(Jl.
Dinoyo 19b, lantai 3)
Rabu,
tanggal 13 Februari 2008, pk 19.00
Pdt. Budi Asali, M. Div.
(7064-1331 /
6050-1331)
Ay 2-7: “(2) Karena itu penilik jemaat
haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri,
bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, (3) bukan
peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, (4)
seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya. (5)
Jikalau seorang tidak tahu mengepalai keluarganya sendiri, bagaimanakah ia dapat
mengurus Jemaat Allah? (6) Janganlah ia seorang yang baru bertobat, agar jangan
ia menjadi sombong dan kena hukuman Iblis. (7) Hendaklah ia juga mempunyai nama
baik di luar jemaat, agar jangan ia digugat orang dan jatuh ke dalam jerat Iblis”.
Dalam ay 2-7 ini Paulus memberikan syarat-syarat
dari seorang penilik jemaat / penatua. Sekalipun ini merupakan syarat dari
seorang penilik jemaat / penatua, tidak berarti bagian ini tidak berguna untuk
orang yang bukan penatua. Mengapa?
·
karena
siapa tahu ia akan menjadi penatua / penilik jemaat?
·
karena
bisa ia gunakan untuk melihat apakah seseorang sesuai atau tidak untuk menjadi
seorang penatua / penilik jemaat.
·
karena
bisa ia gunakan untuk mengajar / menasehati seseorang yang mau menjadi atau
adalah seorang penatua / penilik jemaat.
·
karena
bagian ini menunjukkan kesalehan seseorang, maka bagian ini tetap merupakan
sesuatu yang harus dicapai oleh setiap orang Kristen, apakah ia mau menjadi atau
adalah seorang penatua / penilik jemaat atau orang awam.
Sekarang, mari kita mempelajari syarat-syarat ini
satu per satu:
1)
‘Seorang yang tak bercacat’.
KJV: ‘blameless’ (= tak bersalah /
bebas dari tuduhan).
RSV/NIV/NASB: ‘above reproach’ (=
di atas celaan).
Jadi maksudnya, orang itu harus hidup
sedemikian rupa sehingga ia ada di atas celaan, atau tidak bisa dicela.
Matthew
Henry: “A minister must be blameless, he must not
lie under any scandal” (= Seorang pendeta / pelayan harus tak bersalah, ia
tidak boleh berada di bawah skandal apapun).
Adam
Clarke: “blameless; anepileepton, a person against whom no evil can be proved;
one who is everywhere invulnerable; for the word is a metaphor, taken from the
case of an expert and skillful pugilist, who so defends every part of his body
that it is impossible for his antagonist to give one hit. So this Christian
Bishop is one that has so conducted himself, as to put it out of the reach of
any person to prove that he is either unsound in a single article of the
Christian faith, or deficient in the fulfilment of any duty incumbent on a
Christian. He must be irreprehensible; for how can he reprove that in others
which they can reprove in him?” (= ‘tak bersalah’; anepileepton, seseorang terhadap siapa tak ada kejahatan bisa dibuktikan;
seseorang yang dimana-mana tak mudah diserang; karena kata ini merupakan suatu
kiasan, diambil dari kasus dari seorang petinju yang ahli dan mahir, yang
demikian rupa mempertahankan setiap bagian tubuhnya sehingga mustahil bagi
musuhnya untuk memberinya satu pukulanpun. Demikianlah Uskup Kristen ini adalah
seseorang yang bertingkah laku sedemikian rupa sehingga ia berada di luar
jangkauan dari siapapun untuk membuktikan bahwa ia tidak sehat dalam satu
bagian dari iman Kristen, atau kurang baik dalam memenuhi kewajiban manapun yang
diwajibkan pada seorang Kristen. Ia haruslah tidak bisa dicela; karena bagaimana
ia bisa menegur / mencela sesuatu dalam diri orang lain yang bisa mereka cela
dalam dirinya?).
Barnes’
Notes: “The word here used does not mean that, as
a necessary qualification for office, a bishop should be ‘perfect;’ but that
he should be a man against whom no charge of immorality, or of holding
false doctrine, is alleged. ... He should be a man of irreproachable
character for truth, honesty, chastity, and general uprightness” (= Kata
yang digunakan di sini tidak berarti bahwa, sebagai suatu persyaratan yang perlu
untuk jabatannya, seorang uskup harus ‘sempurna’; tetapi bahwa ia haruslah
seseorang terhadap siapa tak ada tuduhan ketidak-bermoralan, atau
memegang / mempercayai ajaran sesat, bisa dinyatakan. ... Ia haruslah
seseorang dengan karakter yang tidak bisa dicela dalam kebenaran, kejujuran,
kesucian / kemurnian, dan kelurusan umum).
Saya
lebih setuju dengan istilah ‘prove’ / ‘membuktikan’ yang
digunakan oleh Clarke, dari pada istilah ‘charge’ / ‘tuduhan’
ataupun ‘alleged’ / ‘dinyatakan’ yang digunakan oleh Albert
Barnes. Kalau itu hanya tuduhan yang dinyatakan, tetapi tanpa bukti / dasar yang
kuat, tentu tidak perlu dipermasalahkan.
Juga
orang Kristen / jemaat tak boleh sembarangan menerima tuduhan atas seorang
penatua / penilik jemaat.
Bdk.
1Tim 5:19 - “Janganlah engkau menerima tuduhan atas seorang penatua
kecuali kalau didukung dua atau tiga orang saksi”.
Jangan
lupa bahwa dengan kedudukan penatua / penilik jemaat apalagi pendeta /
penginjil, seseorang pasti akan menjadi sasaran fitnah dari setan yang
menggunakan anak-anaknya, bahkan yang kelihatannya adalah orang-orang kristen!
2)
‘suami dari satu isteri’.
Bagian
ini kelihatannya sederhana, tetapi ternyata artinya banyak diperdebatkan. Ini
beberapa arti yang diberikan oleh para penafsir:
a) Penatua / penilik jemaat itu haruslah seorang laki-laki.
Karena
dikatakan sebagai ‘suami’ maka ia harus laki-laki. Ini menyebabkan
gereja-gereja Presbyterian di Amerika banyak yang mengharuskan jenis kelamin
laki-laki bagi penatua / penilik jemaat, apalagi pendeta / penginjil / pemberita
Firman Tuhan.
Saya
beranggapan bahwa sekalipun kelihatannya ditujukan untuk laki-laki, tetapi jelas
berlaku untuk kedua jenis kelamin. Kebanyakan ayat, kecuali yang memang khusus
untuk perempuan, biasanya ditujukan kepada laki-laki. Misalnya: Mat 5:28
kelihatannya ditujukan untuk laki-laki, tetapi tentu saja juga berlaku untuk
perempuan.
b) Penatua / penilik jemaat itu harus sudah kawin, tak boleh
yang belum kawin.
Adam
Clarke termasuk yang mengharuskan pernikahan. Tetapi William Hendriksen menolak
penafsiran seperti ini, dan ia mengatakan bahwa bagian ini memang mengasumsikan
bahwa penatua / penilik jemaat itu sudah kawin, karena biasanya demikian. Tetapi
tidak ada pengharusan mutlak.
Tetapi
ada 2 hal yang perlu disoroti:
1.
Jelas bahwa penatua / penilik jemaat (termasuk pendeta / penginjil) tidak
dilarang untuk menikah. Lalu dari mana Gereja Roma Katolik bisa melarang ‘para
hamba Tuhan’nya untuk menikah?
2.
Adalah lebih baik kalau seorang penatua / penilik jemaat, apalagi pendeta
/ penginjil, menikah / mempunyai keluarga. Mengapa? Karena kalau ia tak menikah
/ mempunyai keluarga, ia tak akan pernah tahu problem istri / pernikahan / rumah
tangga, sehingga sukar bisa mengerti dan menangani problem tersebut dalam
jemaat.
c)
Penatua / penilik jemaat hanya boleh menikah satu kali, dalam arti
kalaupun pasangannya mati, ia tidak boleh menikah lagi.
Jamieson,
Fausset & Brown termasuk yang memegang pandangan ini. Sebagai dasar ia
mengatakan bahwa istilah itu di sini sama dengan dalam 1Tim 5:9 - “Yang
didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang dari enam puluh
tahun, yang hanya satu kali bersuami”.
Tetapi
beberapa penafsir justru mengatakan sebaliknya, karena dalam 1Tim 5:9
digunakan participle bentuk lampau,
tetapi tidak di sini.
1Tim 5:9 (KJV): ‘having been the wife of one man’.
Baik
Calvin maupun William Hendriksen menganggap bahwa kalau yang dimaksud oleh
bagian ini adalah ‘hanya pernah menikah satu kali’, maka seharusnya
digunakan bentuk lampau / perfect seperti dalam 1Tim 5:9 itu.
Argumentasi
lain yang diberikan oleh penafsir-penafsir untuk menentang pandangan ini adalah:
pernikahan lagi setelah pasangan mati memang diijinkan oleh Kitab Suci bagi
orang Kristen, dan karena itu tidak mungkin dilarang bagi penatua / penilik
jemaat.
Ro 7:2-3
- “(2) Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama
suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari
hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. (3) Jadi selama suaminya hidup ia
dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya
telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi
isteri laki-laki lain”.
1Kor 7:8-9,39
- “(8) Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda
aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku. (9)
Tetapi kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab
lebih baik kawin dari pada hangus karena hawa nafsu. ... (39) Isteri terikat
selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin
dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang
percaya”.
Catatan: jelas yang dimaksud dengan ‘janda’ dalam
1Kor 7:8 adalah istri yang ditinggal mati suaminya, karena tentang janda yang
bercerai Paulus membicarakannya dalam 1Kor 7:11a - “Dan jikalau ia
bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya”.
d)
Penatua / penilik jemaat tidak boleh merupakan seorang polygamist /
mempunyai lebih dari 1 istri pada satu saat.
Adam
Clarke dan Matthew Henry menambahkan: ia tidak boleh adalah orang yang
menceraikan istrinya lalu menikah lagi.
Tetapi
untuk pandangan ini juga ada keberatan, yaitu bahwa tak ada orang Kristen, baik
itu penilik jemaat atau orang awam, yang diijinkan untuk melakukan polygamy.
Lalu mengapa syarat ini ditekankan untuk seorang penilik jemaat?
Ada
yang menganggap bahwa kalau seseorang sudah melakukan polygamy sebelum ia
menjadi kristen, maka pada saat ia menjadi kristen, ia tak harus menceraikan
istri-istrinya. Tetapi ia tidak boleh menjadi seorang penilik jemaat. Saya tidak
setuju dengan pandangan ini.
Saya
berpendapat karena polygamy pada saat itu merupakan suatu dosa yang membudaya,
maka itu lebih ditoleransi pada saat itu. Jadi, untuk jemaat awam mungkin masih
ditoleransi, tetapi untuk penatua / penilik jemaat tidak.
e)
Ada lagi yang menafsirkan bahwa kata-kata ini artinya hanyalah bahwa
seorang penilik jemaat harus menunjukkan teladan moral yang ketat (Donald
Guthrie, Tyndale, hal 80).
Saya secara
pasti memilih pandangan no d).
3)
‘dapat menahan diri’.
KJV: ‘vigilant’ (= waspada).
RSV/NIV/NASB: ‘temperate’ (=
berkepala dingin / sabar).
Perbedaan arti ini kelihatannya muncul karena
kata Yunaninya (NEPHALEON / NEPHALION) memang bisa diartikan bermacam-macam.
Barnes’
Notes: “‘Vigilant.’ ... It means, properly,
‘sober, temperate, abstinent,’ especially in respect to wine; then
‘sober-minded, watchful, circumspect. Robinson.’” (= ‘Waspada’.
... Kata ini sebetulnya berarti ‘sadar / waras / tidak mabuk, sabar, pantang /
bisa menahan nafsu’, khususnya kerkenaan dengan anggur; lalu ‘berpikiran
waras, berjaga-jaga, sangat berhati-hati, Robinson’).
Adam
Clarke: “Instead
of neephaleon, many MSS. read neephalion,
this may be the better orthography, but makes no alteration in the sense”
(= Banyak manuscripts yang menuliskan bukannya neephaleon,
tetapi neephalion, ini mungkin
merupakan ejaan yang lebih baik, tetapi tak membuat perubahan arti).
Adam
Clarke: “He
must be vigilant; neephaleon, from
nee, ‘not’ and pino, ‘to drink.’ Watchful; for as one who drinks is apt
to sleep, so he who abstains from it is more likely to keep awake, and attend to
his work and charge” (= Ia harus waspada: NEEPHALEON, dari NEE,
‘tidak’ dan PINO, ‘minum’. Berjaga-jaga; karena sebagai seseorang yang
minum cenderung untuk tidur, demikian juga ia yang tidak minum lebih mungkin
untuk tetap bangun, dan mengurusi pekerjaan dan tanggung jawabnya).
Matthew
Henry: “He
must be vigilant and watchful against Satan, that subtle enemy; he must watch over
himself, and the souls of those who are committed to his charge, of whom having
taken the oversight, ... A minister ought to be vigilant, because our
adversary the devil goes about like a roaring lion, seeking whom he may devour,
1 Pet. 5:8.” (= Ia harus waspada dan berjaga-jaga terhadap setan, musuh
yang licik itu; ia harus berjaga-jaga atas dirinya sendiri, dan jiwa-jiwa
dari mereka yang dipercayakan / diserahkan kepadanya sebagai tanggung jawabnya,
yang harus ia awasi, ... Seorang pendeta / pelayan harus waspada, karena
lawan kita si Iblis berkeliling seperti singa yang mengaum-aum, mencari orang
yang dapat ditelannya, 1Pet 5:8).
4)
‘bijaksana’.
KJV: ‘sober’ (= tenang / sadar /
waras / tidak mabuk).
RSV: ‘sensible’ (= bijaksana /
berpikiran sehat).
NIV: ‘self-controlled’ (= menguasai diri).
NASB: ‘prudent’ (=
hati-hati / bijaksana).
Yunani:
SOPHRONA.
Adam
Clarke: “soophrona,
... from soos, ‘sound’
(healthy), and phreen, ‘mind’,
a man of a sound mind; having a good understanding, and the complete government
of all his passions. A Bishop should be a man of learning, of an extensive and
well cultivated mind, dispassionate, prudent, and sedate” (= SOOPHRONA,
... dari SOOS, ‘sehat’, dan PHREEN, ‘pikiran’, seseorang dengan pikiran
sehat; mempunyai pengertian yang baik, dan pemerintahan sempurna / lengkap
terhadap semua nafsunya. Seorang Uskup haruslah seorang yang terpelajar, yang
mempunyai pikiran yang luas dan terlatih dengan baik, tenang, hati-hati /
bijaksana, dan sabar).
Barnes’
Notes: “Properly,
a man of ‘a sound mind;’ one who follows sound reason, and who is not under
the control of passion. The idea is, that he should have his desires and
passions well regulated. Perhaps the word ‘prudent’ would come nearer to the
meaning of the apostle than any single word which we have” [= Secara
tepat, seseorang dengan ‘pikiran yang sehat’; seseorang yang mengikuti akal
sehat, dan yang tidak dikuasai oleh nafsu. Gagasan / artinya adalah, bahwa ia
harus bisa mengatur keinginan dan nafsunya. Mungkin kata ‘prudent’
(hati-hati / bijaksana) lebih dekat pada arti dari sang rasul dari satu kata
lain manapun yang kita punyai].
5)
‘sopan’.
KJV: ‘of good behaviour’ (=
mempunyai kelakuan yang baik).
RSV: ‘dignified’ (= dihargai).
NIV/NASB: ‘respectable’ (= terhormat).
Adam
Clarke: “He
must be of good behaviour; kosmion,
orderly, decent, grave, and correct in the whole of his appearance, carriage,
and conduct. The preceding term, soophrona,
refers to the mind; this latter, kosmion,
to the external manners. A clownish, rude, or boorish man should never have the
rule of the church of God; the sour, the sullen, and the boisterous should never
be invested with a dignity which they would most infallibly disgrace” [=
Ia harus mempunyai kelakuan baik; KOSMION, tertib, sopan, khidmat / serius, dan
benar dalam seluruh penampilan, pembawaan / sikap diri, dan tingkah lakunya.
Kata yang mendahuluinya, SOOPHRONA, menunjuk pada pikiran; kata setelahnya,
KOSMION, menunjuk pada tingkah laku lahiriah. Seseorang yang seperti badut,
kasar, atau tidak sopan tidak pernah boleh memerintah gereja Allah; orang yang
masam, cemberut, dan ribut (cerawak?) tidak pernah boleh diberi suatu
kewibawaan yang hampir pasti dipermalukannya].
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali