Pemahaman Alkitab

G. K. R. I. ‘GOLGOTA’

(Rungkut Megah Raya, blok D no 16)

Rabu, tanggal 29 Mei 2013, pk 19.00

Pdt. Budi Asali, M. Div.

(7064-1331 / 6050-1331 / 0819-455-888-55)

[email protected]

 

II Timotius 2:1-26(10)

 

Ay 11-13: “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.

 

2.            Ia tetap setia kepada kita.

 

Bible Knowledge Commentary: “‎If we are faithless, He will remain faithful speaks not of the apostate, but of a true child of God who nevertheless proves unfaithful (cf. 2 Tim 1:15). Christ cannot disown Himself; therefore He will not deny even unprofitable members of His own body. True children of God cannot become something other than children, even when disobedient and weak. Christ’s faithfulness to Christians is not contingent on their faithfulness to Him.” [= Kata-kata ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’, tidak berbicara tentang seorang yang murtad, tetapi tentang seorang anak Allah yang sejati, yang bagaimanapun terbukti tidak setia (bdk. 2Tim 1:15). Kristus tidak bisa tidak mengakui diriNya sendiri; karena itu Ia tidak akan menyangkal bahkan anggota-anggota tubuhNya sendiri yang tidak menguntungkan. Anak-anak Allah yang sejati tidak bisa menjadi sesuatu yang lain dari anak-anak, bahkan pada saat tidak taat dan lemah. Kesetiaan Kristus kepada orang-orang Kristen tidaklah tergantung pada kesetiaan mereka kepada Dia.].

2Tim 1:15 - “Engkau tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku; termasuk Figelus dan Hermogenes”.

 

The Bible Exposition Commentary: New Testament: “But Paul makes it clear (2 Tim 2:13) that even our own doubt and unbelief cannot change Him: ‘He abideth faithful; He cannot deny Himself.’ We do not put faith in our faith or in our feelings because they will change and fail. We put our faith in Christ. The great missionary, J. Hudson Taylor, often said, ‘It is not by trying to be faithful, but in looking to the Faithful One, that we win the victory.’” [= Tetapi Paulus membuat jelas (2Tim 2:13) bahwa bahkan keraguan dan ketidak-percayaan kita sendiri tidak bisa mengubahNya: ‘Ia tetap setia; Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri’. Kita tidak beriman pada iman kita atau pada perasaan kita karena hal-hal itu akan berubah dan gagal. Kita beriman kepada Kristus. Misionaris yang besar / agung, J. Hudson Taylor, sering berkata, ‘Bukan dengan berusaha menjadi setia, tetapi dengan memandang kepada Yang Setia, maka kita memenangkan kemenangan’.].

 

Wilmington’s Bible Handbook (Bible Survey): “2:12-13 can seem contradictory; this is one possible interpretation: (1) If we ‘deny’ Christ, that is, if we deny him first place in our lives, he will also ‘deny’ us, that is, we will suffer the loss of our rewards at his judgment seat (see exposition on 1 Cor 3:10-17). (2) But no matter how ‘unfaithful’ we are, that is, no matter how much we fail him, he will remain ‘faithful’ and will never ‘deny himself,’ that is, he will never go back on his promise to save us (see 2:19; 2 Cor 1:19-22; Eph 1:13-14; 1 Peter 1:3-5)” [= 2:12-13 bisa kelihatan bertentangan; ini merupakan salah satu penafsiran yang memungkinkan: (1) Jika kita ‘menyangkal’ Kristus, artinya, jika kita menyangkal / menolak untuk memberikan Dia tempat pertama dalam hidup kita, Ia juga akan ‘menyangkal’ kita, artinya, kita akan mengalami kehilangan pahala kita pada kursi penghakimanNya (lihat exposisi tentang 1Kor 3:10-17). (2) Tetapi tak peduli bagaimana ‘tidak setianya’ kita, artinya, tak peduli bagaimana banyaknya kita melupakan / melalaikan Dia, Ia akan tetap ‘setia’ dan tidak akan pernah ‘menyangkal diriNya sendiri’, artinya, Ia tidak akan pernah mundur dari janjiNya untuk menyelamatkan kita (lihat 2:19; 2Kor 1:19-22; Ef 1:13-14; 1Pet 1:3-5)].

2Tim 2:19 - “Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan meterainya ialah: ‘Tuhan mengenal siapa kepunyaanNya’ dan ‘Setiap orang yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.’”.

2Kor 1:19-22 - “(19) Karena Yesus Kristus, Anak Allah, yang telah kami beritakan di tengah-tengah kamu, yaitu olehku dan oleh Silwanus dan Timotius, bukanlah ‘ya’ dan ‘tidak’, tetapi sebaliknya di dalam Dia hanya ada ‘ya’. (20) Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah. (21) Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, (22) memeteraikan tanda milikNya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita.

Ef 1:13-14 - “(13) Di dalam Dia kamu juga - karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikanNya itu. (14) Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaanNya”.

1Pet 1:3-5 - “(3) Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmatNya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, (4) untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. (5) Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir”.

 

UBS New Testament Handbook Series: “‘Faithless’ is better translated in English as ‘unfaithful’ (compare TEV and CEV), with Christ as the implicit object of the unfaithfulness. This would make clear that ‘unfaithful’ is parallel to ‘deny’ in the previous verse, since to disown Christ is equivalent to being unfaithful to him. So one may translate ‘If we are unfaithful to him’ or ‘If we turn our backs on him.’ The second part of this verse is not what we expect it to be, considering the previous verse. So here we would have expected ‘he will also be unfaithful.’ In fact some scholars have suggested that the meaning of ‘he remains faithful’ is that Christ remains faithful to his sense of justice and will therefore pronounce judgment on those who are unfaithful to him. ... Attractive as this explanation may be, it is more likely that the object of faithfulness here is not Christ but the believers, that is, ‘he remains faithful to us.’ ‘He cannot be false to himself’ then means that Christ cannot turn his back on his true nature as the Savior who remains faithful to those who trust in him” [= Kata ‘faithless’ lebih baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘tidak setia’ (bandingkan dengan TEV dan CEV), dengan Kristus sebagai obyek implicit / tidak langsung dari ketidak-setiaan. Ini akan membuat jelas bahwa ‘tidak setia’ paralel dengan ‘menyangkal’ dalam ayat sebelumnya, karena menyangkal / tidak mengakui Kristus adalah sama dengan tidak setia kepadaNya. Jadi seseorang bisa menterjemahkan ‘Jika kita tidak setia kepadaNya’ atau ‘Jika kita membelakangi Dia’. Bagian kedua dari ayat ini tidaklah seperti yang kita harapkan, kalau kita mempertimbangkan ayat sebelumnya. Jadi, di sini kita akan mengharapkan ‘Ia juga akan tidak setia’. Dalam faktanya beberapa sarjana telah mengusulkan bahwa arti dari ‘Ia tetap setia’ adalah bahwa Kristus tetap setia pada perasaan / pendirian tentang keadilan dan karena itu Ia akan mengumumkan penghakiman kepada mereka yang tidak setia kepadaNya. ... Sekalipun penjelasan ini menarik, adalah lebih memungkinkan bahwa obyek dari kesetiaan di sini bukanlah Kristus tetapi orang-orang percaya, yaitu, ‘Ia tetap setia kepada kita’. Jadi, ‘Ia tidak bisa tidak setia kepada diriNya sendiri’ artinya adalah bahwa Kristus tidak bisa membelakangi sifat dasarNya yang sejati sebagai Juruselamat yang tetap setia kepada mereka yang percaya kepadaNya].

 

Wuest’s Word Studies From the Greek New Testament: “‎‎The words, ‘believe not,’ are ‎apisteuo‎, and refer here, not to the act of believing, but to unfaithfulness. ‘If we are untrue to the Lord Jesus in our Christian lives,’ is the idea. He abides faithful” (= Kata-kata ‘tidak percaya’ adalah APISTEUO, dan di sini menunjuk, bukan pada tindakan percaya, tetapi pada ketidak-setiaan. ‘Jika kita tidak setia kepada Tuhan Yesus dalam kehidupan Kristen kita’, adalah gagasannya. Ia tetap setia).

Catatan: bagian yang saya garis-bawahi pasti ada kekurangannya. Maksudnya pasti adalah ‘bukan pada tindakan tidak percaya, tetapi pada ketidak-setiaan’. Dengan kata-kata ini ia menyatakan ketidak-setujuan dengan terjemahan KJV, dan menyatakan kesetujuan dengan RSV/NIV/NASB.

 

The IVP New Testament Commentary Series: While Paul does not go into the questions whether such apostates ever really ‘believed’ in Christ or what constitutes unfaithfulness to the point of denial, verse 13 may sound a note of hope intended for the church that has experienced defection and perhaps for the individual who has experienced defeat: ‘if we are faithless, he will remain faithful.’ The change from denial to ‘faithless’ (or ‘unfaithfulness’) marks a change in atmosphere (though the warning issued in verse 12 is no less real). ... Paul’s point may be that no matter what, God’s promise to save his people will not fail because some prove to be false. Or from a more personal point of view, it is possible that this is a promise that God will preserve even the weakest believer (Peter’s restoration in Jn 21:15-19 comes to mind). God must keep his promises, for they are grounded in his own being and ‘he cannot deny himself.’ [= Sementara Paulus tidak masuk ke dalam pertanyaan-pertanyaan apakah orang-orang murtad seperti itu pernah sungguh-sungguh percaya kepada Kristus atau apa yang merupakan / membentuk ketidak-percayaan kepada titik penyangkalan, ayat 13 bisa membunyikan / mengucapkan suatu nada pengharapan yang dimaksudkan untuk gereja yang telah mengalami kegagalan dan mungkin untuk individu yang telah mengalami kekalahan: ‘jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’. Perubahan dari penyangkalan kepada ‘tidak setia’ (atau ‘ketidaksetiaan’) menandai suatu perubahan dalam suasana (sekalipun peringatan yang dikeluarkan dalam ay 12 tidak kurang sungguh-sungguhnya). ... maksud Paulus bisa adalah bahwa tak peduli apapun yang terjadi, janji Allah untuk menyelamatkan umatNya tidak akan gagal karena / sekalipun sebagian umat terbukti palsu. Atau dari sudut pandang yang lebih pribadi, adalah mungkin bahwa ini adalah suatu janji bahwa Allah akan memelihara / menjaga / melindungi bahkan orang percaya yang paling lemah (pemulihan Petrus dalam Yoh 21:15-19 bisa diingat). Allah pasti memegang janji-janjiNya, karena mereka didasarkan pada diriNya / keberadaanNya sendiri, dan ‘Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’.] - Libronix.

 

Matt Proctor: The fourth stanza is God’s response to a believer’s failure. ‘Faithless’ here does not refer to a complete lack of faith, but a wavering faith (see Mark 9:24). Stanza 3 dealt with a person’s permanent rejection of God, but this fourth stanza deals with a believer’s temporary lapse into disobedience. If stanza 3 describes Judas’s once-for-all betrayal, stanza 4 describes Peter’s momentary denial. God promises here to be faithful to such a person, despite their failings. As 1John 1:9 says, ‘If we confess our sins, he is faithful and just and will forgive us our sins and purify us from all unrighteousness.’ If a prodigal son returns, God welcomes him back with open arms. [= Bait ke 4 adalah tanggapan Allah terhadap kegagalan seorang percaya. ‘Faithless’ di sini tidak menunjuk pada sama sekali tidak adanya iman, tetapi suatu iman yang ragu-ragu / goncang (lihat Mark 9:24). Bait ke 3 menangani penolakan permanen dari seseorang terhadap Allah, tetapi bait ke 4 menangani orang percaya yang tergelincir ke dalam ketidaktataan untuk sementara. Jika bait ke 3 menggambarkan pengkhianatan sekali dan selamanya dari Yudas, bait ke 4 menggambarkan penyangkalan sementara dari Petrus. Allah menjanjikan di sini untuk setia kepada orang seperti itu, sekalipun ada kegagalan-kegagalan mereka. Seperti 1Yoh 1:9 katakan, ‘Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.’. Jika anak yang hilang kembali, Allah menerimanya kembali dengan tangan terbuka.] - Libronix.

Mark 9:24 - “Segera ayah anak itu berteriak: ‘Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!’”.

 

Douglas J. W. Milne: The final lines of the hymn give the assurance that ‘if we are faithless, he will remain faithful, for he cannot disown himself’ (verse 13). This could mean that the Lord will uphold his judicial threats against those who deny him, and that he will never be untrue to his own holiness and justice against those who defect from his side. But it can also mean that for the true believer united to Christ in the enduring bonds of the gospel covenant, the occasional or periodic lapse into sin does not negate the Saviour’s commitment to them. Jesus is grieved by the failures of his people, but his love for them endures. By their more serious sins believers may lose the enjoyment of Christ’s love, through wounding their conscience and grieving his Holy Spirit, but they can never lose their salvation (John 10:28f.; 1 Cor. 3:15). To the penitent disciple Christ promises his pardoning grace, and immediately works to restore the damage done to faith through sinning (Luke 22:31–34, 54–62; John 21:15–17). To do otherwise would be to deny himself as each Christian’s faithful Friend and Brother. This is something that ethically he cannot do. [= Baris terakhir dari nyanyian pujian memberi jaminan / kepastian bahwa ‘jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia, karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’ (ayat 13). Ini bisa berarti bahwa Tuhan akan memegang / menegakkan ancaman-ancaman penghakimanNya terhadap mereka yang menyangkalNya, dan bahwa Ia tidak akan pernah tidak benar kepada kekudusanNya dan keadilanNya sendiri terhadap mereka yang meninggalkan pihakNya. Tetapi itu juga bisa berarti bahwa untuk orang percaya yang sejati, yang dipersatukan dengan Kristus dalam ikatan yang bertahan dari perjanjian injil, penyelewengan yang kadang-kadang atau berkala ke dalam dosa tidaklah meniadakan komitmen dari sang Juruselamat kepada mereka. Yesus disedihkan oleh kegagalan-kegagalan umatNya, tetapi kasihNya untuk mereka bertahan. Oleh dosa-dosa mereka yang lebih serius, orang-orang percaya bisa kehilangan penikmatan kasih Kristus, melalui pelukaan hati nurani mereka dan tindakan mendukakan Roh Kudus, tetapi mereka tidak pernah bisa kehilangan keselamatan mereka (Yoh 10:28-dst; 1Kor 3:15). Kepada murid yang menyesal Kristus menjanjikan kasih karuniaNya yang mengampuni, dan dengan segera bekerja untuk memulihkan kerusakan yang dilakukan terhadap iman melalui tindakan-tindakan berdosa (Luk 22:31–34,54–62; Yoh 21:15–17). Melakukan yang sebaliknya / yang berbeda akan berarti menyangkal diriNya sendiri sebagai Sahabat dan Saudara yang setia dari setiap orang Kristen. Ini adalah sesuatu yang secara etis tidak bisa Ia lakukan.] - Libronix.

 

Gordon D. Fee: Line 4: ‘If we are faithless, he will remain faithful’ (cf. Rom. 3:3). This line is full of surprises, and it is also the one for which sharp differences of opinion exist regarding its interpretation. Some see it as a negative, corresponding to line 3. ‘If we are faithless’ (i.e., if we commit apostasy), God must be ‘faithful’ to himself and mete out judgment. Although such an understanding is possible, it seems highly improbable that this is what Paul himself intended. After all, that could have been said plainly. The lack of a future verb with the adverb ‘also,’ as well as the fact that God’s faithfulness in the NT is always in behalf of his people, also tend to speak out against this view. What seems to have happened is that, in a rather typical way (cf., e.g., 1 Cor. 8:3), Paul could not bring himself to finish a sentence as it began. It is possible for us to prove faithless; but Paul could not possibly say that God would then be faithless toward us. Indeed, quite the opposite. ‘If we are faithless’ (and the context demands this meaning of the verb apistoumen, not ‘unbelieving,’ as KJV, et al.), this does not in any way affect God’s own faithfulness to his people. This can mean either that God will override our infidelity with his grace (as most commentators) or that his overall faithfulness to his gracious gift of eschatological salvation for his people is not negated by the faithlessness of some. This latter seems more in keeping with Paul and the immediate context. Some have proved faithless, but God’s saving faithfulness has not been diminished thereby. ... The final coda simply explains why the final apodosis stands as it does: ‘because he cannot disown himself.’ To do so would mean that God had ceased to be. Hence eschatological salvation is for Paul ultimately rooted in the character of God. [= Baris 4: ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’ (bdk. Ro 3:3). Baris ini penuh dengan kejutan-kejutan, dan itu juga satu baris untuk mana ada perbedaan-perbedaan pandangan yang tajam berkenaan dengan penafsirannya. Sebagian orang melihatnya sebagai sesuatu yang negatif, sesuai dengan baris 3. ‘Jika kita tidak beriman / percaya’ (artinya, jika kita murtad), Allah pasti ‘setia’ kepada diriNya sendiri dan memberikan penghakiman secara adil. Sekalipun pengertian seperti itu bisa saja, kelihatannya sangat tidak mungkin bahwa ini adalah apa yang Paulus sendiri maksudkan. Bagaimanapun juga, itu bisa saja dikatakan dengan jelas. Tidak adanya kata kerja bentuk akan datang dengan kata keterangan ‘juga’, maupun fakta bahwa kesetiaan Allah dalam PB selalu adalah demi umatNya, juga cenderung untuk berkata dengan tegas menentang pandangan ini. Apa yang kelihatannya telah terjadi adalah bahwa, dalam suatu cara yang agak khas (bdk. sebagai contoh, 1Kor 8:3), Paulus tidak bisa menyelesaikan suatu kalimat yang ia mulai. Adalah mungkin bagi kita untuk ternyata tidak setia; tetapi Paulus tidak mungkin bisa mengatakan bahwa Allah lalu akan tidak setia terhadap kita. Yang terjadi, justru adalah apa yang sebaliknya. ‘jika kita tidak setia’ (dan kontext menuntut arti ini dari kata kerja APISTOUMEN, bukanlah ‘tidak percaya’, seperti KJV, dll.), ini tidaklah dengan cara apapun mempengaruhi kesetiaan Allah sendiri kepada umatNya. Ini bisa berarti, atau bahwa Allah akan melindas ketidak-setiaan kita dengan kasih karuniaNya (seperti kebanyakan penafsir) atau bahwa kesetiaanNya yang menyeluruh / mencakup segala sesuatu pada anugerahNya yang penuh kasih karunia dari keselamatan yang bersifat eskatologi untuk umatNya, tidak akan ditiadakan oleh ketidak-setiaan dari sebagian umatNya. Yang belakangan ini kelihatannya lebih sesuai dengan Paulus dan kontext yang paling dekat. Sebagian orang ternyata tidak setia, tetapi kesetiaan yang menyelamatkan dari Allah tidaklah dikurangi karenanya. ... Bagian terakhir / penutup sekedar menjelaskan mengapa kesimpulan terakhir ada sebagai ia ada: ‘karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Melakukan seperti itu akan berarti bahwa Allah telah berhenti sebagai Allah / berhenti ada. Jadi, keselamatan yang bersifat eskatologi bagi Paulus berakar pada akhirnya pada / dalam karakter dari Allah.] - ‘The New International Biblical Commentary’ (Libronix).

1Kor 8:3 - “Tetapi orang yang mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah.”.

Catatan: Saya tak mengerti apa maksudnya ia memberikan 1Kor 8:3 ini sebagai referensi / contoh.

Penafsir ini memberikan beberapa argumentasi yang bagus / menarik mengapa ia memilih pandangan kedua. Argumentasinya (bagian yang saya garis-bawahi) adalah:

a.   Kalau Paulus memang memaksudkan bahwa Allah akan setia pada ancaman-ancamanNya dan menghukum orang yang tidak setia itu, ia bisa mengatakannya dengan jelas, sehingga tidak ada keraguan tentang apa yang ia maksudkan.

b.   Tidak ada kata kerja dalam bentuk future / akan datang, dan tidak adanya kata ‘also’ (= juga) dalam bagian itu.

KJV: ‘(11b) For if we be dead with him, we shall also live with him: (12) If we suffer, we shall also reign with him: if we deny him, he also will deny us: (13) If we believe not, yet he abideth faithful: he cannot deny himself..

Ay 11-13: “(11) Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun (also / juga) akan hidup dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun (also / juga) akan ikut memerintah dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun (also / juga) akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.

Catatan: dalam ay 11-12 kata ‘also’ (= juga), yang diterjemahkan dari kata Yunani KAI (biasanya diterjemahkan ‘dan’, atau ‘tetapi’, tetapi bisa juga diterjemahkan ‘also’ / ‘juga’ - Bible Works 7), seharusnya muncul 3 x (ini ada dalam KJV/RSV/NIV/NASB/ASV/NKJV). Tetapi dalam ay 13 kata itu tidak ada! Mengapa tidak ada? Karena kata-kata ‘jika kita tidak setia’ memang kontras dengan kata-kata ‘Dia tetap setia’! Karena itu, menurut saya ini semua menunjukkan bahwa di sini terjadi bukan keparalelan, tetapi pengkontrasan!

c.   Dalam Perjanjian Baru kesetiaan Allah selalu diartikan bagi umatNya!

Memang pada waktu saya sendiri melihat kata ‘setia’ dalam konkordansi, maka dalam seluruh Alkitab (dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), tidak pernah kata ‘setia’, pada waktu diterapkan kepada Allah, diartikan sebagai ‘setia pada janji-janji / ancaman-ancamanNya’!

Saya ingin menambahkan bahwa kalau yang dimaksudkan adalah ‘Allah setia pada firman / janji / ancamanNya’, Alkitab selalu menuliskan secara jelas / explicit seperti dalam contoh-contoh di bawah ini.

·        Ul 7:9 - “Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setiaNya terhadap orang yang kasih kepadaNya dan berpegang pada perintahNya, sampai kepada beribu-ribu keturunan,”.

·        Ul 7:12 - “‘Dan akan terjadi, karena kamu mendengarkan peraturan-peraturan itu serta melakukannya dengan setia, maka terhadap engkau TUHAN, Allahmu, akan memegang perjanjian dan kasih setiaNya yang diikrarkanNya dengan sumpah kepada nenek moyangmu.”.

·        Maz 145:13 - “KerajaanMu ialah kerajaan segala abad, dan pemerintahanMu tetap melalui segala keturunan. TUHAN setia dalam segala perkataanNya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatanNya.”.

·        Dan 9:4 - “Maka aku memohon kepada TUHAN, Allahku, dan mengaku dosaku, demikian: ‘Ah Tuhan, Allah yang maha besar dan dahsyat, yang memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi Engkau serta berpegang pada perintahMu!”.

 

Alasan-alasan lain bagi saya untuk memilih arti ke 2 adalah:

 

a.      Mari kita memperhatikan dan menganalisa kata-kata ‘jika kita tidak setia’.

Pada waktu saya melihat dalam konkordansi, maka kata-kata ‘tidak setia’ pada waktu ditujukan kepada manusia dalam hubungannya dengan Allah, pada umumnya / hampir semua menunjukkan ketidak-percayaan (tidak adanya iman yang sejati). Jadi, biasanya kata-kata ini ditujukan kepada orang yang tidak percaya / orang kristen KTP.

Misalnya:

·        1Taw 10:13 - “Demikianlah Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia terhadap TUHAN, oleh karena ia tidak berpegang pada firman TUHAN, dan juga karena ia telah meminta petunjuk dari arwah”.

·        Maz 78:8 - “dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya kepada Allah”.

Dalam kasus dimana yang ‘tidak setia’ adalah orang yang tidak percaya / orang kristen KTP, maka jelas tidak mungkin kita menafsirkan bahwa dalam keadaan seperti ini Yesus akan tetap setia kepada mereka. Maka kita harus mengambil penafsiran pertama, yaitu bahwa Ia tetap setia pada ancaman-ancaman dan janji-janjiNya.

Bdk. Yer 16:3-6 - “(3) Sebab beginilah firman TUHAN tentang anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan yang lahir di tempat ini, tentang ibu-ibu mereka yang melahirkan mereka dan tentang bapa-bapa mereka yang memperanakkan mereka di negeri ini: (4) Mereka akan mati karena penyakit-penyakit yang membawa maut; mereka tidak akan diratapi dan tidak akan dikuburkan; mereka akan menjadi pupuk di ladang; mereka akan habis oleh pedang dan kelaparan; mayat mereka akan menjadi makanan burung-burung di udara dan binatang-binatang di bumi. (5) Sungguh, beginilah firman TUHAN: Janganlah masuk ke rumah perkabungan, dan janganlah pergi meratap dan janganlah turut berdukacita dengan mereka, sebab Aku telah menarik damai sejahtera pemberianKu dari pada bangsa ini, demikianlah firman TUHAN, juga kasih setia dan belas kasihanKu. (6) Besar kecil akan mati di negeri ini; mereka tidak akan dikuburkan, dan tidak ada orang yang akan meratapi mereka; tidak ada orang yang akan menoreh-noreh diri dan yang akan menggundul kepala karena mereka.”.

 

Tetapi dalam Alkitab jelas juga ada kata-kata ‘tidak setia’ yang diterapkan kepada orang-orang percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam dosa. Contoh:

·        Im 5:15-16 - “(15) ‘Apabila seseorang berubah setia dan tidak sengaja berbuat dosa dalam sesuatu hal kudus yang dipersembahkan kepada TUHAN, maka haruslah ia mempersembahkan kepada TUHAN sebagai tebusan salahnya seekor domba jantan yang tidak bercela dari kambing domba, dinilai menurut syikal perak, yakni menurut syikal kudus, menjadi korban penebus salah. (16) Hal kudus yang menyebabkan orang itu berdosa, haruslah dibayar gantinya dengan menambah seperlima, lalu menyerahkannya kepada imam. Imam harus mengadakan pendamaian bagi orang itu dengan domba jantan korban penebus salah itu, sehingga ia menerima pengampunan.”.

Catatan: kata-kata ‘berubah setia’ dalam Im 5:15 diterjemahkan bermacam-macam oleh Kitab Suci bahasa Inggris, tetapi Bible Works 7 mengatakan bahwa kata itu terjemahannya memang adalah ‘bertindak dengan tidak setia’. Terjemahan NASB juga menterjemahkan seperti itu. Hal yang sama muncul dalam Im 6:2 (baca sampai dengan ay 7nya), Im 26:40 (baca sampai dengan ay 45nya), Bil 5:6 (baca sampai dengan ay 7). Text ini kelihatannya menunjuk kepada orang percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam dosa, karena ada pendamaian dan pengampunan bagi dia.

·        Ezra 9-10, kita lihat beberapa ayat saja.

Ezr 9:2,4 - “(2) Karena mereka telah mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan perbuatan tidak setia itu.’ ... (4) Lalu berkumpullah kepadaku semua orang yang gemetar karena firman Allah Israel, oleh sebab perbuatan tidak setia orang-orang buangan itu, tetapi aku tetap duduk tertegun sampai korban petang.”.

Ezr 10:2,6,10 - “(2) Maka berbicaralah Sekhanya bin Yehiel, dari bani Elam, katanya kepada Ezra: ‘Kami telah melakukan perbuatan tidak setia terhadap Allah kita, oleh karena kami telah memperisteri perempuan asing dari antara penduduk negeri. Namun demikian sekarang juga masih ada harapan bagi Israel. ... (6) Sesudah itu Ezra pergi dari depan rumah Allah menuju bilik Yohanan bin Elyasib, dan di sana ia bermalam dengan tidak makan roti dan minum air, sebab ia berkabung karena orang-orang buangan itu telah melakukan perbuatan tidak setia. ... (10) Maka bangkitlah imam Ezra, lalu berkata kepada mereka: ‘Kamu telah melakukan perbuatan tidak setia, karena kamu memperisteri perempuan asing dan dengan demikian menambah kesalahan orang Israel.”.

Sederetan ayat dalam kitab Ezra ini menunjukkan bahwa orang-orang Israel itu tidak setia dalam arti mereka jatuh ke dalam dosa (mengambil istri asing), tetapi kelihatannya mereka adalah orang-orang percaya karena akhirnya mereka bertobat dari dosa itu.

Bdk. Ezra 10:44 - “Mereka sekalian mengambil sebagai isteri perempuan asing; maka mereka menyuruh pergi isteri-isteri itu dengan anak-anaknya.”.

 

Tetapi ayat yang paling jelas yang berbicara tentang orang-orang percaya yang tidak setia adalah ayat di bawah ini, karena ayat ini berbicara tentang Musa dan Harun, yang pasti adalah orang percaya.

Ul 32:51 - “oleh sebab kamu telah berubah setia terhadap Aku di tengah-tengah orang Israel, dekat mata air Meriba di Kadesh di padang gurun Zin, dan oleh sebab kamu tidak menghormati kekudusanKu di tengah-tengah orang Israel”.

Catatan: Kata ‘kamu’ yang saya beri garis bawah ganda ada dalam bentuk jamak, dan karena itu menunjuk bukan kepada Musa saja, tetapi kepada Musa dan Harun.

 

Dalam kasus seperti ini (orang kristen sejati yang tidak setia), bisa dipastikan bahwa kata-kata ‘Dia tetap setia’ diberi obyek ‘orang percaya / orang Kristen’ (penafsiran kedua). Jadi seluruh kalimat artinya menjadi, ‘Jika kita (orang Kristen) tidak setia, Dia akan tetap setia (kepada kita). Ia tidak akan membuang kita / memasukkan kita ke dalam neraka.

 

Bdk. Yer 31:3 - “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu kepadamu.”.

Catatan: baca Yer 30 yang menunjukkan bahwa tadinya mereka dihajar oleh Tuhan karena dosa-dosa mereka!

 

Kesukaran dalam menafsirkan ayat ini adalah: Paulus tidak menjelaskan orang yang ‘tidak setia’ itu orang kristen yang sejati atau orang kristen KTP.

 

b.      Arti ke 2 ini cocok dengan banyak ayat Alkitab seperti di bawah ini:

·        2Sam 7:14-15 - “(14) Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anakKu. Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia. (15) Tetapi kasih setiaKu tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu.”.

·        Yes 54:5-8,10 - “(5) Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam namaNya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut Allah seluruh bumi. (6) Sebab seperti isteri yang ditinggalkan dan yang bersusah hati TUHAN memanggil engkau kembali; masakan isteri dari masa muda akan tetap ditolak? firman Allahmu. (7) Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. (8) Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajahKu terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu. ... (10) Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setiaKu tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damaiKu tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”.

·        Rat 3:31-33 - “(31) Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan. (32) Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setiaNya. (33) Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia.”.

 

Ada penafsir-penafsir yang kelihatannya menggabungkan kedua arti di atas.

 

Barclay: “Jesus Christ cannot vouch in eternity for a man who has refused to have anything to do with him in time; but he is for ever true to the man who, however much he has failed, has tried to be true to him” (= Yesus Kristus tidak bisa menjamin dalam kekekalan bagi seseorang yang telah menolak untuk mempunyai urusan apapun dengan Dia dalam waktu; tetapi Ia selama-lamanya setia kepada orang yang bagaimanapun hebatnya ia telah gagal, telah berusaha untuk setia kepada Dia) - hal 170.

 

The Preacher’s Commentary Series (vol 32): We would expect the hymn to repeat the parallel in its conclusion to the effect that if we are faithless, God is faithless. But notice the dramatic shift: ‘If we are faithless, He remains faithful; He cannot deny Himself.’ Because of this shift, the meaning is not easy to pin down. On the one hand, it might appear that God’s faithfulness, ‘no matter what,’ offsets the fear engendered by the thought of Jesus’ denial of us. If pressed, this leads to a concept of unconditional love on God’s part in which, ultimately, our actions have no lasting consequence. God will always tidy up our messes. On the other hand, this statement can be read as a statement of dreadful finality. His faithfulness is to Himself. Thus, as our denial of Him results in His denial of us, so our faithlessness to Him results in His faithfulness to Himself - which is to judge us for our infidelity. I don’t think we have to get pressed to either extreme. Don’t forget that this was likely a hymn, not a theological treatise. I’m satisfied that both notes need to be sounded. Denial and infidelity, in their many forms, must be taken seriously. Grace and unconditional love must never be distorted to mean that our actions do not have meaning or consequences. We must be responsible for our conduct - with God and with others. In this sense God’s faithfulness must mean that He cannot contradict Himself. The God of love and mercy is also the God of justice and righteousness. The prophet Hosea is the classic spokesman to this problem. He saw clearly the denial and faithlessness of the people of God. He boldly portrayed Israel’s behavior in terms of his own unfaithful wife. God is seen both as bringing judgment upon Israel and as finally wooing and winning her back. ‘How can I give you up, Ephraim? How can I hand you over, Israel?… I will not execute the fierceness of My anger… for I am God, and not man’ (Hos. 11:8–9). Paul’s words to the Corinthians seem to say the same thing. In 1 Corinthians 3:11–15, he portrays the Christian life as building upon the foundation which is Jesus Christ. The deeds of our lives are likened to ‘gold, silver, precious stones, wood, hay, straw.’ In our final accounting to God, our works will be tested by fire - some will endure, some will be consumed as worthless. But Paul’s conclusion affirms God’s ultimate mercy: ‘If anyone’s work is burned, he will suffer loss; but he himself will be saved, yet so as through fire’ (1 Cor. 3:15). I take this to be bad news and good news. For God to be faithful to Himself, our behavior must have meaning, and that means that our actions have consequences that God Himself will not abridge. But God also promises us salvation in Christ. Whether or not our works endure the test of fire, in Christ we will be saved. The central motive for faithfulness to God is not the fear of being rejected by God. The driving force for fidelity to God is the positive desire to please the One who loves us so! [= Kita akan mengharapkan nyanyian pujian ini untuk mengulang keparalelan dalam kesimpulannya kira-kira dengan sesuatu yang berarti bahwa jika kita tidak setia, Allah juga tidak setia. Tetapi perhatikan pergeseran yang dramatis: ‘Jika kita tidak setia, Ia tetap setia; Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Karena pergeseran ini, artinya tidak mudah untuk dipastikan. Di satu pihak, bisa terlihat bahwa kesetiaan Allah, ‘tak peduli apapun yang terjadi’, mengimbangi rasa takut yang ditimbulkan oleh pemikiran tentang penyangkalan Yesus terhadap kita. Jika ditekankan, ini membimbing pada suatu konsep tentang kasih yang tak bersyarat di pihak Allah dalam mana, pada akhirnya, tindakan-tindakan kita tidak mempunyai konsekwensi yang abadi. Allah akan selalu membereskan kekacauan-kekacauan kita. Di lain pihak, pernyataan ini bisa dibaca sebagai suatu pernyataan tentang akhir yang menakutkan. KesetiaanNya adalah kepada diriNya sendiri. Jadi, seperti penyangkalan kita terhadap Dia mengakibatkan penyangkalanNya terhadap kita, demikianlah ketidak-setiaan kita kepadaNya mengakibatkan dalam kesetiaanNya kepada diriNya sendiri - yang harus menghakimi kita untuk ketidak-setiaan kita. Saya tidak berpikir / menganggap kita harus menekankan extrim yang manapun. Jangan lupa bahwa ini mungkin sekali adalah suatu nyanyian pujian, bukan suatu buku / karangan theologia. Saya yakin bahwa kedua catatan perlu untuk dibunyikan. Penyangkalan dan ketidak-setiaan, dalam bentuk-bentuk mereka yang banyak, harus dipandang secara serius. Kasih karunia dan kasih yang tak bersyarat tidak pernah boleh diubah / disimpangkan untuk berarti bahwa tindakan-tindakan kita tidak mempunyai arti atau konsekwensi-konsekwensi. Kita harus bertanggung jawab untuk tingkah laku kita - dengan Allah dan dengan orang-orang lain. Dalam arti ini kesetiaan Allah harus berarti bahwa Ia tidak bisa menentang diriNya sendiri. Allah dari kasih dan belas kasihan juga adalah Allah dari keadilan dan kebenaran. Nabi Hosea adalah jurubicara klasik bagi problem ini. Ia melihat dengan jelas penyangkalan dan ketidak-setiaan dari umat Allah. Ia dengan berani menggambarkan kelakuan Israel dalam istilah-istilah dari istrinya sendiri yang tidak setia. Allah terlihat baik sebagai membawa penghakiman atas Israel dan akhirnya sebagai membujuk dan memenangkan ia kembali. ‘Bagaimana Aku bisa menyerahkan engkau, Efraim? Bagaimana Aku bisa menyerahkan engkau, Israel? ... Aku tidak akan melaksanakan keganasan murkaKu ... sebab Aku ini Allah, dan bukan manusia’ (Hos 11:8-9). Kata-kata Paulus kepada orang-orang / jemaat Korintus kelihatannya mengatakan hal yang sama. Dalam 1Kor 3:11-15, ia menggambarkan kehidupan Kristen seperti membangun di atas fondasi yang adalah Yesus Kristus. Tindakan-tindakan / perbuatan-perbuatan dari kehidupan kita disamakan dengan ‘emas, perak, batu-batu berharga, kayu, rumput kering, jerami’. Dalam pertanggungan jawab akhir kita kepada Allah, pekerjaan-pekerjaan kita akan diuji dengan api - sebagian akan bertahan, sebagian akan dihabiskan sebagai tidak berharga. Tetapi kesimpulan Paulus menegaskan belas kasihan terakhir dari Allah: ‘Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.’ (1Kor 3:15). Saya mengartikan ini sebagai kabar buruk dan kabar baik. Bagi Allah untuk setia kepada diriNya sendiri, kelakuan kita harus mempunyai arti, dan itu berarti bahwa tindakan-tindakan kita mempunyai konsekwensi-konsekwensi yang Allah sendiri tidak akan / mau mengurangi. Tetapi Allah juga menjanjikan kita keselamatan dalam Kristus. Apakah pekerjaan-pekerjaan kita bertahan dari ujian api itu, dalam Kristus kita akan diselamatkan. Motivasi sentral untuk kesetiaan kepada Allah bukanlah rasa takut untuk ditolak oleh Allah. Kekuatan yang mendorong untuk kesetiaan kepada Allah adalah keinginan yang positif untuk menyenangkan Dia yang mengasihi kita seperti itu!] - hal 268-269 (Libronix).

Hos 11:8-9 - “(8) Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? HatiKu berbalik dalam diriKu, belas kasihanKu bangkit serentak. (9) Aku tidak akan melaksanakan murkaKu yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak datang untuk menghanguskan.”.

1Kor 3:11-15 - “(11) Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. (12) Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, (13) sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. (14) Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. (15) Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.”.

 

Saya tak setuju dengan tafsiran yang menggabungkan seperti ini. Saya berpendapat Paulus pasti memaksudkan yang pertama atau yang kedua. Tidak mungkin keduanya. Dan saya memilih yang kedua.

 

6)            “karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’” (ay 13b).

 

John Stott: The idea that there may be something which God ‘cannot’ do is entirely foreign to some people. Can he not do anything and everything? Are not all things possible to him? Is he not omnipotent? Yes, but God’s omnipotence needs to be understood. God is not a totalitarian tyrant that he should exercise his power arbitrarily and do absolutely anything whatsoever. God’s omnipotence is the freedom and the power to do absolutely anything he chooses to do. But he chooses only to do good, only to work according to the perfection of his character and will. God can do everything consistent with being himself. The one and only thing he cannot do, because he will not, is to deny himself or act contrary to himself. So God remains for ever himself, the same God of mercy and of justice, fulfilling his promises (whether of blessing or of judgment), giving us life if we die with Christ and a kingdom if we endure, but denying us if we deny him, just as he warned, because he cannot deny himself. [= Gagasan bahwa di sana bisa ada sesuatu yang Allah ‘tidak dapat’ lakukan, sepenuhnya asing bagi sebagian orang. Tidak bisakah Ia melakukan apapun dan setiap hal? Bukankah segala sesuatu mungkin bagi Dia? Bukankah Ia maha kuasa? Ya, tetapi kemaha-kuasaan Allah perlu untuk dimengerti. Allah bukanlah seorang tiran yang memegang kendali sepenuhnya sehingga Ia menggunakan kuasaNya dengan sewenang-wenang dan melakukan secara mutlak apapun juga. Kemahakuasaan Allah adalah kebebasan dan kuasa untuk melakukan secara mutlak apapun yang Ia pilih untuk lakukan. Tetapi Ia hanya memilih untuk melakukan yang baik, hanya bekerja menurut kesempurnaan dari karakter dan kehendakNya. Allah bisa melakukan segala sesuatu yang konsisten dengan menjadi diriNya sendiri. Satu-satunya hal yang Ia tidak dapat lakukan, karena Ia tidak mau melakukannya, adalah menyangkal diriNya sendiri atau bertindak bertentangan dengan diriNya sendiri. Jadi Allah akan tetap menjadi diriNya sendiri, Allah yang sama dari belas kasihan dan dari keadilan, menggenapi janji-janjiNya (apakah tentang berkat atau tentang penghakiman), memberi kita hidup jika kita mati dengan Kristus dan suatu kerajaan jika kita bertahan, tetapi menyangkal kita jika kita menyangkal Dia, persis seperti yang Ia peringatkan, karena Ia tidak bisa menyangkal diriNya sendiri.].

Catatan: saya tak setuju dengan kata-kata Stott yang saya garis-bawahi. Menurut saya Allah bukan tidak dapat karena Ia tidak mau. Tetapi Ia memang tidak dapat / tidak bisa, menyangkal diriNya sendiri.

 

UBS New Testament Handbook Series: “‘He cannot be false to himself’ then means that Christ cannot turn his back on his true nature as the Savior who remains faithful to those who trust in him” (= Jadi, ‘Ia tidak bisa tidak setia kepada diriNya sendiri’ artinya adalah bahwa Kristus tidak bisa membelakangi sifat dasarNya yang sejati sebagai Juruselamat yang tetap setia kepada mereka yang percaya kepadaNya).

 

Gordon D. Fee: The final coda simply explains why the final apodosis stands as it does: ‘because he cannot disown himself.’ To do so would mean that God had ceased to be. Hence eschatological salvation is for Paul ultimately rooted in the character of God. (= Bagian terakhir / penutup sekedar menjelaskan mengapa kesimpulan terakhir ada sebagai ia ada: ‘karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Melakukan seperti itu akan berarti bahwa Allah telah berhenti sebagai Allah / berhenti ada. Jadi, keselamatan yang bersifat eskatologi bagi Paulus berakar pada akhirnya pada / dalam karakter dari Allah.) - ‘The New International Biblical Commentary’ (Libronix).

 

-bersambung-

 

Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.

E-mail : [email protected]

e-mail us at [email protected]

http://golgothaministry.org

Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:

https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ

Channel Live Streaming Youtube :  bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali