(Rungkut Megah
Raya, blok D no 16)
Minggu, tgl 5 Juni 2011, pk 17.00
Pdt.
Budi Asali, M. Div.
(HP: 7064-1331 / 6050-1331)
http://golgothaministry.org
Kel 20:16 - “Jangan mengucapkan
saksi dusta tentang sesamamu”.
1)
Dusta dilarang baik dalam pengadilan, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Pulpit
Commentary: “False witness is of two kinds, public and
private. We may either seek to damage our neighbour by giving false evidence
against him in a court of justice, or simply calumniate him to others in our
social intercourse with them. The form of the expression here used points
especially to false witness of the former kind, but does not exclude the latter,
which is expressly forbidden in Ex 23:1. The wrong done to a man by false
evidence in a court may be a wrong of the very extremest kind - may be actual
murder (1Kings 21:13). More often, however, it results in an injury to his
property or his character” [= Saksi palsu / dusta terdiri dari dua
jenis, umum dan pribadi. Kita bisa, atau berusaha untuk merusak sesama kita
dengan memberikan bukti palsu / dusta terhadap / menentang dia dalam sidang
pengadilan, atau sekedar memfitnahnya kepada orang-orang lain dalam hubungan
sosial dengan mereka. Bentuk dari ungkapan yang digunakan di sini menunjuk
secara khusus kepada saksi palsu / dusta dari jenis yang terdahulu, tetapi tidak
membuang / mengeluarkan yang belakangan, yang secara explicit / jelas dilarang
dalam Kel 23:1. Kesalahan yang dilakukan kepada seseorang oleh bukti palsu /
dusta dalam pengadilan bisa merupakan suatu kesalahan dari jenis yang paling
extrim - bisa merupakan pembunuhan yang sungguh-sungguh (1Raja 21:13). Tetapi,
lebih sering, itu mengakibatkan / menghasilkan luka / kerugian pada miliknya
atau karakternya].
Catatan: saya beranggapan Kel 23:1 kurang tepat / jelas. Im 19:11
yang akan saya kutip di bawah lebih jelas.
Amsal 19:9
- “Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang
menyembur-nyemburkan kebohongan akan binasa”.
a)
Dalam pengadilan.
Kel
20:16 - “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”.
Kata
‘saksi’, sekalipun tidak secara exklusif, tetapi secara implicit, lebih menunjuk
pada larangan berdusta bagi saksi dalam pengadilan.
Bdk.
Kel 23:1-2
- “(1) ‘Janganlah engkau menyebarkan kabar bohong; janganlah engkau
membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar. (2)
Janganlah engkau turut-turut kebanyakan orang melakukan kejahatan, dan dalam
memberikan kesaksian mengenai sesuatu perkara janganlah engkau turut-turut
kebanyakan orang membelokkan hukum”.
Amsal 12:17
- “Siapa mengatakan kebenaran, menyatakan apa yang adil, tetapi saksi dusta
menyatakan tipu daya”.
Ayat-ayat
ini secara lebih menyolok menunjukkan larangan menjadi saksi palsu dalam
pengadilan.
Dalam hal ini, kita juga perlu mengerti apa yang boleh disaksikan oleh
seorang saksi. Pertama-tama, seorang saksi adalah orang yang tahu sendiri
tentang apa yang ia saksikan / ceritakan itu. Kalau ia mendengarnya dari orang
lain, ia bukan saksi / tidak layak menjadi saksi! Kedua, apa yang ia saksikan
/ ceritakan haruslah hanya apa yang ia lihat atau dengar, bukan perasaannya,
pikirannya, atau kesimpulannya tentang apa yang ia dengar / lihat!
The
Biblical Illustrator (Old Testament) tentang Kel
20:16: “We
have no right to give our mere inferences from what we know about the conduct
and principles of others as though they were facts” (= Kita tidak mempunyai hak untuk memberikan sekedar kesimpulan kita
dari apa yang kita ketahui tentang tingkah laku dan prinsip-prinsip dari
orang-orang lain seakan-akan hal-hal itu adalah fakta-fakta).
Contoh:
saudara melihat seorang laki-laki pergi dengan seorang perempuan yang bukan
istrinya, dan saudara ‘memberi kesaksian’ bahwa mereka berselingkuh! Ini
kesimpulan saudara, dan tidak boleh saudara saksikan, karena saudara hanya
boleh menyaksikan apa yang betul-betul saudara ketahui. Bahkan kalau saudara
melihat kedua orang itu pergi ke suatu hotel, yang boleh saudara saksikan
hanyalah bahwa saudara melihat mereka pergi ke hotel. Kalau saudara ‘memberi
kesaksian’ bahwa mereka masuk kamar dan melakukan hubungan sex, itu
lagi-lagi merupakan kesimpulan saudara, dan itu tidak boleh diceritakan
sebagai kesaksian.
Yang
berhak menyimpulkan adalah hakim / juri, bukan saksi!
Tuhan
sangat membenci saksi palsu sehingga memberikan Firman Tuhan sebagai berikut:
Ul 19:16-21
- “(16) Apabila seorang saksi jahat menggugat seseorang untuk menuduh
dia mengenai suatu pelanggaran, (17) maka kedua orang yang mempunyai perkara itu
haruslah berdiri di hadapan TUHAN, di hadapan imam-imam dan hakim-hakim yang ada
pada waktu itu. (18) Maka hakim-hakim itu harus memeriksanya baik-baik, dan apabila
ternyata, bahwa saksi itu seorang saksi dusta dan bahwa ia telah memberi tuduhan
dusta terhadap saudaranya, (19) maka kamu harus memperlakukannya sebagaimana ia
bermaksud memperlakukan saudaranya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu
dari tengah-tengahmu. (20) Maka orang-orang lain akan mendengar dan menjadi
takut, sehingga mereka tidak akan melakukan lagi perbuatan jahat seperti itu di
tengah-tengahmu. (21) Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab
berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti
tangan, kaki ganti kaki.’”.
b)
Dalam kehidupan sehari-hari.
Im 19:11
- “Janganlah kamu mencuri, janganlah kamu berbohong dan janganlah kamu
berdusta seorang kepada sesamanya”.
Kata-kata
yang saya garis-bawahi lebih menunjuk pada larangan berdusta dalam kehidupan
sehari-hari.
Kalau
kita mengatakan sesuatu yang bukan kebenaran, apalagi bertentangan dengan
kebenaran, maka kita sudah melanggar hukum ke 9 ini.
Yes
5:20 - “Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan itu baik dan kebaikan itu
jahat, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang
mengubah pahit menjadi manis, dan manis menjadi pahit”.
Calvin (tentang Kel
20:16): “Although God seems
only to prescribe that no one, for the purpose of injuring the innocent, should
go into court, and publicly testify against him, yet it is plain that the
faithful are prohibited from all false accusations, and not only such as are
circulated in the streets, but those which are stirred in private houses and
secret corners” (= Sekalipun Allah kelihatannya hanya menentukan bahwa tak
seorangpun, untuk tujuan melukai / merugikan orang-orang yang tak bersalah,
boleh pergi ke dalam pengadilan, dan di depan umum bersaksi menentang mereka,
tetapi adalah jelas bahwa orang-orang yang setia / beriman dilarang dari semua
tuduhan-tuduhan palsu / dusta, dan bukan hanya hal-hal seperti itu yang beredar
di jalan-jalan, tetapi hal-hal yang ditimbulkan di rumah-rumah pribadi dan
sudut-sudut / pelosok-pelosok rahasia).
Pulpit
Commentary: “False witness in a court is but rarely given. We most of us pass our
lives without having once to appear in a court, either as prosecutor, witness,
or accused. The false witness against which the generality have especially to be
on their guard, is that evil speaking which is continually taking place in
society, whereby men’s characters are blackened, their motives misrepresented,
their reputations eaten away” (= Kesaksian palsu / dusta dalam pengadilan
jarang diberikan. Kebanyakan dari kita melewati hidup kita tanpa pernah
sekalipun muncul dalam suatu pengadilan, apakah sebagai penuntut, saksi, atau
terdakwa. Saksi palsu / dusta terhadap mana secara umum kita harus berjaga-jaga
secara khusus, adalah berbicara buruk / jahat yang terus menerus terjadi dalam
masyarakat, dengan mana karakter orang-orang dijadikan hitam / buruk,
motivasi-motivasi mereka digambarkan secara salah, reputasi mereka dirusak).
Calvin (tentang Kel
20:16): “In whatever way,
therefore, we injure our neighbors by unjustly defaming them, we are accounted
false witnesses before God. We must now pass on from the prohibitive to the
affirmative precept: for it will not be enough for us to restrain our tongues
from speaking evil, unless we are also kind and equitable towards our neighbors,
and candid interpreters of their acts and words, and do not suffer them, as far
as in us lies, to be burdened with false reproaches” (= Karena itu, dengan
cara apapun kita melukai / merugikan sesama kita dengan memfitnah / mencemarkan
nama baik mereka dengan tidak adil / benar, kita dianggap sebagai saksi-saksi
palsu / dusta di hadapan Allah. Sekarang kita harus beralih dari ajaran yang
bersifat melarang kepada ajaran yang disetujui: karena tidak cukup bagi kita
untuk mengekang lidah kita dari mengatakan yang jahat / buruk, kecuali kita juga
adalah baik dan adil terhadap sesama kita, dan adalah penafsir-penafsir yang
jujur dari tindakan-tindakan dan kata-kata mereka, dan tidak membiarkan mereka,
sejauh itu tergantung kepada kita, dibebani dengan celaan-celaan yang palsu /
dusta).
Bdk.
Ef 4:25 - “Karena itu buanglah dusta
dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama
anggota”.
Zakh
8:16-17 - “(16) Inilah hal-hal yang
harus kamu lakukan: Berkatalah benar seorang kepada yang lain dan
laksanakanlah hukum yang benar, yang mendatangkan damai di pintu-pintu
gerbangmu. (17) Janganlah merancang kejahatan dalam hatimu seorang terhadap yang
lain dan janganlah mencintai sumpah palsu. Sebab semuanya itu Kubenci,
demikianlah firman TUHAN.’”.
Calvin (tentang Kel
20:16): “God
does not only forbid us to invent accusations against the innocent, but also to
give currency to reproaches and sinister reports in malevolence or hatred. Such
a person may perhaps deserve his ill-name, and we may truly lay such or such an
accusation to his charge; but if the reproach be the ebullition of our anger, or
the accusation proceed from ill-will, it will be vain for us to allege in excuse
that we have advanced nothing but, what is true. For when Solomon says that
‘love covereth many sins;’ whereas ‘hatred brings reproaches to light,’
(Proverbs 10:12;) he signifies, as a faithful expositor of this precept, that we
are only free from falsehood when the reputation of our neighbors suffers no
damage from us; for, if the indulgence of evil-speaking violates charity, it is
opposed to the Law of God” [= Allah bukan hanya melarang kita untuk
menemukan / menciptakan tuduhan-tuduhan terhadap orang-orang yang tidak
bersalah, tetapi juga untuk menyebarkan celaan-celaan dan laporan-laporan yang
jahat dalam kedengkian atau kebencian. Orang seperti itu mungkin layak
mendapatkan nama buruk, dan kita bisa dengan benar memberikan tuduhan ini atau
itu terhadap dia; tetapi jika celaan itu merupakan ledakan dari kemarahan kita,
atau tuduhan yang keluar dari maksud yang buruk, adalah sia-sia bagi kita untuk
mengatakan sebagai dalih bahwa kita tidak mengajukan apapun kecuali apa yang
benar. Karena pada waktu Salomo mengatakan bahwa ‘kasih menutupi banyak
dosa’; sedangkan ‘kebencian membawa celaan-celaan pada terang’ (Amsal
10:12); ia memberitahukan sebagai seorang yang menjelaskan ajaran ini dengan
setia, bahwa kita hanya bebas dari kepalsuan / dusta pada waktu reputasi dari
sesama kita tidak mengalami kerusakan dari kita; karena jika penurutan dari
pembicaraan buruk / jahat melanggar kasih, maka itu bertentangan dengan dengan
Hukum Allah].
Amsal 10:12 - “Kebencian
menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran”.
Catatan:
1.
Tentang Amsal 10:12a-nya, Calvin menterjemahkan secara berbeda
dengan Alkitab Indonesia maupun dengan semua terjemahan bahasa Inggris. Saya
tidak tahu dari mana ia menterjemahkan seperti itu.
2.
Menurut saya, apa yang Calvin bicarakan di sini, sekalipun jelas
merupakan dosa, tetapi lebih cocok untuk dianggap sebagai pelanggaran terhadap
hukum ke 6 (jangan membunuh) dari pada terhadap hukum ke 9 (jangan bersaksi
dusta).
3.
Tidak selalu kita harus menutupi pelanggaran orang, dan tidak selalu kita
dilarang membukakan kejahatan / keburukan orang. Kadang-kadang kita justru harus
memberitakannya, demi melindungi orang lain dari kejahatan orang itu. Misalnya:
a.
Ada orang yang berhutang kepada saya dan tidak membayar. Lalu
saya melihat ia mendekati si A, dan mau berhutang kepada si A. Haruskah saya
berdiam diri? Kalau saya berdiam diri, saya tidak mengasihi si A, dan
membiarkannya menjadi korban! Saya harus memberitahunya!
b.
Memberitakan kesesatan ajaran dari seorang pendeta. Apa alasannya untuk
mengijinkan hal ini?
·
Ini bahkan dilakukan oleh Yesus (Mat 23:1-36 Luk 13:31-32), Paulus (Gal 1:6-9 Fil 3:2), dsb, dalam mengecam secara terang-terangan dan
dengan keras ajaran-ajaran sesat yang ada, beserta pengajarnya. Bahkan sering
kali ini dilakukan dengan menyebut nama orang itu (1Tim 1:20 2Tim 2:17 2Tim
4:14 3Yoh 9). Jadi, ini bukan
hanya boleh dilakukan, tetapi harus dilakukan, tetapi motivasinya harus benar.
Bukan karena kebencian terhadap orang itu, tetapi karena mengasihi orang-orang
lain, dan ingin menghindarkan orang lain dari pada kesesatan. Anehnya, orang
Kristen pada umumnya menyalahkan hal ini! Mereka seharusnya juga menyalahkan
Yesus dan Paulus!
·
Dalam hal jasmani / sekuler kita boleh mengajarkan kepada anak-anak kita
tentang kejahatan dari orang-orang tertentu, supaya jangan anak-anak kita
terseret dalam kejahatan mereka. Misalnya kita mengajar anak-anak kita untuk
tentang keburukan dari pengguna / pengedar narkoba, pelacuran dsb. Kalau ini
boleh dilakukan dalam dunia sekuler, mengapa tidak boleh dalam dunia rohani?
2)
Dusta bisa dilakukan dengan bermacam-macam cara.
a)
Dengan lidah.
The
Biblical Illustrator (Old Testament) tentang Kel
20:16: “A
gentleman once sent his servant to market with the direction to bring home the
best thing he could find. He carried home a tongue. He was sent again with the
direction to bring home the worst thing he could find. Again he brought home a
tongue. This was right; for the tongue is the best thing in the world when
properly used, or the worst when not so used” (= Suatu kali seseorang mengutus pelayannya ke pasar dengan petunjuk
untuk membawa pulang hal terbaik yang bisa ia dapatkan. Ia membawa pulang sebuah
lidah. Ia diutus lagi dengan petunjuk untuk membawa pulang hal terburuk yang
bisa ia dapatkan. Lagi-lagi ia membawa pulang sebuah lidah. Ini merupakan
sesuatu yang benar; karena lidah adalah hal terbaik dalam dunia pada waktu
digunakan dengan benar, atau hal terburuk pada waktu tidak digunakan demikian).
Ada
banyak hal buruk yang bisa kita lakukan dengan lidah kita, dan salah satunya
adalah dusta!
Contoh:
1.
Dalam bisnis / dagang.
Bdk.
Amsal 20:14 - “‘Tidak baik! Tidak
baik!’, kata si pembeli, tetapi begitu ia pergi, ia memuji dirinya”.
Perhatikan
bahwa ini merupakan sesuatu yang sangat umum dalam dunia perdagangan. Dunia
perdagangan dipenuhi dengan dusta, dan saking umumnya hal itu, orang tidak lagi
merasa bahwa itu merupakan dusta dan itu adalah dosa!
Bukan
hanya pembeli, tetapi penjualnya juga sangat sering, atau bahkan lebih sering,
berdusta, supaya bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak, atau supaya barangnya
laku. Misalnya: pada waktu barangnya ditawar, ia mengatakan ‘Wah
tidak bisa, kulaknya saja tidak boleh segitu’. Anehnya, akhirnya barangnya
diberikan dengan harga itu. Jelas bahwa kata-katanya dusta!
Atau,
dengan memuji-muji mutu barangnya yang ternyata jelek. Atau, dengan mengatakan kalau di luar ada yang lebih
murah, silahkan kembalikan. Tetapi pada waktu betul-betul mau dikembalikan, ia
menolak!
2.
Fitnah / meneruskan kabar angin yang belum tentu benar.
Merupakan
suatu fakta yang tidak bisa disangkal bahwa manusia pada umumnya terlalu cepat
percaya pada kabar angin / kabar buruk tentang seseorang. Ini sebetulnya sudah
salah, tetapi menjadi suatu dusta / fitnah, kalau hal itu lalu kita ceritakan
kepada orang-orang lain.
3.
Dusta tentang usia anak, supaya dapat discount.
Dalam
banyak tempat hiburan di luar kota, kadang-kadang diberi perbedaan tarif untuk
anak dan orang dewasa. Dan dituliskan, untuk anak di bawah 5 tahun, tarifnya 50
%. Kalau anak kita sudah di atas 5 tahun, tetapi anaknya kelihatan kecil, kita
berdusta tentang usia anak itu hanya untuk mendapatkan discount tersebut. Ini
jelas dosa! Kita menjual kebenaran, hanya demi discount yang tidak seberapa itu!
b) Dengan tangan / tulisan (bdk. Neh 6:5-8).
Contoh:
1.
Memalsu tanda tangan.
2.
Mengubah umur / tahun kelahiran pada waktu mengambil SIM.
3.
Menaikkan bon / kwitansi. Baik pembeli yang meminta bon dinaikkan, maupun
penjual yang mau menaikkan bon, telah berdusta dengan tulisan (dan sekaligus
mencuri / membantu pencurian).
4.
Mahasiswa yang mau dititipi absensi oleh teman yang bolos kuliah.
5.
Mengisi formulir pendaftaran secara tidak jujur; biasanya dalam persoalan
gaji orang tua, gajinya direndahkan.
6.
Menandatangani pernyataan yang tidak benar.
7.
Memberi surat sakit, padahal tidak sakit.
8.
Iklan yang tidak cocok dengan kenyataannya.
9.
Perusahaan yang membuat ‘double
book’ (= pembukuan ganda).
c)
Dengan sikap / kepura-puraan.
Contoh:
1. Pura-pura
sakit / sedih.
Bdk.
1Sam 21:10-15 - “(10) Kemudian bersiaplah Daud dan larilah ia pada
hari itu juga dari Saul; sampailah ia kepada Akhis, raja kota Gat. (11)
Pegawai-pegawai Akhis berkata kepada tuannya: ‘Bukankah ini Daud raja negeri
itu? Bukankah tentang dia orang-orang menyanyi berbalas-balasan sambil
menari-nari, demikian: Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud
berlaksa-laksa?’ (12) Daud memperhatikan perkataan itu, dan dia menjadi takut
sekali kepada Akhis, raja kota Gat itu. (13) Sebab itu ia berlaku seperti
orang yang sakit ingatan di depan mata mereka dan berbuat pura-pura gila di
dekat mereka; ia menggores-gores pintu gerbang dan membiarkan ludahnya meleleh
ke janggutnya. (14) Lalu berkatalah Akhis kepada para pegawainya:
‘Tidakkah kamu lihat, bahwa orang itu gila? Mengapa kamu membawa dia kepadaku?
(15) Kekurangan orang gilakah aku, maka kamu bawa orang ini kepadaku supaya ia
menunjukkan gilanya dekat aku? Patutkah orang yang demikian masuk ke
rumahku?’”.
Catatan: boleh dikatakan semua penafsir menyalahkan
kepura-puraan Daud ini dan menganggapnya sebagai tindakan tak beriman yang
memalukan.
Tetapi
strategi dalam perang, yang juga bisa dikatakan sebagai tindakan pura-pura,
diijinkan.
Yos
8:3-22 - “(3) Lalu bersiaplah Yosua beserta seluruh tentara untuk pergi ke Ai.
Yosua memilih tiga puluh ribu orang, pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa,
mereka disuruhnya pergi pada waktu malam (4) dan kepada mereka diperintahkannya,
katanya: ‘Ketahuilah, kamu harus bersembunyi di belakang kota itu untuk
menyerangnya, janganlah terlalu jauh dari kota itu, dan bersiap-siaplah kamu
sekalian. (5) Aku dan semua orang yang bersama-sama dengan aku akan mendekati
kota itu; apabila mereka keluar menyerbu kami, seperti yang pertama kali, maka kami
akan melarikan diri dari hadapan mereka. (6) Jadi mereka akan keluar
menyusul kami, sehingga kami memancing mereka jauh dari kota itu, sebab mereka
akan berkata: orang-orang itu melarikan diri dari hadapan kita seperti yang
pertama kali. Jika kami melarikan diri dari hadapan mereka, (7) maka kamu harus
bangun dari tempat persembunyianmu itu untuk menduduki kota itu, dan TUHAN,
Allahmu, akan menyerahkannya ke dalam tanganmu. (8) Segera setelah kamu merebut
kota itu, haruslah kamu membakarnya; sesuai dengan firman TUHAN kamu harus
melakukan semuanya itu; ingatlah, itulah perintahku kepadamu.’ (9) Demikianlah
Yosua menyuruh mereka pergi, lalu berjalanlah mereka ke tempat persembunyian dan
tinggal di antara Betel dan Ai, di sebelah barat Ai. Tetapi Yosua bermalam di
tengah-tengah rakyat pada malam itu. (10) Keesokan harinya Yosua bangun
pagi-pagi, lalu diperiksanyalah barisan bangsa itu dan berjalanlah ia maju
beserta para tua-tua orang Israel di depan bangsa itu ke Ai. (11) Juga seluruh
tentara yang bersama-sama dengan dia berjalan maju; mereka maju mendekat, lalu
sampai ke tentangan kota itu, kemudian berkemahlah mereka di sebelah utara Ai,
sehingga lembah itu ada di antara mereka dan Ai. (12) Yosua telah mengambil
kira-kira lima ribu orang, lalu disuruhnya mereka bersembunyi di antara Betel
dan Ai, di sebelah barat kota itu. (13) Beginilah rakyat itu diatur: seluruh
tentara itu di sebelah utara kota dengan barisan belakang di sebelah barat kota.
Pada malam itu berjalanlah Yosua melalui lembah itu. (14) Pagi-pagi, ketika raja
negeri Ai melihat hal itu, maka ia dan seluruh rakyatnya, orang-orang kota itu,
segera keluar berperang, menyerbu orang Israel, ke lereng di seberang dataran
itu; raja itu tidak tahu, bahwa ada orang bersembunyi di belakang kota. (15) Yosua
dan seluruh orang Israel itu berlaku seolah-olah dipukul mundur oleh mereka,
lalu melarikan diri ke arah padang gurun. (16) Sebab itu semua orang yang
ada di kota dikerahkan untuk mengejar orang Israel. Maka mereka mengejar Yosua,
sehingga makin jauhlah mereka terpancing dari kota. (17) Seorangpun tidak
tertinggal lagi di Ai dan Betel yang tidak keluar memburu orang Israel. Mereka
meninggalkan kota itu terbuka, karena mereka mengejar orang Israel. (18) Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Yosua: ‘Acungkanlah lembing yang ada di
tanganmu ke arah Ai, sebab Aku menyerahkan kota itu ke dalam tanganmu.’
Maka Yosua mengacungkan lembing yang di tangannya ke arah kota itu. (19) Ketika
diacungkannya tangannya, maka segeralah bangun orang-orang yang bersembunyi itu
dari tempatnya, mereka berlari memasuki kota, merebutnya, lalu segera membakar
kota itu. (20) Ketika orang Ai berpaling menoleh ke belakang, tampaklah asap
kota itu naik membubung ke langit; mereka tidak sempat melarikan diri ke manapun
juga, sebab rakyat yang tadinya lari ke padang gurun, berbalik melawan
pengejar-pengejarnya. (21) Ketika Yosua dan seluruh Israel melihat, bahwa
orang-orang yang bersembunyi itu telah merebut kota dan bahwa asap kota itu naik
membubung, berbaliklah mereka, lalu menewaskan orang-orang Ai. (22) Sementara
itu juga keluar orang-orang Israel yang lain dari dalam kota menyerbu
orang-orang Ai, sehingga terjepit di tengah-tengah orang Israel itu, yang ini
dari sini dan yang itu dari sana; orang-orang Ai ditewaskan, sehingga seorangpun
dari mereka tidak ada yang dibiarkan terlepas atau luput”.
Catatan: ay 18 menunjukkan bahwa Tuhan sendiri terlibat dalam
pelaksanaan strategi itu, dan ini merupakan alasan untuk mengatakan bahwa ini
bukan sesuatu yang salah.
John
Murray: “In this instance it
would surely be futile to try to categorize this action on Joshua’s part as
wrong. The Lord himself was party to the stratagem (cf. verse 18), and it would
be sophistry indeed to attempt to abstract this element of the strategy from
that which the Lord himself authorized. ... There was indeed retreat when, in
ordinary sense, there was no need for retreat. In other words, it was a
strategic retreat. ... Israel was under no obligation to inform the people of
Ai what the meaning or intent of this retreat was. ... The men of Ai were
deceived as to the meaning of the retreat of Israel, but that deception arose
from their failure to discover its real purpose.
... we are at a loss to find untruth” [= Dalam contoh / hal
ini adalah sia-sia untuk mencoba untuk menggolongkan tindakan ini pada / dari
pihak Yosua sebagai salah. Tuhan sendiri ikut ambil bagian dalam trik / muslihat
itu (bdk ay 18), dan memang akan merupakan suatu cara berpikir yang sesat / tak
masuk akal untuk berusaha untuk menyingkirkan elemen dari strategi ini dari apa
yang Tuhan sendiri sahkan / benarkan. ... Memang ada penarikan mundur pada saat,
dari arti yang biasa, tidak ada kebutuhan untuk mundur. Dengan kata lain, itu
merupakan suatu penarikan mundur yang bersifat strategi. ... Israel tidak wajib untuk memberi informasi kepada
orang-orang Ai apa arti atau maksud dari penarikan mundur ini.
... Orang-orang Ai tertipu berkenaan dengan arti dari penarikan mundur dari
Israel, tetapi fakta bahwa mereka tertipu itu muncul / timbul dari kegagalan
mereka untuk menyingkapkan tujuan yang sebenarnya. ... kita tidak bisa
menemukan ketidak-benaran] - ‘Principles of Conduct’, hal 144,145.
John
Murray: “The allegation that
Joshua acted an untruth or a lie rests upon the fallacious assumption that to be
truthful we must under all circumstances speak or act in terms of the data which
come within the purview of others who may be concerned with or affected by our
speaking or acting. This is not the criterion of truthfulness. It would
oftentimes be incompatible with justice, rights, and truth to apply this
criterion. When we speak or act we do so in terms of all the relevant facts and
considerations which come within our purview, and if we are misunderstood or
misrepresented we are not to be charged with falsehood” (= Pernyataan
tanpa bukti bahwa Yosua melakukan suatu ketidak-benaran atau suatu dusta,
didasarkan pada suatu anggapan yang salah bahwa untuk menjadi benar kita harus,
dalam segala keadaan, berbicara atau bertindak berkenaan dengan data yang datang
di dalam batasan pengertian dari orang-orang lain, yang bisa berkenaan dengan
atau dipengaruhi oleh kata-kata atau tindakan kita. Ini bukan kriteria dari
kebenaran. Bahkan akan sering tidak cocok dengan keadilan, hak-hak, dan
kebenaran, untuk menerapkan kriteria ini. Pada waktu kita berbicara atau
bertindak, kita melakukannya berkenaan dengan semua fakta dan pertimbangan yang
relevan yang datang ke dalam batasan pengertian kita, dan jika kita
disalah-mengerti atau disalah-gambarkan, kita tidak boleh dituduh dengan
kepalsuan / dusta) - ‘Principles of Conduct’, hal 145.
2.
Bersikap munafik.
Sesuatu
yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa bertindak / bersikap munafik sangat
berbeda dengan menguasai diri. Kalau ada seseorang yang tidak menyenangkan kita,
dan kita menahan diri untuk tidak marah / memaki / memukul dia, maka itu
merupakan penguasaan diri, dan merupakan sesuatu yang benar. Tetapi kalau kita
bersikap / berbicara kepada dia seolah-olah kita menyukai dia, maka itu
merupakan kata-kata / sikap yang munafik, dan ini merupakan dusta.
Kata
‘orang munafik’ berasal dari kata Yunani HUPOKRITES, yang arti sebenarnya /
awalnya adalah seorang pemain sandiwara.
d)
Dengan gerakan-gerakan tertentu dari anggota-anggota tubuh tertentu.
Amsal
6:12-14 - “(12) Tak bergunalah dan
jahatlah orang yang hidup dengan mulut serong, (13) yang mengedipkan matanya,
yang bermain kaki dan menunjuk-nunjuk dengan jari, (14) yang hatinya
mengandung tipu muslihat, yang senantiasa merencanakan kejahatan, dan yang
menimbulkan pertengkaran”.
Jamieson,
Fausset & Brown (tentang Amsal 6:13): “He makes secret signs with all these
members; the mark of a deceitful and malignant man”
(= Ia membuat isyarat-isyarat rahasia dengan semua anggota-anggota ini; tanda
dari seorang yang penuh tipu daya dan sangat jahat).
e)
Dengan berdiam diri.
Pulpit
Commentary: “False witness may be borne by silence. In discussing a man’s
character, silence, with or without significant looks, is eloquent. ‘He could
have spoken,’ it is argued, ‘had he been able to say anything favourable.’
Silent acquiescence in the charges made is quite sufficient confirmation of
their truth! ... It is easy enough to injure a man’s good name by thoughtless
speech or cowardly silence. We cannot rid ourselves of the responsibility which
attaches to our carelessness or cowardice. By speech or silence we give our
testimony, whether the testimony be true or false” (= Saksi dusta / palsu
bisa dihasilkan oleh tindakan berdiam diri. Dalam mendiskusikan karakter dari
seseorang, tindakan berdiam diri, dengan atau tanpa pandangan / wajah yang
berarti, merupakan sesuatu yang fasih. ‘Ia bisa mengatakan’ demikian
diargumentasikan, ‘seandainya ia mampu untuk mengatakan apapun yang baik /
menyenangkan’. Sikap menyetujui dengan berdiam diri dalam tuduhan-tuduhan yang
dibuat, merupakan peneguhan yang cukup dari kebenaran tuduhan-tuduhan itu! ...
Adalah cukup mudah untuk melukai / merugikan nama baik seseorang oleh ucapan
yang tak dipikir atau sikap berdiam diri yang bersifat pengecut. Kita tidak bisa
membersihkan diri kita sendiri dari tanggung jawab yang dilekatkan pada
kecerobohan atau ke-pengecut-an kita. Oleh / dengan ucapan atau sikap berdiam
diri, kita memberikan kesaksian kita, apakah kesaksian itu benar atau salah).
Adam
Clarke (tentang Kel 20:16):
“Suppressing
the truth when known, by which a person may be defrauded of his property or his
good name, or lie under injuries or disabilities which a discovery of the truth
would have prevented, is also a crime against this law”
(= Menekan kebenaran pada waktu kebenaran itu diketahui, dengan mana seseorang
bisa diambil miliknya atau nama baiknya, atau berdusta pada waktu pembukaan
kebenaran bisa mencegah luka / kerugian atau cacat, juga merupakan suatu
kejahatan terhadap hukum ini).
Penerapan:
orang yang mengetahui kebenaran, apakah ini merupakan kebenaran dalam urusan
Firman Tuhan atau kebenaran dalam urusan sehari-hari / biasa, harus belajar
untuk menjadi orang yang vokal, dan berani menyatakan kebenaran itu!
-bersambung-
Author : Pdt. Budi Asali,M.Div.
E-mail : [email protected]
e-mail us at [email protected]
Link ke Channel Video Khotbah2 Pdt. Budi Asali di Youtube:
https://www.youtube.com/channel/UCP6lW2Ak1rqIUziNHdgp3HQ
Channel Live Streaming Youtube : bit.ly/livegkrigolgotha / budi asali