was to be its only food, but that while crawling in the dust it would also swallow dust (cf. Mic 7:17; Isa 49:23)” [= Berjalan pada perutnya (= merangkak, Im 11:42) merupakan tanda dari penurunan yang terdalam; juga makan debu, yang tidak boleh dimengerti sebagai berarti bahwa debu merupakan makanannya satu-satunya, tetapi sementara merangkak di debu ia juga akan menelan debu (bdk. Mikha 7:17; Yes 49:23)].

Mik 7:17 - Biarlah mereka menjilat debu seperti ular, seperti binatang menjalar di bumi; biarlah mereka keluar dengan gemetar dari kubunya, dan datang kepada TUHAN, Allah kami, dengan gentar, dengan takut kepadaMu!”.

Yes 49:23 - “Maka raja-raja akan menjadi pengasuhmu dan permaisuri-permaisuri mereka menjadi inangmu. Mereka akan sujud kepadamu dengan mukanya sampai ke tanah dan akan menjilat debu kakimu. Maka engkau akan mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, dan bahwa orang-orang yang menanti-nantikan Aku tidak akan mendapat malu.’”.

 

Setelah menolak pandangan bahwa kata-kata kutukan itu menunjuk kepada ular, Jamieson, Fausset & Brown lalu mengemukakan pandangannya sendiri bahwa kutukan itu harus diartikan sebagai suatu kiasan, dan berlaku untuk makhluk jahat, yang telah menjadikan ular itu sebagai alatnya. Jadi, berjalan dengan perutnya, maupun makan debu tanah, harus diartikan juga sebagai kiasan, dan menunjukkan perendahan yang Allah lakukan terhadap setan, yang tadinya adalah ‘seorang malaikat terang’.

 

Jamieson, Fausset & Brown: The language of the inspired historian, therefore, must be interpreted figuratively, and with reference to that malignant being of whom the animal serpent was the humble instrument. Just as going on the belly indicates lowness of rank in the scale of animal existence, and to bite or lick the dust is a common metaphor for the conquest and ignominious humility of a proud, presumptuous foe, so both these phrases are to be understood as intimating that Satan, from being originally ‘an angel of light,’ belonging to a high order of intellectual beings, and formed for pure and exalted objects, would become a wretched creature, groveling in the dust of the basest pursuits, and doomed to a condition of perpetual meanness and ignominy (= ).

 

Tanggapan saya: Saya lagi-lagi tak bisa menerima kata-kata Jamieson, Fausset & Brown di atas ini, karena setan jatuh dari posisi malaikat bukan pada saat ini tetapi sudah sebelumnya.

 

2)   Pada umumnya para penafsir menganggap bahwa ay 14 ini, sekalipun juga ditujukan kepada ular, tetapi terutama ditujukan kepada setan.

Adam Clarke menganggap bahwa Kej 3:14 harus dianggap sebagai hukuman ganda, yang satu kepada setan, dan yang lain kepada ular. Ular betul-betul direndahkan, dan dicabut kemampuan bicaranya. Juga ular dikutuk sehingga sekarang merangkak dengan perutnya dan makan debu tanah. Clarke melanjutkan dengan mengatakan bahwa Allah menganggap cocok untuk menyatakan ketidak-senangannya terhadap ular yang diperalat oleh setan, dan ia berkata bahwa ini mungkin disebabkan karena ularnya sendiri memang ikut ambil bagian dalam menggoda Hawa, dan Clarke menambahkan bahwa ular itu memang punya kemampuan untuk itu, dan Clarke manganggap ia punya alasan untuk mempercayai bahwa ular itu menjadi alat setan dengan sukarela.

 

Adam Clarke: “‘And the Lord God said unto the serpent.’ ... here we must consider a twofold sentence, one on Satan and the other on the agent he employed. The naachaash whom I suppose to have been at the head of all the inferior animals, and in a sort of society and intimacy with man, is to be greatly degraded, entirely banished from human society, and deprived of the gift of speech. Cursed art thou above all cattle, and above every beast of the field - thou shalt be considered the most contemptible of animals; upon thy belly shalt thou go - thou shalt no longer walk erect, but mark the ground equally with thy hands and feet, and dust shalt thou eat - though formerly possessed of the faculty to distinguish, choose, and cleanse thy food, thou shalt feed henceforth like the most stupid and abject quadruped, all the days of thy life - through all the innumerable generations of thy species. God saw meet to manifest his displeasure against the agent employed in this melancholy business; and perhaps this is founded on the part which the intelligent and subtle naachaash took in the seduction of our first parents. We see that he was capable of it, and have some reason to believe that he became a willing instrument (= ).

 

Saya sendiri tak setuju dengan bagian akhir kata-kata Clarke ini. Bandingkan dengan kata-kata Calvin tentang Kej 3:14, dimana Calvin berkata sebagai berikut: Moses, indeed, says that the serpent was a skillful and cunning animal; yet it is certain, that, when Satan was devising the destruction of man, the serpent was guiltless of his fraud and wickedness (= Musa, memang berkata bahwa ular itu adalah binatang yang ahli dan cerdik; tetapi adalah pasti bahwa pada waktu setan sedang merencanakan kehancuran manusia, ular itu tidak bersalah tentang penipuan dan kejahatannya).

Catatan: kata ‘nya’ yang terakhir menunjuk kepada Iblis.

 

Dan dalam tafsirannya tentang Kej 3:1, Calvin mengatakan sebagai berikut: “when Moses says that the serpent was crafty beyond all other animals, he seems to intimate, that it had been induced to deceive man, not by the instigation of Satan, but by its own malignity. I answer, that the innate subtlety of the serpent did not prevent Satan from making use of the animal for the purpose of effecting the destruction of man. For since he required an instrument, he chose from among animals that which he saw would be most suitable for him” (= pada saat Musa mengatakan bahwa ular itu lebih cerdik dari semua binatang yang lain, kelihatannya ia mengisyaratkan bahwa ular itu telah dibujuk untuk menipu manusia, bukan oleh dorongan / hasutan Iblis, tetapi oleh kejahatannya sendiri. Saya menjawab, bahwa kecerdikan, yang merupakan pembawaan sejak lahir dari ular itu, tidak menghalangi Iblis untuk menggunakan binatang itu untuk tujuan menghancurkan manusia. Karena ia membutuhkan suatu alat, ia memilih dari antara binatang yang ia anggap paling cocok baginya).

 

Dan dalam tafsirannya tentang Kej 3:1, Calvin menambahkan kata-kata ini: “But the testimonies of Scripture are sufficiently numerous, in which it is plainly asserted that the serpent was only the mouth of the devil; for not the serpent but the devil is declared to be ‘the father of lies,’ the fabricator of imposture, and the author of death” (= Tetapi kesaksian-kesaksian dari Kitab Suci ada cukup banyak, dalam mana dengan jelas ditegaskan bahwa ular itu hanya merupakan mulut dari Iblis; karena bukan ular itu, tetapi Iblis, yang dinyatakan sebagai ‘bapa segala dusta’, pembuat penipuan, dan pencipta dari kematian).

 

Keil & Delitzsch: “When God addressed the animal, and pronounced a curse upon it, this presupposed that the curse had regard not so much to the irrational beast as to the spiritual tempter, and that the punishment which fell upon the serpent was merely a symbol of his own. The punishment of the serpent corresponded to the crime. It had exalted itself above the man; therefore upon its belly it should go, and dust it should eat all the days of its life. ... Although this punishment fell literally upon the serpent, it also affected the tempter in a figurative or symbolical sense. He became the object of the utmost contempt and abhorrence; and the serpent still keeps the revolting image of Satan perpetually before the eye (= Pada waktu Allah menujukan kata-kataNya kepada binatang itu, dan mengumumkan suatu kutuk kepadanya, ini mensyaratkan bahwa kutuk itu tidak begitu banyak berkenaan dengan binatang yang tak berakal itu seperti dengan sang pencoba / penggoda rohani, dan bahwa hukuman yang jatuh kepada ular semata-mata merupakan simbol dari hukuman Iblis sendiri. Hukuman dari ular sesuai dengan kejahatan itu. Ular itu telah meninggikan dirinya sendiri di atas manusia; karena itu pada perutnya ia akan berjalan, dan debu harus ia makan sepanjang hidupnya. ... Sekalipun hukuman ini secara hurufiah jatuh kepada ular itu, itu juga mempengaruhi si pencoba / penggoda dalam suatu arti kiasan atau simbolis. Ia menjadi obyek dari kejijikan dan kebencian yang paling tinggi; dan sang ular tetap menjadi gambar pemberontakan dari Iblis selama-lamanya di depan mata).

Bdk. Yes 65:25 - “Serigala dan anak domba akan bersama-sama makan rumput, singa akan makan jerami seperti lembu dan ular akan hidup dari debu. Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di segenap gunungKu yang kudus,’ firman TUHAN”.

Catatan: mungkin yang dmaksudkan dengan ‘ular’ dalam Yes 65:25 ini menunjuk kepada setan. Ia tetap akan direndahkan selama-lamanya.

 

Albert Barnes menambahkan bahwa dalam golongan / jenis ular ini mungkin termasuk cacing tanah, yang berjalan dengan perutnya dan betul-betul makan debu / tanah. Tetapi ia tetap mengatakan bahwa kata-kata ini mempunyai penerapan yang lebih tinggi kepada sang penggoda / pencoba yang sebenarnya (Iblis).

 

Barnes’ Notes: Verse 14,15. Here begins the judgment. ... This sentence has a literal application to the serpent. The curse (Gen 9:25, see the note) of the serpent lies in a more groveling nature than that of the other land animals. This appears in its going on its belly and eating the dust. Other animals have at least feet to elevate them above the dust; the serpent tribe does not have even feet. Other animals elevate the head in their natural position above the soil: the serpent lays its head naturally on the sod, and therefore may be said to eat the dust, as the wounded warrior bites the dust in death. The earthworm is probably included in the description here given of the serpent group. It goes upon its belly, and actually does eat the dust. Eating the dust, like feeding upon ashes, is an expression for signal defeat in every aim. ... However, since an evil spirit must have employed the serpent, since the animal whose organs and instincts were most adapted to its purpose, and has accordingly derived its name from it as presenting the animal type most analogous to its own spiritual nature, so the whole of this sentence has its higher application to the real tempter (= ).

 

3)   Kalau kata-kata ini memang juga ditujukan kepada ular, maka muncul pertanyaan: Mengapa ular itu harus dihukum / dikutuk? Bukankah ia hanya binatang yang dipakai oleh setan, dan tak berdaya menolak setan?

Calvin menganggap ular itu tak bersalah, tetapi ia lalu menambahkan bahwa tidak ada yang tidak benar dengan tindakan mengutuk binatang, yang telah diciptakan bagi manusia, tetapi yang lalu digunakan untuk menghancurkan manusia. Ia juga mengatakan bahwa dengan ini Allah menunjukkan betapa tinggi Ia menilai keselamatan manusia. Juga bahwa tindakan ini sama seperti seorang bapa yang dengan jijik memegang pedang yang telah dipakai untuk membunuh anaknya. Keil & Delitzsch mengutip Chrysostom, yang mengatakan kata-kata yang mirip dengan itu, yaitu ‘Ini seperti seorang bapa yang pada waktu menghukum pembunuh anaknya, mematahkan belati atau pedang yang dipakai untuk membunuh anaknya’. Calvin menambahkan lagi bahwa kalau Allah begitu hebat dalam membalas dendam kepada binatang yang digunakan untuk menghancurkan manusia, lebih-lebih Ia akan menghukum Iblis.

Bisa juga ditambahkan bahwa dalam hukum Taurat, Allah sendiri memerintahkan penghancuran / pembunuhan terhadap binatang yang membunuh orang. Juga pada waktu terjadi hubungan sex manusia dengan binatang, maka diperintahkan untuk menghukum mati, bukan hanya manusianya, tetapi juga binatangnya.

 

Kel 21:28-29 - “(28) Apabila seekor lembu menanduk seorang laki-laki atau perempuan, sehingga mati, maka pastilah lembu itu dilempari mati dengan batu dan dagingnya tidak boleh dimakan, tetapi pemilik lembu itu bebas dari hukuman. (29) Tetapi jika lembu itu sejak dahulu telah sering menanduk dan pemiliknya telah diperingatkan, tetapi tidak mau menjaganya, kemudian lembu itu menanduk mati seorang laki-laki atau perempuan, maka lembu itu harus dilempari mati dengan batu, tetapi pemiliknyapun harus dihukum mati”.

 

Im 20:15-16 - “(15) Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itupun harus kamu bunuh juga. (16) Bila seorang perempuan menghampiri binatang apapun untuk berkelamin, haruslah kaubunuh perempuan dan binatang itu; mereka pasti dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri”.

 

Calvin: it is certain, that, when Satan was devising the destruction of man, the serpent was guiltless of his fraud and wickedness. ... If it seem to any one absurd, that the punishment of another’s fraud should be exacted from a brute animal, the solution is at hand; that, since it had been created for the benefit of man, there was nothing improper in its being accursed from the moment that it was employed for his destruction. And by this act of vengeance God would prove how highly he estimates the salvation of man; just as if a father should hold the sword in execration by which his son had been slain. ... But if God so severely avenged the destruction of man upon a brute animal, much less did he spare Satan, the author of the whole evil, as will appear more clearly in the concluding part of the address (= ).

 

Keil & Delitzsch: “The curse fell upon the serpent for having tempted the woman, according to the same law by which not only a beast which had injured a man was ordered to be put to death (Gen 9:5; Ex 21:28-29), but any beast which had been the instrument of an unnatural crime was to be slain along with the man (Lev 20:15-16); not as though the beast were an accountable creature, but in consequence of its having been made subject to man, not to injure his body or his life, or to be the instrument of his sin, but to subserve the great purpose of his life. ‘Just as a loving father,’ as Chrysostom says, ‘when punishing the murderer of his son, might snap in two the sword or dagger with which the murder had been committed.’ (= ).

 

4)   Awal dari Injil yang pertama (protevangelium).

 

The Biblical Illustrator (Old Testament)The beginning of the gospel: - These words have been appropriately called the ‘Protevangelium,’ the first gospel. At first sight it seems strange that these words should be considered the beginning of the gospel. The form is not that of a gospel but of a curse. It is the first curse that we meet with in reading the Bible. But think a moment. On whom, on what is it a curse? It is a curse on the great adversary of mankind. It is a curse upon evil - on sin, and death and hell. ... But can the gospel come in the form of a curse? It can - nay, it must. There are those who, shutting their eyes to the terrible fact of sin with all its dreadful consequences, as they are seen in the world, please themselves and try to please others by preaching a gospel of easy good nature, of love and mercy and goodwill to all mankind - a sort of universal salvation on the easiest terms possible, or without any terms at all. But sin and its terrible consequences are fearful facts that cannot be ignored. ‘Love is the fulfilling of the law,’ and the end of the gospel; but hatred - hatred of sin - is the only portal to true, and pure, and holy love. When the Spirit, the Comforter, comes, what is the first thing He does? He convinces of sin (John 16:8,9) [= Permulaan / awal dari injil: - Kata-kata ini secara tepat telah disebut ‘PROTEVANGELIUM’, injil yang pertama. Pada pandangan pertama kelihatannya aneh bahwa kata-kata ini harus dianggap sebagai permulaan / awal dari injil. Bentuknya bukan bentuk dari injil (kabar baik) tetapi dari suatu kutuk. Itu adalah kutuk yang pertama yang kita temui dalam membaca Alkitab. Itu adalah kutuk terhadap kejahatan - terhadap dosa, dan kematian dan neraka. ... Tetapi bisakah injil datang dalam bentuk dari suatu kutuk? Bisa, bahkan harus. Ada orang-orang yang menutup mata mereka terhadap fakta yang buruk sekali dari dosa dengan semua konsekwensinya yang menakutkan, seperti hal-hal itu terlihat dalam dunia, menyenangkan diri mereka sendiri dan mencoba untuk menyenangkan orang-orang lain dengan memberitakan injil yang bersifat baik dan mudah / pemurah, injil dari kasih dan belas kasihan dan kehendak baik kepada seluruh umat manusia - suatu jenis keselamatan universal berdasarkan syarat-syarat yang semudah mungkin, atau tanpa syarat-syarat apapun. Tetapi dosa dan konsekwensinya yang menakutkan adalah fakta-fakta yang menakutkan yang tidak bisa diabaikan. ‘Kasih adalah kegenapan dari hukum Taurat’ (Ro 13:10), dan adalah tujuan dari injil; tetapi kebencian - kebencian terhadap dosa - adalah satu-satunya pintu gerbang pada kasih yang benar dan murni dan kudus. Pada waktu Roh, sang Penghibur, datang, hal pertama apa yang Ia lakukan? Ia menginsyafkan / meyakinkan tentang dosa (Yoh 16:8,9)].

 

 

-bersambung-

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ

Channel Live Streaming Youtube :  bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali