Pemahaman Alkitab
(Rungkut
Megah Raya, blok D no 16)
Rabu,
tanggal 29 Mei 2013, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(7064-1331
/ 6050-1331 / 0819-455-888-55)
II Timotius 2:1-26(10)
Ay 11-13: “(11)
Benarlah perkataan ini: ‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup
dengan Dia; (12) jika kita bertekun, kitapun akan ikut memerintah dengan Dia;
jika kita menyangkal Dia, Diapun akan menyangkal kita; (13) jika kita tidak
setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diriNya.’”.
2. Ia
tetap setia kepada kita.
Bible
Knowledge Commentary:
“If
we are faithless, He will remain faithful speaks not of the apostate, but of a
true child of God who nevertheless proves unfaithful (cf. 2 Tim 1:15). Christ
cannot disown Himself; therefore He will not deny even unprofitable members of
His own body. True children of God cannot become something other than children,
even when disobedient and weak. Christ’s faithfulness to Christians is not
contingent on their faithfulness to Him.” [= Kata-kata ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’,
tidak berbicara tentang seorang yang murtad, tetapi tentang seorang anak Allah
yang sejati, yang bagaimanapun terbukti tidak setia (bdk. 2Tim 1:15). Kristus
tidak bisa tidak mengakui diriNya sendiri; karena itu Ia tidak akan menyangkal
bahkan anggota-anggota tubuhNya sendiri yang tidak menguntungkan. Anak-anak
Allah yang sejati tidak bisa menjadi sesuatu yang lain dari anak-anak, bahkan
pada saat tidak taat dan lemah. Kesetiaan Kristus kepada orang-orang Kristen
tidaklah tergantung pada kesetiaan mereka kepada Dia.].
2Tim 1:15
- “Engkau
tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku;
termasuk Figelus dan Hermogenes”.
The
Bible Exposition Commentary: New Testament: “But Paul makes it clear
(2 Tim 2:13) that even our own doubt and unbelief cannot change Him: ‘He
abideth faithful; He cannot deny Himself.’ We do not put faith in our faith or
in our feelings because they will change and fail. We put our faith in Christ.
The great missionary, J. Hudson Taylor, often said, ‘It is not by trying to be
faithful, but in looking to the Faithful One, that we win the victory.’” [= Tetapi Paulus membuat
jelas (2Tim 2:13) bahwa bahkan keraguan dan ketidak-percayaan kita sendiri tidak
bisa mengubahNya: ‘Ia tetap setia; Ia tidak bisa menyangkal diriNya
sendiri’. Kita tidak beriman pada iman kita atau pada perasaan kita karena
hal-hal itu akan berubah dan gagal. Kita beriman kepada Kristus. Misionaris yang
besar / agung, J. Hudson Taylor, sering berkata, ‘Bukan dengan berusaha
menjadi setia, tetapi dengan memandang kepada Yang Setia, maka kita memenangkan
kemenangan’.].
Wilmington’s
Bible Handbook (Bible Survey):
“2:12-13 can seem contradictory; this is one possible
interpretation: (1) If we ‘deny’ Christ, that is, if we deny him first place
in our lives, he will also ‘deny’ us, that is, we will suffer the loss of
our rewards at his judgment seat (see exposition on 1 Cor 3:10-17). (2) But no
matter how ‘unfaithful’ we are, that is, no matter how much we fail him, he
will remain ‘faithful’ and will never ‘deny himself,’ that is, he will
never go back on his promise to save us (see 2:19; 2 Cor 1:19-22; Eph 1:13-14; 1
Peter 1:3-5)”
[= 2:12-13 bisa kelihatan bertentangan; ini merupakan salah satu penafsiran yang
memungkinkan: (1) Jika kita ‘menyangkal’ Kristus, artinya, jika kita
menyangkal / menolak untuk memberikan Dia tempat pertama dalam hidup kita, Ia
juga akan ‘menyangkal’ kita, artinya, kita akan mengalami kehilangan pahala
kita pada kursi penghakimanNya (lihat exposisi tentang 1Kor 3:10-17). (2) Tetapi
tak peduli bagaimana ‘tidak setianya’ kita, artinya, tak peduli bagaimana
banyaknya kita melupakan / melalaikan Dia, Ia akan tetap ‘setia’ dan tidak
akan pernah ‘menyangkal diriNya sendiri’, artinya, Ia tidak akan pernah
mundur dari janjiNya untuk menyelamatkan kita (lihat 2:19; 2Kor 1:19-22; Ef
1:13-14; 1Pet 1:3-5)].
2Tim
2:19 - “Tetapi dasar yang diletakkan Allah itu teguh dan
meterainya ialah: ‘Tuhan mengenal siapa kepunyaanNya’ dan ‘Setiap orang
yang menyebut nama Tuhan hendaklah meninggalkan kejahatan.’”.
2Kor
1:19-22 - “(19) Karena Yesus Kristus, Anak Allah, yang telah kami
beritakan di tengah-tengah kamu, yaitu olehku dan oleh Silwanus dan Timotius,
bukanlah ‘ya’ dan ‘tidak’, tetapi sebaliknya di dalam Dia hanya ada
‘ya’. (20) Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah
sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah. (21)
Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam
Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, (22) memeteraikan tanda
milikNya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai
jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita”.
Ef
1:13-14 - “(13) Di dalam Dia kamu juga - karena kamu telah mendengar
firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu - di dalam Dia kamu juga, ketika
kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikanNya itu. (14) Dan Roh
Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya,
yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaanNya”.
1Pet 1:3-5
- “(3) Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan
kita Yesus Kristus, yang karena rahmatNya yang besar telah melahirkan kita
kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu
hidup yang penuh pengharapan, (4) untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat
binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di
sorga bagi kamu. (5) Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah
karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia
untuk dinyatakan pada zaman akhir”.
UBS
New Testament Handbook Series:
“‘Faithless’
is better translated in English as ‘unfaithful’ (compare TEV and CEV), with
Christ as the implicit object of the unfaithfulness. This would make clear that
‘unfaithful’ is parallel to ‘deny’ in the previous verse, since to
disown Christ is equivalent to being unfaithful to him. So one may translate
‘If we are unfaithful to him’ or ‘If we turn our backs on him.’ The
second part of this verse is not what we expect it to be, considering the
previous verse. So here we would have expected ‘he will also be unfaithful.’
In fact some scholars have suggested that the meaning of ‘he remains
faithful’ is that Christ remains faithful to his sense of justice and will
therefore pronounce judgment on those who are unfaithful to him. ... Attractive
as this explanation may be, it is more likely that the object of faithfulness
here is not Christ but the believers, that is, ‘he remains faithful to us.’
‘He cannot be false to himself’ then means that Christ cannot turn his back
on his true nature as the Savior who remains faithful to those who trust in
him” [= Kata ‘faithless’ lebih baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai ‘tidak setia’ (bandingkan dengan TEV dan CEV), dengan Kristus
sebagai obyek implicit / tidak langsung dari ketidak-setiaan. Ini akan membuat
jelas bahwa ‘tidak setia’ paralel dengan ‘menyangkal’ dalam ayat
sebelumnya, karena menyangkal / tidak mengakui Kristus adalah sama dengan tidak
setia kepadaNya. Jadi seseorang bisa menterjemahkan ‘Jika kita tidak setia
kepadaNya’ atau ‘Jika kita membelakangi Dia’. Bagian kedua dari ayat
ini tidaklah seperti yang kita harapkan, kalau kita mempertimbangkan ayat
sebelumnya. Jadi, di sini kita akan mengharapkan ‘Ia juga akan tidak setia’.
Dalam faktanya beberapa sarjana telah mengusulkan bahwa arti dari ‘Ia tetap
setia’ adalah bahwa Kristus tetap setia pada perasaan / pendirian tentang
keadilan dan karena itu Ia akan mengumumkan penghakiman kepada mereka yang tidak
setia kepadaNya. ... Sekalipun penjelasan ini menarik, adalah lebih
memungkinkan bahwa obyek dari kesetiaan di sini bukanlah Kristus tetapi
orang-orang percaya, yaitu, ‘Ia tetap setia kepada kita’. Jadi,
‘Ia tidak bisa tidak setia kepada diriNya sendiri’ artinya adalah bahwa
Kristus tidak bisa membelakangi sifat dasarNya yang sejati sebagai Juruselamat
yang tetap setia kepada mereka yang percaya kepadaNya].
Wuest’s
Word Studies From the Greek New Testament: “The words,
‘believe not,’ are apisteuo,
and refer here, not to the act of believing, but to unfaithfulness. ‘If
we are untrue to the Lord Jesus in our Christian lives,’ is the idea. He
abides faithful” (= Kata-kata ‘tidak
percaya’ adalah APISTEUO, dan di sini menunjuk, bukan pada tindakan
percaya, tetapi pada ketidak-setiaan. ‘Jika kita tidak setia kepada Tuhan
Yesus dalam kehidupan Kristen kita’, adalah gagasannya. Ia tetap setia).
Catatan:
bagian yang saya garis-bawahi pasti ada kekurangannya. Maksudnya pasti adalah ‘bukan pada tindakan tidak percaya, tetapi pada
ketidak-setiaan’.
Dengan kata-kata ini ia menyatakan ketidak-setujuan dengan terjemahan KJV, dan
menyatakan kesetujuan dengan RSV/NIV/NASB.
The
IVP New Testament Commentary Series: “While
Paul does not go into the questions whether
such apostates ever really ‘believed’ in Christ or what constitutes
unfaithfulness to the point of denial, verse 13 may sound a note of hope
intended for the church that has experienced defection and perhaps for the
individual who has experienced defeat: ‘if
we are faithless, he will remain faithful.’ The change from denial to
‘faithless’ (or ‘unfaithfulness’) marks a change in
atmosphere (though the warning issued in verse 12 is no less real). ... Paul’s
point may be that no matter what, God’s promise to save his people will not
fail because some prove to be false. Or from a more personal point of view, it
is possible that this is a promise that God will preserve even the weakest
believer (Peter’s restoration in Jn 21:15-19 comes to mind). God must keep his
promises, for they are grounded in his own being and ‘he cannot deny himself.’” [= Sementara Paulus
tidak masuk ke dalam pertanyaan-pertanyaan apakah orang-orang murtad seperti itu
pernah sungguh-sungguh percaya kepada Kristus atau apa yang merupakan /
membentuk ketidak-percayaan kepada titik penyangkalan, ayat 13 bisa
membunyikan / mengucapkan suatu nada pengharapan yang dimaksudkan untuk gereja
yang telah mengalami kegagalan dan mungkin untuk individu yang telah mengalami
kekalahan: ‘jika kita tidak setia, Ia akan tetap setia’. Perubahan dari
penyangkalan kepada ‘tidak setia’ (atau ‘ketidaksetiaan’) menandai suatu
perubahan dalam suasana (sekalipun peringatan yang dikeluarkan dalam ay 12 tidak
kurang sungguh-sungguhnya). ... maksud Paulus bisa adalah bahwa tak peduli
apapun yang terjadi, janji Allah untuk menyelamatkan umatNya tidak akan gagal
karena / sekalipun sebagian umat terbukti palsu. Atau dari sudut pandang
yang lebih pribadi, adalah mungkin bahwa ini adalah suatu janji bahwa Allah
akan memelihara / menjaga / melindungi bahkan orang percaya yang paling lemah
(pemulihan Petrus dalam Yoh 21:15-19 bisa diingat). Allah pasti memegang
janji-janjiNya, karena mereka didasarkan pada diriNya / keberadaanNya sendiri,
dan ‘Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’.]
- Libronix.
Matt
Proctor: “The fourth stanza is God’s response to a believer’s failure.
‘Faithless’ here does not refer to a complete lack of faith, but a wavering
faith (see Mark 9:24). Stanza 3 dealt with a person’s permanent rejection of
God, but this fourth stanza deals with a believer’s temporary lapse into
disobedience. If stanza 3 describes Judas’s once-for-all betrayal, stanza 4
describes Peter’s momentary denial. God promises here to be faithful to such a
person, despite their failings. As 1John 1:9 says, ‘If we confess our sins, he
is faithful and just and will forgive us our sins and purify us from all
unrighteousness.’ If a prodigal son returns, God welcomes him back with open
arms.”
[= Bait ke 4 adalah tanggapan Allah terhadap kegagalan seorang percaya.
‘Faithless’ di sini tidak menunjuk pada sama sekali tidak adanya iman,
tetapi suatu iman yang ragu-ragu / goncang (lihat Mark 9:24). Bait ke 3
menangani penolakan permanen dari seseorang terhadap Allah, tetapi bait ke 4
menangani orang percaya yang tergelincir ke dalam ketidaktataan untuk sementara.
Jika bait ke 3 menggambarkan pengkhianatan sekali dan selamanya dari Yudas, bait
ke 4 menggambarkan penyangkalan sementara dari Petrus. Allah menjanjikan
di sini untuk setia kepada orang seperti itu, sekalipun ada kegagalan-kegagalan
mereka. Seperti 1Yoh 1:9 katakan, ‘Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia
adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan
menyucikan kita dari segala kejahatan.’. Jika anak yang hilang kembali, Allah
menerimanya kembali dengan tangan terbuka.]
- Libronix.
Mark
9:24 - “Segera ayah anak itu
berteriak: ‘Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!’”.
Douglas
J. W. Milne: “The final lines of the hymn give the assurance that ‘if
we are faithless, he will remain faithful, for he cannot disown himself’
(verse 13). This could mean that the Lord will uphold his judicial threats
against those who deny him, and that he will never be untrue to his own holiness
and justice against those who defect from his side. But it can also mean that
for the true believer united to Christ in the enduring bonds of the gospel
covenant, the occasional or periodic lapse into sin does not negate the
Saviour’s commitment to them. Jesus is grieved by the failures of his people,
but his love for them endures. By their more serious sins believers may lose the
enjoyment of Christ’s love, through wounding their conscience and grieving his
Holy Spirit, but they can never lose their salvation (John 10:28f.; 1 Cor.
3:15). To the penitent disciple Christ promises his pardoning grace, and
immediately works to restore the damage done to faith through sinning (Luke
22:31–34, 54–62; John 21:15–17). To do otherwise would be to deny himself
as each Christian’s faithful Friend and Brother. This is something that
ethically he cannot do.”
[= Baris terakhir dari nyanyian pujian memberi jaminan / kepastian bahwa ‘jika
kita tidak setia, Ia akan tetap setia, karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya
sendiri’ (ayat 13). Ini bisa berarti bahwa Tuhan akan memegang / menegakkan
ancaman-ancaman penghakimanNya terhadap mereka yang menyangkalNya, dan bahwa Ia
tidak akan pernah tidak benar kepada kekudusanNya dan keadilanNya sendiri
terhadap mereka yang meninggalkan pihakNya. Tetapi itu juga bisa berarti
bahwa untuk orang percaya yang sejati, yang dipersatukan dengan Kristus dalam
ikatan yang bertahan dari perjanjian injil, penyelewengan yang kadang-kadang
atau berkala ke dalam dosa tidaklah meniadakan komitmen dari sang Juruselamat
kepada mereka. Yesus disedihkan oleh kegagalan-kegagalan umatNya, tetapi
kasihNya untuk mereka bertahan. Oleh dosa-dosa mereka yang lebih serius,
orang-orang percaya bisa kehilangan penikmatan kasih Kristus, melalui pelukaan
hati nurani mereka dan tindakan mendukakan Roh Kudus, tetapi mereka tidak pernah
bisa kehilangan keselamatan mereka (Yoh 10:28-dst; 1Kor 3:15).
Kepada murid yang menyesal Kristus menjanjikan kasih karuniaNya yang mengampuni,
dan dengan segera bekerja untuk memulihkan kerusakan yang dilakukan terhadap
iman melalui tindakan-tindakan berdosa (Luk
22:31–34,54–62; Yoh 21:15–17). Melakukan
yang sebaliknya / yang berbeda akan berarti menyangkal diriNya sendiri sebagai
Sahabat dan Saudara yang setia dari setiap orang Kristen. Ini adalah sesuatu
yang secara etis tidak bisa Ia lakukan.]
- Libronix.
Gordon
D. Fee: “Line 4: ‘If
we are faithless, he will remain faithful’ (cf. Rom. 3:3). This line is
full of surprises, and it is also the one for which sharp differences of opinion
exist regarding its interpretation. Some see it as a
negative, corresponding to line 3. ‘If
we are faithless’ (i.e., if we commit apostasy), God must be ‘faithful’
to himself and mete out judgment. Although such an understanding is possible, it
seems highly improbable that this is what Paul himself intended. After all, that
could have been said plainly. The lack of a future verb with the adverb
‘also,’ as well as the fact that God’s faithfulness in the NT
is always in behalf of his people, also tend to speak out against this view.
What seems to have happened is that, in a rather typical way (cf., e.g., 1 Cor.
8:3), Paul could not bring himself to finish a sentence as it began. It is
possible for us to prove faithless; but Paul could not possibly say that God
would then be faithless toward us. Indeed, quite the opposite. ‘If
we are faithless’ (and the context demands this meaning of the verb apistoumen,
not ‘unbelieving,’ as KJV, et al.), this does not in any way affect God’s
own faithfulness to his people. This can mean either that God will override our
infidelity with his grace (as most commentators) or that his overall
faithfulness to his gracious gift of eschatological salvation for his people is
not negated by the faithlessness of some. This latter seems more in keeping with
Paul and the immediate context. Some have proved faithless, but God’s saving
faithfulness has not been diminished thereby. ... The final coda simply explains
why the final apodosis stands as it does: ‘because he cannot disown himself.’ To do so would mean that God
had ceased to be. Hence eschatological salvation is for Paul ultimately rooted
in the character of God.” [= Baris 4: ‘Jika kita tidak setia, Ia akan tetap
setia’ (bdk. Ro 3:3). Baris ini penuh dengan kejutan-kejutan, dan itu juga
satu baris untuk mana ada perbedaan-perbedaan pandangan yang tajam berkenaan
dengan penafsirannya. Sebagian orang melihatnya sebagai sesuatu yang negatif,
sesuai dengan baris 3. ‘Jika kita tidak beriman / percaya’ (artinya, jika
kita murtad), Allah pasti ‘setia’ kepada diriNya sendiri dan memberikan
penghakiman secara adil. Sekalipun pengertian seperti itu bisa saja,
kelihatannya sangat tidak mungkin bahwa ini adalah apa yang Paulus sendiri
maksudkan. Bagaimanapun juga, itu bisa saja dikatakan dengan jelas. Tidak
adanya kata kerja bentuk akan datang dengan kata keterangan ‘juga’, maupun
fakta bahwa kesetiaan Allah dalam PB selalu adalah demi umatNya, juga cenderung
untuk berkata dengan tegas menentang pandangan ini. Apa yang kelihatannya
telah terjadi adalah bahwa, dalam suatu cara yang agak khas (bdk. sebagai
contoh, 1Kor 8:3), Paulus tidak bisa menyelesaikan suatu kalimat yang ia mulai.
Adalah mungkin bagi kita untuk ternyata tidak setia; tetapi Paulus tidak mungkin
bisa mengatakan bahwa Allah lalu akan tidak setia terhadap kita. Yang terjadi,
justru adalah apa yang sebaliknya. ‘jika kita tidak setia’ (dan kontext
menuntut arti ini dari kata kerja APISTOUMEN, bukanlah ‘tidak percaya’,
seperti KJV, dll.), ini tidaklah dengan cara apapun mempengaruhi kesetiaan Allah
sendiri kepada umatNya. Ini bisa berarti, atau bahwa Allah akan melindas
ketidak-setiaan kita dengan kasih karuniaNya (seperti kebanyakan penafsir) atau
bahwa kesetiaanNya yang menyeluruh / mencakup segala sesuatu pada anugerahNya
yang penuh kasih karunia dari keselamatan yang bersifat eskatologi untuk
umatNya, tidak akan ditiadakan oleh ketidak-setiaan dari sebagian umatNya. Yang
belakangan ini kelihatannya lebih sesuai dengan Paulus dan kontext yang paling
dekat. Sebagian orang ternyata tidak setia, tetapi kesetiaan yang menyelamatkan
dari Allah tidaklah dikurangi karenanya. ... Bagian terakhir / penutup sekedar
menjelaskan mengapa kesimpulan terakhir ada sebagai ia ada: ‘karena Ia tidak
dapat menyangkal diriNya sendiri’. Melakukan seperti itu akan berarti bahwa
Allah telah berhenti sebagai Allah / berhenti ada. Jadi, keselamatan yang
bersifat eskatologi bagi Paulus berakar pada akhirnya pada / dalam karakter dari
Allah.]
- ‘The New International Biblical Commentary’ (Libronix).
1Kor
8:3 - “Tetapi orang yang
mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah.”.
Catatan:
Saya tak mengerti
apa maksudnya ia memberikan 1Kor 8:3 ini sebagai referensi / contoh.
Penafsir
ini memberikan beberapa argumentasi yang bagus / menarik mengapa ia memilih
pandangan kedua. Argumentasinya (bagian yang saya garis-bawahi) adalah:
a.
Kalau Paulus memang memaksudkan bahwa Allah akan setia pada
ancaman-ancamanNya dan menghukum orang yang tidak setia itu, ia bisa
mengatakannya dengan jelas, sehingga tidak ada keraguan tentang apa yang ia
maksudkan.
b.
Tidak ada kata kerja dalam bentuk future / akan datang, dan tidak adanya
kata ‘also’ (= juga) dalam bagian
itu.
KJV: ‘(11b) For if we be dead with him,
we shall also live with him:
(12) If we suffer, we shall also
reign with him: if we deny him,
he also will deny us: (13) If we believe not, yet
he abideth faithful: he cannot deny himself.’.
Ay
11-13: “(11) Benarlah perkataan ini:
‘Jika kita mati dengan Dia, kitapun (also
/ juga) akan hidup dengan Dia;
(12) jika kita bertekun, kitapun (also
/ juga) akan ikut memerintah
dengan Dia; jika kita menyangkal Dia, Diapun (also / juga) akan
menyangkal kita; (13) jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak
dapat menyangkal diriNya.’”.
Catatan:
dalam ay 11-12 kata ‘also’ (=
juga), yang diterjemahkan dari kata Yunani KAI (biasanya diterjemahkan
‘dan’, atau ‘tetapi’, tetapi bisa juga diterjemahkan ‘also’
/ ‘juga’ - Bible Works 7), seharusnya muncul 3 x (ini ada dalam
KJV/RSV/NIV/NASB/ASV/NKJV). Tetapi dalam ay 13 kata itu tidak ada!
Mengapa tidak ada? Karena kata-kata ‘jika kita tidak setia’
memang kontras dengan kata-kata ‘Dia
tetap setia’!
Karena itu, menurut saya ini semua menunjukkan bahwa di sini terjadi bukan
keparalelan, tetapi pengkontrasan!
c.
Dalam Perjanjian Baru kesetiaan Allah selalu diartikan bagi umatNya!
Memang
pada waktu saya sendiri melihat kata ‘setia’
dalam konkordansi, maka dalam seluruh Alkitab (dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru), tidak pernah kata ‘setia’,
pada waktu diterapkan kepada Allah, diartikan sebagai ‘setia pada
janji-janji / ancaman-ancamanNya’!
Saya
ingin menambahkan bahwa kalau yang dimaksudkan adalah ‘Allah setia pada
firman / janji / ancamanNya’, Alkitab selalu menuliskan secara jelas /
explicit seperti dalam contoh-contoh di bawah ini.
·
Ul 7:9 - “Sebab
itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia,
yang memegang perjanjian dan kasih setiaNya
terhadap orang yang kasih kepadaNya dan berpegang pada perintahNya, sampai
kepada beribu-ribu keturunan,”.
·
Ul 7:12 - “‘Dan
akan terjadi, karena kamu mendengarkan peraturan-peraturan itu serta
melakukannya dengan setia, maka terhadap engkau TUHAN, Allahmu, akan memegang
perjanjian dan kasih setiaNya yang diikrarkanNya
dengan sumpah kepada nenek moyangmu.”.
·
Maz 145:13 - “KerajaanMu ialah kerajaan segala abad, dan pemerintahanMu tetap
melalui segala keturunan. TUHAN setia dalam
segala perkataanNya dan penuh kasih setia dalam segala perbuatanNya.”.
·
Dan 9:4 - “Maka
aku memohon kepada TUHAN, Allahku, dan mengaku dosaku, demikian: ‘Ah Tuhan,
Allah yang maha besar dan dahsyat, yang
memegang Perjanjian dan kasih setia terhadap mereka yang mengasihi
Engkau serta berpegang pada perintahMu!”.
Alasan-alasan
lain bagi saya untuk memilih arti ke 2 adalah:
a. Mari kita memperhatikan dan menganalisa
kata-kata ‘jika kita tidak setia’.
Pada
waktu saya melihat dalam konkordansi, maka kata-kata ‘tidak
setia’ pada
waktu ditujukan kepada manusia dalam hubungannya dengan Allah, pada umumnya /
hampir semua menunjukkan ketidak-percayaan (tidak adanya iman yang sejati).
Jadi, biasanya kata-kata ini ditujukan kepada orang yang tidak percaya / orang
kristen KTP.
Misalnya:
·
1Taw 10:13
- “Demikianlah
Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia terhadap TUHAN, oleh
karena ia tidak berpegang pada firman TUHAN, dan juga karena ia telah meminta
petunjuk dari arwah”.
·
Maz 78:8
- “dan jangan seperti nenek moyang mereka, angkatan pendurhaka dan
pemberontak, angkatan yang tidak tetap hatinya dan tidak setia jiwanya
kepada Allah”.
Dalam
kasus dimana yang ‘tidak setia’
adalah orang yang tidak percaya / orang kristen KTP, maka jelas tidak mungkin
kita menafsirkan bahwa dalam keadaan seperti ini Yesus akan tetap setia kepada
mereka. Maka kita harus mengambil penafsiran pertama, yaitu bahwa Ia tetap setia
pada ancaman-ancaman dan janji-janjiNya.
Bdk.
Yer 16:3-6 - “(3) Sebab beginilah
firman TUHAN tentang anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan yang lahir di
tempat ini, tentang ibu-ibu mereka yang melahirkan mereka dan tentang bapa-bapa
mereka yang memperanakkan mereka di negeri ini: (4) Mereka akan mati karena
penyakit-penyakit yang membawa maut; mereka tidak akan diratapi dan tidak akan
dikuburkan; mereka akan menjadi pupuk di ladang; mereka akan habis oleh pedang
dan kelaparan; mayat mereka akan menjadi makanan burung-burung di udara dan
binatang-binatang di bumi. (5) Sungguh, beginilah firman TUHAN: Janganlah masuk
ke rumah perkabungan, dan janganlah pergi meratap dan janganlah turut
berdukacita dengan mereka, sebab Aku telah menarik damai sejahtera
pemberianKu dari pada bangsa ini, demikianlah firman TUHAN, juga kasih setia dan
belas kasihanKu. (6) Besar kecil akan mati di negeri ini; mereka tidak akan
dikuburkan, dan tidak ada orang yang akan meratapi mereka; tidak ada orang yang
akan menoreh-noreh diri dan yang akan menggundul kepala karena mereka.”.
Tetapi
dalam Alkitab jelas juga ada kata-kata ‘tidak
setia’ yang
diterapkan kepada orang-orang percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam
dosa. Contoh:
·
Im 5:15-16
- “(15)
‘Apabila seseorang berubah setia dan tidak sengaja berbuat dosa dalam
sesuatu hal kudus yang dipersembahkan kepada TUHAN, maka haruslah ia
mempersembahkan kepada TUHAN sebagai tebusan salahnya seekor domba jantan yang
tidak bercela dari kambing domba, dinilai menurut syikal perak, yakni menurut
syikal kudus, menjadi korban penebus salah. (16) Hal kudus yang menyebabkan
orang itu berdosa, haruslah dibayar gantinya dengan menambah seperlima, lalu
menyerahkannya kepada imam. Imam harus mengadakan pendamaian bagi orang itu
dengan domba jantan korban penebus salah itu, sehingga ia menerima
pengampunan.”.
Catatan:
kata-kata ‘berubah setia’
dalam Im 5:15 diterjemahkan bermacam-macam oleh Kitab Suci bahasa Inggris,
tetapi Bible Works 7 mengatakan bahwa kata itu terjemahannya memang adalah ‘bertindak dengan tidak setia’.
Terjemahan NASB juga menterjemahkan seperti itu. Hal yang sama muncul dalam Im
6:2 (baca sampai dengan ay 7nya), Im 26:40 (baca sampai dengan ay 45nya), Bil
5:6 (baca sampai dengan ay 7). Text ini kelihatannya menunjuk kepada orang
percaya yang sungguh-sungguh yang jatuh ke dalam dosa, karena ada pendamaian dan
pengampunan bagi dia.
·
Ezra 9-10,
kita lihat beberapa ayat saja.
Ezr
9:2,4 - “(2) Karena mereka telah
mengambil isteri dari antara anak perempuan orang-orang itu untuk diri sendiri
dan untuk anak-anak mereka, sehingga bercampurlah benih yang kudus dengan
penduduk negeri, bahkan para pemuka dan penguasalah yang lebih dahulu melakukan
perbuatan tidak setia itu.’ ... (4) Lalu berkumpullah kepadaku semua
orang yang gemetar karena firman Allah Israel, oleh sebab perbuatan tidak
setia orang-orang buangan itu, tetapi aku tetap duduk tertegun sampai korban
petang.”.
Ezr
10:2,6,10 - “(2) Maka berbicaralah
Sekhanya bin Yehiel, dari bani Elam, katanya kepada Ezra: ‘Kami telah
melakukan perbuatan tidak setia terhadap Allah kita, oleh karena kami
telah memperisteri perempuan asing dari antara penduduk negeri. Namun demikian
sekarang juga masih ada harapan bagi Israel. ... (6) Sesudah itu Ezra pergi dari
depan rumah Allah menuju bilik Yohanan bin Elyasib, dan di sana ia bermalam
dengan tidak makan roti dan minum air, sebab ia berkabung karena orang-orang
buangan itu telah melakukan perbuatan tidak setia. ... (10) Maka
bangkitlah imam Ezra, lalu berkata kepada mereka: ‘Kamu telah melakukan
perbuatan tidak setia, karena kamu memperisteri perempuan asing dan
dengan demikian menambah kesalahan orang Israel.”.
Sederetan
ayat dalam kitab Ezra ini menunjukkan bahwa orang-orang Israel itu tidak setia
dalam arti mereka jatuh ke dalam dosa (mengambil istri asing), tetapi
kelihatannya mereka adalah orang-orang percaya karena akhirnya mereka bertobat
dari dosa itu.
Bdk.
Ezra 10:44 - “Mereka sekalian
mengambil sebagai isteri perempuan asing; maka mereka menyuruh pergi
isteri-isteri itu dengan anak-anaknya.”.
Tetapi
ayat yang paling jelas yang berbicara tentang orang-orang percaya yang tidak
setia adalah ayat di bawah ini, karena ayat ini berbicara tentang Musa dan
Harun, yang pasti adalah orang percaya.
Ul
32:51 - “oleh sebab kamu telah berubah setia terhadap Aku di tengah-tengah orang
Israel, dekat mata air Meriba di Kadesh di padang gurun Zin, dan oleh sebab kamu
tidak menghormati kekudusanKu di tengah-tengah orang Israel”.
Catatan:
Kata ‘kamu’
yang saya beri garis bawah ganda ada dalam bentuk jamak, dan karena itu menunjuk
bukan kepada Musa saja, tetapi kepada Musa dan Harun.
Dalam
kasus seperti ini (orang kristen sejati yang tidak setia), bisa dipastikan bahwa
kata-kata ‘Dia tetap setia’
diberi obyek ‘orang percaya / orang Kristen’ (penafsiran kedua). Jadi
seluruh kalimat artinya menjadi, ‘Jika kita (orang
Kristen) tidak setia, Dia akan tetap
setia (kepada kita)’.
Ia tidak akan membuang kita / memasukkan kita ke dalam neraka.
Bdk.
Yer 31:3 - “Dari jauh TUHAN
menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal,
sebab itu Aku melanjutkan kasih setiaKu
kepadamu.”.
Catatan:
baca Yer 30
yang menunjukkan bahwa tadinya mereka dihajar oleh Tuhan karena dosa-dosa
mereka!
Kesukaran
dalam menafsirkan ayat ini adalah: Paulus tidak menjelaskan orang yang ‘tidak
setia’ itu orang kristen yang sejati atau orang kristen KTP.
b. Arti ke 2 ini cocok dengan banyak ayat
Alkitab seperti di bawah ini:
·
2Sam
7:14-15 - “(14)
Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anakKu. Apabila ia melakukan
kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan
dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia. (15) Tetapi kasih setiaKu
tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul,
yang telah Kujauhkan dari hadapanmu.”.
·
Yes 54:5-8,10
- “(5)
Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam
namaNya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut
Allah seluruh bumi. (6) Sebab seperti isteri yang ditinggalkan dan yang
bersusah hati TUHAN memanggil engkau kembali; masakan isteri dari masa muda akan
tetap ditolak? firman Allahmu. (7) Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan
engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali.
(8) Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajahKu terhadap engkau
sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia
abadi Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu. ... (10)
Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih
setiaKu tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damaiKu tidak akan
bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”.
·
Rat 3:31-33 - “(31)
Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan. (32) Karena walau
Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setiaNya.
(33) Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak
manusia.”.
Ada
penafsir-penafsir yang kelihatannya menggabungkan kedua arti di atas.
Barclay: “Jesus Christ cannot vouch in eternity for a man who has
refused to have anything to do with him in time; but he is for ever true to the
man who, however much he has failed, has tried to be true to him” (= Yesus Kristus tidak bisa menjamin dalam
kekekalan bagi seseorang yang telah menolak untuk mempunyai urusan apapun
dengan Dia dalam waktu; tetapi Ia selama-lamanya setia kepada orang yang
bagaimanapun hebatnya ia telah gagal, telah berusaha untuk setia kepada Dia) - hal 170.
The
Preacher’s Commentary Series (vol 32):
“We would expect the hymn to
repeat the parallel in its conclusion to the effect that if we are faithless,
God is faithless. But notice the dramatic shift: ‘If we are faithless, He remains faithful; He cannot deny Himself.’ Because
of this shift, the meaning is not easy to pin down. On the one hand, it might
appear that God’s faithfulness, ‘no matter what,’ offsets the fear
engendered by the thought of Jesus’ denial of us. If pressed, this leads to a
concept of unconditional love on God’s part in which, ultimately, our actions
have no lasting consequence. God will always tidy up our messes. On the other
hand, this statement can be read as a statement of dreadful finality. His
faithfulness is to Himself. Thus, as our denial of Him results in His denial of
us, so our faithlessness to Him results in His faithfulness to Himself - which
is to judge us for our infidelity. I don’t think we have to get pressed to
either extreme. Don’t forget that this was likely a hymn, not a theological
treatise. I’m satisfied that both notes need to be sounded. Denial and
infidelity, in their many forms, must be taken seriously. Grace and
unconditional love must never be distorted to mean that our actions do not have
meaning or consequences. We must be responsible for our conduct - with God and
with others. In this sense God’s faithfulness must mean that He cannot
contradict Himself. The God of love and mercy is also the God of justice and
righteousness. The prophet Hosea is the classic spokesman to this problem. He
saw clearly the denial and faithlessness of the people of God. He boldly
portrayed Israel’s behavior in terms of his own unfaithful wife. God is seen
both as bringing judgment upon Israel and as finally wooing and winning her
back. ‘How can I give you up, Ephraim? How can I hand you over, Israel?… I
will not execute the fierceness of My anger… for I am God, and not man’
(Hos. 11:8–9). Paul’s words to the Corinthians seem to say the same thing.
In 1 Corinthians 3:11–15, he portrays the Christian life as building upon the
foundation which is Jesus Christ. The deeds of our lives are likened to ‘gold,
silver, precious stones, wood, hay, straw.’ In our final accounting to God,
our works will be tested by fire - some will endure, some will be consumed as
worthless. But Paul’s conclusion affirms God’s ultimate mercy: ‘If
anyone’s work is burned, he will suffer loss; but he himself will be saved,
yet so as through fire’ (1 Cor. 3:15).
I take this to be bad news and good news. For God to be faithful to
Himself, our behavior must have meaning, and that means that our actions have
consequences that God Himself will not abridge. But God also promises us
salvation in Christ. Whether or not our works endure the test of fire, in Christ
we will be saved. The central motive for faithfulness to God is not the fear of
being rejected by God. The driving force for fidelity to God is the positive
desire to please the One who loves us so!”
[= Kita akan mengharapkan
nyanyian pujian ini untuk mengulang keparalelan dalam kesimpulannya kira-kira
dengan sesuatu yang berarti bahwa jika kita tidak setia, Allah juga tidak setia.
Tetapi perhatikan pergeseran yang dramatis: ‘Jika kita tidak setia, Ia tetap
setia; Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’. Karena pergeseran ini,
artinya tidak mudah untuk dipastikan. Di satu pihak, bisa terlihat bahwa
kesetiaan Allah, ‘tak peduli apapun yang terjadi’, mengimbangi rasa takut
yang ditimbulkan oleh pemikiran tentang penyangkalan Yesus terhadap kita. Jika
ditekankan, ini membimbing pada suatu konsep tentang kasih yang tak bersyarat di
pihak Allah dalam mana, pada akhirnya, tindakan-tindakan kita tidak mempunyai
konsekwensi yang abadi. Allah akan selalu membereskan kekacauan-kekacauan kita.
Di lain pihak, pernyataan ini bisa dibaca
sebagai suatu pernyataan tentang akhir yang menakutkan. KesetiaanNya adalah
kepada diriNya sendiri. Jadi, seperti penyangkalan kita terhadap Dia
mengakibatkan penyangkalanNya terhadap kita, demikianlah ketidak-setiaan kita
kepadaNya mengakibatkan dalam kesetiaanNya kepada diriNya sendiri - yang harus
menghakimi kita untuk ketidak-setiaan kita. Saya tidak berpikir / menganggap
kita harus menekankan extrim yang manapun. Jangan lupa bahwa ini mungkin sekali
adalah suatu nyanyian pujian, bukan suatu buku / karangan theologia. Saya yakin
bahwa kedua catatan perlu untuk dibunyikan. Penyangkalan dan ketidak-setiaan,
dalam bentuk-bentuk mereka yang banyak, harus dipandang secara serius. Kasih
karunia dan kasih yang tak bersyarat tidak pernah boleh diubah / disimpangkan
untuk berarti bahwa tindakan-tindakan kita tidak mempunyai arti atau
konsekwensi-konsekwensi. Kita harus bertanggung jawab untuk tingkah laku kita -
dengan Allah dan dengan orang-orang lain. Dalam arti ini kesetiaan Allah harus
berarti bahwa Ia tidak bisa menentang diriNya sendiri. Allah dari kasih dan
belas kasihan juga adalah Allah dari keadilan dan kebenaran. Nabi Hosea adalah
jurubicara klasik bagi problem ini. Ia melihat dengan jelas penyangkalan dan
ketidak-setiaan dari umat Allah. Ia dengan berani menggambarkan kelakuan Israel
dalam istilah-istilah dari istrinya sendiri yang tidak setia. Allah terlihat
baik sebagai membawa penghakiman atas Israel dan akhirnya sebagai membujuk dan
memenangkan ia kembali. ‘Bagaimana Aku bisa menyerahkan engkau, Efraim?
Bagaimana Aku bisa menyerahkan engkau, Israel? ... Aku tidak akan melaksanakan
keganasan murkaKu ... sebab Aku ini Allah, dan bukan manusia’ (Hos 11:8-9).
Kata-kata Paulus kepada orang-orang / jemaat Korintus kelihatannya mengatakan
hal yang sama. Dalam 1Kor 3:11-15, ia menggambarkan kehidupan Kristen
seperti membangun di atas fondasi yang adalah Yesus Kristus. Tindakan-tindakan /
perbuatan-perbuatan dari kehidupan kita disamakan dengan ‘emas, perak,
batu-batu berharga, kayu, rumput kering, jerami’. Dalam pertanggungan jawab
akhir kita kepada Allah, pekerjaan-pekerjaan kita akan diuji dengan api -
sebagian akan bertahan, sebagian akan dihabiskan sebagai tidak berharga. Tetapi
kesimpulan Paulus menegaskan belas kasihan terakhir dari Allah: ‘Jika
pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan
diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.’ (1Kor 3:15). Saya mengartikan ini sebagai kabar buruk dan kabar baik.
Bagi Allah untuk setia kepada diriNya sendiri, kelakuan kita harus mempunyai
arti, dan itu berarti bahwa tindakan-tindakan kita mempunyai
konsekwensi-konsekwensi yang Allah sendiri tidak akan / mau mengurangi. Tetapi
Allah juga menjanjikan kita keselamatan dalam Kristus. Apakah
pekerjaan-pekerjaan kita bertahan dari ujian api itu, dalam Kristus kita akan
diselamatkan. Motivasi sentral untuk kesetiaan kepada Allah bukanlah rasa takut
untuk ditolak oleh Allah. Kekuatan yang mendorong untuk kesetiaan kepada Allah
adalah keinginan yang positif untuk menyenangkan Dia yang mengasihi kita seperti
itu!] - hal 268-269 (Libronix).
Hos 11:8-9
- “(8) Masakan Aku
membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku
membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? HatiKu berbalik
dalam diriKu, belas kasihanKu bangkit serentak. (9) Aku tidak akan melaksanakan
murkaKu yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab
Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak
datang untuk menghanguskan.”.
1Kor
3:11-15 - “(11) Karena tidak ada
seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah
diletakkan, yaitu Yesus Kristus. (12) Entahkah orang membangun di atas dasar ini
dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, (13) sekali
kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan
menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan
masing-masing orang akan diuji oleh api itu. (14) Jika pekerjaan yang dibangun
seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. (15) Jika pekerjaannya terbakar, ia
akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti
dari dalam api.”.
Saya
tak setuju dengan tafsiran yang menggabungkan seperti ini. Saya berpendapat
Paulus pasti memaksudkan yang pertama atau yang kedua. Tidak mungkin keduanya.
Dan saya memilih yang kedua.
6)
“karena Dia tidak dapat menyangkal
diriNya.’” (ay 13b).
John
Stott: “The
idea that there may be something which God ‘cannot’ do is entirely foreign
to some people. Can he not do anything and everything? Are not all things
possible to him? Is he not omnipotent? Yes, but God’s omnipotence needs to be
understood. God is not a totalitarian tyrant that he should exercise his power
arbitrarily and do absolutely anything whatsoever. God’s omnipotence is the
freedom and the power to do absolutely anything he chooses to do. But he chooses
only to do good, only to work according to the perfection of his character and
will. God can do everything consistent with being himself. The one and only
thing he cannot do, because he will not, is to deny himself or act
contrary to himself. So God remains for ever himself, the same God of mercy and
of justice, fulfilling his promises (whether of blessing or of judgment), giving
us life if we die with Christ and a kingdom if we endure, but denying us if we
deny him, just as he warned, because he cannot deny himself.”
[= Gagasan bahwa di sana bisa ada sesuatu yang Allah ‘tidak dapat’ lakukan,
sepenuhnya asing bagi sebagian orang. Tidak bisakah Ia melakukan apapun dan
setiap hal? Bukankah segala sesuatu mungkin bagi Dia? Bukankah Ia maha kuasa?
Ya, tetapi kemaha-kuasaan Allah perlu untuk dimengerti. Allah bukanlah seorang
tiran yang memegang kendali sepenuhnya sehingga Ia menggunakan kuasaNya dengan
sewenang-wenang dan melakukan secara mutlak apapun juga. Kemahakuasaan Allah
adalah kebebasan dan kuasa untuk melakukan secara mutlak apapun yang Ia pilih
untuk lakukan. Tetapi Ia hanya memilih untuk melakukan yang baik, hanya bekerja
menurut kesempurnaan dari karakter dan kehendakNya. Allah bisa melakukan segala
sesuatu yang konsisten dengan menjadi diriNya sendiri. Satu-satunya hal yang Ia
tidak dapat lakukan, karena Ia tidak mau melakukannya, adalah menyangkal
diriNya sendiri atau bertindak bertentangan dengan diriNya sendiri. Jadi Allah
akan tetap menjadi diriNya sendiri, Allah yang sama dari belas kasihan dan dari
keadilan, menggenapi janji-janjiNya (apakah tentang berkat atau tentang
penghakiman), memberi kita hidup jika kita mati dengan Kristus dan suatu
kerajaan jika kita bertahan, tetapi menyangkal kita jika kita menyangkal Dia,
persis seperti yang Ia peringatkan, karena Ia tidak bisa menyangkal diriNya
sendiri.].
Catatan:
saya tak setuju dengan kata-kata Stott yang saya garis-bawahi. Menurut saya
Allah bukan tidak dapat karena Ia tidak mau. Tetapi Ia memang
tidak dapat / tidak bisa, menyangkal diriNya sendiri.
UBS
New Testament Handbook Series:
“‘He
cannot be false to himself’ then means that Christ cannot turn his back on his
true nature as the Savior who remains faithful to those who trust in him” (= Jadi, ‘Ia tidak bisa
tidak setia kepada diriNya sendiri’ artinya adalah bahwa Kristus tidak bisa
membelakangi sifat dasarNya yang sejati sebagai Juruselamat yang tetap setia
kepada mereka yang percaya kepadaNya).
Gordon
D. Fee: “The final
coda simply explains why the final apodosis stands as it does: ‘because
he cannot disown himself.’ To do so would mean that God had ceased to
be. Hence eschatological salvation is for Paul ultimately rooted in the
character of God.”
(= Bagian terakhir / penutup sekedar menjelaskan mengapa kesimpulan terakhir ada
sebagai ia ada: ‘karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya sendiri’.
Melakukan seperti itu akan berarti bahwa Allah telah berhenti sebagai Allah /
berhenti ada. Jadi, keselamatan yang bersifat eskatologi bagi Paulus berakar
pada akhirnya pada / dalam karakter dari Allah.)
- ‘The New International Biblical Commentary’ (Libronix).
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali