LAMPIRAN 

  

Vincent: “Paul’s dealing with the institution of slavery displayed the profoundest Christian sagacity. To have attacked the institution as such would have been worse than useless. To one who reads between the lines, Paul's silence means more than any amount of denunciation; for with his silence goes his faith in the power of Christian sentiment to settle finally the whole question. He knows that to bring slavery into contact with living Christianity is to kill slavery. He accepts the social condition as a fact, and even as a law. He sends Onesimus back to his legal owner. He does not bid Philemon emancipate him, but he puts the Christian slave on his true footing of a Christian brother beside his master. As to the institution, he knows that the recognition of the slave as free in (Christ will carry with it, ultimately, the recognition of his civil freedom.” (= ).

 

Vincent: “History vindicated him in the Roman empire itself. Under Constantine the effects of Christian sentiment began to appear in the Church and in legislation concerning slaves. Official freeing of slaves became common as an act of pious gratitude, and burial tablets often represent masters standing before the Good Shepherd, with a band of slaves liberated at death, and pleading for them at judgment. In 312 A.D. a law was passed declaring as homicide the poisoning or branding of slaves, and delivering them to be torn by beasts. The advance of a healthier sentiment may be seen by comparing the law of Augustus, which forbade a master to emancipate more than one-fifth of his slaves, and which fixed one hundred males as a maximum for one time - and the unlimited permission to emancipate conceded by Constantine. Each new ruler enacted some measure which facilitated emancipation. Every obstacle was thrown by the law in the way of separating families. Under Justinian all presumptions were in favor of liberty. If a slave had several owners, one could emancipate him, and the others must accept compensation at a reduced valuation. The mutilated, and those who had served in the army with their masters' knowledge and consent, were liberated. All the old laws which limited the age at which a slave could be freed, and the number which could be emancipated, were abolished. A master’s marriage with a slave freed all the children. Sick and useless slaves must be sent by their masters to the hospital” (= ).

 

Kitab Suci dan perbudakan:

 

Dalam ayat-ayat tertentu perbudakan jelas diijinkan, seperti dalam:

Im 25:39-46 - “(39) Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga menyerahkan dirinya kepadamu, maka janganlah memperbudak dia. (40) Sebagai orang upahan dan sebagai pendatang ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia harus bekerja padamu. (41) Kemudian ia harus diizinkan keluar dari padamu, ia bersama-sama anak-anaknya, lalu pulang kembali kepada kaumnya dan ia boleh pulang ke tanah milik nenek moyangnya. (42) Karena mereka itu hamba-hamba-Ku yang Kubawa keluar dari tanah Mesir, janganlah mereka itu dijual, secara orang menjual budak. (43) Janganlah engkau memerintah dia dengan kejam, melainkan engkau harus takut akan Allahmu. (44) Tetapi budakmu laki-laki atau perempuan yang boleh kaumiliki adalah dari antara bangsa-bangsa yang di sekelilingmu; hanya dari antara merekalah kamu boleh membeli budak laki-laki dan perempuan. (45) Juga dari antara anak-anak pendatang yang tinggal di antaramu boleh kamu membelinya dan dari antara kaum mereka yang tinggal di antaramu, yang dilahirkan di negerimu. Orang-orang itu boleh menjadi milikmu. (46) Kamu harus membagikan mereka sebagai milik pusaka kepada anak-anakmu yang kemudian, supaya diwarisi sebagai milik; kamu harus memperbudakkan mereka untuk selama-lamanya, tetapi atas saudara-saudaramu orang-orang Israel, janganlah memerintah dengan kejam yang satu sama yang lain”.

Kel 22:1-3 - “(1) ‘Apabila seseorang mencuri seekor lembu atau seekor domba dan membantainya atau menjualnya, maka ia harus membayar gantinya, yakni lima ekor lembu ganti lembu itu dan empat ekor domba ganti domba itu. (2) Jika seorang pencuri kedapatan waktu membongkar, dan ia dipukul orang sehingga mati, maka si pemukul tidak berhutang darah; (3) tetapi jika pembunuhan itu terjadi setelah matahari terbit, maka ia berhutang darah. Pencuri itu harus membayar ganti kerugian sepenuhnya; jika ia orang yang tak punya, ia harus dijual ganti apa yang dicurinya itu.

 

Tetapi Perjanjian Lama jelas menentang perbudakan yang kejam.

Kel 21:7-11 - “(7) Apabila ada seorang menjual anaknya yang perempuan sebagai budak, maka perempuan itu tidak boleh keluar seperti cara budak-budak lelaki keluar. (8) Jika perempuan itu tidak disukai tuannya, yang telah menyediakannya bagi dirinya sendiri, maka haruslah tuannya itu mengizinkan ia ditebus; tuannya itu tidak berhak untuk menjualnya kepada bangsa asing, karena ia memungkiri janjinya kepada perempuan itu. (9) Jika tuannya itu menyediakannya bagi anaknya laki-laki, maka haruslah tuannya itu memperlakukannya seperti anak-anak perempuan berhak diperlakukan. (10) Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya dan persetubuhan dengan dia. (11) Jika tuannya itu tidak melakukan ketiga hal itu kepadanya, maka perempuan itu harus diizinkan keluar, dengan tidak membayar uang tebusan apa-apa.’”.

Kel 21:26-27 - “(26) Apabila seseorang memukul mata budaknya laki-laki atau mata budaknya perempuan dan merusakkannya, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka pengganti kerusakan matanya itu. (27) Dan jika ia menumbuk sampai tanggal gigi budaknya laki-laki atau gigi budaknya perempuan, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka pengganti kehilangan giginya itu”.

Ul 23:15 - “‘Janganlah kauserahkan kepada tuannya seorang budak yang melarikan diri dari tuannya kepadamu”.

 

Tak boleh memperbudak sesama bangsa Israel.

Im 25:39 - “Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga menyerahkan dirinya kepadamu, maka janganlah memperbudak dia”.

 

Ul 15:13-15 - “(13) Dan apabila engkau melepaskan dia sebagai orang merdeka, maka janganlah engkau melepaskan dia dengan tangan hampa, (14) engkau harus dengan limpahnya memberi bekal kepadanya dari kambing dombamu, dari tempat pengirikanmu dan dari tempat pemerasanmu, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, haruslah kauberikan kepadanya. (15) Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu; itulah sebabnya aku memberi perintah itu kepadamu pada hari ini”.

 

Penghapusan perbudakan dengan mendadak bisa mempunyai efek yang sangat negatif:

·        budak-budak bisa memberontak, dan Romawi akan membunuh mereka karena pemberontakan tersebut.

·        budak-budak yang dibebaskan tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan sehingga tidak bisa makan.

·        Kristen akan dianggap sebagai agama yang memotivasi pemberontakan, sehingga akan merugikan kekristenan.

 

Jadi, Kristen mengubah hal itu secara perlahan-lahan dengan menanamkan konsep-konsep sehingga akhirnya:

1.  Tuan menjadi tuan yang baik terhadap budaknya.

2.  Budak melayani tuannya dengan sungguh, rela, dan kasih.

Dengan demikian sebetulnya perbudakan itu bukan lagi perbudakan.

 


Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ

Channel Live Streaming Youtube :  bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali